• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 

Registrasi Sastra Lisan

Data : 114 Sastra Lisan


No.  Judul Deskripsi
1. Asal Usul Danau Lut Tawar Takengon
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Aceh

Danau Lut Tawar merupakan salsah satu danau yang terletak di Aceh Tengah dan berada diseputar kecamatan Lut Tawar, Kebayakan, Bebesan, dan Bintang. Danau tersebut merupakan danau kebanggan masyarakat disekitarnya dan dijadikan sebagai sumber ekonomi, seperti pariwisata. Selain dengan keindahannya, danau ini memiliki cerita legenda yang terkenal, diantaranya adalah Putri Hijau, Putri Pukes, Unok, Putri Bensu, Ikan Depik, dan Lembide. Penamaan mengenai asal-usul Danau Lut Tawar dapat dilihat dari berbagai sisi, yaitu secara historis Danau Lut Tawar terjadi karena gunung meletus; dari segi bahasa Lut berarti laut dan Tawar berarti tidak asin, sehingga Danau Lut Tawar berarti laut tidak asin; dan juga legenda-legenda yang berkembang di masyarakat, seperti legenda Unok, yaitu seseorang yang dianggap suci dan mendapat ilham untuk membuat perahu karena akan terjadi air bah; legenda Putri Pukes yang berubah menjadi batu serta diiringi hujan lebat akibat menjadi pembangkang; legenda Putri Hijau; legenda Putri Bensu; legenda Ikan Depik; dan legenda Lembide.


Tim Peneliti : Atisah

2. Bailau
Genre: Pertunjukan
Suku: Minang
Bailau merupakan sastra lisan Minangkabau yang tidak terlalu popular dan hanya ada di Bayang, Pesisir Selatan,Sumatera Barat. Perempuan yang memainkannya disebut tukang ilau. Tradisi bailau hanya dilakukan kaum perempuan yang sudah menikah. Bailau ini semakin jarang dilakukan karena sawah telah diupahkan dan tidak lagi dikerjakan dengan bergilir hingga musim menyiang tiba, tradisi bailau ini pun perlahan sirna. Perkembangan selanjutnya Bailau untuk meratapi kematian telah jarang dilakukan. Bailau lebih kepada seni pertunjukan berisi ratapan dan ungkapan kesedihan berlarik seperti pantun, irama tepuk tangan dan gerak silat, yang ditingkahi sahutan perempuan pengiring lainnya. Bailau merupakan satu-satunya sastra lisan Minangkabau yang dilakukan perempuan. Mereka mengungkapkannya dalam sisomba sebagai perintang hari dan pelipur lara dan kata terungkap begitu saja sesuai suasana dan keadaan. Teks tercipta saat mereka meratap.
3. Bakajang
Genre: Pertunjukan
Suku: Minang
tradisi lisan Bakajang merupakan rangkaian pertemuan mengingat kembali jejak sebagai asal-usul empat suku yaitu suku Damo, suku malayu, suku Pagarcancang, dan suku Piliang di sekitar aliran sungai yang tersebar ke berbagai wilayah. Tradisi ini menjadi tradisi tahunan setelah hari raya tiba. suku Tradisi di gelar dengan menghiasi beberapa kapal kecil dan melakukan perjalanan ke daerah istana dan balai pertemuan. di ustano yang merupakan surau kecil yang disepakati, mereka menggelar perbincangan dengan makanan yang sangat melimpah sebagai etika menerima tamu dan bertamu. perhelatan ini digelar selama 10 hari. Tradisi ini masih berlangsung hingga kini.
4. Bang Melong dari Meruya
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Betawi
Cerita tentang Bang Melong hampir sama dengan cerita Si Pitung. Ini juga menceritakan tokoh yang dianggap pahlawan oleh rakyat kecil dan miskin. Jawara yang suka menolong dan suka mengaji. Bang Melong selalu mendapatkan fitnah dari orang-orang yang tidak menyukainya. Akan tetapi semua tuduhan yang ditimpakan kepadanya dapat diselesaikan dengan baik. Bang Melong juga melakukan perampokan terhadap orang-orang Cina dan pribumi kaya kemudian hasil rampokannya diserahkan kepada rakyat miskin yang berada di sekitar Meruya.
5. Basiacuong/Besesombau
Genre: Puisi
Suku: Kampar

Basiocuong/besesombau merupakan salah satu tradisi masyarakat Riau yang berbentuk seni tutur, berisi tentang ungkapan petatah petitih dan pidatoo adat yang disampaikan dengan cara berbalas-balasan untuk merundingkan suatu masalah.

6. Basing Kajang
Genre: Permainan Rakyat
Suku: Kajang

Basing merupakan pantun dalam meratapi kematian secara elegan dan estetis yang membedakannya dengan ratapan biasa pasca kematian manusia. Basing adalah ritual seni sebab justru dimainkan dengan penuh aturan estetik. Salah satu bentuk pantun milik suku Kajang di Sulawesi Selatan ini adalah nyanyian dan suling yang dimainkan oleh empat orang, dua orang pria memainkan suling Basing dan dua orang perempuan sebagai penyanyi. Seruling Basing yang mereka gunakan terbuat dari bambu kecil berdiameter 3 sentimeter, panjang 50 sentimeter, yang terbuat dari bambu, biasa disebut bulo. Bulo ini digunakan sebagai alat musik karena tipis dan cocok untuk ditiup. Biasanya alat musik ini dipakai saat ritual oleh masyarakat Kajang. Seperti musik menyayat hati pada saat orang Kajang meninggal. Dan biasanya jika ada pesta pernikahan alat musik ini dimainkan oleh pabasing diiringi tarian oleh penari Kajang

Dalam sejarah masyarakat suku Kajang pada mulanya Basing hanya dimainkan dalam suasana kematian untuk mengiringi sebuah elegi nyanyian ratapan dari keluarga yang ditinggalkan. Basing yang dilantunkan untuk kematian itu disebut Basing Tempa Sorong. Ada pula jenis Basing bernama Tabu yang dilantunkan disembarang waktu, boleh dinyanyikan pada saat tidak ada kematian. Seiring perubahan zaman Basing telah dimainkan dalam upacara adat, menyambut tamu, dan lain-lain. Bahkan Basing sudah sering ditampilkan dalam acara-acara seni budaya tingkat nasional. Termasuk pernah dipentaskan dalam Pantun Nusantara di Jakarta pada 2007.

7. Batu Manangih
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Minang
Cerita tentang anak durhaka yang memperlakukan ibunya dengan tidak baik. Anak perempuan yang tidak disebutkan namanya, hidup dengan ibunya yang bekerja sebagai nelayan. Ibu memenuhi kebutuhan mereka berdua, sementara anaknya hanya bermain dan tidak perhatian pada ibunya. Suatu waktu terjadilah masa paceklik sehingga mereka harus menempuh perjalanan yang jauh untuk meminjam padi kepada orang kaya. Anak perempuan berdandan dengan baik sementara ibunya berpakaian lusuh. Kepada orang kaya yang bertanya tentang perempuan tua yang bersamanya, anak perempuan itu katakan bahwa perempuan tua itu adalah babunya. Dia tidak pantas dijamu dengan hidangan yang baik dan cukup diberi makanan sisa yang ditarok di lantai. Ternyata sikap yang berlebihan itu membuat ibunya berhiba hati dan berdoa pada Tuhan agar anaknya mendapatkan petunjuk baik. Di perjalanan pulang, tiba-tiba anak gadis itu terbenam ke tanah dan tidak bias bergerak. Semakin lama makin tenggelam hingga akhirnya menjadi batu. Hingga sekarang batu itu selalu basah dan mengeluarkan air sehingga diberi nama Batu Manangih (batu menangis).
8. Batu Manangih
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Minang
Cerita tentang anak durhaka yang memperlakukan ibunya dengan tidak baik. Anak perempuan yang tidak disebutkan namanya, hidup dengan ibunya yang bekerja sebagai nelayan. Ibu memenuhi kebutuhan mereka berdua, sementara anaknya hanya bermain dan tidak perhatian pada ibunya. Suatu waktu terjadilah masa paceklik sehingga mereka harus menempuh perjalanan yang jauh untuk meminjam padi kepada orang kaya. Anak perempuan berdandan dengan baik sementara ibunya berpakaian lusuh. Kepada orang kaya yang bertanya tentang perempuan tua yang bersamanya, anak perempuan itu katakan bahwa perempuan tua itu adalah babunya. Dia tidak pantas dijamu dengan hidangan yang baik dan cukup diberi makanan sisa yang ditarok di lantai. Ternyata sikap yang berlebihan itu membuat ibunya berhiba hati dan berdoa pada Tuhan agar anaknya mendapatkan petunjuk baik. Di perjalanan pulang, tiba-tiba anak gadis itu terbenam ke tanah dan tidak bias bergerak. Semakin lama makin tenggelam hingga akhirnya menjadi batu. Hingga sekarang batu itu selalu basah dan mengeluarkan air sehingga diberi nama Batu Manangih (batu menangis).
9. Benin Ge
Genre: Permainan Rakyat
Suku: Kenyah
Benin Ge merupakan permainan perang-perangan untuk anak-anak pada waktu musim menebas ladang. Alat permainan initerdiri dari bambu betung atau bulo’ atung yang sudah tua dengan garis tengah bambu 1—2 cm dan panjang sekitar 30 cm. peluru yang digunakan adalah biji-bijian tumbuhan yang keras, seperti biji beringin, biji kopi, dan lain-lain.
10. Benin Sungai
Genre: Permainan Rakyat
Suku: Kenyah
Benin Sungai merupakan permainan rakyat yang dilakukan anak-anak di sungai ketika musim membakar ladang. Permainan semprot air dengan menggunakan alat bambu biasa atau bulo’ lan yang bergaris tengah 2—3 cm dan panjang 100 cm. permainan ini juga dijadikan sebagai alat antisipasi penyemprot api liar pada waktu membakar ladang.
11. Boi-Boian
Genre: Permainan Rakyat
Suku: Tidung
Boi-boian merupakan salah satu permainan yang digemari anak-anak di Kalimantan Utara. Kadang menggunakan bola plastic, bola kasti, atau benda serupa bola. Misalnya kain atau plastik yang digulung dalam bentuk bola. Permainan ini dimainkan oleh 5-10 anak. Permainannya ialah dengan cara menyusun lempengan batu, biasanya diambil dari pecahan genting atau pocelen berukuran kecil. Bolanya bervariasi, biasanya terbuat dari buntalan kertas yang dilapisi plastik, empuk dan tidak keras, sehingga tidak melukai. Satu orang sebagai penjaga lempengan. Pemain lainnya bergantian melempar tumpukan lempengan itu dengan bola sampai roboh semua. Setelah roboh, penjaga harus mengambil bola dan melemparkannya ke anggota lain. Pemain yang terkena lemparan bola bergantian menjadi penjaga lempengan. Penjaga lempengen batu harus mengejar bola, menangkap dan melemparkannya hingga mampu mengenai pemain lain. Pemain lain yang tidak menjaga lempengan batu, secara bergantian melempar bola ke arah tumpukan batu. Bila tidak ada satupun yang mampu merobohkan tumpukan batu lempengan, pemain pertama giliran melempar harus berganti menjadi penjaga batu lempeng.
12. Bongkaana Tao
Genre: Prosa
Suku: Buton

Secara harfiah, Bongkaana Tao berarti membongkar tahun. Acara tersebut merupakan pesta panen dan ritual menolak bala. Akan ada upacara melabuhkan sesajen ke lautan sambil berdoa agar segala bencana bisa lenyap dan hilang di lautan lepas. Ada dua maksud digelarnya acara tersebut. Pertama adalah ungkapan rasa syukur atas rezeki yang dicurahkan Allah kepada warga sekitar. Kedua adalah memanjatkan doa agar dijauhkan dari segala bahaya dan sial yang bisa datang sewaktu-waktu. Jadi Bongkaana Tao artinya menutup masa panen dengan penuh suka cita sambil berharap agar tahun berikutnya lebih mendatangkan rezeki dan pengharapan.

Sesajennya berbentuk perahu dan di haluan terdapat kayu berbentuk kepala buaya, sedangkan di bagian buritan atau belakang perahu sesajen tersebut, terdapat patung ekor buaya. Menurut hikayat, dahulu di dasar sumur itu berdiam seekor buaya yang sakti sehingga sumur itu dianggap keramat. Hingga satu saat, buaya tersebut lenyap kemudian ada warga yang seakan mendapatkan wangsit agar setiap tahun diadakan ritual di sumur tersebut agar membuang sial dan mendoakan semua warga agar selalu bahagia dan bertambah rezekinya. Warga yang mendapatkan wangsit itu, selanjutnya menjadi pemimpin doa. Hingga bertahun setelah dia meninggal, posisinya akan digantikan oleh keturunannya.

Isi sesajen biasanya berupa makanan khas Buton seperti lapa-lapa, telur, dan aneka lauk-pauk. Setelah itu, seorang moji datang membawa tempat dupa, kemudian acara itu dimulai. Mereka lalu membakar dupa di kemenyan lalu sama-sama berdoa. Doa disampaikan dalam bahasa Arab dan diselingi dengan bahasa Indonesia. Saya mendengar beberapa kalimat yang diucapkan seperti jamaliyah, jalaliyah, yang kesemuanya adalah manifestasi sifat-sifat Tuhan. Kata tersebut sering diucapkan mereka yang mendalami tasawuf dan tarekat.

Usai berdoa, mereka lalu mengusung sesajen tersebut, kemudian membawanya ke laut. Mereka lalu berjalan menuju ke dekat lapangan tempat pekande-kandea, lalu ke dekat laut dan melepaskan perahu sesajen tersebut secara bersama-sama.


13. Cekang
Genre: Permainan Rakyat
Suku: Tidung
Anak-anak di Kalimantan Utara, khususnya yang lahir dalam tradisi kebudayaan Tidung di Tarakan pernah merasakan kebahagiaan memainkan permainan ini. permainan Cekang adalah permainan dengan ketapel. Permainan ini akan mengotori dinding rumah, karena menggunakan buah yang bewarna untuk menembak cecak di dinding. Untuk mencari buah ini, anak-anak harus menerjang lumpur sebab tumbuhan bakau tumbuh di atas air bercampur lumpur. Sehingga ketika pulang ke rumah, seringkali anak-anak harus berhadapan dengan cubitan ibu atau mamaknya. Anak-anak mendapatkan cekang atau ketepel dari cabang ranting pohon mangrove dan memasang karet sebagai pemantul buah pisangan; buah pisangan dilipat serupa anak panah. Di Jawa permainan ini disebut gedangan atau pisangan. Kadang, anak-anak juga memanfaatkan buah bongsai untuk menembak cicak. Buah pisangan biasa digunakan sebagai peluru ketekan (ketapel) dapat juga dimanfaatkan sebagai anting-antingan.
14. Cepung
Genre: Pertunjukan
Suku: Sasak

Cepung merupakan seni vokal  tradisional daerah Lombok, alat yang digunakan sangat terbatas, hanya diiringi dua alat musik yaitu seruling dan redep. Dengan keterbatasan alat musik yang digunakan maka para pemain mengatasinya dengan cara menirukan bunyi gendang, kenceng, rincik. Para pemain selain bertugas membuat bunyi-bunyian yang menyerupai alat musik tertentu juga  sebagai pembawa syair atau pantun secara bersaut- sautan.

 Jumlah pemain cepung ini 6 orang  yang bertugas sebagai pembaca lontar yang merupakan sumber cerita dan syair cepung itu sendiri. Pembacaan dilakukan bergantian  setiap kali pergantian babak permainan ( merupakan pendahulu gending baru), dua orang sebagai pemain alat musik dan tiga orang sebagai pembawa musik vokal yang dilakukan sambil menari dengan gaya yang lucu sesuai dengan syair dan gending  yang dibawakan dan ketiga pembawa musik  vokal tersebut dalam keadaaan duduk. Para pemain duduk bersila melingkar atau membentuk huruf  U. Ada yang mengenakan baju atau sebaliknya, tetapi tetap mengenakan kain dan destar serta hiasan lainnya. Irama lagu cakepung pada mulanya terdiri atas tiruan bunyi alat – alat gamelan tradisional yang disuarakan melalui mulut para pemainnya seperti: kendang, ricik, petuk, dan gong. Dan bahkan disertai dengan meminum minuman tuak untuk lebih memanaskan suasana permainan. Mengingat seni ini harus dimainkan penuh semangat seperti tari cak.

Kesenian ini merupakan perkembangan dari “pepaosan-pepaosan” , cerita yang diambil dalam seni cepung ini khusus dari Pepaosan Cerita klasik”Monyeh”. Cerita klasik Monyeh sangat terkenal di Lombok, dikarang dalam bentuk pantun (seloka) dalam bahasa sasak oleh Jero Mihran/Mamiq Mihran pada tahun 1859. Seluruhnya terdiri dari 671 bait, dibawakan dengan tembang Sinom, Semarandana, Kumambang, Durma, Dang-dang dan Pangkur.

15. Cigawiran
Genre: Puisi
Suku: Sunda

Tembang Cigawiran merupakan salah satu seni vokal yang mempunyai kekhususan dan berbeda dengan lagam-lagam tembang lainnya. Meskipun demikian, tembang Cigawiran ini tetap dikategorikan sebagai salah satu jenis tembang Sunda yang merupakan lagam atau ala Cigawir. Pimpinan seni Cigawiran sekarang adalah Hidayatus Sibyan, sekaligus pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Mubarrak yang berlokasi di kampung Serang, Desa Cigawir, Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut.

Tembang Sunda Cigawiran diperkirakan dikembangkan mulai sekitar tahun 1823 dengan tokohnya Raden Haji Jalari (1823—1002), kemudian dilanjutkan oleh Raden Haji Abdullah Usman (1902—1945), lalu Raden Mohamad Isya (1945—1980), dan kini memasuki periode keempat tokohnya adalah Raden Agus Gaos (almarhum), Raden Muhammad Amin (almarhum) dan Raden Iyet Dimyati. Namun tokoh tersebut kini hanya tinggal Raden Iyet Dimyati.

16. Dampol Siburuk
Genre: Prosa
Suku: Batak Toba

Dampol Siburuk adalah cerita rakyat masyarakat Batak Toba, Sumatera Utara, yang menginspirasi penemuan pengobatan patah tulang ala urut burung butbut (dampol siburuk) dengan menggunakan sarang burung butbut sebagai ramuannya. Pada masa cerita rakyat ini masih hidup dan sering dituturkan, pengobatan patah tulang ala "dampol siburuk" pun masih dipraktikkan dalam mengobati patah tulang. Saat ini cerita rakyat tersebut tidak pernah lagi dituturkan, demikian juga praktik pengobatan “dampol siburuk” sehingga sudah dalam kategori hampir punah. Para seniman dan budayawan Batak Toba telah mengalihwahanakan cerita rakyat "Dampol Siburuk" ini menjadi seni pertunjukan. Badan Bahasa melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan telah merevitalisasi cerita rakyat "Dampol Siburuk" pada Agustus 2016 di Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

 

Sinopsis Dampol Siburuk

Sepasang induk burung butbut (pidong siburuk) bersama seekor anaknya yang belum dapat terbang, pada suatu pagi sedang bersuka ria. Ketika kedua induk burung siburuk itu pergi mencari makan, tinggallah sendiri anaknya yang masih kecil di sarangnya. Kemudian datang seorang penggembala dan melihat anak burung siburuk tersebut, dan timbullah niatnya untuk memiliki anak burung siburuk tersebut. Lalu dipatahkannya tulang sayap anak siburuk itu supaya kelak tidak bisa terbang. Setelah kedua induknya kembali ke sarangnya, mereka terkejut dan sedih melihat anaknya yang menderita patah sayap. Tidak lama kemudian, kedua induk burung siburuk itu terbang meninggalkan anaknya. Akan tetapi, tidak lama kemudian, keduanya kembali ke sarangnya. Mereka membawa dedaunan dan tetumbuhan seperti sipijor na ganggang, amos-amos, sigagaton ni hirik, dan tetumbuhan lainnya. Tetumbuhan itulah yang digunakan oleh kedua induk burung tersebut mengobati sayap anaknya yang patah. Kedua induk siburuk itu dengan sabar dan tekun membalut sayap anaknya yang patah dengan bermacam dedaunan. Tidak berapa lama pula, sayap patah anak siburuk itu pun sembuh. Setelah sembuh, keluarga burung itu pun kembali riang gembira. Karena anaknya sudah dapat terbang, keluarga burung siburuk itu terbang membawa anaknya meninggalkan sarang mereka dan tidak pernah lagi kembali ke tempat itu.

Tidak berapa lama kemudian si penggembala datang hendak memeriksa anak burung siburuk itu. Tetapi, alangkah terkejutnya dia karena anak burung siburuk itu tidak ada lagi di sarangnya. Ia hanya menemukan sarang kosong dengan beberapa macam dedaunan yang masih kehijauan namun mulai kering. Dengan penuh tanda tanya si penggembala mengambil sarang burung siburuk tersebut, lalu diserahkannya kepada seorang dukun pengobatan di kampungnya. Melihat dedaunan dan tetumbuhan itu, sang dukun pun senang hatinya, karena dedaunan seperti itulah yang dicari-carinya untuk digunakan mengobati orang yang patah tulang atau terkilir.

Sementara itu, sebagaimana kebiasaan di perkampungan Batak, pada malam hari di saat bulan terang, para gadis menari atau martumba di tengah halaman perkampungan. Pada saat mereka menari, salah seorang dari penari itu terjatuh hingga kakinya terkilir. Maka dibawalah si gadis itu ke dukun patah. Sang dukun pun mengobatinya dengan menggunakan dampol siburuk. Tidak berapa lama kemudian kaki gadis penari yang terkilir itu pun sembuh seperti sedia kala. Demikianlah cerita Dampol Siburuk.

Berdasarkan cerita Dampol Siburuk, orang Batak menemukan pengobatan patah tulang ala dampol Siburuk. Cerita ini meninggalkan pesan supaya melindungi satwa liar dan lingkungan hidup atau alam semesta. (Jonner Sianipar)

17. Gambang Rancag
Genre: Puisi
Suku: Betawi

Gambang rancag merupakan gabungan berbagai kesenian, seperti musik, sastra, dan teater. Kata rancag berarti irama cepat dan rancagan dapat juga diartikan penyajian lagu dan musik dengan irama cepat. Pengertian lain rancag, yaitu tuturan atau juga disebut pantun berkait (Sopandi, dkk., 1992: 16, dalam Meinindarto [2009]). Rancagan ini diiringi oleh musik gambang kromong dan gambang rancag itu sendiri memang berawal dari kesenian gambang kromong. Performa gambang rancag disebut "rancagan".  Di dalam rancagan diceritakan suatu kisah dalam format pantun berkait.

Gambang rancag merupakan bagian dari  tradisi lisan masyarakat Betawi pinggir yang letak pertumbuhannya di daerah Timur Jakarta berbatasan dengan  Depok dan Bogor. Namun, menurut Jali Jalut (seorang budayawan Betawi), awalnya kesenian ini justru berkembang di Kemayoran. Menurut Jalut, ia belajar dari mertuanya Pak Samad dan mertuanya tersebut belajar dari Pak Samsu di Kemayoran. Dari Kemayoran, gambang rancag kemudian  berkembang ke arah Jakarta Timur di sekitar Cijantung dan Pasar Rebo.

Dalam sejarahnya, menurut Yahya Saputra (2011), tradisi lisan ngerancag  diduga bermula pada akhir abad ke-19 jika dilihat dari tema ngerancag yang dibawakan, seperti Rancag Si Pitung dan Kramat Karem. Si Pitung diketahui tewas pada tahun 1894, sedangkan Kampung Kramat tenggelam sebagai akibat dari meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1881. Pendapat ini didasarkan pada argumentasi bahwa rancag dapat berfungsi sebagai kontrol sosial tidak secara langsung. Rancag dan cerita sohibul hikayat yang berkembang pada zaman Belanda digunakan oleh masyarakat untuk mengkritik pemerintah Belanda, tetapi dengan cara aman untuk menghidar dari penangkapan. Salah satu tema rancag adalah si Pitung.  Rancagan si Pitung adalah bagian dari kritik sekaligus transformasi nilai semangat perlawanan terhadap otoritas pemerintah Belanda.

Pada tahun 1911, menurut Yahya (2011), Toko DJIN VICH & Co (Loa Yoe Djin), Pancoran, Batavia, pernah menjual macam-macam versi atau judul rancag. Berbagai judul rancag ini menunjukkan bahwa pertunjukan tersebut pernah mengalami kejayaan. Judul-judul rancag yang dikemukakan oleh Yahya, misalnya:

  1. Rancak Roema Angoes Besar di Maoek, ka 1-6
  2. Rancak Sie Mioen (dengen Pake Gambang Piano dan Laen-laen)
  3. Rancak Nona Boedjang ka 1-4
  4. Rancak Orang Maen Kartoe ka 1-4
  5. Rancak Entjek A Kiong Mati Diboenoe ka 1-4
  6. Rancak Pa Bairah di Tamboen ka 1-6
  7. Rancak Si Pitoeng ka 1-4
  8. Rancak Orang Bersobat Sama Komedi Bangsawan ka 1-4
  9. Rancak Orang Dimadoe ka 1-2
  10. Rancak Orang Derep Keleboe ka 1-6
  11. Rancak Patima Mati Diboenoe ka 1-4
  12. Rancak Toekang Ketjrot di Betawi ka 1-4
  13. Rancak Anak Ajem ka 1-4
  14. Rancak Sang Kodok ka 1-2
  15. Rancak Roepa-roepa Boeroeng ka 1-2
  16. Rancak Djago Si Angkri ka 1-6
  17. Rancak Pa Tjenteng Soekain Mantoenja ka 1-4
  18. Rancak Orang Diboei Poenja Sangsara ka 1-4
  19. Rancak Toekang Sado Ditjela-tjelain ka 1-

Lagu-lagu rancagan yang dijual tersebut bisa jadi tidak menunjukkan jumlah sebenarnya rancagan, artinya banyak lagu-lagu gambang rancag yang tidak terdokumentasikan. Alat musik utama yang digunakan dalam penyajian gambang rancag adalah gambang, yaitu alat musik perkusi idiofon yang berjajar bilah kayu berjumlah antara 17 sampai dengan 21 bilah di atas sebuah wadah tempat menyimpan suara (resonator).

Musik Gambang Kromong

Gambang kromong merupakan musik yang mengiringi kesenian gambang rancag. Musik dalam tradisi lisan ini berfungsi sebagai penggugah suasana, membantu mengingat, dan menjaga keselarasan serta keseimbangan rasa. Musik gambang kromong terdiri atas gambang dan kromong--yang menurut Untung Yuwono dkk.(2011)--berasal dari perpaduan unsur budaya Cina dan pribumi. Unsur budaya Cina terlihat dari alat musik tehyan, kongahyan, dan sukong. Unsur budaya pribumi terliaht pada alat musik gendang, kempul, gong, gong enam, kecrek, dan ningnong. Menurut Meinindarto (2009) menjelaskan bahwa alat musik utama yang digunakan dalam penyajian gambang rancag adalah gambang.

Gambang merupakan alat musik perkusi idiofon yang menjajarkan bilah kayu berjumlah antara 17 sampai dengan 21 dengan pembagian bilah di atas sebuah wadah tempat menyimpan suara (resonator). Instrumen musik pengiring yang lain terdapat tiga buah alat musik dawai (kordofon) gesek yang bernama kong ahyan, tehyan, dan sukong. Ketiganya memiliki ukuran yang berbeda. Selain intrumen tersebut masih ada instrumen yang lain, yaitu gendang, suling, kecrek, gong, dan kromong (kemor). Gendang adalah alat musik membranofon yang menyerupai susunan gendang untuk karawitan Sunda, sedangkan suling seperti yang digunakan pada musik Melayu dangdut yang ditiup (aerofon) secara horizontal. Instrumen idiofon yang lain adalah kecrek dari beberapa lembar lempengan besi, gong, dan kemor yang memiliki gundukan logam yang berpencon.

Musik yang mengawali keberadaan gambang rancag ini dalam sejarahnya hanya dimainkan oleh golongan cina peranakan, tetapi kemudian mengalami intereksi kultural dengan masyarakat pribumi. Sama dengan rancag, gambang kromong awalnya juga berasal dari daerah Jakarta Pusat (kemayoran), tetapi kemudian tergusur ke pinggiran kota (Yuwono, 2011: 2).


18. Gorga Batak
Genre: Permainan Rakyat
Suku: Batak Toba

Gorga Batak adalah kesenian masyarakat Batak Toba yang hampir terancam punah. Gorga Batak adalah ukiran atau pahatan tradisional yang biasanya terdapat di dinding rumah bahagian luar dan bagian depan dari rumah-rumah adat Batak. Gorga ini dibuat dengan cara memahat kayu dan mencatnya dengan tiga macam warna, merah-hitam-putih. Ketiga warna ini disebut tiga bolit. Bahan Gorga ini biasanya adalah kayu lunak yang mudah dikorek/dipahat. Kayu ungil atau kayu ingul menjadi pilihan yang tepat oleh nenek moyang Orang Batak. Kayu Ungil ini mempunyai sifat yang kuat, tahan terhadap sinar matahari langsung dan terpaan air hujan sehingga tidak cepat rusakatau lapuk. Kayu Ungil ini juga biasa dipakai untuk pembuatan kapal di Danau Toba. Jenis kayu ini jugalah yang menjadi pilihan para pengrajin kayu di daerah Tuk-tuk. Selain kayu ingul, pengrajin kayu di daerah ini juga menggunakan kayu humbang.

Gorga Batak diinformasikan bukan sekedar hiasan, tetapi memiliki penuh makna. Arti motif mencerminkan falsafah maupun pandangan hidup orang Batak yang suka musyawarah, gotongroyong, suka berterus terang, sifat terbuka, dinamis dan kreatif. Mengukir gorga ada tekniknya dan dibutuhkan kesabaran dan kehati-hatian, disamping perlu menguasai bentuk alat-alat ukir maupun segi pengelolaan. Gorga bisa dibuat dengan teknik ukir yang menggunakan pisau tajam, dengan alat pemukul dari kayu, ada juga yang dilukis dengan menggunakan bahan yang diolah sendiri dari batu-batuan, arang, getah pohon, dan sebagainya.

Tim Peneliti

19. Hoyak Tabuik
Genre: Pertunjukan
Suku: Minang
Hoyak Tabuik merupakan upacara peringatan kematian Hasan dalam pertempuran di Bukit Karbala. Setiap tanggal 10 Muharram, masyarakat Padang Pariaman memperingatinya dengan sangat megah. mereka membuat Tabuik yang berbentuk kepala manusia dan bertubuh burung Buraq. Hiasan yang megah itu juga dilengkapi dengan berbagai pernak-pernik lainnya pada tabuik itu. Pembuatan tabuik juga melewati beberapa prosedur seperti maambiak tanah, membuat tabuik, dan lain-lainnya. prosesi Hoyak Tabuik berlangsung sepuluh hari. Tabuik itu di arak berkeliling kota bernama arak Tabuik sebelum di adu. Tabuik di arak menuju pantai Gandoriah, tempat tabuik itu di buang ke laut setelah di preteli semua benda-benda berharga yang ada pada tabuik. mereka memperebutkan untuk disimpan sebagai benda yang dipercaya akan menjaga diri, meningkatkan usaha, dan lain-lainnya.
20. Murtado Macan Kemayoran
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Betawi
Murtado merupakan cerita Betawi yang lebih kepada kesantunan orang yang berilmu tinggi dan hidup berkecukupan. Dia digambarkan sebagai sosok yang sangat sopan dan rendah hati. Akan tetapi sangat membenci keburukan yang dilakukan Belanda kepada masyarakat sekitarnya. Dia melakukan pembelaan terhadap orang-orang miskin dengan diam-diam. Dia menjaga rakyat dari jagoan-jagoan yang menyiksa dan memeras masyarakat sekitarnya.
21. Puang Ri Maggalatung
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Makassar
Cerita ini merupakan cerita rakyat Wajo. Di dalam Lontarak disebutkan bahwa Puang Ri Magallatung bernama asli La Taddang pare Puang Ri Maggalatung merupakan orang yang cerdas dan ahli pikir dan ahli strategi perang pada masa itu. sejak kecil sudah terlihat bakatnya dan sangat dimanjakan. Dia sering membuat onar dan mengganggu orang Palakka. Ketika dewasa dia meninggalkan Bone dan menghanyutkan pakaiannnya di sungai sebagai cara membuang perangai buruknya. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Wajo.kemudian menjadi raja di suku Wajo dan dianggap sebagai asal-usul suku Wajo
22. Randai
Genre: Drama
Suku: Minang

Di Minangkabau, Randai merupakan kesenian pamenan rang mudo (permainan anak muda). Randai adalah suatu bentuk kesenian lama, yang dapat juga dikatakan seni drama, tari, dan suara khas Minang.Dikatakan “drama” karena suatu “kaba” yang dipertunjukkan diperankan oleh pelakunya melalui gerak (action). Antarwacana dialog), semita (mimic). Ada pula dimulai dengan sejenis prolog, sekali-kali berisilkan prolog.

Suatu kesenian tradisi yang hidup di Minangkabau sudah ada sejak lama, sejak antarkomunitas dari satu nagari dan nagari lain bersosialisasi. Pola melingkar dengan penonton/penikmatnya mengelilingi permainan randai telah menyatukan dan membaurkan antara penonton dan pemain. Di dalam suatu pertunjukan randai, ditemukan berjenis kesenian yang khas seperti; seni suara (dendang/gurindam), musik (saluang, talempong, dan gendang), gerak (akting, pencak, tari, dan galombang), serta sastra/cerita atau kisah (dialog, joke/komik, dan monolog.  

Dikatakan ;karena pertunjukan dimaksud dibuka dengan bunyi-bunyian asli, seperti alat tiup (pupuik gadang, dan/atau alat pukul (talempong atau gandang), sedang tiap-tiap adegan dalam permainan diisi dengan dendang oleh para pembantu (figuran).Dikatakan”tari” karena dendang disertai serentak dengan langkah gerak pencak yang kadangkala dibungai dengan gerak jari tangan ( M. Rasyid Manggis. 1980: 20).

Seperti juga kesenian tradisi lainnya, tidak ada catatan pasti yang menyebutkan kapan randai lahir. Namun dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa randai tercipta dan dimainkan oleh anak-anak muda di suatu sasaran atauperguruan silat. Pada mulanya, anak laki-laki di Minangkabau harus mampu membela diri dengan mempelajari ilmu beladiri yang disebut silat. Gerak-gerak silat, yang disebut juga pancak (pencak) bila dilakukan pengulangan terasa cukup ritmis dan dinamis sehingga kalau distilir akan nampak lebih indah, bahkan menyerupai suatu tari. Lalu, gerak-gerak tersebut dilakukan secara melingkar yang terkadang membentuk rantai pertanda kekompakan. Semua pemain mengenakan celana latihan silat yang disebut galembong sehingga ketika celana galembong tersebut ditepuk secara serentak akan menimbulkan bunyi yang khas, bagaikan deburan ombak di pantai.

Legaran adalah gerakan melingkar kemudian diisi dengan dendang gurindam yang diikuti oleh musik; saluang, talempong, pupuik batang padi, dan gendang. Oleh pangkatuo (pelatih silat) legaran tersebut diisi dengan kaba (cerita rakyat) yang sudah ada sebelumnya. Umumnya cerita rakyat yang dimainkan ialah cerita-cerita menarik yang menyampaikan pesan atau “perumpamaan” sehingga masyarakat peminatnya menyebutnya sebagai suatu pertunjukan barandai, berandai, atau beramsal.

            Bila ada cerita, maka tentu ada tokoh/pemerannya. Pemegang peran dalam suatu randai ditentukan oleh pangkatuo randai karena dialah yang mengetahui setiap karakter dan kemampuan bersilat setiap pemainnya. Pemeran utama misalnya, haruslah orang yang memiliki vokal yang lantang dan mantap. Dia haruslah seorang pendekar yang mahir balabek (gerak khas pesilat, pandangan mata, dan seluruh geraknya memperlihatkan kewaspadaan).

            Karena umumnya latihan randai dilaksanakan pada malam hari (usai salat Isa), maka tentu tokoh perempuan dalam suatu cerita terpaksa dimainkan oleh laki-laki karena perempuan di Minangkabau tidak diperbolehkan ke luar malam harri. Itu sebabnya –pada mulanya- semua pemain randai adalah laki-laki. Tokoh perempuan diperankan oleh laki-laki yang suaranya mirip suara perempuan, bahkan diberi pakaian perempuan dan umumnya mengenakan kacamata hitam. Maka jadilah ia suatu pertunjukan di suatu arena. Cerita rakyat yang dimainkan umumnya menjadi ciri khas bagi suatu grup randai, bahkan sekaligus menjadi nama grup randai yang memainkannya, seperti: Kaba Anggun Nan Tongga, Cindua Mato, Sabai Nan Aluih, dan seterusnya.

            Karena randai dimainkan di arena yang melingkar, maka pergantian adegan disampaikan dalam dendang menggiring imajinasi setiap penontonnya ke suatu tempat peristiwa berlangsung yang kemudian diperkuat oleh dialog antarpemain. Itulah sebabnya, tokoh teater modern kemudian menyebut randai adalah suatu pertunjukan teater tradisi yang absurd. Pertunjukan randai yang absurd tersebut oleh kalangan pemerhati seni pertunjukan disebut sebagai suatu Pertunjukan Teater Tradisi yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Tokoh teater Indonesia yang berdomisili di Padang, Wisran Hadi mencoba merombak pola randai ini dalam setiap pementasan teaternya, bahkan cerita/kisah yang dimainkan pun ia tulis dalam bentuk teks, untuk memudahkan pemain menghafal dialog dan mengenal karakter penokohannya.

Randai disebut suatu pertunjukan absurd karena setiap pertunjukannya selalu ada adegan atau dialog yang tidak logis, namun ternyata mampu menggiring imajinasi penontonnya ke arah yang nyata hanya dengan suatu dendang pengisah dan peralihan setting. Misalnya, dikisahkan tokoh utama pergi ke dalam hutan, maka dengan seketika ia sudah ada dalam hutan. Padahal, tempatnya masih di sana. Juga dalam akting atau dialog diceritakan seseorang mati terbunuh, lalu tokoh yang mati itu tiba-tiba bangkit kembali dan ikut dalam legaran galombang. Perubahan adegan atau babakan tidak dilakukan dengan mengganti setting, atau cahaya lampu, atau mengganti kostum, melainkan cukup dengan gurindam yang dibawakan dalam legaran (galombang).

            Gerak dasar dalam galombang yang melingkar (juga merupakan frame atau panggung) ialah bunga-bunga silat yang disebut pancak (pencak) yang distilirisasi menjadi gerak yang indah. Beberapa gerak pencak tersebut juga menjadi gerak akting yang dominan bagi setiap tokoh cerita dalam pengisahannya.

            Hampir semua gerak dalam pertunjukan randai berasal dari bunga-bunga silat. Baik dalam galombang (legaran) yang berfungsi sebagai pengganti adegan, babakan yang diikuti dengan dendang gurindam sebagai pengantar cerita berikutnya, maupun dalam dialog atau akting. Seperti juga bentuk kesenian lainnya yang berawal dari kiasan dan perumpamaan yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk musik, tari-tarian, dendang saluang, gurindam, dan lain sebagainya.

23. Ritual Nyobeng
Genre: Pertunjukan
Suku: Dayak Bidayuh

Ritual Nyobeng adalah tradisi yang masih bertahan dan masih dilakukan oleh masyarakat Suku Dayak Bidayuh di daerah Kampung Sebujit, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Ritual Nyobeng berasal dari kata Nibakng atau Sibang yang merupakan kegiatan ritual yang besar dan tidak sembarangan. Dalam prosesinya, ritual ini memandikan atau membersihkan tengkorak manusia hasil mengayau oleh nenek moyang suku Dayak Bidayuh. Ada dua pengertian Nibakng, yaitu pertama Nibakng ini merupakan kegiatan tahunan yang paling besar sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tipaiakng (dalam bahasa suku Dayak Bidayuh), atas berkat panen padi yang diterima masyarakat suku Dayak Bidayuh. Kedua merupakan ritual untuk menghormati kepala manusia hasil mengayau  (memenggal kepala manusia dan diawetkan). Tetapi intinya adalah ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa (tipaiakng), atas berkat panen padi yang melimpah.

Proses ritual ini dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertam,  ritual di mulai pukul 04.00 subuh, bertempat di rumah Baluk di pimpin oleh ketua adat. Ritual pertama ini disebut dengan Paduapm yang artinya memanggil atau menggundang roh-roh para leluhur untuk datang dalam ritual Nyobeng dan sekaligus memohon izin atas ritual yang akan dilaksanakan. Tahapan kedua adalah penyambutan tamu. Ritual penyambutan tamu dilaksanakan, ketua adat telah siap dengan sesajian yang dibawanya. Tetua adat melemparkan anjing ke udara, dengan Mandau, pihak kedua tamu rombongan harus menebasnya dengan Mandau hingga anjing itu mati, jika masih hidup harus dipotong begitu jatuh ketanah. Prosesi juga dilakukan untuk ayam, ketua adat melemparkan ayam ke udara, dan pihak ketiga rombongan tamu harus menebas ayam itu dengan Mandau sampai mati. Kemudian dilanjutkan dengan melemparkan telur ayam ke rombongan tamu undangan yang dilakukan oleh tetua adat perempuan, jika telur ayam tidak pecah, maka tamu undangan yang datang di anggap tidak tulus, sebaliknya jika pecah di badan bearti tamu undangan datang dengan ikhlas. Beras putih dan kuning dilempar sambil membaca mantra. Para gadis lalu menyuguhkan tuak. Usai minum, rombongan tamu diantar menuju rumah Baluk. Sambil berjalan menuju rumah Baluk, para tetua adat berjalan paling depan sambil menari dan diiringin musik untuk mengiringi rombongan tamu sampai ke rumah Baluk, ada yang berseru-seru.

Saat masuk tempat upacara ritual, rombongan diberi percikan air yang telah diberi mantra dengan daun anjuang, yang berfungsi sebagai tolak bala. Tujuannya agar para tamu terhindar dari bencana. Ketika masuk depan area rumah Baluk tempat upacara, para tamu harus menginjak buah kundur dan batang pisang yang telah di belah disimpan dalam baskom. Ritual ini lebih dikenal dengan ritual pepasan. Bersama warga dan tetua adat, para tamu kemudian menari tari simaniamas sambil mengitari rumah Baluk. Maniamas adalah tarian untuk menyambut dan menghormati para pembela tanah leluhur yang baru datang dari mengayau. Sambil diiringin tetua-tetua adat dengan bernyayikan lagu dan berseru-seru beberapa kali dan sambil membaca mantra-mantra. Ketua adat dan para tetua adat lainya masuk ke rumah Baluk. Pembukaan acara ritual Nyobeng dilakukan dengan pemukulan sibakng sebanyak tujuh kali sebagai tanda dimulainya ritual Nyobeng, di rumah Balu.

Ritual dimulai dengan memotong kepala anjing dan ayam di bawah rumah Baluk. Ayam akan diambil darahnya dan anjing akan diambil kepalanya untuk sesajian kepada para leluhur. Setelah itu dilanjutkan dengan tari-tarian dan menari bersama-sama masyarakat, para tamu, dan tetua adat dengan diiringi musik, yang disebut dengan musik simaniamas yaitu, musik santai dan persahabatan. Musik dan tari-tarian ini merupakan ritual sebagi pengantar ke ritual intinya memandikan tengkorak kepala manusia hasil mengayau. Dua setengah jam lamanya masyarakat menari dengan iringan musik simaniamas, sekitar pukul 21.30 WIB, ketua adat Bpk. Amin sebagai pemimpin upacara ritual memandikan tengkorak dan beberapa para tetua adat naik kerumah Baluk dengan pakaian lengkap kain merah, berkalung manik-manik dari taring binatang, ikat kepala, dan dengan Mandau di tanggan. Seekor babi yang lumayan besar terikat pada sebatang kayu, siap untuk di jadikan kurban.

Tim Peneliti : Adelbertus

24. Ronggeng Deli
Genre: Pertunjukan
Suku: Melayu Deli
Ronggeng Deli kental akan nuansa Melayu, namun seni tari ini juga mendapat pengaruh dari Portugis, terlihat dari penggunaan alat musik Akordion dan Biola. instrumen biola dan akordion memperlihatkan pengaruh Portugis yang menduduki Malaka pada abad ke-16. Ronggeng Deli merupakan cikal bakal dari Tari Serampang Dua Belas. Pembeda Ronggeng Deli dengan Ronggeng Jawa adalah seni berbalas pantun yang menjadi ciri khas orang Melayu. Mungkin ini akan menjadi catatan yang lain kenapa disebut ronggeng bukan joget sebagai bentuk Melayu. Formasi Ronggeng Deli terdiri dari lima orang pengiring lagu dan tiga pasangan penari sekaligus penyanyi pada pertunjukan Ronggeng Deli. Namun seiring berkembangnya zaman, pelaksanaannya dapat diikuti lebih dari tiga pasang penari. Ketiga pasangan saling berbalas menari dan bernyanyi diiringi oleh musik pengiring khas Melayu. Kemudian pasangan tersebut akan saling berbalas pantun yang berisi tentang kisah cinta, kehidupan, dan juga rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Walaupun dilakukan berpasangan, Ronggeng Deli tidak memperbolehkan lelaki dan perempuan bersentuhan. Mereka hanya menari, bernyanyi, dan berbalas pantun. Mereka menari dengan menggunakan sehelai selendang dan bergembira tanpa saling menyentuh. Hal ini karena Deli merupakan Melayu yang aturan agama sangat dipegang sebagai tuntunan dalam melangkah.
25. Royong
Genre: Puisi
Suku: Makassar
"

Royong, jenis sastra tutur masyarakat Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Asal-usul Royong diyakini dilantunkan oleh para dayang ketika mengiringi turunnya Tumanurung (atau Tomanurung) dari khayangan ke bumi Gowa yang waktu itu diperintah oleh Raja Karaeng Bayo, Raja Gowa pertama. Dalam mitologi masyarakat (suku-suku) di jazirah Sulawesi Selatan, Tumanurung selalu muncul secara tiba-tiba tanpa pernah diketahui asal-usulnya, padahal kehadirannya selalu membawa perubahan pada masyarakat masa itu. Ketika Tumanurung yang kemudian dinamai Putri Tamalate menikah dengan Raja Gowa, Royong dilantunkan kembali dalam pesta perkawinan tersebut oleh dayang-dayang Putri Tamalate. Begitu juga setelah lahirnya anak Putri Tamalate dan Karaeng Bayo yang diberi nama Karaeng Tumasalangga Baraya. Setelah itu barulah dayang-dayang Putri Tamalate kembali ke langit. Royong sebagai tradisi lisan Gowa saat ini ditampilkan dalam upacara adat siklus hidup manusia (kelahiran, sunatan, perkawinan, meninggal), syukuran rumah baru, bahkan naik haji, dan sebagainya. Royong dipandang sakral dan hanya boleh disampaikan oleh perempuan; tidak boleh oleh laki-laki. Royong dilagukan oleh seorang perempuan yang disebut paroyong (pelantun royong) walaupun tidak mempunyai notasi, diiringi musik tradisional ganrang (gendang) dan puik-puik (terompet). Penampilan Royong diawali ritual dengan delapan macam sajian: leko sikabba (daun sirih dan kapur, rappo sikabba atau buah pinang), tai bani (lilin merah), uang, padupang (bara membakar kemenyan), beras si gantang (beras 4 liter), gula merah dan buah kelapa utuh, kain putih, dan tembakau (rokok). Saat ini Royong dalam kondisi terancam punah baik dari segi penampilannya maupun pewarisannya. Masyarakat lebih senang menanggap organ tunggal. Syair Royong mengandung doa untuk keselamatan hidup.

 

Contoh teks Royong:

 

Lolo Bayo

 

Iyo, Iye, baji padaeng, bukkarrang bawana

Sassang padaeng, bukkarrang bawana

Roya padaeng, parimba topena

Pale padaeng, pakampo bidakna

Panaik matanna,

Namatekne pakmaikna, nabuak sigarana

Lape padaeng, pallajang rengganna

Bokboki daeng,

Toknok padaeng, niak gading ri limanna

Cinna padaeng, paranna malolo

Tamaloloko siseppe

Nusipoke poke genrek

Nusitabbak rappo lolo

Nusitanroi kana

Nusikaik kido kannying

Anrong antemo anne kamma

Niak rua pannggainna

Natumaneng magarring

Makjeknek masalloe

namanaik maberue

Kuntu memang maloloa

Turukiangna cinna sikacinnaiya

* * *

Terjemahan:

Iyo, iye, berikan segalan yang baik Daeng, lalu bukalah mulutnya

Limpahkan kasih sayang Daeng, lalu bukalah mulutnya

Roya Padaeng, bukakan selendangnya

Kuatkan ikatan sarungnya

Bukalah penglihatannya

Agar gembira hatinya, agar terbuka jalan yang luas

Lubangilah daeng (merujuk pada lasugi)

Lihatlah daeng, ada gading di pergelangan tangannya

Keinginannya Daeng, pada orang yang sepadan

Tidak mudah berselisih

Tidak mudah saling bertikai

Saling berbagi makanan

Saling mendengar

Saling memberi isyarat

Lalu orang tuanya

Menyayangi keduanya

Tidak mudah terkena penyakit

Senantiasa membersihkan diri

mendatangkan

Demikianlah jiwa muda

Mengikuti pandangan dan keinginannya

 

Rekrasa (untuk keturunan raja)

 

Iyo, iyo tunimalo

Daeng massaile sakik

Apa daeng lakikana

Meneki sallang ri banngia

Tena tau ri ballakku

Lonna kekbuki numene

Punna bosi namenea (nataba lallunga)

Lonna mannginrangki laklang

Lonna tena inrannganna

Namakjekneki salloe

Namanaik maberue

Niakja daeng tope ri ballakku

Punna sekreja kijuluk

Kuntu memang maloloa

Turukianna cinna sikacinnaiya

* * *

Terjemahan:

Iyo, iyo, wahai orang yang lalu lalang

Wahai Daeng sudilah melirik

Apa yang hendak diucapkan

Hendak mampir di malam hari

Tidak ada orang di dalam rumah

Jika pintu tertutup

Jika hujan telah singgah

Hendaklah meminjam naungan

Meski tak mudah meminjamnya

Semua akan ada jalannya

Untuk mendapatkannya

Daeng, ada selendang dalam rumahku

Jika kita sepadan

Sudah demikian orang muda

Mengikuti padangan dan keinginnanya

* * *

Cui

 

Cui battumako mene (kalau bukan karaeng tidak pakai mene)

Nurikbakkang cui lolonna

Bonena uli battanna

Na sikuntumo numera

Nu tea makjeknek mata

Namatekne pakmaiknu

* * *

Terjemahan:

Wahai Cui datanglah engkau

Bawalah terbang hal yang buruk

Yang tak baik dari tubuhnya

Karenanya tak perlu bersedih hati

Tak usah menangis

Bergembiralah (bahagialah) selalu

* * *

Cui

 

Cui mene, cui mene

Battu laukmi anjo mae

Assaraung dompa-dompa

Assulampe sulendangna

Mene situtung-tutung

Akrikbakmi anraik

Riallakna Serok na pakbineang

Namaklete suluk

Ri poeng pangke lompona

Nakarukrusangi lekok

Nakatantangangi bunga

Namatukgurukmo naung

I balo mate nibuno

Mate niboka battanna

Mate nitattak bongganna

Na niallemo cerakna

Nipacerak nipakballe pakballena kina lolo

Nutea rera

Nutea makjeknek mata

 

Terjemahan:

Cui datang, cui datanglah

Datanglah dari barat

Memakai caping dompa-dompa(?) untuk laki-laki

Berselempang selendang (perempuan)

Datang dengan banyak orang

Lalu terbang ke timur

Antara Sero dan pakbineang

Lalu pindah ke luar

Pada tangkai batang besarnya

Lalu gugur daun

Kemudian muncul bunganya

Lalu jatuh ke bawah

I Balo mati terbunuh

Mati dengan perut tertombak

Mati dengan paha terbelah

Lalu darahnya diambil

Menjadi obat awet muda

Agar kau tak bersedih

Agar tidak berlinang air matamu

*****

Royongna Karaengta Bontolangkasa

(untuk pengantin dan sunantan)

Pakja padaeng tau numaloe

Sassa padaeng bukkarrang bawana

Bajik padaeng parimba topena

Tekne padaeng panaik sigarakna

Lape padaeng buakkang matana

Pale padaeng pakampo bidakna

Toknok padaeng gading ri limanna.

Roya padaeng pallajang rengganna

Cinna padaeng parannu malolo

Malolo kuseppe

Nusikaik kaeroki

Bukbuki daeng rinring ri juluna

Nasipoke poke genreng

Nusitabbak rappo lolo

Nu sikaik-kaik tope

Kuntu memang maloloa

Turukianna cinna sikacinnaiya

Sikuntumi numera

Namatekne pakmaiknu

* * *

 

Terjemahan:

Senang daeng, orang yang lewat

Sassa Padaeng, bukalah mulutnya

Baiklah daeng bukalah selendangnya

Bahagialah Daeng, luaskan jalannya

Mari Daeng bukalah matanya

Mari Daeng kuatkan ikatan sarungnya

Lihatlah Daeng ada gading di pergelangan tangannya

Bahagialah Daeng palajjang rengganna

Berbahagialah Daeng dengan sesama

Saling menaruh hati

Lihatlah yang pantas bagimu

Saling berbagi perasaan

Saling bertukar rappo lolo(?)

Saling mengikat selendang

Demikianlah jiwa muda

Mengikuti pandangan dan keinginannya

Karena itu jangan bersedih

Bahagiakanlah hatimu"
26. Salawat Dulang (Talam)
Genre: Prosa
Suku: Minangkabau

Dalam sastra rakyat Minangkabau, pengertian Salawat Dulang adalah penceritaan cerita tentang kehidupan Nabi Muhammad, cerita yang memuji Nabi Muhammad, atau cerita yang berhubungan dengan persoalan agama Islam dengan diiringi irama bunyi ketukan jari pada dulang atau piring logam besar itu. Salawat dulang berkembang hingga saat ini. Dari dulunya yang hanya tampil dua orang (satu klub) untuk menyajikan buah kaji, selanjutnya salawat dulang ditampilkan oleh empat orang (dua klub) yang masing-masing membawakan buah kaji yang mereka kuasai. Lama-kelamaan berkembang pula menjadi kompetisi uji kemampuan dengan cara saling mengajukan pertanyaan dan menjawabnya. Penyajian salawat dulang juga berkembang dengan adanya pembahasan berupa masalah-masalah yang sedang berkembang di dalam masyarakat. Bahkan, di daerah Kamang-Agam, pernah terkenal “Hikayat Perang Kamang” yang merupakan cerita sejarah, yang berbeda dengan pembahasan ajaran-ajaran Islam. Namun begitu, salawat dulang tetap tidak meninggalkan aspek-aspek ajaran Islamnya, salah satunya dengan membaca salawat di awal pertunjukannya.

Irama lagu yang digunakan untuk mengiringi pendendangan teks salawat dulang juga berkembang. Dulu ketika tradisi ini berkembang di daerah Malalo, irama yang digunakan adalah “Lagu Malalo”. Sekarang berkembang ada seperti “Lagu Solok” di Solok, “Lagu Salayo” di Salayo, “Singkarak Manangih”, dan sebagainya. Sehingga, irama salawat dulang sangat beragam dan seringkali menunjukkan kekhasannya masing-masing di tiap daerah. Saat ini, irama lagu yang digunakan juga tidak terbatas hanya kepada lagu-lagu khas daerah Minang. Tetapi juga irama lagu pop, dangdut, bahkan belakangan mulai ada irama lagu-lagu tradisional dari daerah lain di Indonesia, seperti “Es Lilin” dari Sunda, dan “Butet” dari Batak.

Struktur lagu (teks) salawat dulang adalah sebagai berikut.

  1. Katubah (khotbah). Teks bagian khotbah ini terdiri dari:
    1. Imbauan Katubah (Himbauan khotbah). Isinya adalah rangkaian bunyi vokal seperti akan memanggil orang untuk datang dan mendengar salawat tersebut seperti bunyi “a…, ai…, oi…atau ei…”.
    2. Katubah (Khotbah), yaitu bagian yang berisi salam pembuka assalamua’alaikum
  2. Lagu Batang, yaitu bagian yang pendendangannya sudah mulai berirama sambil menabuh dulang. Pada bagian ini tukang salawat menyampaikan identitas tukang salawat yang tengah tampil.
  3. Yamolai. Teks ini adalah bagian yang memuja dan memuji Allah dan Rasulnya dengan kata Yamolai untuk nabi Muhammad, dan Ya Ilallah untuk Allah SWT. Selain itu, pada bagian ini juga ada permintaan maaf sebelum memulai pengajian.

Teks Yamolai ini dibagi lagi menjadi yamolai I dan yamolai II. Pada Yamolai I, tukang salawat mendendangkan kata “yamolai” dan “ilallah” hanya satu kali di akhir bait. Sedangkan pada yamolai II, kata “yamolai” dan “ilallah” didendangkan dua kali di akhir bait.

  1.  Lagu Cancang. Teks bagian ini adalah bagian inti dari keseluruhan teks. Lagu cancang ini juga terdiri dari beberapa bagian yang disebut frasa.
    1. Frasa 1, pengantar, berisi sedikit penjelasan mengenai masalah agama yang akan dibahas selanjutnya. Bagian ini juga biasa disebut lagu peralihan.
    2. Frasa 2, buah atau isi. Bagian ini berisi pengajian mengenai suatu masalah agama.
    3. Frasa 3, menjawab pertanyaan. Pada bagian ini ada jawaban pertanyaan dari grup sebelumnya. T
    4. Frasa 4, memberikan pertanyaan. Pada bagian ini grup yang sedang tampil memberikan pertanyaan untuk grup yang akan tampil sesudahnya.
    5. Frasa 5, tambahan atau hiburan. Teks ini isinya bebas dan cenderung menghibur.
  2. Penutup, yaitu teks yang mengakhiri penampilan. Kadang bagian ini berupa pantun dan permintaan agar grup selanjutnya memberikan pengajian yang bagus dan penampilan yang seru.

 

Tim Peneliti : Eka Meigalia, S.S, M.Hum

27. Serentaun
Genre: Pertunjukan
Suku: Sunda

Serentaun merupakan salah satu budaya lokal dalam bentuk upacara yang biasanya diselenggarakan oleh masyarakat berbasis agraris sebagai rasa syukur atas hasil bumi yang telah dilimpahkan kepada mereka. Namun, pada masa sekarang, Serentaun menjadi bagian dari produk industri di sektor pariwisata. Upacara Serentaun memiliki pengaruh Sunda Wiwitan, agama Budha, dan agama Islam. Serentaun Rekonsstruktif atau upacara yang dijadikan pariwisata tersebut diadakan selama 4 hari berturut-turut.

Anis Djatsunda (2007) menjelaskan, Serentaun merupakan ekspresi rasa terima kasih  yang ditujukan pada Tuhan Sang Hyang Tunggal yang diadakan pada tutup tahun dan menjelang tahun baru agar kehidupan bertambah baik. 

Tim Peneliti : Dina Amalia Susamto


28. Si Jampang Jago Betawi
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Betawi
Cerita rakyat ini bercerita tentang seorang Jawara yang berasal dari Jampang Sukabumi. Dia dibesarkan pamannya yang tinggal di daerah Grogol Depok. Dia rajin belajar silat dan ilmu kebatinan dari gurunya yang berasal dari Cianjur. Si Jampang digambarkan sebagai anak yang rajin dan cerdas. Setelah dewasa dia menjadi orang yang melakukan perampokan terhadap orang-orang kaya dan sebagian hasilnya dibagikan kepada rakyat yang lemah dan miskin. Si Jampang dianggap sebagai orang yang sangat penolong. Ketika istrinya meninggal maka dia ingin menikahi Mayangsari, istri sahabatnya yang sudah meninggal akan tetapi niatnya itu ditolak oleh Mayangsari. Si Jampang menggunakan cara yang tidak baik untuk menaklukkan Mayangsari sehingga Mayangsari tergila-gila padanya. Ketika Si Jampang menyanggupi persyaratan untuk menikahi Mayangsari, dia melakukan perampokan di rumah Haji Saud di Bekasi. Akan tetapi ketika perampokan itu berhasil dilakukannya, dia dikepung polisi Belanda yang bersenjata lengkap. Si Jampang menyerah dan kemudian dijatuhi hukuman mati.
29. Sinrilik
Genre: Pertunjukan
Suku: Makassar
sinrilik merupakan tradisi lisan bercerita dari Sulawesi Selatan. Sinrilik merupakan alat musik gesek yang terbuat dari tali gesok-gesok. Sinrilik merupakan alat bercerita tentang kehidupan masyarakat, terutama tentang asal-usul, sejarah, dan kebesaran raja Gowa. Pada masa dahulu, pesinrilik dilengkapi dengan mantra dan azimat untuk kelancaran pertunjukan dan membuat suaranya tetap menarik bernama Cemangrara.
30. Sohibul Hikayat
Genre: Pertunjukan
Suku: Betawi

Sohibul Hikayat merupakan seni tradisional pertunjukan tutur yang dibawakan oleh pencerita daerah Betawi yang berasal dari Timur Tengah. Pencerita Sohibul Hikayat disebut sebagai tukang cerita, juru cerita, dan atau juru hikayat dan mereka harus mahir menyampaikan pesan melalui ekspresi suara. Selain itu, mereka biasanya menampilkan pertunjukan yang dibawakan dalam bentuk prosa dalam suatu perayaan keagamaan, seperti Maulid Nabi dan tahun baru hijrah atau perayaan daur hidup, seperti kelahiran, sunatan, dan pernikahan. Sohibul Hikayat dipentaskan dengan cara mendongengkan cerita-cerita yang umumnya kental dengan nilai religi dalam kehidupan. Pada masa ini, cerita lisan Sohibul Hikayat semakin kritis dan untuk mempertahankannya, karya lisan tersebut kebanyakan sudah diturunkan menjadi karya tulisan berupa teks.


Tim Peneliti : Rohim dkk.

31. Tanggomo
Genre: Puisi
Suku: Gorontalo

Tanggomo adalah salah satu ragam sastra lisan dari Gorontalo yang pada masa jayanya, memiliki fungsi membawakan berita(aktual) suatu peristiwa di suatu tempat yang diubah dalam bentuk larik-larik puisi yang dinyanyikan. Selain membawakan fakta yang informatif , tentu saja bentuk puisi yang dinyanyikan itu dapat menghibur khalayak. Tidak hanya berisi berita, konten Tanggomo juga banyak mengisahkan cerita-cerita imajinatif, juga narasi sejarah.  Di masa kini Tanggomo masih dipentaskan meskipun frekwensiya tidak seperti masa tahun 1990-an. Fungsi membawakan berita telah digantikan oleh media massa audio-visual, cetak, dan daring. Banyak masyarakat yang tidak lagi menanggap Tanggomo. Memudarnya frekwensi pertunjukan itu membuat popularitas Tanggomo juga sangat berkurang. Tidak hanya itu, pemahaman masyarakat Gorontalo yang sudah jarang menggunakan bahasa Gorontalo juga menjadi penyebab kurang pahamnya generasi muda pada seni tutur tersebut. Padahal Tanggomo di dalamnya berisi norma-norma masyarakat, pengetahuan lokal, dan refleksi terhadap realitas yang terjadi pada masyarakat Gorontalo.

t

Tanggomo merupakan puisi naratif meskipun bentuknya dalam bait-bait serta dinyanyikan seperti pantun. Jumlah baris-baris tidak sama antara satu cerita dengan cerita yang lain. Ada yang dalam satu bait berjumlah empat baris, ada pula yang lebih dari empat. Tiap-tiap baris berakhir dengan kata yang berbunyi sama atau berima. Nani Tuloli (1990:68-69) mengatakan perbedaan antara Tanggomo dan Pantun yaitu pada pantun digunakan bahasa campuran antara Goorntalo dan Melayu manado. Pantun juga lebih mementingkan curahan hati atau perasaan. Tanggomo lebih mementingkan peristiwa atau kejadian. Perbedaan utama antara Tanggomo dan pantun adalah hubungan bagian-bagiannya. Pada Tanggomo hubingan bagian itu berurutan karena menceritakan peristiwa, sedangkan pantun hubungan antar bait merupakan bagian dari ide, rasa yang dipadu.

Komposisi Tanggomo

Tanggomo terdiri dari judul dan jalan cerita. Satu cerita Tanggomo biasanya dibuka dengan kata Bisimillah. Setelah pembukaan kemudian rangkaian plot dalam irama. Tuloli mengatakan (1990: 83) Urutan episode dimulai dari awal sampai akhir peristiwa, tetapi ada juga bagian yang diulang. Plot yang dibawakan linier.

            Perpindahan episode diberi tanda berhenti sesaat sebelum masuk ke episode berikut. Tanggomo yang disertai dengan alat musik, bagian perhentian ini dipakai untuk memainkan instrumen. Sedangkan pada Tanggomo tanpa alat musik, jeda digunakan untuk menarik nafas.

Menurut Tuloli, Tanggomo dengan tema yang sama sering berubah pada saat dipentaskan pada waktu dan tempat yang lain. Dalam sastra tutur hal itu bagian dari dinamika sastra lisan yang sering berhubungan dengan konteks pada saat cerita dibuat.

Berikut Tanggomo yang dibawakan Risno Ahaya pada bulan September 2016.

   

  Kasimo Motora

 (Pementasan September 2016)

 Oleh: Risno Ahaya

Bisimiila molumuloo

Bisimiila tumulaloo

De limuutu hulontalo

Gaji gaaji to hulalo

 

Gaji yiilametalio

Boturuusi ode belelio

Ma meyii to belelio

Mo miloohu u’alolio

 

He momiilohu u’alolio

Ma turuusi ode meja tio

De ma moota to meja tio

Turuusi ma hilu’olio

 

Dewepuuhu ma hilu’olio

Diyaluwo ilodunggalio

De ma too ‘u’oditolio

Turusii lolahu tio

 

De mayii lolahu tio

Ma turuusi ode topulio

De ma moola to topu tio

De ma hee mobataru tio

 

Hente hee moyitohu tio

De ma loopulito doilio

To’u maa lopulito doilio

Maturuusi lohuwalingo belelio

 

Lohuwaalingo belelio

De ma moola to belelio

Bele maa bilunggalalio

Bo turuusi ode mejalio

 

De ma moota to meja tio

Ma turuusi lo hama depuhu tio

Deweepuhu ma hilu’olio

Diya loo’odungga u’alolio

 

Diya loo’odungga u’alolio

Hiyaloo ma hiluwa’alio

To’u ma meyi totalulio

Wawu hiyalo tila-tila’apiyo

 

He mohiile awambungu tio

Hente hee ta’a-ta’apolio

Hente hee tinggi-tinggodulio

Aati he mohiile ambungu tio

 

He mohiile ambungu tio

A debo hee lumbe-lumbeta’alio

He teduu-tedu’olio

He ta’aa-ta’apolio

 

Ati maa lapato pilatelio

Bolo liililidu tio

To’u boolo lillilidu tio

Ma turuusi lohuwalingo topulio

 

Lo huwaalingo topulio

Bele maa hile-hile’utalio

Ma iluu-ilunthiyalio

Li Hamiida tanggulio

 

Lapatoo ilu-ilunthiyaio

Wala’o ma piludu’iyo

Mameyii yilombingalio

Aati maa pilo’opiyohiyo

 

Lapatoo pilo’opiyohiyo

De malo pilotutulio

To’u laapato pilopotutulio

De ma piilopo’ulidiyo

 

Lapatoo pilopo’ulidiyo

Donggo lolaahu tio

Lona’o ode kioslio

Tio maa pilopilotaliyalio

 

De ma moola to kios tio

Ma lo taali ramba-ramba tio

O yinulo o watingio

O bongo o labiyalio

 

Lapatoo lota-lota tio

Ma lohuwaalingo belelio

Bele maa mola bilunggalalio

Bele doonggo ilu iluntiyalio

 

Bele lapato iluntiyalio

Wala’oo tilo’opulio

De ma too’o-to’opu’olio

Donggo yiilo-yilombingalio

 

Lapatoo to’u yilombingalio

Pito maa hilamalio

Pito maa meyi totalulio

Pito doonggo dilumbatio

 

Pito laapato dilumbatio

Mato maa pilito’iyo

Pitoma hiliwidiyo

Loputuu bulo’olio

 

Loputuu bulo’olio

Aati duhu maa pelepeleentelio

Aati maa lopulito dupotio

Aati maa lopulito dupotio

 

Aati lapata’o maa yilalitio

Lapato to’u yilalitio

Donggolo ilo-iloyodiyo

Lapatoo tapu ilo-iloyodiyo

 

Lunggongo ma yilobungiyo

Lunggongoo ma yilobungiyo

Wolo oluu’u wau o’atio

Ati’olo donggo yilobungiyo

 

Tulu maa pilopode’itio

Tulu maa pilopode’itio

Bulonggoo pilopotudulio

Lewemuulo uwilahelio

 

U ma lootilubulio

U wilaahe lapato tilubulio

Donggo u tilumiiti tilubulio

Bulonggo pilopogantiyolio

 

U tilumiiti he tubuwolio

U tilumiiti he tubuwolio

Sate hee wunggo-wunggo’olio

Lapatoo to’u yilunggo’iyo

 

Bu’awuu pilopobohulio

Bu’awuu lapato plopobohulio

Sate maa he lalangolio

To’utiiya hee lalangolio

 

Yilabuulo he bolulolio

Yilabuulo lapato tilubulio

Aati woolo satelio

Ila maa tilubulio

 

De ilaa mayilone’iyo

Ila maa lapato yilone’iyo

Aatiolo lohamaa ila tio

De malo ramba he lobu’olio

 

Ramba hee lobu’olio

Delapaato lo ramba tio

Malo tiilu tilubulio

Lapato to’u tilubulio

 

De ma loyilolihu tio

De lapato lolihu tio

De ma loganti kaini tio

Lapata’o lo lahuu tio

 

Ma hulo-hulo’o to bele tio

Ma hulo-huloo to walungo tio

Ma bo tiimayi hiayalio

Ma mola lonto topulio

 

Ma turuusi ode meja tio

Maa motaa hulo-hulo’o tio

Botiya to meja tio

Lewemulo u ilaalio

 

U wilaahe ma he wuntho wuntho’olio

U wilaahe lo pulitiyio

Donggolo u tilumitilio

Lapata’o piloopulitio

 

Sate maa hee wuntha-wunthapolio

Sate maa pilo’opulitio

Bolo u wilabulo pulitio

A u wito maa hilu’atalio

 

A ma hee wuntho-wuntho’olio

Uyilabulo he’alolio

Hiyalo amula ja huwaalio

Bo topo hunto’a tio

 

He wadupa lo hiyalio

Hewadupa lohiyalio

Ta to huuli lo belelio

Aati maa he po’owadupolio

 

Ilabuulo ma lopulitiyio

Yi maa yilopulitio

Ti hamida ma lona’o tio

Ma turuusi ode bele lo tau tio

 

Ma molaa lotitu’o tio

To’u lapato yilonga tio

Ma lomaso ode huwali tio

Turuusi mota de lulunggela tio

 

Bolo wala’o botu gantilio

Bolo walao botu gantilio

U piloganti lio wala’iyo

Wala’o lapato ilaalio

 

Ma hilumoyongo tio

To’u maa oditolio

Lo’odungga olu’u tio

 

Ati’olo to lulunggelelio

U wito lomota lowuwati’o tio

De malo to’u oditolio

Ma lona’o ode u ngowale tio

 

Te wito tanggulio

Ma ma’o helolohulio hiyalio

Ma ma’o helelohulio hialilio

Atiolo dila lotapulio

 

Ma me lotitipate tio

De bulo’olio iloyo diyo

Bulo’olio pilutulio

Ma pilopopulio lio wolo wala’iyo

 

Te wito mo ela wala’iyo

Wala’o maa lapato ilaalio

De to’u ma yilate tio

Matii maayi pulisilio

 

Ti Hamiida ma tiliyangiyo

Ti Hamida he paraakisalio

De malo wolo sababulio

Wala’umu ilolotumu olio

 

Longola ma piloopo’amu olio

To tameeto hiyalio

Mohemeetayi gajilio

Bo mootopu tio

 

Diyaa moolola balanja tio

Ma meyi to bele tio

Watiyaa hente hee pateelio

Ma loongongoto wawa’o latiya

 

Ma piloongolota wala’iyo

De malo to’u’oditolio

Botiye lo titipate tio

De tingga totalaalio

 

Watiyaa pohinggileyalio

Watiyaa pohinggileyalio

diyaalu balanja tolaalio

watiyaa pohehulalio

ma piloohutu laatiya odito tio

tio lowali odito

 

wamba’o yinggile laito

watiya hepaatelio

ma piloobuliya laatiya tio

bo’oditopo mongo wutato

 

tanggomo ma yilapato

bo’odito po pulitio

bo’odito wunggulilio

Potala mowonu motopu yinggilama’o

Podaha bolo tumonu mo’opate towala’o

 

Tanggomo berjudul Kasimo Motora tersebut bercerita tentang seorang istri yang menyembelih anaknya karena suaminya tidak pernah memberi nafkah. Harta mereka telah dihabiskan oleh kebiasaan sang suami yang penjudi. Tanggomo itu dibawakan dalam rangka diminta oleh peneliti sebagai bentuk dokumentasi.

 Tauta berikut dari CNN INdonesia yang pernah meliput Tanggomo dalam festival Danau Limboto

32. Tari Kejei
Genre: Pertunjukan
Suku: Rejang

Tari Kejei merupakan kesenian rakyat Rejang yang dilakukan pada setiap upacara kejei berlangsung. upacara kejei merupakan hajatan terbesar di suku Rejang. dikatakan hajatan terbesar karena yang mengangkat hajat kejei tersebut merupakan orang-orang yang mampu.dengan pemotongan beberapa kerbau, kambing atau sapi sebagai syarat sahnya upacara kejei. Tarian tersebut dimainkan oleh para muda-mudi di pusat-pusat desa pada malam hari di tengah-tengah penerangan lampion.tarian ini sebagai ajang perkenalan antara bujang dan gadis suku Rejang.

Area teritorial Rejang sendiri terdiri atas beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Lebong, Kabupaten Rejang lebong, dan Kabupaten Kepahiang, dan beberapa suku pendatang di daerah Provinsi Bengkulu lainnya.

Kekhasan tari ini adalah alat-alat musik pengiringnya terbuat dari bambu, seperti kulintang, seruling, dan gong. Tarian dimainkan sekelompok orang yang membentuk lingkaran dengan berhadap-hadapan searah menyerupai jarum jam.

Tarian ini pertama kali dilaporkan oleh seorang pedagang Pasee, bernama Hassanuddin Al-Pasee yang berniaga ke Bengkulu pada tahun 1468. Tapi, ada pula keterangan dari Fhathahillah Al Pasee, yang pada tahun 1532 berkunjung ke tanah redjang. Tari Kejei pertama kali dibawakan saat pernikahan Putri Senggang dengan Biku Bermano., yang menurut kisahnya buku pelaksanaan "kejei" tersebut disimpan di dalam perut Biku Bermano. "Kejei" pertama kali dilaksanakan adalah kejei pernikahan Putri Senggang dan Biku Bermano.

Tari Kejei dipercaya sudah ada sebelum kedatangan para biku dari Majapahit. Sejak para biku datang, alat musiknya diganti dengan alat dari logam, seperti yang digunakan sampai saat ini. Acara kejei dilakukan dalam masa yang panjang, bisa sampai 9 bulan, 3 bulan, 15 hari atau 3 hari berturut-turut.

Tari ini adalah tarian sakral yang diyakini masyarakat mengandung nilai-nilai mistik, sehingga hanya dilaksanakan masyarakat Rejang dalam acara menyambut para biku, perkawinan dan adat marga. Pelaksanaan tari ini disertai pemotongan kerbau atau sapi sebagai syaratnya.

33. Tari Mondinggu
Genre: Pertunjukan
Suku: Tolaki Mekongga

Tari Modinggu adalah tarian yang masuk dalam kategori terancam punah yang menggambarkan suatu proses penanaman padi hingga masa panen yang seluruhnya dikerjakan secara gotong royong. Masyarakat Mekongga memprecayai mitos bahwa padi berasal dari jasad seorang putri bidadari yang turun ke bumi mereka melaksanakan seluruh proses tersebut dengan riang gembira canda dan tawa terdengar sesekali dari mereka. Ketika musim panen tiba masyarakat Mekongga melaksanakan suatu pesta rakyat sebagai rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Setelah panen padi diladang atau sawah masyarakat Mekongga melaksanakan Modinggu, atau proses penumbuhan padi yang dilaksanakan oleh para muda mudi dan diakhiri dengan lulu bersama.


34. Tari Mondotambe
Genre: Pertunjukan
Suku: Mekongga
Mondotambe adalah tarian penjemputan yang dilakukan pada saat penerimaan para tamu atau acara-acara yang dilaksanakan masyarakat Mekongga di Kolaka. Namun, belakangan ini tarian tersebut telah jarang ditampilkan dan masuk dalam kategori terancam punah. Tarian tersebut di bawakan oleh gadis-gadis remaja sebagai tanda penerimaan yang tulus, ikhlas dan merasa gembira kepada para tamu. Jumlah penari terdiri dari 6, 8, bahkan jumlahnya bisa mencapai 12 orang , yang terpenting jumlah penari genap. Variasi tarian terdiri dari 13 gerakan yang diakhiri dengan tabur bunga atau beras dalah bahas Tolaki disebut (mekaliako owoha).
35. Tari Persembahan Landok Sampot
Genre: Pertunjukan
Suku: Kluet

Menurut keyakinan masyarakat Kluet, tarian ini diciptakan oleh seorang Panglima Negeri Kluet yang bernama Amat Sa’id. Tarian ini mulai berkembang pada masa pemerintahan Raja Imam Balai Pesantun dan Teuku Keujreun Pajelo. Tarian ini dijadikan tarian adat yang disakralkan dalam setiap upacara adat.

Sayangnya penciptanya tidak sempat melihat karyanya dicintai masyarakat Kluet. Karena sebelum tarian ini berkembang, Ahmad Sa’id hilang dan tidak pernah kembali dari sebuah perjalanan di Gunung Lawe Sawah. Sehingga masyarakat menyebut gunung tersebut dengan nama Gunung Amat Sa’id. Sampai sekarang masyarakat setempat sering mengunjungi gunung tersebut untuk berziarah.

Sejak saat itu, Tari Landok Sampot terus dikembangkan dan dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa dari Tanah Kluet. Akan tetapi, saat ini mulai terancam punah.

Tari Landok sampot merupakan tari persembahan yang ditampilkan sebagai tanda penghormatan kepada tamu atau seseorang yang dimuliakan dalam sebuah upacara adat. Dahulu, tarian ini dipertunjukkan dalam penyambutan kalangan raja-raja, atau boleh ditarikan di kalangan masyarakat atas persetujuan raja. Misalnya dalam upacara perkawinan, khitan, dan lain-lain. Namun sekarang tari tersebut juga digunakan untuk menyambut tamu kenegaraan meskipun bukan orang Kluet.

Tari Landok sampot dimainkan oleh 8 orang laki-laki dewasa, diiringi oleh seorang penyair dan seperangkat alat musik yang terdiri atas Siling, Gong, 2 canang dan 2 genderang.

Sesuai namanya, Landok yang berarti tari dan sampot yang berarti libas/lecut, maka tarian ini menampilkan gerakan seperti perkelahian antara 2 pemuda. Digambarkan bahwa mereka sedang bertarung memperebutkan seorang putri raja, dan yang menang akan dipilih menjadi pasangan putrid tersebut. Gerakannya terdiri dari 5 Bagian gerakan antara lain: Landok Kedidi (gerakan seperti burung kedidi yang bisa melompat riang dengan tempo cepat), Landok Kedayung (gerakan gemulai seperti mendayung sampan), Landok Sembar Keluakai (gerakan dasar seperti burang elang menyambar, gerak cepat, tangkas dan dinamis), Landok Sampot (gerak melecut dan memukul dengan menggunakan bamboo seperti tangkai pancing tradisional), dan Landok Pedang (gerakan penari dengan menggunakan pedang yang menunjukkan ketangkasan dan kekebalan).


36. Topeng Betawi
Genre: Pertunjukan
Suku: Betawi

Topeng betawi merupakan salah satu hasil kebudayaan lisan masyarakat Betawi. Topeng Betawi merupakan perkembangan dari Topeng Babakan pada masa kependudukan bangsa Hindia Belanda di Batavia yang semula hanya mengenal dua pemain dan menggambarkan tradisi ritual sedekah bumi atau ungkapan rasa syukur yang dipertunjukkan pada malam hari. Pada masanya, Topeng Betawi memiliki tema besar dalam setiap pertunjukannya, seperti fenomena sosial yang terjadi. Topeng Betawi kini merupakan gabungan pertunjukkan yang melibatkan tari, musik, narasi, lagu, dialog, dan komedi. Kemudian Topeng Betawi ditanggap juga untuk kepentingan dan fungsi hiburan, yaitu sebagai hiburan pada pesta pernikahan atau khitanan dan dipertunjukkan pada siang hari atau malam hari.


Tim Peneliti : Dr. Sastri Sunarti dkk.

37. Tradisi Dou Sandik
Genre: Puisi
Suku: Biak Numfor
Tradisi Dou Sandik Guyub Tutur Biak Numfor (GTBN), Papua merupakan pengintegrasian tuturan bahasa yang dikemas dengan apik sebagai wujud ekspresi jiwa manusia terhadap Tuhan dan karya ciptaan-Nya. Tradisi Dou sandik dilirik sebagai media penguatan karakter, yaitu: (1) sebagai produk dan praktek dari GTBN yang menggambarkan pandangannya tentang diri, alam (dunia), dan Tuhan; (2) sebagai wujud interaksi langue dan parole dengan Tuhan; (3) sebagai kantong nilai budaya yang mengendapkan tuturan makna dan fungsi bahasa; dan (4) sebagai media yang mampu memagari entitas (kesatuan lahiriah) tentang ekspresi kehidupan. Sebagai cerminan identitas, tradisi Dou Sandik merupakan upaya pengungkapan ide, gagasan, dan isi pikiran, serta untuk merefleksikan realitas pengalaman pewarisnya.

Karakteristik tradisi dou sandik merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Dou sandik bukan hanya sebagai sarana yang memperkuat ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dan bersejarah baik di tingkat keret ‘marga’, mnu ‘kampung’ maupun di tingkat komunitas yang lebih luas. Tradisi dou sandik bagi GTBN merupakan hal yang sering dilakukan di setiap waktu. GTBN memiliki semboyan bahwa: nggo wor ba ido, na nggo mar ‘jika kami tidak menyanyi, maka kami akan mati’. Dengan semboyan ini, GBTN menyadari betapa pentingnya arti dou sandik dan pesta dalam kehidupannya. Wor dou sandik isya, kenm isya, munara isya ‘ada nyanyian pujian, penyembahan, ada kehidupan’.

GTBN memiliki beberapa jenis dou ‘nyanyian’ yang menjadi sarana pengungkap isi hati baik suka dan duka, yaitu: (1) dou kangkarem: nyanyian yang dituturkan pada saat dilakukan upacara pemujaan, (2) dou moringkir: nyanyian pengiring ritual sedang berada di lautan, (3) dou erisam bepok: nyanyian yang dituturkan dengan semangat saat berlayar mengarungi lautan atau saat angin kencang, (4) dou erisam bemawa: nyanyian yang dituturkan di atas perahu pada saat angin bertiup sepoi-sepoi, (5) dou wonggei: nyanyian yang dituturkan untuk mengiringi perjalanan di laut saat melakukan perdagangan antarkampung, antarpulau dan antaretnis, (6) dou nambojaren: nyanyian yang dituturkan pada saat ritual tengah malam dilaksanakan sampai pagi hari atau menyindir insos ‘gadis’ yang hamil tanpa suami, (7) dou kansyaru: nyanyian yang dituturkan oleh seorang nyonya tuan rumah penyelenggara ritual, (8) dou dunsner: nyanyian peringatan yang dituturkan untuk memperingatkan para penyanyi dan penari dalam sebuah ritual adat agar bersiaga menyambut pagi sebagai lambang kemenangan, (9) dou sandia: nyanyian yang dituturkan menyambut datangnya sang fajar menyingsing, yakni antara pukul 02.00 – 06.00 pagi hari, (10) dou randan: nyanyian yang dituturkan pada siang hari antara pukul 11.00 – 14.00 dengan cara semua penutur dalam keadaan duduk, (11) dou mamun: nyanyian yang dituturkan pada saat perjalanan ke medan perang dengan syair yang menantang, (12) dou beyuser: nyanyian panjang yang dituturkan untuk mengisahkan kejadian di masa lampau, kejadian yang sedang dialami, maupun kejadian yang akan dihadapi pada masa depan, (13) dou kayob: nyanyian ratapan yang diciptakan secara spontan tanpa terikat oleh kerangka atau konvensi tertentu, (14) dou beba: nyanyian kebesaran bagi kaum pelaut dan hanya dinyanyikan pada saat di atas perahu, dan (15) dou sandik: tradisi pujian dan penyembahan yang dituturkan pada saat acara ritual keagamaan atau pesta keimanan.


Tim Peneliti : Hugo Warami

38. Tradisi Fua Pah
Genre: Pertunjukan
Suku: Dawan

Tradisi Fua Pah adalah sebuah tradisi ritus agraris yang masih hidup dan terus dikembangkan dalam masyarakat Dawan sampai saat ini. Tradisi ini adalah senuah tradisi pemujaan roh yang dilaksanakan di tempat-temapt tertentu seperti kebun-kebun, gunung-gunung, dan bukit-bukit. Tradisi ini memiliki fungsi magis, religius, faktitif, intensifikasi.

Uis Pah atau Pah Tuaf adalah makhluk halus yang dianggap merugikan manusia sehingga sebagian masyarakat Dawan menyebutnya sebagai setan yang mendiami pohon-pohon dan tempat lainnya. Untuk mengambil hati dan menghindari kemarahan Pah Tuaf, masyarakat Dawan seringkali memberikan berbagai korban persembahan dalam upacara Fua Pah.

Tradisi Fua Pah merupakan sebuah tradisi yang khas dalam alam kebudayaan pertanian tradisional. Ritus pemberian korban sebagai persembahan kepada Uis Pah atau Pah Tuaf itu senantiasa dilaksanakan pada enam tahapan kegiatan pertanian, mulai dari membuka kebun baru sampai dengan tahap menuai, memetik hasil kebun dan mengucapkan syukur kepada Uis Neno atas panen melimpah. Keenam tahap itu adalah: (1) tahap menebas hutan (lef nono//tafek hau ana), (2) tahap membakar hutan (polo nopo//sifo nopo), (3) tahap menanam (lef boen no’o), tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), (4) tahap panenan perdana (tasana mate), (5) tahap panenan berakhir (tnibun bola’if ma aen tauf).


Tim Peneliti : Dr. Yoseph Yapi Taum, MA (Universitas Sanata Darma Yogyakarta)

39. Tradisi iko-iko
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Masyarakat Bajo

Etnis Bajo merupakan suatu komunitas berbudaya Melayu hidup secara berkelompok di berbagai wilayah pesisir pantai dan pulau terpencil di Nusantara dan Asia Tenggara. Dalam proses pewarisan pengetahuan, nilai, dan keterampilan mereka memiliki tradisi lisan Iko-iko, yang berperan menyampaikan pesan moral dan dinyanyikan menjelang tidur atau saat dalam pelayaran. Sebagai suatu cerita rakyat yang di dalamnya mengandung unsur kehidupan sehari-hari, mata pencaharian, sosial budaya, termasuk kehidupan remaja pun di ceritakan. Terlepas dari unsur-unsur mistis yang ada di dalamnya, iko-iko memiliki nilai dan norma. Nilai-nilai kearifan lokal Etnis Bajo yang dikisahkan dalam iko-iko dapat memberikan keseimbangan dan ketertiban (keharmonisan) hidup, melestarikan alam dan lingkungan hidup.

40. Tradisi Lisan Bebetu
Genre: Teka-Teki
Suku: Olilit Timur

Bebetu merupakan bentuk folklor lisan yang tergolong dalam pertanyaan tradisional, Sebagai sastra daerah sekaligus produk budaya daerah, Bebetu dapat menunjukkan karakter masyarakat Olilit Timur yang tetap eksis sampai saat ini. Bebetu ini terdiri atas dua bagian, yaitu Bebetu Rohani dan Bebetu Biasa. Bebetu Rohani adalah teka-teki yang berkaitan dengan masalah keagamaan, sedangkan bebetu biasa adalah teka-teki yang berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari. Bebetu ini digunakan oleh masyarakat Olilit Timur pada saat merayakan malam ketiga dan malam ketujuh orang yang telah meninggal. Masyarakat secara lisan saling mengajukan teka-teki, dan diselingi dengan kidung-kidung rohani. Bebetu ini digunakan juga untuk mengetahui tingkat kepandaian seseorang. Oleh karena itu, masyarakat Olilit Timur, sebelum berbebetu, mereka harus mempersiapkan diri, jika tidak ingin malu. Teka-teki yang diajukan, tidak boleh sama atau berulang. Jadi yang diajukan harus berbeda atau lain dari yang telah disampaikan.

41. Tradisi Lisan Kana
Genre: Puisi
Suku: Dayak Desa
Kana adalah salah satu jenis folklor lisan masyarakat suku Dayak. Kana tergolong ke dalam cerita puisi rakyat, dan pada waktu dibawakan selau disertai dengan nyanyian. Kana dapat juga digolongkan ke dalam nyanyian rakyat (folk liryc), yaitu nyanyian yang bersifat liris, yang menceritakan kisah bersambung (narative folksongs). Kana mirip dengan cerita prosa. Perbedaannya dengan cerita prosa hanya terletak pada pemakaian bahasa yang puitis. Ada beberapa nama yang digunakan di setiap daerah khususnya pada masyarakat suku Dayak untuk penyebutan kana. Masyarakat Dayak Desa, Dayak Kebahan, dan Dayak Ketungau menyebutnya kana. Masyarakat Dayak U’ud Danum mengenalnya dengan sebutan kelimo,. Dayak Suait menyebutnya bambay, Dayak Kubin menyebutnya dengan engkana, dan lain-lain
42. Tradisi Lisan Onjai
Genre: Puisi
Suku: Melayu Rokan

Onjai merupakan tradisi lisan jenis non cerita berbentuk pantun. Tradisi lisan onjai ini merupakan tradisi berbalas pantun dalam konteks mengirik padi (memisahkan padi dari tangkainya dengan cara diinjak-injak). Semua anggota mengirik padi melakukan berbalas pantun dengan cara didendangkan dan menggunakan bahasa Melayu dialek setempat dan status teks lisan murni. Penyajian Onjai dilakukan di ladang dan disaksikan oleh orang-orang diladang tersebut. Kegunaan onjai ini untuk menghibur diri waktu bekerja. Tradisi lisan onjai terdapat disebuah desa yang bernama Desa Cipang Kiri Hulu Kecamatan Rokan IV Koto. Masyarakat yang memiliki tradisi onjai di desa ini dikenal dengan masyarakat Melayu Rokan.


43. Tradisi Lisan Onuo
Genre: Puisi
Suku: Suku Bonai

Onuo merupakan tradisi lisan jenis non-cerita berbentuk pantun dan syair. Pantun dan syair ini dinyanyikan untuk menidurkan anak atau cucu, karenanya ada onuo anak dan ada pula onuo cucu. Tradisi nyanyian onuo ini dilakukan di rumah atau dekat buaian. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Rokan. Status teks lisan murni. Penyajiannya sama dengan tradisi lisan atip anak. Tradisi ini terdapat di Desa Sikilang (Suku Bonai), Pagaran Tapah, Kecamatan Kunto Darussalam; Kelurahan Dalu-Dalu Kecamatan Tambusai Kabupaten Kampar. Tradisi ini umumnya terdapat pada masyarakat Melayu Rokan dan Suku Sakai.

44. Tradisi Mekare-kare
Genre: Drama
Suku: Tenganan

Mekare-kare (Upacara Perang Pandan) adalah upacara persembahan yang dilakukan untuk menghormati Dewa Indra (dewa perang) juga para leluhur. Perang Pandan atau mekare-kare diadakan tiap tahun bulan Juni di Desa Tenganan, desa ini masuk salah satu desa tua di Bali dan desa ini disebut Bali Aga.

Upacara Perang Pandan/Mekare-kare ini diadakan 2 hari dan merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah, yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan. Pelaksanaan upacara Mekare-kare ini adalah didepan balai pertemuan yang ada di halaman desa. Waktu pelaksanaan biasanya dimulai jam 2 sore dimana semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan), untuk para pria hanya menggunakan sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat kepala (udeng) tanpa baju, bertelanjang dada.

Perang ini adalah pandan berduri diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada, sementara untuk perisai yang terbuat dari rotan. Setiap pria (mulai naik remaja) didesa ini wajib ikut dalam pelaksanaan Perang Pandan, panggung berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi itu. Dengan tinggi sekitar 1 meter, tanpa tali pengaman mengelilingi. Diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan, lalu diadakan ritual minum tuak, tuak di dalam bambu dituangkan ke daun pisang yang berfungsi seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain. Kemudian tuak tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dibuang kesamping panggung.

Saat upacara Perang Pandan akan dimulai seorang pemimpin adat di Desa Tenganan memberi aba-aba dengan suaranya, lalu dua pemuda bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan di tangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman rotan di tangan kiri. Penengah layaknya wasit berdiri di antara dua pemuda ini.

Setelah penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi, dua pemuda itu saling menyerang. Mereka memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Mereka berpelukan. Saling memukul punggung lawan dengan daun pandan itu lalu menggeretnya. Karena itu ritual ini disebut pula megeret pandan. Peserta perang yang lain bersorak memberi semangat. Gamelan ditabuh dengan tempo cepat. Dua pemuda itu saling berangkulan dan memukul hingga jatuh. Penengah memisahkan keduanya dibantu pemedek yang lain. Pertandingan ini tidak berlangsung lama. Kurang dari satu menit. Selesai satu pertandingan langsung disambung pertandingan yang lain, Ini dilakukan bergilir (lebih kurang selama 3 jam).

Semua luka gores diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit yang konon sangat ampuh untuk menyembuhkan luka. Pada saat itu karena mereka semua melakukannya dengan iklas dan gembira tidak ada yang kesakitan, menangis, menyesal bahkan marah. Tradisi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra, dewa perang yang dihormati dengan darah lewat upacara perang pandan, dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan. Perang Pandan ditutup dengan bersembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan mempersembahkan/menghaturkan tari Rejan.

45. Tradisi Mekotek
Genre: Pertunjukan
Suku: Bali

Upacara Mekotek dilaksanakan dengan tujuan memohon keselamatan. Upacara yang juga di kenal dengan istilah ngerebek. Mekotek ini adalah warisan leluhur, adat budaya dan tradisi yang secara turun temurun terus dilakukan umat Hindu di Bali.

Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi. Perayaan upacara Mekotek selalu dilakukan oleh warga Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, pada setiap Hari Raya Kuningan. Selain sebagai simbol kemenangan, Mekotek juga merupakan upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa puluhan tahun lalu.

Upacara ini Makotek ini diikuti sekitar 2000 penduduk Munggu yang terdiri dari 15 banjar turun ke jalan dari umur 12 tahun hingga 60 tahun. Mereka mengenakan pakaian adat madya dengan hanya mengenakan kancut dan udeng batik dan membawa selonjoran kayu 2 meter yang telah dikuliti. Pada tengah hari seluruh peserta berkumpul di pura Dalem Munggu yang memanjang. Disana dilakukan upacara syukuran bahwa selama 6 bulan pertanian perkebunan dan segala usaha penduduk berlangsung dengan baik, setelah serangkaian upacara berlangsung, keseluruhan peserta melakukan pawai menuju ke sumber air yang ada di bagian utara kampung.

Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok. Di setiap pertigaan yang dilewati masing masing kelompok yang terdiri dari 50 orang akan membuat bentuk segitiga menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut lalu mereka berputar, berjingkrak dengan iringan gamelan. Pada saat yang tepat seorang yang dianggap punya nyali sekaligus punya kaul akan mendaki puncak piramid dan melakukan atraksi entah mengangkat tongkatnya atau berdiri dengan mengepalkan tangan, sambil berteriak laksana panglima perang mengkomamdoi prajuritnya untuk terus menerjang musuh lalu kemudian ditabrakkan dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain. Sesampai di sumber air, tameng suci, segala perangkat upacara yang dibawa dari Pura Dalem diberi tirta air suci dan dibersihkan. Kemudian mereka melakukan pawai kembali ke Pura Dalem untuk menyimpan semua perangkat yang dibawa berkeliling tadi.

46. Tradisi Nyopuh
Genre: Pertunjukan
Suku: Jagoibabang

Tradisi nyopuh atau dikenal ritual pengambilan madu oleh masyarakat dayak Bedayuh sudah mulai langka pelaksanaannya. Tradisi nyopuh pada waktu dulu sangat sering dilakukan oleh nenek moyang dayak Bedayuh. Adapun hasil madu yang diperoleh dengan cara ritual nyopuh yaitu untuk dikonsumsi pribadi ataupun untuk mendapatkan penghasilan tambahan dijual kepada orang yang membutuhkan. Disamping untuk mengambil madu, tradisi nyopuh juga sebagai sarana mempererat rasa kebersamaan masyarakat Jagoibabang dalam kehidupan bersosial.

Tradisi ini merupakan tradisi turun menurun dari nenek moyang dayak Bedayuh masyarakat Jagoi Babang. Nenek moyang mereka mewariskan tradisi nyopuh secara alami. Para pelaku tradisi nyopuh kebanyakan orang-orang yang dulunya lebih banyak mengetahui proses tradisi, baik dari ritual maupun media yang harus disiapkan. Kebanyakan orang tua yang terlibat di dalamnya, sehingga peran sesepuh sangat penting dalam proses ritual ini. Sangat disayangkan jika tidak ada yang dapat melestarikan ritual nyopuh karena tradisi ini akan punah berlahan-lahan. Jika sesepuh atau para orang tua yang sangat berperan dalam ritual nyopuh meninggal dan belum ada yang dapat melanjutkan tentu saja tradisi ini akan mandek dengan sendirinya.

Tradisi nyopuh dilakukan sebelum bulan purnama yaitu dalam keadaan gelap, alasannya agar lebah-lebah tidak menyengat para pelaku nyopuh. Disisi lain kondisi lebah sebelum bulan purnama telur-telur anak lebah sudah mulai menetas. Kegiatan ritual nyopuh sebagai bentuk gotong royong masyarakat setempat. Wujud gotong royong itu sendiri yaitu dengan kerja sama mereka untuk mempersiapkan semua perlengkapan awal, proses, dan hasil yang diperoleh dari tradisi nyopuh tersebut.

Keterlibatan seluruh masyarakat dalam proses ritual tanpa membedakan kedudukan dalam kehidupan bermasyarakat menjadikan modal utama tersendiri bagi mereka. Di dalam ritual nyopuh terdapat banyak orang yang berperan dan mereka saling bersinergi.

Seiring berjalan waktu tradisi nyopuh di kalangan masyarakat dayak Bedayuh Jagoibabang sudah mulai punah saat ini. Faktor yang menyebabkan punahnya tradisi ini selain faktor alam akibat pohon-pohon besar di hutan yang sudah mulai berkurang. Tradisi ini juga sudah mulai tidak digunakan lagi tidak sesering pada waktu lalu, di sisi lain bisa jadi karena kurang minatnya generasi muda untuk melestarikan tradisi ini karena memang memerlukan begitu banyak persiapan baik secara material maupun nonmaterial.

47. Uning-Uningan
Genre: Pertunjukan
Suku: Batak Toba

Uning-uningan merupakan kesenian tradisional Batak Toba yang tersisa. Selain digunakan sebagai sarana pendekatan kepada pujaan hati, konon juga bermanfaat sebagai alat komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta (Mula jadi na Bolon). Kesenian ini terdiri dari unsur musik (musik instrumental) di mana alat musiknya merupakan alat musik tertua dan asli dari masyarakat Batak Toba.

M Hutasoit dalam bukunya, Ende Batak dohot Uning-uningan mengatakan, perkataan uning-uningan berasal dari dua kata un dan ing. Un berarti suara yang rendah (bongor) dan ing berarti suara yang tinggi (sihil). Dengan demikian, pengertian uning-uningan berarti, suara bongor dan sihil yang bersahut-sahutan.

Ada beberapa jenis alat musik yang dipakai dalam uning-uningan, antara lain jenis aerophone (alat musik yang ditiup) terdiri dari sarune na met-met, sulim, sordam, tulila, tataloat, salung dan along-along. Jenis chordophone (alat musik yang dipetik) terdiri dari hasapi, tanggetong atau mengmong dan sidideng. Jenis idiophone (alat musik yang dipukul) terdiri dari garantung, saga-saga, jenggong dan hesek. Kemudian jenis membranophone (alat musik yang terbuat dari kulit binatang) terdiri dari gardap.

Biasanya, dalam pertunjukan musik tradisional Batak Toba, tidak semua alat musik ini digabung dalam satu ensambel, tetapi dipilih beberapa jenis saja (biasanya tiga sampai enam jenis alat musik dalam satu ensambel). Misalnya, sebuah sarune na met-met, seperangkat garantung, dua buah hasapi (hasapi ende dan hasapi doal), sebuah sulim dan sebuah hesek. Hal yang penting dalam uning-uningan, yaitu harus ada paling sedikit satu jenis alat musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi dari repertoar yang dimainkan.

Selain berfungsi sebagai alat untuk memanggil roh, fungsi lain dari Uning-uningan adalah sebagai alat komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta (Mula Jadi na Bolon). Dalam hal pemanggilan roh, beberapa persyaratan harus dipenuhi yang diminta oleh Datu (dukun) sebelum upacara dimulai, seperti menyediakan sesajen, membatasi orang yang hadir dan lain sebagainya. Setelah seluruh persyaratan terpenuhi, Uning-uningan pun dimainkan. Si dukun kemudian menari mengikuti irama musik dan biasanya kemasukan roh orang yang sudah mati (trance) yang sengaja diundang.

Fungsi lainnya, uning-uningan digunakan sebagai pelengkap pembacaan doa bagi kesembuhan orang sakit. Malah, dimanfaatkan sebagai pengantar doa permohonan untuk mendapatkan keturunan. Saat upacara berlangsung, biasanya dilengkapi beberapa umpasa (umpama) yang dibacakan penatua kampung. Isiumpasa tersebut disesuaikan dengan keadaan orang yang akan didoakan. Contohnya, Bintang na rumiris, ombun na sumorop; Anak pe antong riris, boru pe antong torop (Bintang yang bertabur, embun yang berserakan; Anak laki-laki pun banyak, anak perempuan pun banyak). Hadirin spontan menyahuti umpama tersebut dengan seruan,”Ima tutu” (semoga benarlah adanya).

Untuk fungsi secara pribadi, beberapa perangkat uning-uningan bisa dimainkan sendiri-sendiri. Seorang ibu hamil, bisa memainkan garantung agar kelak anaknya lahir dalam keadaan sehat. Seorang kakek juga sering memainkan hasapi begitu mendengar kabar kelahiran cucunya. Sedangkan sordam dimainkan para orangtua yang sedang bersedih hati pada malam ketika suasana sudah benar-benar sepi. Kini, uning-uningan sudah semakin jarang dimainkan. 

48. Uning-uningan
Genre: Pertunjukan
Suku: Toba Samosir

Uning-uningan merupakan kesenian tradisional Batak Toba yang tersisa. Selain digunakan sebagai sarana pendekatan kepada pujaan hati, konon juga bermanfaat sebagai alat komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta (Mula Jadi na Bolon). Kesenian ini terdiri dari unsur musik (musik instrumental) di mana alat musiknya merupakan alat musik tertua dan asli dari masyarakat Batak Toba.

M Hutasoit dalam bukunya, Ende Batak dohot Uning-uningan mengatakan, perkataan uning-uningan berasal dari dua kata un dan ing. Un berarti suara yang rendah (bongor) dan ing berarti suara yang tinggi (sihil). Dengan demikian, pengertian uning-uningan berarti, suara bongor dan sihil yang bersahut-sahutan.

Ada beberapa jenis alat musik yang dipakai dalam uning-uningan, antara lain jenis aerophone (alat musik yang ditiup) terdiri dari sarune na met-met, sulim, sordam, tulila, tataloat, salung dan along-along. Jenis chordophone (alat musik yang dipetik) terdiri dari hasapi, tanggetong atau mengmong dan sidideng. Jenis idiophone (alat musik yang dipukul) terdiri dari garantung, saga-saga, jenggong dan hesek. Kemudian jenis membranophone (alat musik yang terbuat dari kulit binatang) terdiri dari gardap.

Biasanya, dalam pertunjukan musik tradisional Batak Toba, tidak semua alat musik ini digabung dalam satu ensambel, tetapi dipilih beberapa jenis saja (biasanya tiga sampai enam jenis alat musik dalam satu ensambel). Misalnya, sebuah sarune na met-met, seperangkat garantung, dua buah hasapi (hasapi ende dan hasapi doal), sebuah sulim dan sebuah hesek. Yang penting dalam uning-uningan harus ada paling sedikit satu jenis alat musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi dari repertoar yang dimainkan.

Selain berfungsi sebagai alat untuk memanggil roh, fungsi lain dari Uning-uningan adalah sebagai alat komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta (Mula Jadi na Bolon). Dalam hal pemanggilan roh, beberapa persyaratan harus dipenuhi yang diminta oleh Datu (dukun) sebelum upacara dimulai, seperti menyediakan sesajen, membatasi orang yang hadir dan lain sebagainya. Setelah seluruh persyaratan terpenuhi, Uning-uningan pun dimainkan. Si dukun kemudian menari mengikuti irama musik dan biasanya kemasukan roh orang yang sudah mati (trance) yang sengaja diundang.

Fungsi lainnya, uning-uningan digunakan sebagai pelengkap pembacaan doa bagi kesembuhan orang sakit. Malah, dimanfaatkan sebagai pengantar doa permohonan untuk mendapatkan keturunan. Saat upacara berlangsung, biasanya dilengkapi beberapa umpasa (umpama) yang dibacakan penatua kampung. Isiumpasa tersebut disesuaikan dengan keadaan orang yang akan didoakan. Contohnya, Bintang na rumiris, ombun na sumorop; Anak pe antong riris, boru pe antong torop (Bintang yang bertabur, embun yang berserakan; Anak laki-laki pun banyak, anak perempuan pun banyak). Hadirin spontan menyahuti umpama tersebut dengan seruan,”Ima tutu” (semoga benarlah adanya).

Untuk fungsi secara pribadi, beberapa perangkat uning-uningan bisa dimainkan sendiri-sendiri. Seorang ibu hamil, bisa memainkan garantung agar kelak anaknya lahir dalam keadaan sehat. Seorang kakek juga sering memainkan hasapi begitu mendengar kabar kelahiran cucunya. Sedangkan sordam dimainkan para orangtua yang sedang bersedih hati pada malam ketika suasana sudah benar-benar sepi. Kini, uning-uningan sudah semakin jarang dimainkan. Agaknya, generasi muda sekarang takut dicap kolot bila memainkannya. Mereka lebih memilih untuk memainkan atau mendengarkan musik yang lagi tren.

49. Untu Wa Ode
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Wakatobi

Cerita rakyat Untu Wa Ode di Desa Waha, mengisahkan tentang seorang yang kembar dengan gurita. Gurita itu kemudian di lepas di laut. Maka jadilah legenda Untu Wa Ode. Suatu saat Bapak dari anak itu pergi memancing, tiba-tiba kailnya terkait di batu. Maka ia pun berkeputusan untuk menyelam guna melepaskan mata kailnya. Namun tiba-tiba ia seperti masuk di dalam rumah yang bagus. Di situlah ia disambut oleh seorang perempuan cantik yang mengaku sebagai anak kandungnya. Anaknya tersebut bernama Wa Ode.

Di dalam laut itu, sang ayah seperti hidup di darat, mereka makan dan minum, setelah itu ayah mereka pun minta permisi untuk kembali ke darat.

“Ayah sudah mau pulang, nanti menyusahkan orang kampung dan saudara-saudaramu di kampung”, kata ayah pada anak dan keluarganya di dalam laut itu.

“Tidak ayah, tinggal saja di sini”, minta Wa Ode.

“Tidak, saya harus pulang, kasian kakak-kakakmu yang masih kecil-kecil”, jelas ayahnya.

Maka Wa Ode tinggal pasrah mengingat kakak-kakaknya di desa Waha. Maka keluarlah ayah Wa Ode dengan membawa ikan yang banyak. Tetapi tiba-tiba Wa Ode berkata pada ayahnya, “Ayah, tolong beritahu keluarga di Waha agar jangan pernah membuat kerusakkan di kampung kami ini, banyak anak-anak yang bermain. Ayah lihat sendiri indahnya perkampungan ini. Kalau saudara-saudara saya dari Waha merusak kampung kami, karang ini, maka kami akan hukum mereka.

Ketika ayahnya berhenti, Wa Ode mengingatkan lagi ayahnya agar jangan merusak perkampungan mereka.

“Ayah, sekali lagi beritahu saudara-saudaraku agar jangan merusak kampung kami!”

Maka tiba di rumah, menangislah semua orang kampung, karena ayah Wa Ode sudah tiga hari tiga malam tidak pulang dari laut, namun ketika ia pulang di antar gurita sampai pinggir pantai, dan setelah tiba berceritalah ayah Wa Ode tentang pesan Wa Ode agar tidak merusak karang dan laut di sekitar Untu Wa Ode.

Demikianlah pesan Wa Ode penjaga karang Untu Wa Ode kepada kita.

Inga, inga jangan rusak karang!

Inga-inga mari kita cintai karang kita, karang Wakatobi seperti pesan Wa Ode dari desa Waha Untu Wa Ode.

50. Upacara Adat Naik Dango
Genre: Pertunjukan
Suku: Dayak Kanayatn

Naik Dango atau Gawai Dayak merupakan Upacara adat masyarakat kalimantan Barat (Dayak Kanayatn) yang dilakukan dari daerah Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, hingga Kabupaten Sanggau. Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak. Upacara adat Naik Dango yang merupakan sebuah upacara untuk menghaturkan rasa syukur terhadap Nek Jubata atau Sang Pencipta atas berkah yang diberikannya berupa hasil panen (padi) yang berlimpah. Upacara ini rutin dilaksanakan setiap tahun setelah masa panen.

Upacara adat Naik Dango ditandai dengan menyimpan seikat padi yang baru selesai di panen di dalam dango (lumbung padi) oleh setiap kepala keluarga masyarakat Dayak yang bertani/ berladang. Padi yang disimpan di dalam Dango nantinya akan dijadikan bibit padi untuk ditanam bersama-sama dan sisanya menjadi cadangan pangan untuk masa-masa paceklik. Selanjutnya, menimang padi dan diikuti dengan pemberkatan padi oleh ketua adat.

Upacara Naik Dango merupakan acara yang memiliki 3 aspek pokok, yaitu aspek kehidupan agraris, aspek religius, dan aspek kehidupan kekeluargaan solidaritas serta persatuan. Aspek kehidupan agraris, yaitu kehidupan masyarakat yang bertradisi bercocok tanam, kemudian aspek religius merupakan aspek untuk berterima kasih kepada Tuhan atas hasil panen yang diperoleh dan yang terakhir adalah aspek kehidupan kekeluargaan solidaritas dan persatuan yang merupakan aspek menjunjung tinggi kekeluargaan antar keluarga terdekat dalam rumah masing-masing tiap tahunnya.

51. Upacara Banyu Pinaruh
Genre: Pertunjukan
Suku: Bali

Hari Raya Saraswati adalah hari turunnya Ilmu Pengetahuan. Umat Hindu Dharma di Bali merayakannya setiap 210 hari sekali pada Sabtu (Saniscara), Umanis (Legi), Watugunung. Pada Hari Raya Saraswati dilakukan pemujaan pada Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan dan Seni. Pada malam harinya para penganut agama Hindu membaca lontar lalu keesokan harinya dilaksanakan Banyu Pinaruh, yakni mensucikan diri di pagi buta. Karena itu di pantai Soka Indah terlihat ramai oleh penduduk sekitar yang melaksanakan Banyu Pinaruh. Beberapa sesaji diletakkan di pantai maupun di atas batu karang lalu dipanjatkan do’a-do’a.

Setelah merayakan piodalan Saraswati, umat Hindu melanjutkannya dengan melaksanakan prosesi Banyu Pinaruh. Tradisi Banyupinaruh, merupakan upacara yadnya yang dilakukan sehari setelah hari raya saraswati. Tujuannya untuk pembersihan dan kesucian diri. Banyu Pinaruh sendiri berasal kata dari Banyu yang berarti air, dan Pinaruh atau Pengeruwuh berarti pengetahuan. Pada hari Banyu Pinaruh, biasanya umat membersihkan badan dan keramas di sumber mata air atau di laut. Prosesi ini bermakna untuk membersihkan kegelapan pikiran yang melekat pada tubuh manusia, dengan Asucilaksana yang dilaksanakan pada pagi hari. Momen Banyu Pinaruh inilah jadi kesempatannya, selain untuk membersihkan diri, juga untuk menenangkan pikiran.

52. Upacara Mecaru
Genre: Pertunjukan
Suku: Bali

Upacara Mecaru bisa juga disebut Butha Yadnya, ini adalah suatu upacara untuk menjaga mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan alam lingkungan sekitarnya, sementara caru sendiri arti nya cantik atau harmonis (kitab Samhita Swara). Mecaru ini dilaksanakan sehari sebelum hari raya Nyepi, tepat pada bulan mati (tilem).

Satu hari sebelum Hari Raya Nyep,i yaitu pada waktu sasih kesanga umat Hindu Bali melaksanakan upacara Butha Yadnya yang diadakan di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, pada upacara ini dibuatkan Caru/persembahan menurut kemampuan dari yang melaksanakannya. Pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala dan segala kotoran yang ada dan berharap semoga sirna semuanya dan menjadi suci kembali.

Upacara ini dilakukan dirumah masing masing, caru/persembahan berisikan atau terdiri dari; nasi manca warna (lima warna), lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Permohonan ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala agar supaya mereka tidak mengganggu umat manusia.

Upacara mecaru ini berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan spiritual kepada umat manusia agar selalu menjaga keharmonisan alam, lingkungan beserta isinya (wawasan semesta alam). Sementara makna upacara mecaru sendiri adalah kewajiban manusia merawat alam yang diumpamakan badan raga Tuhan dalam perwujudan alam semesta beserta isinya.

53. Upacara Nyangku
Genre: Pertunjukan
Suku: Sunda

Upacara adat Nyangku  adalah sebuah ritual untuk membersihkan pusaka peninggalan leluhur warga Kecamatan Panjalu, Prabu Borosngora yang dilaksanakan setiap datangnya bulan Maulud. Dalam setiap upacara Nyangku  ini, sejumlah warga Panjalu dan Ciamis Jawa Barat membawa pusaka yang ditutupi kain.

Makna dilaksanakannya upacara adat ini adalah untuk menghormati peninggalan pusaka leluhur sebagai ungkapan terima kasih atas jasa-jasa leluhur Panjalu yang telah mendirikan negara dan menyebarkan agama Islam di wilayah Galuh, Ciamis, khususnya di Kecamatan Panjalu. Oleh karena itu, tradisi ini diadakan setiap bulan Maulid minggu keempat. Inti dalam ritual ini adalah pembersihan benda-benda pusaka yang dimiliki oleh Kerajaan Panjalu.

Ritual Nyangku diawali dengan berziarah ke makam raja di Situ Lengkong, Panjalu, Upacara dilanjutkan dengan pencucian benda pusaka peninggalan raja seperti pedang. Rombongan pembawa benda pusaka mengenakan pakaian muslim dan pakaian adat Sunda. Mereka berjalan kaki dari Bumi Alit (rumah penyimpanan benda pusaka) menuju Situ Lengkong.

Setelah itu, benda-benda pusaka dibawa ke alun-alun dan disimpan kembali di Bumi Alit. Dengan diiringi musik rebana,para pembawa pusaka menuju panggung utama tempat digelarnya pencucian benda pusaka. Benda-benda pusaka itu kemudian dibersihkan dengan air yang sudah didoakan.

Hingga kini, ritual Nyangku menjadi tradisi dan kebudayaan kebanggaan masyarakat Panjalu. Tradisi ini dimanfaatkan untuk mengenang kebesaran Kerajaan Panjalu pada masa lalu.

54. Upacara Pamali Manggodo
Genre: Pertunjukan
Suku: Sambori

Di Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, terdapat suatu upacara adat yang terejawantah dalam kehidupan ekonomi masyarakat, yakni pada aktivitas pertanian. Upacara adat yang dimaksud dikenal dengan istilah pamali manggodo yang menandakan event khusus pada saat masyarakat akan membuka lahan untuk bercocok tanam. Sebagaimana upacara-upacara adat lainnya, pamali manggodo didasari oleh kepercayaan dan tradisi yang telah melekat sejak lama dalam kehidupan masyarakat di desa Sambori.

Peralatan dan sesaji atau sesajen merupakan suatu perangkat yang biasanya ada di dalam berbagai kegiatan ritual. Perangkat itu harus lengkap, dan setiap perangkat mewakili suatu makna tertentu. Kelengkapan dari sesajen menjadi prasyarat dari keputusan pihak yang diberikan sesajen dan di sisi lain merupakan wujud kepercayaan dari pihak yang memberi sesaji. Bagi beberapa kelompok masyarakat, sesajen merupakan simbol dari pengakuan akan adanya kuasa yang harus dia puaskan supaya memberi keamanan dan ketenangan di dalam hidup mereka, dan yang akan mejawab semua permohonan mereka. Seberapa lengkap dan sempurna sesajen yang telah diuasahkan dan dipersembahkan merupakan sumber ketenangan dan keamanannya. Pada upacara pamali manggodo proses yang memuat unsur sesaji bersama dengan perangkat peralatan upacara dapat ditemukan di awal upacara. Yakni pada saat masyarakat mendatangi uma manggodo untuk meminta izin pada parafu.

Upacara Pamali Manggodo dipimpin oleh seorang tokoh yang disebut Panggawa. Selain Panggawa upacra ini juga diikuti oleh beberapa tokoh adat yang memiliki tugas masing-masing untuk memimpin upacara tolak bala. Di antaranya adalah Pamali Lawo/Lancole yang memimpin tolak bala hama tikus dan Pamali Kari‟i memimpin tolak bala burung pipit. Setelah upacara tolak bala burung pipit usai, tibalah waktunya membagi-bagikan semua hasil buruan kepada seluruh warga masyarakat di rumah Pamali Lawo.


55. Upacara Tedhak Siten
Genre: Pertunjukan
Suku: Jawa

Tedhak Siten merupakan bagian dari adat dan tradisi masyarakat Jawa Tengah. Upacara ini dilakukan ketika seorang bayi berusia tujuh bulan dan mulai belajar duduk dan berjalan di tanah. Secara keseluruhan, upacara ini dimaksudkan agar ia menjadi mandiri di masa depan.

Upacara Tedhak Siten  selalu ditunggu-tunggu oleh orangtua dan kerabat keluarga Jawa karena dari upacara ini mereka dapat memperkirakan minat dan bakat adik kita yang baru bisa berjalan.

Dalam pelaksanaannya, upacara ini dihadiri oleh keluarga inti (ayah, ibu, kakek, dan nenek), serta kerabat keluarga lainnya. Mereka hadir untuk turut mendoakan agar adik kita terlindung dari gangguan setan. Tak hanya ritualnya saja yang penting, persyaratannya pun penting dan harus disiapkan oleh orangtua yang menyelenggarakan Tedhak Siten ini, seperti kurungan ayam, uang, buku, mainan, alat musik, dll.

Selain itu ada pula ada tangga yang terbuat dari tebu, makanan-makanan (sajen), yang terdiri dari bubur merah, putih, jadah  7 warna, (makanan yang terbuat dari beras ketan), bubur boro-boro  (bubur yg terbuat dari bekatul-serbuk halus atau tepung yang diperoleh setelah padi dipisahkan dari bulirnya), dan jajan pasar.

56. Wato Wele Lia Nurat
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Lamaholot
Adalah seorang tokoh purba bernama Ema Wato Sem Bapa Madu Ma. Dia tinggal di sebuah tempat yang dikenal sebagai Sina Jawa. Pada suatu hari, dia menyuruh orang tuanya yakni burung garuda untuk terbang ke timur menuju ke puncak sebuah gunung yang bernama Ile Mandiri di bagian timur Pulau Flores. Ketika tiba di puncak gunung itu, sang garuda meletakkan sebutir telurnya. Dari sebutir telur itu, menetas dan lahirlah dua orang anak kembar, yang kemudian dinamakan Wato Wele (seorang wanita) dan Lia Nurat (seorang laki-laki). Sejak masih bayi hingga menjadi dewasa, Wato Wele dan Lia Nurat dipelihara dan dibesarkan oleh seorang hantu gunung. Ketika sudah mencapai usia akil-balik, Lia Nurat mengantar adiknya Wato Wele untuk menempati bagian selatan Ile Mandiri sedangkan Lia Nurat sendiri menempati bagian utaranya. Pada suatu malam, Lia Nurat menyalakan api unggun di puncak Ile Mandiri. Cahaya api itu sampai ke perkampungan Paji. Sinar api itu menimpa seorang gadis Paji bernama Hadung Boleng Teniban Duli. Suku Suban Lewa Hama, saudara Hadung Boleng disuruh pergi ke puncak Ile Mandiri mencari asal api unggun itu. Ketika tiba di sana dia bertemu dengan Lia Nurat. Lia Nurat berjanji akan turun ke perkampungan Paji. Lia Nurat pun turunlah ke perkampungan Paji dan menikah dengan Hadung Boleng. Dari pernikahan itu, lahirlah tujuh orang anak yang kelak menurunkan suku-suku Ile Jadi di Baipito. Mereka hidup berkecukupan. Kemakmuran mereka diketahui oleh orang-orang suku Soge (Maumere). Raja suku Soge pun mengantarkan anaknya yang bernama Uto Watak untuk diperistri Lia Nurat. Hadung Boleng tidak senang dengan kehadiran Uto Watak. Dia pun mengusir Uto Watak. Raja Suku Soge sangat marah. Mereka datang menyerbu dan membunuh Lia Nurat. Setelah Lia Nurat meninggal, kehidupan Hadung Boleng dan ketujuh anaknya sangat menderita. Suatu ketika Hadung Boleng bermimpi melihat pusat gunung. Dengan mimpi itu, kehidupan mereka kembali menjadi makmur. Terjadi perang di Adonara. Kelima putra Lia Nurat ikut berperang membela adik perempuan mereka. Dalam perang tersebut, putra sulung Lia Nurat, yakni Blawa Burak Sina Puri tewas terbunuh. Keempat putra Lia Nurat yang masih hidup kembali ke Ile Mandiri dan membagi tanah warisan di antara mereka.
57. Watu Samboka-mboka
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Kaledupa

Watu Samboka-mboka adalah salah satu cerita lisan rakyat yang hidup di tengah-tengah masyarakat Kaledupa, bisanya dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya menjelang tidur.

Teknik penuturannya berupa nyanyian dengan lagu tertentu. Cerita ini digunakan untuk mengajarkan bahwa penyesalan itu selalu datang terlambat. Pesan lainnya berupa falsafah “gau satoto” yang menekankan pentingnya prinsip keteguhan pendirian, sikap dan satunya kata dengan perbuatan. Falsafah itu diajarkan dalam lima prinsip nilai, yaiu tara (ketangguhan), turu (kesabaran), toro (komitmen), taha (keberanian), dan toto (kejujuran).

58. Wayang Cecak
Genre: Pertunjukan
Suku: Riau

Wayang cecak adalah sebuah tradisi wayang dari akulturasi suku Melayu dan Cina yang ada di Kepulauan Riau. Wayang yang dipentaskan dalam wayang cecak tersebut berbentuk seperti boneka yang dipentaskan menggunakan panggung kecil di tengah ruangan dan dipertunjukkan kepada penonton anak-anak dan orang dewasa yang dipentaskan pada siang atau malam hari. Cerita yang dibawakan dalam wayang cecak bersumber pada epos Melayu, seperti Syair Siti Zubaidah, Cerita Nak Kapiten, Syair Kapiten Tik Sing, Syair Raja Haji Fi Sabilillah, dan Syair Silindung. Pada masa lalu, wayang cecak dimainkan hanya di kalangan orang kaya dan bangsawan, sehingga kurang menyebar ke masyarakat luas. Kondisi wayang cecak kini diklasifikasikan sebagai sastra yang keadaannya kritis, bahkan punah karena tradisi ini sudah hampir tidak dipentaskan lagi semenjak kematian dalang wayang cecak yang terkenal pada tahun 1950-an, yaitu Khadijak Terung. Meskipun wayang cecak ini dikatakan punah, namun wayang cecak di alihwahanakan ke dalam cerpen, tari, dan teater agar tetap bertahan dengan mengandalkan ingatan dari para penonton wayang cecak yang masih hidup.

59. Wayang Orang Betawi
Genre: Pertunjukan
Suku: Betawi

Wayang Orang Betawi adala kesenian tradisional Betawi yang berasal dari pencampuran budaya Betawi, Sunda, dan Jawa. Masyarakat Betawi mengadaptasi kesenian Wayang Orang yang pernah dibawa oleh Sultan Agung pada saat Mataram menyerbu VOC di Batavia. Kesenian Wayang Orang Betawi dinilai unik karena terjadi pencampuran bahasa dan peralatan musik yang membuat kesenian ini dapat disukai oleh masyarakat. Saat ini, grup-grup Wayang Orang Betawi masuk dalam kategori mengalami kemunduran jika dihitung vitalitasnya yang dihitung hanya ada satu atau dua grup. Dalam pertunjukkan Wayang Orang Betawi, gerakan adalah salah satu yang menjadi daya tarik, misalnya seperti gerak dalam tarian, gerak tangan, lirikan mata, dan ucapan yang disertai mimik ekspresif ketika berdialog. Hal itu yag membuat para penonton lebih mudah untuk memahami cerita yang ditampilkan. 

60. Tari Sembah Siger Penguten (Tari Sembah Nyai)
Genre: Pertunjukan
Suku:

Salah satu jenis tarian yang terkenal adalah Tari Sembah dan Tari Melinting(saat ini nama Tari Sembah sudah dibakukan menjadi Sigeh Penguten). Tarian ini sudah dalam kategori terancam punah. Ritual tari sembah biasanya diadakan oleh masyarakat lampung untuk menyambut dan memberikan penghormatan kepada para tamu atau undangan yang datang, mungkin bolehlah dikatakan sebagai sebuah tarian penyambutan. Selain sebagai ritual penyambutan, tari sembah pun kerap kali dilaksanakan dalam upacara adat pernikahan masyarakan Lampung.

Tari Sembah Nyai

Tarian ini merupakan tari kreasi baru yang diciptakan oleh Dadi Djaja, merupakan tari penyambutan tamu. Tari ini di iringi musik Gambang Kromong seperti tari Cokek. Bentuk penyajiannya hampir sarna dengan tari Sekapur Sirih pada tari Melayu. Tarian ini mungkin dapat dikatakan sebagai bentuk pengembangan dari tarian yang berkembang di Betawi Tengah, dimana nuansa Melayu cukup berperan.

Tim Peneliti

61. Aktojeng
Genre: Permainan Rakyat
Suku:

Aktojeng adalah salah satu permainan rakyat yang terdapat di Kepulauan Selayar. Permainan rakyat ini ditemukan pula pada saat acara addinging-dinging berlangsung. Aktojeng sejenis permainan ayunan dengan cara menancapkan dua tiang besar dan pada bagian atas diletakkan sebatang kayu yang melintang dan ukurannya sebesar kedua tiang penyangga. Pada kayu atau balok yang melintang tersebut diikatkan dua batang bambu yang bagian tengah kedua bambu tersebut diletakkan sebuah papan yang berfungsi sebagai tempat duduk pemain.

Ketika melakukan aktojeng, biasanya pemain melakukannya sambil menyanyikan lagu-lagu tradisional daerah Kepulauan Selayar. Di kedua sisi tiang berdiri seorang laki-laki dengan memegang ujung tali, sehingga tali melintang di depan kedua tiang tersebut. Tugas kedua laki-laki tersebut adalah mengayun perempuan yang duduk pada tiang tali setinggi mungkin. Semakin tinggi ayunan semakin ramai sorak dan teriakan penonton.

Makna yang dapat dipetik dalam permainan aktojeng adalah keberanian dan ketangguhan perempuan Selayar. Keberanian dalam ketinggian adalah manifestasi keberanian dan ketangguhan kaum perempuan Selayar mengarungi hidup yang tidak terlepas dari tantangan dan suka duka. Permainan aktojeng merupakan simbol keberanian dan ketangguhan perempuan Selayar.

Tim Peneliti : Dafirah As’ad

62. Bapandung
Genre: Pertunjukan
Suku: Banjar

Bapandung  adalah teater  tutur suku Banjar  yang menjelmakan cerita rakyat ke dalam suatu pertunjukkan tradisional. Cerita-cerita rakyat yang diangkat dalam pertunjukkan bapandung dapat berupa hikayat, dongeng, dan legenda. Bapandung dipertunjukkan dengan cara bertutur atau bercerita oleh seorang penutur (monolog). Seorang tukang pandung (pemandungan) menggunakan tubuhnya sendiri untuk menggantikan dialog tokoh-tokohnya.


63. Basiacuong
Genre: Puisi
Suku:

Penelitian Vitalitas Sastra Basiacuong ini bertujuan mengetahui tingkat vitalitas sastra lisan Basiacuong yang ada di Kabupaten Kampar, Riau. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Pengumpulan data dilaksanakan dengan teknik observasi, wawancara, dan survey. Kerangka teori yang digunakan adalah teori vitalitas sastra yang diadopsi dari vitalitas bahasa. Untuk dapat mengukur kebertahanan Basiacuong digunakan faktor-faktor berikut, yakni faktor transmisi antargenerasi, jumlah absolut penutur, proporsi penutur dalam populasi penduduk, ranah dan fungsi, alihawahana, ketersediaan bahan ajar di sekolah, sikap pemerintah, sikap masyarakat, serta jumlah dan kualitas dokumentasi. Hasil pembahasan adalah sastra lisan Basiacuong dalam posisi terancam punah karena Basiacuong saat ini hanya dilakukan secara terbatas di lembaga adat. Selain itu, sastra lisan Basiacuong juga belum diajarkan di sekolah. Sastra lisan ini juga belum adaptif dengan media baru. Namun, dalam hal pewarisan sastra lisan ini aman karena setiap laki-laki dalam suku Melayu Kampar apabila berperan sebagai sumando (ipar) harus dapat melakukan Basiacuong. Sastra lisan ini akan aman selama adat dan kebiasaan masih terpelihara.

64. Bhanti-bhanti
Genre: Puisi
Suku:
Bhanti-Bhanti merupakan tradisi lisan dalam masyarakat Wakatobi berbentuk syair yang disampaikan dengan cara didendangkan. Bhanti-Bhanti merupakan alat komunikasi dalam masyarakat untuk menyampaikan nasihat, perasaan, larangan, permintaan, dan lain-lain. Bhanti-Bhanti memiliki dua pengertian; sindiran halus dan nyanyian rakyat. orang yang melantunkan bhanti-bhanti disebut Pabhanti.
65. Cerita Kentrung Sarahwulan
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Jawa Timur

 Cerita kentrung dimainkan pada situasi yang berbeda. Situasi mencari uang, atau pertunjukkan ngamen, dan kentrung dalam situasi pertunjukkan dalam bentuk telah diborong oleh pengundang. Pada situasi kentrung telah diborong, maka tampaklah bahwa segi estetika diperhatikan betul oleh dalang kentrung. Sementara pada situasi ngamen, terlihat sekali tidak pernah memperhatikan cerita, hanya lagu dan adegan peperangan, kadang kalau di hadapan anak adalah hiburannya yang ditunjukkan.

66. Darman dan Darmin
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Betawi

Darman dan Darmin bercerita tentang keserakahan orang anak. 

67. Dulmuluk
Genre: Pertunjukan
Suku:

Dulmuluk, seni pertunjukkan yang berasal dari pembacaan naskah Abdul Muluk merupakan kesenian yang di Sumatera Selatan muncul di Palembang kemudian menyebar di daerah Sumatera Selatan yang lain. Penelitian ini mencatat pertunjukan Dulmuluk yang menekankan perubahan struktur sebagai akibat strategi bertahan kesenian ini dari kepunahan. Aspek vitalitas dengan demikian menjadi tema utama yang melingkupi studi terhadap pertunjukan Dulmuluk sendiri maupun pengetahuan masyarakat sebagai pasar atau konsumen yang menghadirkan Dulmuluk.
Pertunjukan Dulmuluk beserta komunitas yang diteliti yaitu kelompok-kelompok yang berada di Palembang dan di Kabupaten Ogan Ilir selama sepuluh hari.

Peneliti: Dina Amalia Susamto dan tim.

68. Hiem
Genre: Teka-Teki
Suku: Aceh

Hiem (teka-teki) yang digunakan masyarakat Aceh untuk mengisi waktu senggang. Biasanya digunakan ketika mereka berkumpul seusai menanam padi atau setelah seharian bekerja. salah seorang di antara mereka menyampaikan teki teki dan yang lainnya diminta untuk menjawab teka teki tersebut. si penjawab teka teki tidak harus pada saat itu menjawab teka teki yang dilontarkan oleh si pembuat teka-teki tersebut. si penjawab diberi waktu untuk memikirkan jawaban yang tepat dari teka teki tersebut. semakin sulit teka teki itu dijawab semakin ramai suasana kegiatan tersebut.

69. Kabanti Kaluku Panda Atuwu Incuna Dempa
Genre: Puisi
Suku: Baruta Analalaki

Tradisi lisan kaбanti merupakan salah satu bentuk puisi yang paling banyak berkembang dalam masyarakat Wakatobi dan Buton pada umumnya. Kabhanti lahir dan berkembang secara turun-temurun sebagai salah satu kesenian maupun sebagai bagian dari berbagai aktivitas kehidupan masyarakat Wakatobi. Dalam Kabhanti terdapat konsep kearifan lokal masyarakat Buton, misalnya konsep kearifan lokal terhadap lingkungan (hutan, laut, karang, sungai), sistempolitik, dan sistem sosial (konsep mengenai keluarga termasuk konsep seks). Untuk kepentingan pengajaran bagi calon ayah dan ibu itulah naskah Kabanti Kaluku Panda Atuwu Incuna Dempa selanjutnya disingkat (KP) hadir dalam kehidupan keluarga masyarakat Buton. Oleh karena itu, upaya penelusuran mengenai konsep kearifan lokal mengenai seks tersebut sangat penting terutama dalam mewujudkan generasi bangsa yang berbudaya dan bermartabat.

Dalam naskah kabanti (KP) menggambarkan tata cara pemilihan lahan (jodoh), waktu untuk menebas pohon (melamar, pernikahan), waktu untuk menanam (berhubungan intim), cara menanam (cara berhubungan intim), sampai pada cara perawatan bibit yang disemai hingga lahir menjadi seorang bayi. Dalam naskah juga dijelaskan mengenai sifat anak jika orang tunya mengikuti kaidah-kaidah seks, demikian juga implikasi jika terjadi kesalahan baik dalam pemilihan lahan, waktu menebas, menanam, ataupun cara merawat tanaman yang ada akan berdampak pada sifat anak atau bayi tersebut.

KP yang berarti “Kelapa Pendek yang Tumbuh di Batu Cadas” merupakan naskah kabanti yang ditulis oleh La Kobu (Yarona La Buandairi) yang bergelar Petapasina Baadia yang berarti yang memperbaiki kehidupan orang Baadia di bidang seks atau yang menanamkan adab seks di dalam masyarakat Baadia (Kraton Buton). Naskah ini memiliki banyak salinan dan sampai saat ini masih banyak tersebar di dalam masyarakat Buton. Naskah kabanti (KP) merupakan naskah yang banyak dijumpai dalam keluarga-keluarga yang ada dalam masyarakat Buton.

70. Kaghati (Layang-Layang)
Genre: Drama
Suku: Liang Kabori Sei

Kaghati dalam bahasa Muna berarti layang-layang dan Kolope adalah nama dedaunan yang digunakan sebagai bahan layang-layang khas pulau Muna tersebut. Menurut kisah tradisional masyarakat Liang Kabori Sei Pulau Muna, layang-layang adalah permainan petani dimana mereka menjaga kebun sambil bermain layang-layang. Masyarakat Pulau Muna juga percaya bahwa layang-layang berfungsi sebagai payung yang akan menjaga pemiliknya dari sengatan sinar matahari bila ia meninggal dunia.

Tradisi menerbangkan Kaghati Kolope ini masih dipegang masyarakat setempat hingga sekarang, terutama saat musim panen tiba. Saat yang tepat untuk menerbangkan layang-layang ini adalah pada bulan Juni - September, karena pada bulan tersebut angin timur bertiup cukup kencang dan sanggup menerbangkan Kaghati Kolope hingga 7 hari lamanya. Dan kalau benar-benar dapat terbang selama 7 hari, maka sang pemilik akan membuat syukuran karena dianggap mendatangkan rejeki.

71. Kande-kandea
Genre: Pertunjukan
Suku: Cia-Cia, Muna (Pancana), dan Wolio

Tradisi kande-kandea merupakan tradisi makan bersama yang sangat umum ditemukan pada masyarakat Buton. Khusus di Kabupaten Buton, terdapat tiga etnis yang masih secara rutin melaksanakannya, yaitu etnis Cia-Cia, Muna (Pancana), dan Wolio. Penamaan atas tradisi ini juga beragam sesuai dengan bahasa etnisnya masing-masing, misalnya etnis Muna (Pancana) menyebut kafoma-foma’a, etnis Cia-Cia menyebut maataa, dan etnis Wolio menyebut peka kande-kandea. Secara umum tradisi kande-kandea yang dilakukan ketiga etnis tersebut merupakan tradisi makan bersama yang melibatkan unsur hiburan dan ritual, serta terdapat interaksi sosial, politik, dan budaya di dalamnya.

Pada zaman dulu, pekande-kandea merupakan tradisi untuk menyambut pulangnya para laskar Kesultanan Buton dari medan perang. Jika para laskar tersebut kembali dengan membawa kemenangan, pekande-kandea jauh lebih meriah lagi. Para gadis bersiap dengan makanannya untuk menyuapkannya ke para anggota laskar yang lelah sebagai penghargaan atas perjuangan mereka dimedan laga. Disamping itu acara ini merupakan pula acara pertemuan muda mudi karena hanya pada acara seperti inilah remaja putera dan puteri memperoleh kesempatan bebas untuk saling pandang.

Berbicara mengenai wacana tradisi kande-kandea di Buton, maka akan membahas tentang dua kekuatan yang menghidupinya hingga saat ini, yaitu negara dan adat. Dua kekuatan tersebut mengelola tradisi kande-kandea dengan cara dan tujuan yang berbeda-beda. Bagi masyarakat adat Baruta Analalaki (Nama masyarakat adat yang terdapat di Desa Baruta, Kecamatan Sangia Wambulu, Kabupaten Buton) acara ini dilaksanakan secara sederhana, bersifat ritual dan dilaksanakan secara tertutup di rumah adatnya. Tradisi yang kerap disebut dengan kande-kandea kabolosi ini, hanya dapat dihadiri oleh masyarakat adat dari beberapa desa, yaitu Desa Tolandona, Baruta Analalaki, Baruta, dan Tampuna. Konon mereka merupakan kelompok masyarakat bangsawan Buton yang bermukim di wilayah pesisir.

Tradisi kande-kandea kabolosi melambangkan kesatuan mistis dan sosial masyarakatnya, dengan cara menghadirkan arwah-arwah leluhur di tengah-tengah mereka. Konsep ritualnya adalah masyarakat mempersembahkan makanan kepada arwah leluhur dan dimakan secara bersama-sama, seperti slametan pada masyarakat Jawa. Kande-kandea kabolosi meliputi lima rangkaian ritual yaitu ziarah Fompua dan Dampu, powintahano lima, kande-kandeano fompu’a, kande-kandeano kabolosi dan kadandio.

72. Kapata
Genre: Puisi
Suku: Maluku

Kapata atau nyanyan rakyat Maluku merupakan jenis nyanyian rakyat liris-naratif, yaitu nyanyian rakyat yang bercerita tentang suatu peristiwa (perang, asal-usul, percintaan, persekutuan, perdamaian, lingkungan hidup, serta berbagai aspek lainnya).Kapata dapat diucapkan sebagai puisi atau dinyanyikan dengan melodi atau nada tertentu dengan atau tanpa iringan alat musik. Kapata juga biasanya dinyanyikan dan diselingi dengan tarian yang menyimbolkan keutuhan persekutuan masyarakatnya.

Keberadaan Kapata saat ini mulai terancam punah. Hal itu dikarenakan penguasaan bahasa yang tidak diturunkan ke generasi selanjutnya. Bahasa yang diucapkan dalam Kapata adalah Bahasa Tana. Hanya kalangan tertentu ataupun golongan orangtua berusia lebih dari 60 tahun yang menguasainya.

Kapata dilantunkan dalam upacara adat, pelantikan raja, penyambutan tamu, bahkan pada acara kumpul keluarga yang dinyanyikan oleh orangtua sebagai nasihat kepada anak-anaknya.


Tim Peneliti : Falentino Eryk Latupapua, dkk.

73. Kappalak Tallumbatua
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Bugis
Cerita ini berkisah tentang perjalanan raja Gowa menghadapi Belanda. Dalam kisah ini raja sedang membangun benteng pertahanan agar terhindar dari serangan musuhnya. Dari ahli nujum didapatkan keterangan bahwa kerajaan akan hancur dari dalam. Anak raja sendiri yang menjadi penyebab kehancuran kerajaan. Maka dibuanglah pangeran dari istana. Karena sakit hati, pangeran yang terbuang itu bersekutu dengan Belanda untuk memerangi kerajaan.
74. Katoba
Genre: Drama
Suku: Muna

Katoba merupakan sebuah tradisi asal Sulawesi Tenggara yang sudah terancam punah. Pesta Kotoba adalah bagian dari prosesi pengislaman bagi anak laki-laki dan anak perempuan yang baru beranjak usia dewasa atau usia 7-10 tahun. Pada prosesi tersebut, laki-laki didandani rapi dengan pakaian adat yang disesuaikan dengan golongan sosial anak tersebut. Golongan Kaomu berpakaian adat lengkap dengan keris layaknya seorang raja, sedangkan golongan maradika memakai pengikat kepala atau kopiah yang biasa dipakai oleh lakina agamai. Untuk anak perempuan mengenakan pakaian adat lengkap dengan perhiasan keluarga (atau bagi yang tidak memiliki perhiasan keluarga, dipinjamkan dari orang lain). Mereka pun memakai bedak berwarna putih atau kuning muda, kemudian alis mereka dibentuk seperti bulan sabit, dan rambut yang berada di dekat telinga dipotong. Sebagai pemanis terakhir disematkan sebuah pena yang terbuat dari emas atau perak.

Proses Katoba dilangsungkan setelah anak-anak sudah dikhitan. Katoba pun juga dapat dilakukan setelah khitanan maupun di lain waktu setelahnya. Adapun hal-hal yang diajarkan dalam prosesi Katoba, yaitu :

1. Mengucapkan dua kalimat syahadat.

2. Seorang anak harus menghormati dan menghargai orangtua laki-laki karena dianggap sebagai pengganti Allah SWT. Orangtua laki-laki yang dimaksudkan di sini bukan hanya ayah, melainkan semua laki-laki yang lebih tua.

3. Seorang anak harus menghormati dan menghargai orangtua perempuan (semua perempuan yang lebih tua) karena dianggap sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW.

4. Seorang anak harus menghormati dan menghargai kakak (semua orang yang lebih tua) karena dianggap sebagai pengganti malaikat Jibril 

5. Seorang anak harus menghargai dan menyayangi adik (semua orang yang lebih muda) karena dianggap sebagai pengganti seluruh kaum mukminin.

Selain kelima hal di atas, seorang anak yang menjalani prosesi Katoba diajari mengenai air-air yang suci (hujan, embun, sumur, laut, dsb), bagaimana menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Setelah itu, barulah seorang Imam membacakan doa setelah menyalakan dupa dan menyajikan sesajen. Sesajen tersebut tidak dimaksudkan untuk menyembah berhala, akan tetapi nantinya sesajen tersebut dimakan oleh anak-anak yang telah menyelesaikan prosesi Katoba.


Tim Peneliti : Hardin (Kajian Budaya UNUD)

75. Kawi Bali
Genre: Prosa
Suku: Bali

Pertunjukan Wayang Dalang I Wayan Nardayana dengan lakon Kumbakarna Lina, yaitu cerita yang mengisahkan kesanggupan Kumbakarna berperang melawan Rama, walaupun tahu ajal akan menjemputnya.

76. Kayat
Genre: Puisi
Suku: Melayu Riau

Kayat merupakan salah satu sastra lisan yang hidup dan berkembang di Provinsi Riau, Kayat berasal dari kata hikayat yang artinya cerita. Kayat dituturkan dalam bentuk pantun/syair. Isi dan kandungan kayat bernuansa Islam, pandangan dan prilaku hidup sehari-hari. 

77. Kerauhan
Genre: Pertunjukan
Suku: Bali

Kerauhan merupakan tradisi yang diwariskan para leluhur masyarakat Bali sebagai pembuktian tentang kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa beserta manifestasi-Nya dan masih dilakukan sampai saat ini. Kerauhanberbeda dengan kesurupan, sebab Kerauhan dilaksanakan dalam sebuah ritual keagamaan yang terdapat pemuput upacara (sulunggih/pemangku pura), upacara atau upakara, hari suci atau piodalan, rangkaian upacara, pelaksanaanya di tempat suci (pura), adanya Tapakan Kerauhan, dilaksanakan umat (pengempon pura), adanya prosesi sakralisasi dan lain sebagainya. Berdasarkan hal tersebut kekuatan suci yang masuk dalam tubuh Tapakan Kerauhanialah Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, sedangkan apabila ada orang kesurupan tanpa ada factor-faktor diatas, patut dipertanyakan roh apa yang memasuki tubuh orang tersebut.

Dalam fenomena Kerauhan terdapat beberapa pembahasan tentang masuknya kekuatan suci Ida Bhattara/Bhattari yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa dalam Teologi loKal masyarakat Hindu di Bali, fenomena tersebut antara lain pura tempat Kerauhan, waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan, dan material (sarana) Kerauhan. HadirnyaTapakan Kerauhan dalam ritual agama di Bali, akan menambah keyakinan umat dalam melaksanakan yajna dan umat mendapatkan penjelasan langsung pelaksanaan yajna yang benar


Tim Peneliti

78. Kisah Lahai Bara
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Tidung
Kisah Lahai Bara merupakan cerita asal usul kejadian tempat bernama pulau Hanyu atau Busang Mayun. dikisahkan tentang pesan Raja Pare Anyi kepada Lahai Bara, putrinya yang akan menjadi raja setelah dia meninggal.Paren Anyi adalah raja yang sangat bijaksana dan dicintai rakyatnya. Ketika dia berpesan kepada Lahai Bara dan para bangsawan kerajaan, jika dia meninggal untuk dimasukkan pada peti batu dan dihanyutkan di Sei. Kayan dan jangan dikuburkan sebagaimana harusnya. LAhai Bara menerima sebagai perintah dan tanda baktinya kepada ayahnya, akan tetapi tidak ada orang yang setuju Lahai Bara melaksanakan permintaan itu. ketika Paren Anyi meninggal, kampung jadi sunyi dan semua prahu hilang dari pinggir sungai. Hal itu tidak menyurutkan niat Lahai Bara untuk memenuhi permintaan terakhir ayahandanya. Lahai Bara sadar sesuatu tengah terjadi. Dengan kesal diikatnya peti mati ayahandanyadengan seutas tali, lalu diseretnya keluar rumah duka sambil membawa dayung, ia mencari perahu. Lahai Bara berjalan dari sebelah barat tepi sungai Kayan yang melingkar berliku sampai ke timur. Tanpa sadar ujung dayung yang dibawanya menggores tanah, menciptakan garis sesuai arah langkanya garis tanah goresan ujung dayung itu pelan-pelan dialiri air, yang semakin lama semakin besar dan dalam, hingga akhirnya daratan ditengahnya menjadi sebuah pulau. Lahai Bara berdiri di pulau itu dengan heran. Keajaiban itu telah terjadi. Karana seperti hanyut, maka disebutlah Busang Mayun atau Pulau Hanyu. Saat itu pulalah ia mendengar ayahandanya. Ayahnya meminta mayatnya dibiarkan di sana. Tidak perlum di kubur. Lahai Bara pun mengikuti pesan suara itu. penduduk melihat bahwa Lahai Bara sangat keras hati dan tidak surut ketika niatnya dihalangi.
79. Kisah Magessong
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Bugis
Cerita Magessong merupakan cerita berseri dengan kisah-kisah unik dan cerdik yang terjadi. Kisah Magessong merupakan kumpulan peristiwa yang dialami dalam perjalanan seperti cerita Abu Nawas. Magessong merupakan tokoh cerdik yang polos dan baik hati. Ketika mengungkapkan kebenaran dengan permainan dan teka-teki. Penampilannya yang sederhana akan tetapi sangat terkenal di luar kampungnya dan sulit dikenali. Ketika utusan raja mencari Magessong, dapat diperdayanya dengan menunjukkan jalan yang ditanyakan utusan itu. akhirnya diketahuilah bahwa yang dicari raja itu adalah petani yang ditanya beberapa kali alamat Magessong. Maknanya bahwa kesederhanaan menjadi sikap yang patut dicontoh.
80. Kisah Yaki Yamus
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Tidung
Cerita asal-usul ini bercerita tantang kejadian pulau Sulumun yang terletak antara Indonesia dan Filipina, sekarang pulau itu terdapat tiga pohon kelapa, kelapa itu tidak pernah jatuh buahnya. Tapi jika ada keturunan Yaki Yamus datang kepulau itu itu baru bisa jatuh dari pohonnya. dikisahkan ada empat orang bersaudara yang tinggal di sebuah pulau. Mereka menjadi anak yang baik selain Yaki Yamus, anak paling bungsu. Yaki yamus merupakan oang yang sakti dan memilik empat mata, dua di depan dan dua di belakang. Akan tetapi, Yaki Yamus melakukan kejahatan yang membuat penduduk merasa terganggu. kepada kakak Yaki Yamus, Sigang Sipoun dilaporkanlah ulah Yaki Yamus yang meresahkan penduduk sekitar yang saat itu nermata pencaharian bertani dan mencari ikan. kesaktian Yaki Yamus adalah hal yang paling berpengaruh, akan tetapi tiap manusia punya sisi kelemahannya sendiri. Yaki Yamus ternyata akan dikalahkan dengan akar-akar pohon setelah dengan berbagai alat dan berbagai cara gagal dikalahkan. setelah Yaki Yamus menyadari bahwa dia dijebak oleh saudaranya, maka dia berjanji tidak akan kembali lagi setelah dihanyutkan di sungai. dia berkata akan menjadi makhluk lain setelah itu. akhirnya Yaki Yamus berubah menjadi pulau yang disebut pulau Sulumun.
81. La Kadandio
Genre: Puisi
Suku: Muna

La Kadandio adalah lagu rakyat yang masih bertahan sampai saat ini. Lagu itu menceritakan mengenai rasa duka masyarakat Muna atas pengkhianatan yang dilakukan oleh Sultan Buton yang bekerja sama dengan Belanda untuk menangkap dan mengasingkan Raja Muna. La Kadandio merujuk pada nama samaran Raja Muna La Ode Kadiri, bergelar Sangia Kaendea. La Ode Kadiri diundang oleh Sultan Buton dan Belanda untuk menghadiri sebuah acara, akan tetapi, saat ia tiba di kapal, ia ditangkap dan diasingkan ke tempat yang tidak diketahui oleh masyarakat Muna. Namun, setelah mereka tahu di mana tempat disembunyikannya raja mereka, yaitu Ternate, sang permaisuri pun segera menjemput raja. Dengan penyamaran dan tipu daya, akhirnya sang permaisuri berhasil menyelamatkan Raja Muna.

La Kadandio didendangkan oleh masyarakat Muna, Sulawesi Tenggara hanya pada saat pementasan tari  linda, tari khas Muna. Lagu La Kadandio tidak dapat didendangkan di sembarang tempat karena dipercaya bagi siapa pun yang mendendangkannya di sembarang tempat akan didatangi makhluk-makhluk yang menyeramkan dari golongan jin (masyarakat Muna menyebutnya Wakaokili)

Ditinjau dari segi bentuknya, teks La Kadandio sangat singkat karena hanya terdiri atas 8 baris. Secara etimologis, La Kadandio terdiri atas La sebagai penanda laki-laki dalam masyarakat Muna dan Kadandio.  Secara morfologis, Kadandio dibentuk dari akar kata ndiolo  yang berarti ‘berduka’, diberi prefiks da- menjadi dandiolo yang berarti ‘kita berduka’. Kemudian bentukan kata dandiolo ‘kita berduka’ ini mendapat prefiks ka- sebagai pemarkah adjektiva (keadaan) sehingga menjadi kadandiolo yang berarti ‘keberdukaan kita semua’. Setelah itu, bentuk derivasi kadandiolo ‘keberdukaan kita semua’ ini mengalami peluluhan (deletion) pada suku kata terakhirnya yaitu lo, sehingga menjadi kadandio. Dengan demikian, secara semantis konstituen kadandio berarti ‘kita semua berada dalam keadaan duka’.


Tim Peneliti : Aderlaepe (Universitas Haluoleo)


82. Lagenda Telaga Ngebel
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Jawa

Asal-usul Telaga Ngebel berdasarkan kejadian alam adalah letusan gunung yang membentuk sebuah telaga. Namun, menurut lagenda, asal mula Telaga Ngebel adalah ada sepasang suami-istri yang memiliki anak berupa ular naga. Suami-istri itu kemudian meninggalkan desa dan tinggal di atas gunung sambil memohon doa agar anaknya kebali berwujud manusia. Doa itu akan dikabulkan apabila sang anak melingkarkan dirinya di gunung dan bertapa selama 300 tahun. Syarat lain yang harus mereka penuhi adalah memotong lidah sang anak. Hanya satu hari lagi pertapaan sang anak akan selesai. Namun, orang-orang yang memburu makanan di hutan untuk dijadikan lauk saat pesta besar menemukan sang anak yang masih dalam wujud ular naga. Mereka lalu mengambil bagian daging dan memasaknya. Saat menjelma menjadi manusia, sang anak bertubuh cacat karena hal yang dilakukan oleh warga desa. Lalu, sang anak mendatangi pesta tersebut dan meminta makanan. Tidak ada yang menghiraukannya dan malah mengusirnya. AKhirnya, sang anak kembali dengan llidi yang ditancapkan di seonggok daging yang dicabut dan setelah itu mengeluarkan air terus-menerus sampai membentuk telaga. Akan tetapi, lagenda itu pun memiliki beberapa versi yang berbeda-beda.


Tim Peneliti : Sri Sayekti

83. Lakipadada
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Toraja

Lakipadada, Cerita Asal-usul Kerajaan di Jazirah Sulawesi Selatan

Lakipadada adalah sastra lisan jenis mite (kepahlawanan) dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tokoh Puang Lakipadada dipandang sebagai pencetus berdirinya kerajaan di Sangalla’. Melalui ketiga putranya hasil perkawinannya dengan putri Raja Gowa, Lakipadada meneruskan dan mendirikan kerajaan di jazirah Sulawesi Selatan. Putra sulungnya bernama Patta La Bantang diutusnya ke Toraja meneruskan kerajaan kakeknya, Tumanurung Puang Tamboro Langi’, Kerajaan Batuborong di Sangalla’ yang terakhir dipegang oleh ayahnya, Puang Sandaboro dan permaisurinya Puang Bu’tuipattung. Putra keduanya, Patta La Bunga diutus ke Tanah Luwu dan mendirikan kerajaan di Palopo; sedangkan putra bungsunya, Patta La Merang menetap di Gowa menggantikannya menjadi Raja di Gowa. Cerita mite Lakipadada terdapat setidaknya dalam tiga versi, yakni versi Gowa, versi Bantaeng, dan versi Toraja. Akan tetapi, Bone juga memiliki versi tersendiri tentang mite Lakipadada yang menyebut Lakipadada mempunyai empat putra. Putra keempatnya bernama Patta Sandro’i Bone yang menjadi raja di Bone dengan gelar Puang To Matasik Lampoe ri Bone.

(Sumber:
Cerita Lakipadada. Drs. C.L. Palimbong, M.Hum. (tanpa tahun dan data terbitan). Disusun atas dasar kerja sama Pemerintah Daerah Tana Toraja. Koleksi Perpustakaan Daerah Tana Toraja Utara di Rantepao).

84. Lenong Denes Betawi
Genre: Pertunjukan
Suku: Betawi

Lenong merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang berasal dari suku Betawi. Terdapat sumber yang menyatakan bahwa Lenong berasal dari nama salah seorang saudagar Cina yang bernama Lien Ong. Beliau lah yang sering memanggil dan menggelar pertunjukkan teater yang kini disebut Lenong. Lenong Denes pun dimaknai sebagai pertunjukkan teater yang berisi cerita mengenai dinamika pemerintahan yang saat itu dipegang oleh penjajah. Cerita yang sering diusung mengenai sisi perlawanan masyarakat terjajah, namun dengan penggunaan gaya bahasa yang halus. Lenong Denes diasumsikan berdasarkan sudut pandang golongan menengah atas dan panggung pertunjukkannya cenderung ekslusif karena diselenggarakan untuk kalangan pemerintah. Berbeda halnya dengan lenong pada umumnya, Lenong Denes memerlukan properti yang berbeda dan agak rumit. Hal tersebut dikarenakan dekorasi dan kostum yang digunakan bertemakan kerajaan.

Di Setu Babakan terdapat sebuah tempat untuk mempertunjukkan berbagai kesenian Betawi termasuk Lenong Denes. Hanya ada satu grup yang memainkan dua kali pertunjukkan, yaitu Jali Putra yang dipimpin oleh Burhanuddin. Hal tersebut menunjukkan bahwa teater Lenong Denes merupakan salah satu bentuk teater tradisional Betawi yang hampir punah

Salah satu tokoh yang sampai saat ini masih mengingat cerita-cerita Lenong Denes adalah H. Rojali atau lebih dikenal sebagai Babe Jali Jalut. Beberapa cerita Lenong Denes yang beliau ingat berjudul Jula-Juli Bintang Tujuh, Pangeran Jaka Sundang, Sultan Bandatasin, dan Putri Siluman.


Tim Peneliti : Erlis Nur Mujiningsih

85. Macapat
Genre: Drama
Suku: Jawa

Macapat merupakan salah satu hasil kebudayaan Jawa yang menyebar di wilayah etnis Jawa, Sunda, Madura, Lombok, dan etnis-etnis lain yang terpengaruh oleh budaya Jawa. Hasil penelitian adalah macapat ada dan beredar serta digunakan di wilayah Jawa Tengah (Solo dan Jogya), Jawa Timur (termasuk Madura), Bali, dan Lombok. Aturan guru gatra, guru wilangan, guru lagu yang digunakan di wilayah-wilayah tersebut hampir sama karena semuanya memang berpatokan pada aturan-aturan macapat yang digunakan di Surakarta yang diatur pada masa keemasaan pujangga Surakarta Ranggawarsita. Aturan-aturan macapat tersebut kemudian dikodifikasi (disusun dalam bentuk buku dan kemudian dijadikan pedoman) oleh Harjowirogo pada masa Balai Pustaka dengan bukunya Patokaning Nyekaraken. Yang membedakan antara macapat di satu wilayah dcngan wilayah lainnya adalah persoalan cengkok. Berbagai macam cengkok digunakan di setiap daerah. Selain itu, yang membedakan juga adalah dari segi struktur pertunjukkan karena ada macapat yang dapat dilakukan sendiri saja, bersama komunitas tanpa penonton, dan ada yang dipertunjukkan dan ada penontonnya. Selain itu, ada yang menggunakan iringan musik (gamelan) dan ada yang tidak atau diiringi tetapi alat musiknya sederhana. Fungsi macapat di setiap wilayah dan di setiap masyarakat juga berbeda-beda. Hal itu berhubungan dengan persoalan apakah macapat tersebut digunakan dalam situasi sakral atau profan. Yang utama macapat sebenarnya merupakan sebuah alat yang sangat efektif untuk pendidikan bahkan pada masa lampau digunakan sebagai salah satu sarana untuk menyebarkan agama Islam oleh para wali. Di Bali karena yang masih digunakan adalah bentuk-bentuk kakawin secara integral merupakan bagian dari upacara keagamaan. Selain itu, apabila macapat dilakukan sendiri macapat merupakan salah satu alat untuk merenung. Bahkan beberapa orang dan di beberapa tempat mengatakan bahwa macapat merupakan sarana untuk berdoa.

86. Madihin
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Suku Banjar
Madihin, yaitu tradisi lisan jenis cerita spontan yang terancam punah. Berbentuk pantun dan syair, disajikan dengan gaya dinyanyikan. Tradisi lisan Madihin,  ini bercerita bebas karena itu kata-kata yang terdapat dalam Madihin,  biasanya kata-kata yang muncul secara spontan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu logat setempat dan bahasa suku Banjar. status teks lisan murni. Penampilan Madihin,  dapat dilakukan beberapa orang dengan cara berbalas-balasan dan diiringi oleh alat musik gendang rebana yang dipukul oleh Pemadihin, sendiri atau orang lain. Konteks penyajian Madihin, yaitu sebagai hiburan dalam acara perhelatan perkawinan, sunat rasul dan perhelatan hajat lainnya. Penyajian Madihin,  boleh di rumah, panggung atau tempat-tempat yang telah ditentukan si pengundang. Biasanya dilakukan pada malam hari dengan waktu yang disesuaikan dengan acara. Tradisi lisan Madihin, terdapat di Parit Sepuluh Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir. Merupakan tradisi masyarakat Suku Banjar di Tembilahan, dan itulah sebabnya Madihin,  dapat disajikan dengan mengunakan Bahasa Banjar.

Tim Peneliti
87. Malin Kundang
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Minang
Malin Kundang merupakan mitos yang sangat terkenal dari Sumatera Barat. mitos ini menceritakan tentang anak yang durhaka kepada ibunya. dia tidak mau mengakui ibunya yang tua renta setelah dia berhasil menjadi orang terpandang di rantau. Malin Kundang menghina ibunya kemudian ibuny mengutuk Malin kundang jadi batu.
88. Mantra Ibung-ibung Sari Dayu
Genre: Puisi
Suku: Musi

Mantra ini diucapkan saat ada bayi yang sakit agar sembuh.

89. Mat Item Jago Rawabelong
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Betawi
Berbeda dengan cerita rakyat lainnya tentang Mat Item yang dianggap jawara pada awalnya kemudian ditakuti oleh seluruh masyarakat setelah Indonesia merdeka. Mat Item adalah jawara yang selalu melindungi masyarakat dengan menangkap para perampok yang memasuki rumah-rumah Cina dan pribumi kaya. Mat item hanya dikenal sebagai sosok yang ditakuti oleh masyarakat serta dianggap lawan oleh perampok yang ada di Rawabelong. Akan tetapi kemudian Mat Item menjadi sosok yang dianggap sebagai perampok dan pengacau setelah diketahui bahwa setiap kekacauan yang terjadi selalu melibatkan Mat Item. Mat Item memiliki ajimat yang dapat menjelma menjadi binatang ketika dalam kondisi berbahaya. Sehingga ketika dianggap telah terbunuh oleh Belandapun, selama 6 bulan kuburannya dijaga sangat ketat agar tidak lagi menjelma menjadi binatang yang sulit ditangkap.
90. Merot Dingan Sising
Genre: Permainan Rakyat
Suku: Tidung
Biasanya dimainkan dalam acara perkawinan. Pada awalnya peserta pesta masih banyak sehingga dapat bermain dengan kesenian lain-lain, namun semakin larut peserta banyak yang mengundurkan diri dan yang tinggal bermain dengan cincin. Menggunakan tali sepanjang 3 sampai 4 meter tergantung peserta yang ikut diikat setelah dimasukan ke lobang cincin. Peserta memegang tali dedepannya dengan kedua tangan dengan mengoper cincin yang ada dari satu ke yang lainnya sambil bernyanyi. Seorang ditengah lingkaran menebak siapa yang memegang cincin setelah lagu dihentikan atau berakhir. Tidak dapat menebak tetap duduk menunduk ditengah, tetapi apabila tepat menebak yang memegang cincin menggantikan duduk ditengah untuk menebak berikutnya.
91. Mirah Singa Betina dari Merunda
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Betawi
Cerita Mirah ini termasuk cerita yang terkenal di Merunda. Cerita ini merupakan satu-satunya cerita tentang jawara perempuan. Mirah digambarkan sebagai perempuan yang memiliki keahlian silat yang sangat tinggi yang diwariskan oleh ayahnya. Mirah sangat cantik dan menjadi rebutan laki-laki yang mengenalnya. Akan tetapi mereka mundur setelah mengetahui ilmu silat Mirah yang tidak dapat mereka tandingi. Mirah dianggap penolong oleh masyarakatnya karena dia menjaga kampungnya dari ancaman dan kekacauan yang akan dilakukan oleh jagoan-jagoan lainnya.
92. Mob
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Papua

Mob (atau ada yang menyebutnya mop) adalah salah satu cerita rakyat yang konstruksinya mirip dengan cerpen atau fiksi mini yang sekarang sedang tren di Papua dikenal sebagai tradisi lisan yang bernuansa jenaka penuh lelucon.  Mob sebagai lelucon isinya hanya sebuah cerita fiktif, baik berdasarkan pengalaman pribadi orang lain, atau fakta kehidupan sehari-hari yang diolah kembali. Ia tersusun dari prasangka yang bersifat negatif ataupun positif, yang berasal dari sentimen atau pengetahuan berdasarkan stereotip dan memiliki fungsi sebagai hiburan. Dalam tradisi, Mob tidak mengenal rasa marah ataupun dendam karena tidak bermaksud menghina atau mengejek, melainkan hanya dimaksudkan untuk menghibur orang lain, mengandung pesan positif, dan mempererat ikatan persaudaraan.

Mob merupakan representasi lelucon atau humor yang dituturkan secara lisan menggunakan logat dan aksen khas Papua. Mob digunakan bukan hanya unruk hiburan semata, tetapi juga dipakai sebagai alat bersosialisasi dan perekat sosial masyarakat. Berdasarkan hasil observasi dan pengumpulan data sumber, Mob sudah menjadi milik bersama masyarakat Papua, termasuk yang bukan suku asli Papua. Bahkan, beberapa tahun terakhir ini, Mob telah menjadi konsep untuk suatu seni pertunjukkan yang marak dipertontonkan lewat media elektronik.


Tim Peneliti :

Ganjar Harimansyah

Nur Ahid Prasetyawan P.

Toha Machsum

93. Pak Andir
Genre: Prosa
Suku: Muna

Cerita Pak Andir menyebar di masyarakat Bengkulu Selatan sebagai bahan hiburan bagi masyarakat luas, sehingga sifatnya bukan serius. Walaupun sifatnya menghibur, tetapi mendengar sebuah cerita ini sangat ‘berat bebannya’ dibanding dengan membaca sastra modern atau karya-karya lain yang populer pada masa sekarang. Ke’berat’an atas pembacaan ini tidak mengartikan tidak ‘berat’nya sastra modern, hal ini dimaksudkan kepada penafsiran yang dibuat akan terasa lebih sukar dibanding sastra populer karena berbagai alasan, salah satu yang menonjol adalah gaya bahasa.

Cerita rakyat Pak Andir merupakan salah satu contoh hasil karya sastra daerah yang berkisah tentang kebodohan tokoh utama dalam menjalani proses interaksi kehidupan sosial di tengah masyarakat. Tema-tema semacam ini sudah sangat lazim muncul dalam cerita-cerita rakyat lucu di daerah Sumatra, seperti Pak Belalang, Pak Kadok, dan yang lainnya. Tujuan pengarang mengangkat tema-tema jenaka seperti ini salah satunya sebagai bahan cerita hiburan bagi masyarakat yang sangat baik dan mulia, tetapi dibalik itu semua tersimpan amanat yang harus dijadikan pelajaran dalam kehidupan sehar-hari

Peneliti: Rohim

94. Paleng
Genre: Permainan Rakyat
Suku: Kenyah
Suku Kenyah memperlakukan permainan sebagaimana olah raga. Paleng merupakan permainan untuk menguji kekuatan melempar sasaran. Alatnya terbuat dari kayu yang cukup kuat dan tidak mudah patah, bergaris tengan 1—3 cm. panjang tiangnya sekitar 50—100 cm, lengan sepanjang 50—100 cm. permainan ini biasanya dimainkan pada musim menebas ladang.
95. Permainan Rakyat Bambu Gila
Genre: Pertunjukan
Suku: Liang

Bambu Gila merupakan permainan rakyat di daerah Liang, Maluku Tengah. Permainan ini pada umumnya dilakukan oleh masyarakat pedalaman dan masyarakat pesisir pantai. Permainan ini merupakan permainan dengan seutas bambu pilihan dengan mantra pemanggilan arwah nenek moyang sebagai peggerak bambu itu. permainan ini dilakukan secara ganjil untuk keseimbangan. Pemainnya berjumlah lima, tujuh, sembilan orang, dan seterusnya.

Bambu gila dipimpin oleh seorang pawang yang bertugas menjadi penggerak permainan. dia adalah orang yang mengawasi permainan berlangsung dan mengatasi gangguan dari dalam maupun dari luar. seorang pawang akan sangat mengerti, kapan saatnya pemain mesti diganti. dia juga sangat bijaksana membaca gerak dan bahaya dari beberapa tangan yang akan mengacaukan permainan.

Permainan dipimpin oleh seorang kepala bambu yang merupakan orang pilihan dari pawang dengan pertimbangan bahwa pemimpin itu mestilah orang yang mampu mengendalikan amarah dan berbudi pekerti baik.


96. Puang Laki Padada
Genre: Cerita Rakyat
Suku: Toraja
Seorang raja bernama Raja Tamboro Langi’ menikah dengan Sandabilik yang melahirkan Raja Maeso, raja Sandaboro, Raja Tumambuli Buntu. Raja Sandaboro menikahi Ao’ Gading yang melahirkan Puang Laki Padada. Ketika semua keluarganya meninggal, Puang Laki Padada sangat takut dan kehilangan. Dia pergi mencari hidup kekal. Dia bertemu seekor kerbau putih bernama Bulan Panaring yang mengantarnya menyeberangi lautan. Puang Laki Padada bertemu Tolumuran yang memintanya tidak melakukan apa-apa selama tujuh hari tujuh malam untuk bisa hidup kekal. tiga hari kemudian Puang Laki Padada tertidur, Tolumurun mengatakan bahwa Puang Laki Padada tidak akan kekal, pasti akan meninggal. Puang Laki Padada akhirnya kembali menyeberangi lautan dengan perahu tapi perahunya tenggelam. Dia ditolong seekor elang besar dan jatuh di pohon cendana, dekat sumur milik ratu Gowa. Setelah dicari asal usulnya, ternyata Puang Laki Padada keturunan raja dan dinikahkan dengan putrinya. Mereka memiliki 3 orang. Pada akhirnya anak-anaknya itu memerintah di tiga tempat, Toraja, Gowa, dan Luwu.
97. PUTRI MANDALIKE
Genre: Cerita Rakyat
Suku: SASAK
Putri Mandalike bercerita tentang pengorbanan dengan membuang dirke laut karena berpikir untuk meyelamatkan perdamaian. gadis cantik jelita ini dilamar oleh beberapa orang pangeran tampan. Putri Mandalike mengulur waktu memikirkan cara mengambil keputusan untuk menolak dan menerima salah seorang lamaran untuk menjadi suaminya. Hingga waktu yang ditentukan, keputusan belum juga didapatkan. Putri Mandalike malah mempertimbangkan akibat yang akan terjadi jika diamengambil keputusan dengan memilih salah seorangnya yang tidak mau mengalah. Akhirnya, dia memilih terjun ke laut daripada memilih salah seorangnya. Kemudian pada laut itu bermunculanlah cacing-cacing kecil yang memenuhi pantai, dan Putri Mandalike berpesan bahwa itulah yang akan membuat rakyat negerinya makmur. Maka setiap tahun, tepatnya sekitar bulan Februari selalu bermunculan cacing-cacing kecil itu yang dijadikan masyarakat setempat sebagai makanan yang diolah berbagai rasa. Maka tradisi nangkap Nyale itu dilaksanakan tiap tahunnya. Peristiwa itu terjadi di pantai Kuta, Lombok.
98. Ratip Fatimah
Genre: Puisi
Suku: Melayu Kampar
Ratip Fatimah, merupakan tradisi lisan jenis non cerita yang sudah terancam punah, disampaikan pada khalayak dalam acara pertama kali membuaikan anak yang baru lahir. Gaya penyajian dinyanyikan dengan menggunakan bahasa Melayu dialek setempat dan status teks lisan murni. Kegiatan ini dilakukan di rumah orang yang mempunyai hajat. Kegiatan boleh dilakukan siang atau malam dengan waktu penyajian disesuaikan dengan keperluan. Tradisi ratip Fatimah terdapat di Langgam Kecamatan Langgam Kabupaten Kampar tempat tradisi lisan ratip Fatimah ini berada dikenal juga dengan nama acara naik buaih  dalam masyarakat Melayu Kampar
99. Ritual Ngurek (Ngunying)
Genre: Pertunjukan
Suku: Bali

Tradisi Ngurek atau di beberapa wilayah menyebutnya Ngunying adalah tradisi yang masih bertahan dan dilakukan oleh masyarakat Bali. Tradisi ini erat kaitannya dengan ritual keagamaan yang dipercaya oleh masyarakat Bali sebagai wujud nyata dari pengabdian kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Tradisi Ngurek merupakan tradisi yang sangat ekstrem untuk dilakukan. Seseorang yang menjalani ritual ini akan menyakiti dirinya sendiri dengan cara menusuk diri sendiri menggunakan keris. Namun, seseorang yang melakukannya tidak dalam keadaan sadar (kerasukan), karena itu mereka tidak merasa kesakitan.  Ngurek sendiri berasal dari kata "Urek" yang berarti melobangi atau menusuk. Maka dari itu, implementasi yang dilakukan dalam ritual adalah dengan menusuk diri.


Tim Peneliti

100. Sapuk
Genre: Permainan Rakyat
Suku: Tidung
Di sekatak ada permainan anak bambu atau bambu kecil sebesar kelingking. Bambu tersebut dipotong di antara buku-buku atau ruasnya. Kemudian lubang bambu diisi dengan kertas basah. Kertas basah tersebut berfungsi sebagai peluru. Untuk melemparkan dan menembakkan peluru tersebut, diperlukan pilahan bambu seukuran lubang bambu. Cara membuatnya adalah dengan bambu dibelah, dipilah kecil-kecil dan dihaluskan. Selain kertas basah, anak-anak juga memanfaatkan biji-bijian misalnya biji jambu air, biji salam, dan sebagainya. Ditempat lain, permainan ini disebut pletukan.
 1 
 2 
 >> 
 
© 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa