|
Registrasi Sastra Lisan
Data : 114 Sastra Lisan
No. |
Judul |
Deskripsi |
1. |
Asal Usul Danau Lut Tawar Takengon Genre: Cerita Rakyat Suku: Aceh |
Danau Lut Tawar merupakan salsah satu danau yang terletak di Aceh Tengah dan berada diseputar kecamatan Lut Tawar, Kebayakan, Bebesan, dan Bintang. Danau tersebut merupakan danau kebanggan masyarakat disekitarnya dan dijadikan sebagai sumber ekonomi, seperti pariwisata. Selain dengan keindahannya, danau ini memiliki cerita legenda yang terkenal, diantaranya adalah Putri Hijau, Putri Pukes, Unok, Putri Bensu, Ikan Depik, dan Lembide. Penamaan mengenai asal-usul Danau Lut Tawar dapat dilihat dari berbagai sisi, yaitu secara historis Danau Lut Tawar terjadi karena gunung meletus; dari segi bahasa Lut berarti laut dan Tawar berarti tidak asin, sehingga Danau Lut Tawar berarti laut tidak asin; dan juga legenda-legenda yang berkembang di masyarakat, seperti legenda Unok, yaitu seseorang yang dianggap suci dan mendapat ilham untuk membuat perahu karena akan terjadi air bah; legenda Putri Pukes yang berubah menjadi batu serta diiringi hujan lebat akibat menjadi pembangkang; legenda Putri Hijau; legenda Putri Bensu; legenda Ikan Depik; dan legenda Lembide.
Tim Peneliti : Atisah |
2. |
Bailau Genre: Pertunjukan Suku: Minang |
Bailau merupakan sastra lisan Minangkabau yang tidak terlalu popular dan hanya ada di Bayang, Pesisir Selatan,Sumatera Barat. Perempuan yang memainkannya disebut tukang ilau. Tradisi bailau hanya dilakukan kaum perempuan yang sudah menikah. Bailau ini semakin jarang dilakukan karena sawah telah diupahkan dan tidak lagi dikerjakan dengan bergilir hingga musim menyiang tiba, tradisi bailau ini pun perlahan sirna. Perkembangan selanjutnya Bailau untuk meratapi kematian telah jarang dilakukan. Bailau lebih kepada seni pertunjukan berisi ratapan dan ungkapan kesedihan berlarik seperti pantun, irama tepuk tangan dan gerak silat, yang ditingkahi sahutan perempuan pengiring lainnya. Bailau merupakan satu-satunya sastra lisan Minangkabau yang dilakukan perempuan. Mereka mengungkapkannya dalam sisomba sebagai perintang hari dan pelipur lara dan kata terungkap begitu saja sesuai suasana dan keadaan. Teks tercipta saat mereka meratap. |
3. |
Bakajang Genre: Pertunjukan Suku: Minang |
tradisi lisan Bakajang merupakan rangkaian pertemuan mengingat kembali jejak sebagai asal-usul empat suku yaitu suku Damo, suku malayu, suku Pagarcancang, dan suku Piliang di sekitar aliran sungai yang tersebar ke berbagai wilayah. Tradisi ini menjadi tradisi tahunan setelah hari raya tiba. suku Tradisi di gelar dengan menghiasi beberapa kapal kecil dan melakukan perjalanan ke daerah istana dan balai pertemuan. di ustano yang merupakan surau kecil yang disepakati, mereka menggelar perbincangan dengan makanan yang sangat melimpah sebagai etika menerima tamu dan bertamu. perhelatan ini digelar selama 10 hari. Tradisi ini masih berlangsung hingga kini. |
4. |
Bang Melong dari Meruya Genre: Cerita Rakyat Suku: Betawi |
Cerita tentang Bang Melong hampir sama dengan cerita Si Pitung. Ini juga menceritakan tokoh yang dianggap pahlawan oleh rakyat kecil dan miskin. Jawara yang suka menolong dan suka mengaji.
Bang Melong selalu mendapatkan fitnah dari orang-orang yang tidak menyukainya. Akan tetapi semua tuduhan yang ditimpakan kepadanya dapat diselesaikan dengan baik. Bang Melong juga melakukan perampokan terhadap orang-orang Cina dan pribumi kaya kemudian hasil rampokannya diserahkan kepada rakyat miskin yang berada di sekitar Meruya.
|
5. |
Basiacuong/Besesombau Genre: Puisi Suku: Kampar |
Basiocuong/besesombau merupakan salah satu tradisi masyarakat Riau yang berbentuk seni tutur, berisi tentang ungkapan petatah petitih dan pidatoo adat yang disampaikan dengan cara berbalas-balasan untuk merundingkan suatu masalah. |
6. |
Basing Kajang Genre: Permainan Rakyat Suku: Kajang |
Basing merupakan pantun dalam meratapi kematian secara elegan dan estetis
yang membedakannya dengan ratapan biasa pasca kematian manusia. Basing adalah
ritual seni sebab justru dimainkan dengan penuh aturan estetik. Salah satu
bentuk pantun milik suku Kajang di Sulawesi Selatan ini adalah nyanyian dan
suling yang dimainkan oleh empat orang, dua orang pria memainkan suling Basing
dan dua orang perempuan sebagai penyanyi. Seruling Basing yang mereka gunakan
terbuat dari bambu kecil berdiameter 3 sentimeter, panjang 50 sentimeter, yang terbuat dari bambu, biasa disebut bulo.
Bulo ini digunakan sebagai alat musik karena tipis dan cocok untuk ditiup.
Biasanya alat musik ini dipakai saat ritual oleh masyarakat Kajang. Seperti
musik menyayat hati pada saat orang Kajang meninggal. Dan biasanya jika ada
pesta pernikahan alat musik ini dimainkan oleh pabasing diiringi tarian oleh penari Kajang
Dalam
sejarah masyarakat suku Kajang pada mulanya Basing hanya dimainkan dalam
suasana kematian untuk mengiringi sebuah elegi nyanyian ratapan dari keluarga
yang ditinggalkan. Basing yang dilantunkan untuk kematian itu disebut Basing Tempa Sorong. Ada pula jenis
Basing bernama Tabu yang dilantunkan disembarang waktu, boleh dinyanyikan pada
saat tidak ada kematian. Seiring perubahan zaman Basing telah dimainkan dalam
upacara adat, menyambut tamu, dan lain-lain. Bahkan Basing sudah sering
ditampilkan dalam acara-acara seni budaya tingkat nasional. Termasuk pernah
dipentaskan dalam Pantun Nusantara di Jakarta pada 2007. |
7. |
Batu Manangih Genre: Cerita Rakyat Suku: Minang |
Cerita tentang anak durhaka yang memperlakukan ibunya dengan tidak baik. Anak perempuan yang tidak disebutkan namanya, hidup dengan ibunya yang bekerja sebagai nelayan. Ibu memenuhi kebutuhan mereka berdua, sementara anaknya hanya bermain dan tidak perhatian pada ibunya. Suatu waktu terjadilah masa paceklik sehingga mereka harus menempuh perjalanan yang jauh untuk meminjam padi kepada orang kaya. Anak perempuan berdandan dengan baik sementara ibunya berpakaian lusuh. Kepada orang kaya yang bertanya tentang perempuan tua yang bersamanya, anak perempuan itu katakan bahwa perempuan tua itu adalah babunya. Dia tidak pantas dijamu dengan hidangan yang baik dan cukup diberi makanan sisa yang ditarok di lantai. Ternyata sikap yang berlebihan itu membuat ibunya berhiba hati dan berdoa pada Tuhan agar anaknya mendapatkan petunjuk baik. Di perjalanan pulang, tiba-tiba anak gadis itu terbenam ke tanah dan tidak bias bergerak. Semakin lama makin tenggelam hingga akhirnya menjadi batu. Hingga sekarang batu itu selalu basah dan mengeluarkan air sehingga diberi nama Batu Manangih (batu menangis). |
8. |
Batu Manangih Genre: Cerita Rakyat Suku: Minang |
Cerita tentang anak durhaka yang memperlakukan ibunya dengan tidak baik. Anak perempuan yang tidak disebutkan namanya, hidup dengan ibunya yang bekerja sebagai nelayan. Ibu memenuhi kebutuhan mereka berdua, sementara anaknya hanya bermain dan tidak perhatian pada ibunya. Suatu waktu terjadilah masa paceklik sehingga mereka harus menempuh perjalanan yang jauh untuk meminjam padi kepada orang kaya. Anak perempuan berdandan dengan baik sementara ibunya berpakaian lusuh. Kepada orang kaya yang bertanya tentang perempuan tua yang bersamanya, anak perempuan itu katakan bahwa perempuan tua itu adalah babunya. Dia tidak pantas dijamu dengan hidangan yang baik dan cukup diberi makanan sisa yang ditarok di lantai. Ternyata sikap yang berlebihan itu membuat ibunya berhiba hati dan berdoa pada Tuhan agar anaknya mendapatkan petunjuk baik. Di perjalanan pulang, tiba-tiba anak gadis itu terbenam ke tanah dan tidak bias bergerak. Semakin lama makin tenggelam hingga akhirnya menjadi batu. Hingga sekarang batu itu selalu basah dan mengeluarkan air sehingga diberi nama Batu Manangih (batu menangis). |
9. |
Benin Ge Genre: Permainan Rakyat Suku: Kenyah |
Benin Ge merupakan permainan perang-perangan untuk anak-anak pada waktu musim menebas ladang. Alat permainan initerdiri dari bambu betung atau bulo’ atung yang sudah tua dengan garis tengah bambu 1—2 cm dan panjang sekitar 30 cm. peluru yang digunakan adalah biji-bijian tumbuhan yang keras, seperti biji beringin, biji kopi, dan lain-lain. |
10. |
Benin Sungai Genre: Permainan Rakyat Suku: Kenyah |
Benin Sungai merupakan permainan rakyat yang dilakukan anak-anak di sungai ketika musim membakar ladang. Permainan semprot air dengan menggunakan alat bambu biasa atau bulo’ lan yang bergaris tengah 2—3 cm dan panjang 100 cm. permainan ini juga dijadikan sebagai alat antisipasi penyemprot api liar pada waktu membakar ladang. |
11. |
Boi-Boian Genre: Permainan Rakyat Suku: Tidung |
Boi-boian merupakan salah satu permainan yang digemari anak-anak di Kalimantan Utara. Kadang menggunakan bola plastic, bola kasti, atau benda serupa bola. Misalnya kain atau plastik yang digulung dalam bentuk bola.
Permainan ini dimainkan oleh 5-10 anak. Permainannya ialah dengan cara menyusun lempengan batu, biasanya diambil dari pecahan genting atau pocelen berukuran kecil. Bolanya bervariasi, biasanya terbuat dari buntalan kertas yang dilapisi plastik, empuk dan tidak keras, sehingga tidak melukai. Satu orang sebagai penjaga lempengan. Pemain lainnya bergantian melempar tumpukan lempengan itu dengan bola sampai roboh semua. Setelah roboh, penjaga harus mengambil bola dan melemparkannya ke anggota lain. Pemain yang terkena lemparan bola bergantian menjadi penjaga lempengan.
Penjaga lempengen batu harus mengejar bola, menangkap dan melemparkannya hingga mampu mengenai pemain lain. Pemain lain yang tidak menjaga lempengan batu, secara bergantian melempar bola ke arah tumpukan batu. Bila tidak ada satupun yang mampu merobohkan tumpukan batu lempengan, pemain pertama giliran melempar harus berganti menjadi penjaga batu lempeng.
|
12. |
Bongkaana Tao Genre: Prosa Suku: Buton |
Secara harfiah, Bongkaana Tao
berarti membongkar tahun. Acara tersebut merupakan pesta panen dan ritual
menolak bala. Akan ada upacara melabuhkan sesajen ke lautan sambil berdoa agar
segala bencana bisa lenyap dan hilang di lautan lepas. Ada dua maksud
digelarnya acara tersebut. Pertama adalah ungkapan rasa syukur atas rezeki yang
dicurahkan Allah kepada warga sekitar. Kedua adalah memanjatkan doa agar dijauhkan
dari segala bahaya dan sial yang bisa datang sewaktu-waktu. Jadi Bongkaana Tao
artinya menutup masa panen dengan penuh suka cita sambil berharap agar tahun
berikutnya lebih mendatangkan rezeki dan pengharapan.
Sesajennya berbentuk perahu dan di haluan terdapat kayu berbentuk kepala
buaya, sedangkan di bagian buritan atau belakang perahu sesajen tersebut,
terdapat patung ekor buaya. Menurut hikayat, dahulu di dasar sumur itu berdiam
seekor buaya yang sakti sehingga sumur itu dianggap keramat. Hingga satu saat,
buaya tersebut lenyap kemudian ada warga yang seakan mendapatkan wangsit agar
setiap tahun diadakan ritual di sumur tersebut agar membuang sial dan mendoakan
semua warga agar selalu bahagia dan bertambah rezekinya. Warga yang mendapatkan
wangsit itu, selanjutnya menjadi pemimpin doa. Hingga bertahun setelah dia
meninggal, posisinya akan digantikan oleh keturunannya.
Isi sesajen biasanya berupa makanan khas Buton seperti lapa-lapa,
telur, dan aneka lauk-pauk. Setelah itu, seorang moji datang membawa tempat
dupa, kemudian acara itu dimulai. Mereka lalu membakar dupa di kemenyan lalu
sama-sama berdoa. Doa disampaikan dalam bahasa Arab dan diselingi dengan bahasa
Indonesia. Saya mendengar beberapa kalimat yang diucapkan seperti jamaliyah,
jalaliyah, yang kesemuanya adalah manifestasi sifat-sifat Tuhan. Kata tersebut
sering diucapkan mereka yang mendalami tasawuf dan tarekat.
Usai berdoa, mereka lalu mengusung sesajen tersebut, kemudian membawanya
ke laut. Mereka lalu berjalan menuju ke dekat lapangan tempat pekande-kandea,
lalu ke dekat laut dan melepaskan perahu sesajen tersebut secara bersama-sama.
|
13. |
Cekang Genre: Permainan Rakyat Suku: Tidung |
Anak-anak di Kalimantan Utara, khususnya yang lahir dalam tradisi kebudayaan Tidung di Tarakan pernah merasakan kebahagiaan memainkan permainan ini. permainan Cekang adalah permainan dengan ketapel. Permainan ini akan mengotori dinding rumah, karena menggunakan buah yang bewarna untuk menembak cecak di dinding. Untuk mencari buah ini, anak-anak harus menerjang lumpur sebab tumbuhan bakau tumbuh di atas air bercampur lumpur. Sehingga ketika pulang ke rumah, seringkali anak-anak harus berhadapan dengan cubitan ibu atau mamaknya.
Anak-anak mendapatkan cekang atau ketepel dari cabang ranting pohon mangrove dan memasang karet sebagai pemantul buah pisangan; buah pisangan dilipat serupa anak panah. Di Jawa permainan ini disebut gedangan atau pisangan. Kadang, anak-anak juga memanfaatkan buah bongsai untuk menembak cicak. Buah pisangan biasa digunakan sebagai peluru ketekan (ketapel) dapat juga dimanfaatkan sebagai anting-antingan.
|
14. |
Cepung Genre: Pertunjukan Suku: Sasak |
Cepung merupakan seni vokal
tradisional daerah Lombok, alat yang digunakan sangat terbatas, hanya
diiringi dua alat musik yaitu seruling dan redep. Dengan keterbatasan alat
musik yang digunakan maka para pemain mengatasinya dengan cara menirukan bunyi
gendang, kenceng, rincik. Para pemain selain bertugas membuat bunyi-bunyian
yang menyerupai alat musik tertentu juga sebagai pembawa syair atau
pantun secara bersaut- sautan.
Jumlah pemain cepung ini 6 orang yang
bertugas sebagai pembaca lontar yang merupakan sumber cerita dan syair cepung
itu sendiri. Pembacaan dilakukan bergantian setiap kali pergantian babak
permainan ( merupakan pendahulu gending baru), dua orang sebagai pemain alat
musik dan tiga orang sebagai pembawa musik vokal yang dilakukan sambil menari
dengan gaya yang lucu sesuai dengan syair dan gending yang dibawakan dan
ketiga pembawa musik vokal tersebut dalam keadaaan duduk. Para pemain duduk bersila melingkar atau
membentuk huruf U. Ada yang mengenakan baju atau sebaliknya, tetapi tetap
mengenakan kain dan destar serta hiasan lainnya. Irama lagu cakepung pada
mulanya terdiri atas tiruan bunyi alat – alat gamelan tradisional yang
disuarakan melalui mulut para pemainnya seperti: kendang, ricik, petuk, dan
gong. Dan bahkan disertai dengan meminum minuman tuak untuk lebih memanaskan
suasana permainan. Mengingat seni ini harus dimainkan penuh semangat seperti
tari cak.
Kesenian ini merupakan perkembangan dari
“pepaosan-pepaosan” , cerita yang diambil dalam seni cepung ini khusus dari
Pepaosan Cerita klasik”Monyeh”. Cerita klasik Monyeh sangat terkenal di Lombok,
dikarang dalam bentuk pantun (seloka) dalam bahasa sasak oleh Jero Mihran/Mamiq
Mihran pada tahun 1859. Seluruhnya terdiri dari 671 bait, dibawakan dengan
tembang Sinom, Semarandana, Kumambang, Durma, Dang-dang dan Pangkur. |
15. |
Cigawiran Genre: Puisi Suku: Sunda |
Tembang Cigawiran merupakan salah satu seni vokal yang mempunyai kekhususan dan berbeda dengan lagam-lagam tembang lainnya. Meskipun demikian, tembang Cigawiran ini tetap dikategorikan sebagai salah satu jenis tembang Sunda yang merupakan lagam atau ala Cigawir. Pimpinan seni Cigawiran sekarang adalah Hidayatus Sibyan, sekaligus pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Mubarrak yang berlokasi di kampung Serang, Desa Cigawir, Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut.
Tembang Sunda Cigawiran diperkirakan dikembangkan mulai sekitar tahun 1823 dengan tokohnya Raden Haji Jalari (1823—1002), kemudian dilanjutkan oleh Raden Haji Abdullah Usman (1902—1945), lalu Raden Mohamad Isya (1945—1980), dan kini memasuki periode keempat tokohnya adalah Raden Agus Gaos (almarhum), Raden Muhammad Amin (almarhum) dan Raden Iyet Dimyati. Namun tokoh tersebut kini hanya tinggal Raden Iyet Dimyati.
|
16. |
Dampol Siburuk Genre: Prosa Suku: Batak Toba |
Dampol
Siburuk adalah cerita rakyat masyarakat Batak Toba, Sumatera Utara, yang menginspirasi
penemuan pengobatan patah tulang ala urut burung butbut (dampol siburuk) dengan menggunakan sarang burung butbut sebagai ramuannya.
Pada masa cerita rakyat ini masih hidup dan sering dituturkan, pengobatan patah
tulang ala "dampol siburuk" pun masih dipraktikkan dalam mengobati
patah tulang. Saat ini cerita rakyat tersebut tidak pernah lagi dituturkan, demikian
juga praktik pengobatan “dampol siburuk” sehingga sudah dalam kategori hampir
punah. Para seniman dan budayawan Batak Toba telah mengalihwahanakan cerita rakyat
"Dampol Siburuk" ini menjadi seni pertunjukan. Badan Bahasa melalui
Pusat Pengembangan dan Pelindungan telah merevitalisasi cerita rakyat "Dampol
Siburuk" pada Agustus 2016 di Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera
Utara.
Sinopsis Dampol Siburuk
Sepasang induk burung butbut (pidong
siburuk) bersama seekor anaknya yang
belum dapat terbang, pada suatu pagi sedang bersuka
ria. Ketika kedua induk burung siburuk
itu pergi mencari makan, tinggallah sendiri anaknya yang masih kecil di sarangnya. Kemudian datang seorang penggembala dan melihat anak burung siburuk tersebut, dan timbullah niatnya untuk memiliki
anak burung siburuk tersebut. Lalu dipatahkannya tulang sayap anak siburuk
itu supaya kelak tidak bisa terbang. Setelah kedua induknya kembali ke
sarangnya, mereka terkejut dan sedih melihat
anaknya yang menderita patah sayap. Tidak lama kemudian, kedua induk burung siburuk itu terbang meninggalkan anaknya. Akan tetapi, tidak lama kemudian,
keduanya
kembali ke sarangnya. Mereka membawa dedaunan
dan tetumbuhan seperti sipijor na
ganggang, amos-amos, sigagaton ni
hirik, dan tetumbuhan lainnya. Tetumbuhan
itulah yang digunakan oleh kedua induk burung tersebut mengobati sayap anaknya
yang patah. Kedua induk siburuk itu
dengan sabar dan tekun membalut
sayap anaknya yang patah dengan bermacam dedaunan. Tidak berapa lama pula, sayap patah anak siburuk itu pun sembuh. Setelah sembuh,
keluarga burung itu pun kembali riang gembira. Karena anaknya sudah dapat
terbang, keluarga burung siburuk itu terbang membawa anaknya meninggalkan sarang mereka dan tidak pernah
lagi kembali ke tempat itu.
Tidak berapa lama kemudian si penggembala datang hendak memeriksa anak
burung siburuk itu. Tetapi, alangkah
terkejutnya dia karena anak burung siburuk itu tidak ada lagi di sarangnya. Ia hanya menemukan sarang kosong dengan beberapa macam
dedaunan yang masih kehijauan namun mulai kering. Dengan penuh tanda tanya si penggembala mengambil sarang burung siburuk
tersebut, lalu diserahkannya kepada seorang dukun pengobatan di
kampungnya. Melihat dedaunan dan tetumbuhan itu, sang dukun pun senang hatinya,
karena dedaunan seperti itulah yang dicari-carinya untuk digunakan mengobati orang
yang patah
tulang atau terkilir.
Sementara itu, sebagaimana kebiasaan di perkampungan Batak, pada malam
hari di saat bulan terang, para gadis menari atau martumba di tengah halaman perkampungan. Pada saat mereka menari,
salah seorang dari penari itu terjatuh hingga kakinya terkilir. Maka dibawalah si
gadis itu ke dukun patah. Sang
dukun pun mengobatinya dengan menggunakan dampol siburuk. Tidak berapa lama
kemudian kaki gadis penari yang terkilir itu pun sembuh seperti sedia kala. Demikianlah
cerita Dampol Siburuk.
Berdasarkan
cerita Dampol Siburuk, orang Batak menemukan
pengobatan patah tulang ala dampol Siburuk.
Cerita ini meninggalkan pesan supaya melindungi satwa liar dan lingkungan hidup
atau alam semesta. (Jonner Sianipar)
|
17. |
Gambang Rancag Genre: Puisi Suku: Betawi |
Gambang rancag merupakan gabungan
berbagai kesenian, seperti musik, sastra, dan teater.
Kata rancag berarti irama
cepat dan rancagan dapat juga diartikan penyajian lagu dan musik
dengan irama cepat.
Pengertian lain rancag, yaitu tuturan atau juga disebut pantun berkait
(Sopandi, dkk., 1992: 16, dalam Meinindarto [2009]). Rancagan ini
diiringi oleh musik gambang kromong dan gambang rancag itu sendiri memang berawal dari
kesenian gambang kromong. Performa gambang rancag disebut "rancagan". Di dalam rancagan diceritakan suatu kisah dalam
format pantun berkait.
Gambang rancag merupakan bagian dari tradisi lisan masyarakat Betawi pinggir yang
letak pertumbuhannya di daerah Timur Jakarta berbatasan dengan Depok
dan Bogor. Namun, menurut Jali Jalut (seorang budayawan Betawi), awalnya kesenian ini justru berkembang di Kemayoran. Menurut Jalut, ia belajar dari mertuanya Pak Samad dan mertuanya
tersebut belajar dari Pak Samsu di Kemayoran. Dari Kemayoran, gambang rancag
kemudian
berkembang ke arah Jakarta Timur di sekitar Cijantung dan Pasar Rebo.
Dalam sejarahnya,
menurut Yahya Saputra (2011), tradisi lisan ngerancag diduga bermula pada
akhir abad ke-19 jika dilihat dari tema ngerancag yang dibawakan, seperti
Rancag Si Pitung dan Kramat Karem. Si Pitung diketahui tewas pada tahun 1894,
sedangkan Kampung Kramat tenggelam sebagai akibat dari meletusnya Gunung
Krakatau pada tahun 1881. Pendapat ini didasarkan pada argumentasi bahwa rancag
dapat berfungsi sebagai kontrol sosial tidak secara
langsung. Rancag dan cerita sohibul hikayat yang berkembang pada zaman Belanda digunakan oleh
masyarakat untuk mengkritik pemerintah Belanda, tetapi dengan cara aman untuk menghidar dari
penangkapan. Salah satu tema rancag adalah si Pitung. Rancagan si Pitung adalah
bagian dari kritik sekaligus transformasi nilai semangat perlawanan terhadap
otoritas pemerintah Belanda.
Pada tahun 1911, menurut Yahya (2011), Toko DJIN VICH &
Co (Loa Yoe Djin), Pancoran, Batavia, pernah menjual macam-macam versi atau
judul rancag. Berbagai judul rancag ini menunjukkan bahwa pertunjukan tersebut
pernah mengalami kejayaan. Judul-judul rancag yang dikemukakan oleh
Yahya, misalnya:
- Rancak Roema Angoes Besar di Maoek, ka 1-6
- Rancak Sie Mioen (dengen Pake Gambang Piano dan
Laen-laen)
- Rancak Nona Boedjang ka 1-4
- Rancak Orang Maen Kartoe ka 1-4
- Rancak Entjek A Kiong Mati Diboenoe ka 1-4
- Rancak Pa Bairah di Tamboen ka 1-6
- Rancak Si Pitoeng ka 1-4
- Rancak Orang Bersobat Sama Komedi Bangsawan ka 1-4
- Rancak Orang Dimadoe ka 1-2
- Rancak Orang Derep Keleboe ka 1-6
- Rancak Patima Mati Diboenoe ka 1-4
- Rancak Toekang Ketjrot di Betawi ka 1-4
- Rancak Anak Ajem ka 1-4
- Rancak Sang Kodok ka 1-2
- Rancak Roepa-roepa Boeroeng ka 1-2
- Rancak Djago Si Angkri ka 1-6
- Rancak Pa Tjenteng Soekain Mantoenja ka 1-4
- Rancak Orang Diboei Poenja Sangsara ka 1-4
- Rancak Toekang Sado Ditjela-tjelain ka 1-
Lagu-lagu rancagan yang dijual
tersebut bisa jadi tidak menunjukkan jumlah sebenarnya rancagan, artinya
banyak lagu-lagu gambang rancag yang tidak terdokumentasikan. Alat musik utama yang digunakan dalam penyajian gambang rancag
adalah gambang, yaitu alat musik perkusi idiofon yang berjajar bilah kayu berjumlah antara 17
sampai dengan 21 bilah di atas sebuah
wadah tempat menyimpan suara (resonator).
Musik
Gambang Kromong
Gambang kromong merupakan musik yang
mengiringi kesenian gambang rancag. Musik dalam tradisi lisan ini berfungsi sebagai
penggugah suasana, membantu mengingat, dan menjaga keselarasan serta
keseimbangan rasa. Musik gambang kromong terdiri atas gambang dan kromong--yang
menurut Untung Yuwono dkk.(2011)--berasal dari perpaduan unsur budaya Cina dan
pribumi. Unsur budaya Cina terlihat dari alat musik tehyan, kongahyan, dan sukong. Unsur budaya pribumi terliaht pada alat musik gendang, kempul, gong, gong enam, kecrek, dan
ningnong. Menurut Meinindarto (2009)
menjelaskan bahwa alat musik utama yang digunakan dalam penyajian gambang
rancag adalah gambang.
Gambang merupakan alat musik perkusi idiofon yang
menjajarkan bilah kayu berjumlah antara 17 sampai dengan 21 dengan pembagian
bilah di atas sebuah wadah tempat menyimpan suara (resonator). Instrumen musik
pengiring yang lain terdapat tiga buah alat musik dawai (kordofon) gesek yang
bernama kong ahyan, tehyan, dan sukong. Ketiganya memiliki ukuran yang berbeda.
Selain intrumen tersebut masih ada instrumen yang lain, yaitu gendang, suling,
kecrek, gong, dan kromong (kemor). Gendang adalah alat musik membranofon yang
menyerupai susunan gendang untuk karawitan Sunda, sedangkan suling seperti
yang digunakan pada musik Melayu dangdut yang ditiup (aerofon) secara horizontal.
Instrumen idiofon yang lain adalah kecrek dari beberapa lembar lempengan besi,
gong, dan kemor yang memiliki gundukan logam yang berpencon. Musik yang mengawali keberadaan gambang
rancag ini dalam sejarahnya hanya dimainkan oleh golongan cina peranakan,
tetapi kemudian mengalami intereksi kultural dengan masyarakat pribumi. Sama
dengan rancag, gambang kromong awalnya juga berasal dari daerah Jakarta Pusat
(kemayoran), tetapi kemudian tergusur ke pinggiran kota (Yuwono, 2011: 2).
|
18. |
Gorga Batak Genre: Permainan Rakyat Suku: Batak Toba |
Gorga Batak adalah kesenian masyarakat Batak Toba yang hampir terancam punah. Gorga Batak adalah ukiran atau pahatan
tradisional yang biasanya terdapat di dinding rumah bahagian luar dan bagian
depan dari rumah-rumah adat Batak. Gorga ini dibuat dengan cara memahat kayu
dan mencatnya dengan tiga macam warna, merah-hitam-putih. Ketiga warna ini
disebut tiga bolit. Bahan Gorga ini biasanya adalah kayu lunak yang mudah
dikorek/dipahat. Kayu ungil atau kayu ingul menjadi pilihan yang tepat oleh
nenek moyang Orang Batak. Kayu Ungil ini mempunyai sifat yang kuat, tahan
terhadap sinar matahari langsung dan terpaan air hujan sehingga tidak cepat
rusakatau lapuk. Kayu Ungil ini juga biasa dipakai untuk pembuatan kapal di
Danau Toba. Jenis kayu ini jugalah yang menjadi pilihan para pengrajin kayu di
daerah Tuk-tuk. Selain kayu ingul, pengrajin kayu di daerah ini juga
menggunakan kayu humbang.
Gorga Batak diinformasikan bukan sekedar
hiasan, tetapi memiliki penuh makna. Arti motif mencerminkan falsafah maupun
pandangan hidup orang Batak yang suka musyawarah, gotongroyong, suka berterus
terang, sifat terbuka, dinamis dan kreatif. Mengukir gorga ada tekniknya dan
dibutuhkan kesabaran dan kehati-hatian, disamping perlu menguasai bentuk
alat-alat ukir maupun segi pengelolaan. Gorga bisa dibuat dengan teknik ukir
yang menggunakan pisau tajam, dengan alat pemukul dari kayu, ada juga yang
dilukis dengan menggunakan bahan yang diolah sendiri dari batu-batuan, arang,
getah pohon, dan sebagainya.
Tim Peneliti
|
19. |
Hoyak Tabuik Genre: Pertunjukan Suku: Minang |
Hoyak Tabuik merupakan upacara peringatan kematian Hasan dalam pertempuran di Bukit Karbala. Setiap tanggal 10 Muharram, masyarakat Padang Pariaman memperingatinya dengan sangat megah. mereka membuat Tabuik yang berbentuk kepala manusia dan bertubuh burung Buraq. Hiasan yang megah itu juga dilengkapi dengan berbagai pernak-pernik lainnya pada tabuik itu. Pembuatan tabuik juga melewati beberapa prosedur seperti maambiak tanah, membuat tabuik, dan lain-lainnya. prosesi Hoyak Tabuik berlangsung sepuluh hari. Tabuik itu di arak berkeliling kota bernama arak Tabuik sebelum di adu. Tabuik di arak menuju pantai Gandoriah, tempat tabuik itu di buang ke laut setelah di preteli semua benda-benda berharga yang ada pada tabuik. mereka memperebutkan untuk disimpan sebagai benda yang dipercaya akan menjaga diri, meningkatkan usaha, dan lain-lainnya. |
20. |
Murtado Macan Kemayoran Genre: Cerita Rakyat Suku: Betawi |
Murtado merupakan cerita Betawi yang lebih kepada kesantunan orang yang berilmu tinggi dan hidup berkecukupan. Dia digambarkan sebagai sosok yang sangat sopan dan rendah hati. Akan tetapi sangat membenci keburukan yang dilakukan Belanda kepada masyarakat sekitarnya.
Dia melakukan pembelaan terhadap orang-orang miskin dengan diam-diam. Dia menjaga rakyat dari jagoan-jagoan yang menyiksa dan memeras masyarakat sekitarnya.
|
21. |
Puang Ri Maggalatung Genre: Cerita Rakyat Suku: Makassar |
Cerita ini merupakan cerita rakyat Wajo. Di dalam Lontarak disebutkan bahwa Puang Ri Magallatung bernama asli La Taddang pare Puang Ri Maggalatung merupakan orang yang cerdas dan ahli pikir dan ahli strategi perang pada masa itu. sejak kecil sudah terlihat bakatnya dan sangat dimanjakan. Dia sering membuat onar dan mengganggu orang Palakka. Ketika dewasa dia meninggalkan Bone dan menghanyutkan pakaiannnya di sungai sebagai cara membuang perangai buruknya. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Wajo.kemudian menjadi raja di suku Wajo dan dianggap sebagai asal-usul suku Wajo |
22. |
Randai Genre: Drama Suku: Minang |
Di
Minangkabau, Randai merupakan kesenian pamenan rang mudo (permainan anak muda). Randai adalah suatu bentuk kesenian lama, yang dapat juga dikatakan seni drama,
tari, dan suara khas Minang.Dikatakan “drama” karena suatu “kaba” yang
dipertunjukkan diperankan oleh pelakunya
melalui gerak (action).
Antarwacana dialog), semita (mimic). Ada pula dimulai dengan sejenis
prolog, sekali-kali berisilkan prolog.
Suatu
kesenian tradisi yang hidup di Minangkabau sudah ada sejak lama, sejak
antarkomunitas dari satu nagari dan nagari lain bersosialisasi. Pola melingkar
dengan penonton/penikmatnya mengelilingi permainan randai telah menyatukan dan
membaurkan antara penonton dan pemain. Di dalam suatu pertunjukan randai,
ditemukan berjenis kesenian yang khas seperti; seni suara
(dendang/gurindam), musik (saluang, talempong, dan gendang), gerak (akting,
pencak, tari, dan galombang), serta
sastra/cerita atau kisah (dialog, joke/komik, dan monolog.
Dikatakan ;karena pertunjukan dimaksud dibuka dengan
bunyi-bunyian asli, seperti alat tiup (pupuik gadang, dan/atau alat pukul
(talempong atau gandang), sedang tiap-tiap adegan dalam permainan diisi dengan dendang
oleh para pembantu (figuran).Dikatakan”tari” karena dendang disertai serentak
dengan langkah gerak pencak yang kadangkala dibungai dengan gerak jari tangan (
M. Rasyid Manggis. 1980: 20).
Seperti
juga kesenian tradisi lainnya, tidak ada catatan pasti yang menyebutkan kapan
randai lahir. Namun dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa randai tercipta
dan dimainkan oleh anak-anak muda di suatu sasaran atauperguruan silat. Pada mulanya, anak laki-laki di
Minangkabau harus mampu membela diri dengan mempelajari ilmu beladiri yang
disebut silat. Gerak-gerak silat, yang disebut juga pancak (pencak)
bila dilakukan pengulangan terasa cukup ritmis dan dinamis sehingga kalau
distilir akan nampak lebih indah, bahkan menyerupai suatu tari. Lalu,
gerak-gerak tersebut dilakukan secara melingkar yang terkadang membentuk rantai
pertanda kekompakan. Semua pemain mengenakan celana latihan silat yang disebut galembong
sehingga ketika celana galembong tersebut ditepuk secara serentak akan
menimbulkan bunyi yang khas, bagaikan deburan ombak di pantai.
Legaran adalah gerakan melingkar
kemudian diisi dengan dendang gurindam yang diikuti oleh musik; saluang,
talempong, pupuik batang padi, dan gendang. Oleh pangkatuo (pelatih
silat) legaran tersebut diisi dengan kaba (cerita rakyat) yang
sudah ada sebelumnya. Umumnya cerita rakyat yang dimainkan ialah cerita-cerita
menarik yang menyampaikan pesan
atau “perumpamaan” sehingga masyarakat peminatnya menyebutnya sebagai suatu
pertunjukan barandai, berandai, atau beramsal.
Bila ada cerita, maka tentu ada tokoh/pemerannya.
Pemegang peran dalam suatu randai ditentukan oleh pangkatuo randai
karena dialah yang mengetahui setiap karakter dan kemampuan bersilat setiap pemainnya.
Pemeran utama misalnya, haruslah orang yang memiliki vokal yang lantang dan
mantap. Dia haruslah seorang pendekar yang mahir balabek (gerak
khas pesilat, pandangan mata, dan seluruh geraknya memperlihatkan
kewaspadaan).
Karena umumnya latihan randai dilaksanakan pada malam
hari (usai salat Isa), maka tentu tokoh perempuan dalam suatu cerita terpaksa
dimainkan oleh laki-laki karena perempuan di Minangkabau tidak diperbolehkan ke
luar malam harri. Itu sebabnya –pada mulanya- semua pemain randai adalah
laki-laki. Tokoh perempuan diperankan oleh laki-laki yang suaranya mirip suara
perempuan, bahkan diberi pakaian perempuan dan umumnya mengenakan kacamata
hitam. Maka jadilah ia suatu pertunjukan di suatu arena. Cerita rakyat yang
dimainkan umumnya menjadi ciri khas bagi suatu grup randai, bahkan sekaligus
menjadi nama grup randai yang memainkannya, seperti: Kaba Anggun Nan Tongga, Cindua Mato, Sabai Nan Aluih, dan
seterusnya.
Karena randai dimainkan di arena yang melingkar, maka
pergantian adegan disampaikan dalam dendang menggiring imajinasi setiap
penontonnya ke suatu tempat peristiwa berlangsung yang kemudian diperkuat oleh
dialog antarpemain. Itulah sebabnya, tokoh teater modern kemudian menyebut
randai adalah suatu pertunjukan teater tradisi yang absurd. Pertunjukan randai
yang absurd tersebut oleh kalangan pemerhati seni pertunjukan disebut sebagai
suatu Pertunjukan
Teater Tradisi yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Tokoh teater Indonesia yang
berdomisili di Padang, Wisran Hadi mencoba merombak pola randai ini dalam
setiap pementasan teaternya, bahkan cerita/kisah yang dimainkan pun ia tulis
dalam bentuk teks, untuk memudahkan pemain menghafal dialog dan mengenal
karakter penokohannya.
Randai
disebut suatu pertunjukan absurd karena setiap pertunjukannya selalu ada adegan
atau dialog yang tidak logis, namun ternyata mampu menggiring imajinasi
penontonnya ke arah yang nyata hanya dengan suatu dendang pengisah dan
peralihan setting. Misalnya, dikisahkan tokoh utama pergi ke dalam hutan, maka
dengan seketika ia sudah ada dalam hutan. Padahal, tempatnya masih di sana.
Juga dalam akting atau dialog diceritakan seseorang mati terbunuh, lalu tokoh
yang mati itu tiba-tiba bangkit kembali dan ikut dalam legaran galombang. Perubahan adegan atau babakan
tidak dilakukan dengan mengganti setting, atau cahaya lampu, atau mengganti
kostum, melainkan cukup dengan gurindam yang dibawakan dalam legaran (galombang).
Gerak dasar dalam galombang yang melingkar (juga merupakan frame atau panggung) ialah bunga-bunga silat yang disebut pancak
(pencak) yang distilirisasi menjadi gerak yang indah. Beberapa gerak pencak
tersebut juga menjadi gerak akting yang dominan bagi setiap tokoh cerita dalam
pengisahannya.
Hampir semua gerak dalam pertunjukan randai berasal
dari bunga-bunga silat. Baik dalam galombang
(legaran) yang berfungsi sebagai pengganti adegan, babakan yang diikuti dengan
dendang gurindam sebagai pengantar cerita berikutnya, maupun dalam dialog atau
akting. Seperti juga bentuk kesenian lainnya yang berawal dari kiasan dan
perumpamaan yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk musik, tari-tarian,
dendang saluang, gurindam, dan lain sebagainya. |
23. |
Ritual Nyobeng Genre: Pertunjukan Suku: Dayak Bidayuh |
Ritual Nyobeng adalah tradisi yang masih bertahan dan masih dilakukan oleh masyarakat Suku Dayak Bidayuh di daerah Kampung Sebujit, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Ritual Nyobeng berasal dari kata Nibakng atau Sibang yang merupakan kegiatan ritual yang besar dan tidak sembarangan. Dalam prosesinya, ritual ini memandikan atau membersihkan tengkorak manusia hasil mengayau oleh nenek moyang suku Dayak Bidayuh. Ada dua pengertian Nibakng, yaitu pertama Nibakng ini merupakan kegiatan
tahunan yang paling besar sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Tipaiakng (dalam bahasa suku Dayak Bidayuh), atas berkat panen padi yang
diterima masyarakat suku Dayak Bidayuh. Kedua merupakan ritual untuk menghormati kepala
manusia hasil mengayau (memenggal kepala manusia dan diawetkan). Tetapi intinya adalah ucapan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa (tipaiakng), atas berkat panen padi yang melimpah.
Proses ritual ini dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertam, ritual di mulai pukul 04.00 subuh, bertempat di rumah Baluk di pimpin
oleh ketua adat. Ritual pertama ini disebut dengan Paduapm yang artinya memanggil atau menggundang roh-roh para
leluhur untuk datang dalam ritual Nyobeng dan sekaligus memohon izin atas
ritual yang akan dilaksanakan. Tahapan kedua adalah penyambutan tamu. Ritual penyambutan tamu dilaksanakan,
ketua adat telah siap dengan sesajian yang dibawanya. Tetua adat melemparkan anjing
ke udara, dengan Mandau, pihak kedua tamu rombongan harus menebasnya dengan
Mandau hingga anjing itu mati, jika masih hidup harus dipotong begitu jatuh
ketanah. Prosesi juga dilakukan untuk ayam, ketua adat melemparkan ayam ke
udara, dan pihak ketiga rombongan tamu harus menebas ayam itu dengan Mandau
sampai mati. Kemudian dilanjutkan dengan melemparkan telur ayam ke rombongan
tamu undangan yang dilakukan oleh tetua adat perempuan, jika telur ayam tidak pecah,
maka tamu undangan yang datang di anggap tidak tulus, sebaliknya jika pecah di
badan bearti tamu undangan datang dengan ikhlas. Beras putih dan kuning
dilempar sambil membaca mantra. Para gadis lalu menyuguhkan tuak. Usai minum,
rombongan tamu diantar menuju rumah Baluk. Sambil berjalan menuju rumah Baluk,
para tetua adat berjalan paling depan sambil menari dan diiringin musik untuk
mengiringi rombongan tamu sampai ke rumah Baluk, ada yang berseru-seru.
Saat masuk tempat upacara ritual,
rombongan diberi percikan air yang telah diberi mantra dengan daun anjuang,
yang berfungsi sebagai tolak bala. Tujuannya agar para tamu terhindar dari
bencana. Ketika masuk depan area rumah Baluk tempat upacara, para tamu harus
menginjak buah kundur dan batang pisang yang telah di belah disimpan dalam
baskom. Ritual ini lebih dikenal dengan ritual pepasan. Bersama warga dan tetua
adat, para tamu kemudian menari tari simaniamas sambil mengitari rumah Baluk.
Maniamas adalah tarian untuk menyambut dan menghormati para pembela tanah
leluhur yang baru datang dari mengayau. Sambil diiringin tetua-tetua adat
dengan bernyayikan lagu dan berseru-seru beberapa kali dan sambil membaca
mantra-mantra. Ketua adat dan para tetua adat lainya masuk ke rumah Baluk.
Pembukaan acara ritual Nyobeng dilakukan dengan pemukulan sibakng sebanyak
tujuh kali sebagai tanda dimulainya ritual Nyobeng, di rumah Balu.
Ritual dimulai dengan memotong kepala
anjing dan ayam di bawah rumah Baluk. Ayam akan diambil darahnya dan anjing
akan diambil kepalanya untuk sesajian kepada para leluhur. Setelah itu
dilanjutkan dengan tari-tarian dan menari bersama-sama masyarakat, para tamu,
dan tetua adat dengan diiringi musik, yang disebut dengan musik simaniamas
yaitu, musik santai dan persahabatan. Musik dan tari-tarian ini merupakan
ritual sebagi pengantar ke ritual intinya memandikan tengkorak kepala manusia
hasil mengayau. Dua setengah jam lamanya masyarakat menari dengan iringan musik
simaniamas, sekitar pukul 21.30 WIB, ketua adat Bpk. Amin sebagai pemimpin
upacara ritual memandikan tengkorak dan beberapa para tetua adat naik kerumah
Baluk dengan pakaian lengkap kain merah, berkalung manik-manik dari taring
binatang, ikat kepala, dan dengan Mandau di tanggan. Seekor babi yang lumayan
besar terikat pada sebatang kayu, siap untuk di jadikan kurban.
Tim Peneliti : Adelbertus
|
24. |
Ronggeng Deli Genre: Pertunjukan Suku: Melayu Deli |
Ronggeng Deli kental akan nuansa Melayu, namun seni tari ini juga mendapat pengaruh dari Portugis, terlihat dari penggunaan alat musik Akordion dan Biola. instrumen biola dan akordion memperlihatkan pengaruh Portugis yang menduduki Malaka pada abad ke-16. Ronggeng Deli merupakan cikal bakal dari Tari Serampang Dua Belas. Pembeda Ronggeng Deli dengan Ronggeng Jawa adalah seni berbalas pantun yang menjadi ciri khas orang Melayu. Mungkin ini akan menjadi catatan yang lain kenapa disebut ronggeng bukan joget sebagai bentuk Melayu.
Formasi Ronggeng Deli terdiri dari lima orang pengiring lagu dan tiga pasangan penari sekaligus penyanyi pada pertunjukan Ronggeng Deli. Namun seiring berkembangnya zaman, pelaksanaannya dapat diikuti lebih dari tiga pasang penari. Ketiga pasangan saling berbalas menari dan bernyanyi diiringi oleh musik pengiring khas Melayu. Kemudian pasangan tersebut akan saling berbalas pantun yang berisi tentang kisah cinta, kehidupan, dan juga rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Walaupun dilakukan berpasangan, Ronggeng Deli tidak memperbolehkan lelaki dan perempuan bersentuhan. Mereka hanya menari, bernyanyi, dan berbalas pantun. Mereka menari dengan menggunakan sehelai selendang dan bergembira tanpa saling menyentuh. Hal ini karena Deli merupakan Melayu yang aturan agama sangat dipegang sebagai tuntunan dalam melangkah.
|
25. |
Royong Genre: Puisi Suku: Makassar |
" Royong, jenis sastra tutur masyarakat Kabupaten Gowa, Sulawesi
Selatan. Asal-usul Royong diyakini
dilantunkan oleh para dayang ketika mengiringi turunnya Tumanurung (atau
Tomanurung) dari khayangan ke bumi Gowa yang waktu itu diperintah oleh Raja Karaeng
Bayo, Raja Gowa pertama. Dalam mitologi masyarakat (suku-suku) di jazirah
Sulawesi Selatan, Tumanurung selalu muncul secara tiba-tiba tanpa pernah
diketahui asal-usulnya, padahal kehadirannya selalu membawa perubahan pada
masyarakat masa itu. Ketika Tumanurung yang kemudian dinamai Putri Tamalate
menikah dengan Raja Gowa, Royong
dilantunkan kembali dalam pesta perkawinan tersebut oleh dayang-dayang Putri
Tamalate. Begitu juga setelah lahirnya anak Putri Tamalate dan Karaeng Bayo
yang diberi nama Karaeng Tumasalangga Baraya. Setelah itu barulah dayang-dayang
Putri Tamalate kembali ke langit. Royong
sebagai tradisi lisan Gowa saat ini ditampilkan dalam upacara adat siklus hidup
manusia (kelahiran, sunatan, perkawinan, meninggal), syukuran rumah baru,
bahkan naik haji, dan sebagainya. Royong
dipandang sakral dan hanya boleh disampaikan oleh perempuan; tidak boleh oleh
laki-laki. Royong dilagukan
oleh seorang perempuan yang disebut paroyong
(pelantun royong) walaupun tidak mempunyai notasi, diiringi
musik tradisional ganrang (gendang) dan puik-puik (terompet). Penampilan Royong diawali ritual dengan delapan macam sajian: leko sikabba (daun sirih dan kapur, rappo sikabba atau buah pinang), tai bani (lilin merah), uang, padupang (bara membakar kemenyan), beras si gantang (beras 4 liter), gula merah dan buah
kelapa utuh, kain putih, dan tembakau (rokok). Saat ini Royong dalam kondisi terancam punah baik dari segi penampilannya
maupun pewarisannya. Masyarakat lebih senang menanggap organ tunggal. Syair
Royong mengandung doa untuk keselamatan
hidup.
Contoh teks Royong:
Lolo Bayo
Iyo, Iye, baji padaeng,
bukkarrang bawana
Sassang padaeng,
bukkarrang bawana
Roya padaeng, parimba
topena
Pale padaeng, pakampo
bidakna
Panaik matanna,
Namatekne pakmaikna,
nabuak sigarana
Lape padaeng, pallajang
rengganna
Bokboki daeng,
Toknok padaeng, niak
gading ri limanna
Cinna padaeng, paranna
malolo
Tamaloloko siseppe
Nusipoke poke genrek
Nusitabbak rappo lolo
Nusitanroi kana
Nusikaik kido kannying
Anrong antemo anne kamma
Niak rua pannggainna
Natumaneng magarring
Makjeknek masalloe
namanaik maberue
Kuntu memang maloloa
Turukiangna cinna
sikacinnaiya
* * *
Terjemahan:
Iyo, iye, berikan segalan yang baik Daeng, lalu
bukalah mulutnya
Limpahkan kasih sayang Daeng, lalu bukalah
mulutnya
Roya Padaeng, bukakan selendangnya
Kuatkan ikatan sarungnya
Bukalah penglihatannya
Agar gembira hatinya, agar terbuka jalan yang
luas
Lubangilah daeng (merujuk pada lasugi)
Lihatlah daeng, ada gading di pergelangan
tangannya
Keinginannya Daeng, pada orang yang sepadan
Tidak mudah berselisih
Tidak mudah saling bertikai
Saling berbagi makanan
Saling mendengar
Saling memberi isyarat
Lalu orang tuanya
Menyayangi keduanya
Tidak mudah terkena penyakit
Senantiasa membersihkan diri
mendatangkan
Demikianlah jiwa muda
Mengikuti pandangan dan keinginannya
Rekrasa (untuk keturunan raja)
Iyo, iyo tunimalo
Daeng massaile sakik
Apa daeng lakikana
Meneki sallang ri banngia
Tena tau ri ballakku
Lonna kekbuki numene
Punna bosi namenea
(nataba lallunga)
Lonna mannginrangki laklang
Lonna tena inrannganna
Namakjekneki salloe
Namanaik maberue
Niakja daeng tope ri
ballakku
Punna sekreja kijuluk
Kuntu memang maloloa
Turukianna cinna
sikacinnaiya
* * *
Terjemahan:
Iyo, iyo, wahai orang yang lalu
lalang
Wahai Daeng sudilah melirik
Apa yang hendak diucapkan
Hendak mampir di malam hari
Tidak ada orang di dalam rumah
Jika pintu tertutup
Jika hujan telah singgah
Hendaklah meminjam naungan
Meski tak mudah meminjamnya
Semua akan ada jalannya
Untuk mendapatkannya
Daeng, ada selendang dalam rumahku
Jika kita sepadan
Sudah demikian orang muda
Mengikuti padangan dan keinginnanya
* * *
Cui
Cui battumako mene (kalau
bukan karaeng tidak pakai mene)
Nurikbakkang cui lolonna
Bonena uli battanna
Na sikuntumo numera
Nu tea makjeknek mata
Namatekne pakmaiknu
* * *
Terjemahan:
Wahai Cui datanglah engkau
Bawalah terbang hal yang buruk
Yang tak baik dari tubuhnya
Karenanya tak perlu bersedih hati
Tak usah menangis
Bergembiralah (bahagialah) selalu
* * *
Cui
Cui mene, cui mene
Battu laukmi anjo mae
Assaraung dompa-dompa
Assulampe sulendangna
Mene situtung-tutung
Akrikbakmi anraik
Riallakna Serok na pakbineang
Namaklete suluk
Ri poeng pangke lompona
Nakarukrusangi lekok
Nakatantangangi bunga
Namatukgurukmo naung
I balo mate nibuno
Mate niboka battanna
Mate nitattak bongganna
Na niallemo cerakna
Nipacerak nipakballe
pakballena kina lolo
Nutea rera
Nutea makjeknek mata
Terjemahan:
Cui datang, cui datanglah
Datanglah dari barat
Memakai caping dompa-dompa(?) untuk laki-laki
Berselempang selendang (perempuan)
Datang dengan banyak orang
Lalu terbang ke timur
Antara Sero dan pakbineang
Lalu pindah ke luar
Pada tangkai batang besarnya
Lalu gugur daun
Kemudian muncul bunganya
Lalu jatuh ke bawah
I Balo mati terbunuh
Mati dengan perut tertombak
Mati dengan paha terbelah
Lalu darahnya diambil
Menjadi obat awet muda
Agar kau tak bersedih
Agar tidak berlinang air matamu
*****
Royongna Karaengta Bontolangkasa
(untuk pengantin dan
sunantan)
Pakja padaeng tau numaloe
Sassa padaeng bukkarrang
bawana
Bajik padaeng parimba topena
Tekne padaeng panaik
sigarakna
Lape padaeng buakkang
matana
Pale padaeng pakampo
bidakna
Toknok padaeng gading ri
limanna.
Roya padaeng pallajang
rengganna
Cinna padaeng parannu
malolo
Malolo kuseppe
Nusikaik kaeroki
Bukbuki daeng rinring ri
juluna
Nasipoke poke genreng
Nusitabbak rappo lolo
Nu sikaik-kaik tope
Kuntu memang maloloa
Turukianna cinna
sikacinnaiya
Sikuntumi numera
Namatekne pakmaiknu
* * *
Terjemahan:
Senang daeng, orang yang lewat
Sassa Padaeng, bukalah mulutnya
Baiklah daeng bukalah selendangnya
Bahagialah Daeng, luaskan jalannya
Mari Daeng bukalah matanya
Mari Daeng kuatkan ikatan sarungnya
Lihatlah Daeng ada gading di pergelangan
tangannya
Bahagialah Daeng palajjang rengganna
Berbahagialah Daeng dengan sesama
Saling menaruh hati
Lihatlah yang pantas bagimu
Saling berbagi perasaan
Saling bertukar rappo lolo(?)
Saling mengikat selendang
Demikianlah jiwa muda
Mengikuti pandangan dan keinginannya
Karena itu jangan bersedih
Bahagiakanlah hatimu"
|
26. |
Salawat Dulang (Talam) Genre: Prosa Suku: Minangkabau |
Dalam sastra rakyat Minangkabau, pengertian
Salawat Dulang adalah penceritaan cerita tentang kehidupan Nabi
Muhammad, cerita yang memuji Nabi Muhammad, atau cerita yang berhubungan dengan
persoalan agama Islam dengan diiringi irama bunyi ketukan jari pada dulang atau
piring logam besar itu. Salawat dulang
berkembang hingga saat ini. Dari dulunya yang hanya tampil dua orang (satu
klub) untuk menyajikan buah kaji,
selanjutnya salawat dulang
ditampilkan oleh empat orang (dua klub) yang masing-masing membawakan buah kaji yang mereka kuasai.
Lama-kelamaan berkembang pula menjadi kompetisi uji kemampuan dengan cara
saling mengajukan pertanyaan dan menjawabnya. Penyajian salawat dulang juga berkembang dengan adanya pembahasan berupa
masalah-masalah yang sedang berkembang di dalam masyarakat. Bahkan, di daerah
Kamang-Agam, pernah terkenal “Hikayat Perang Kamang” yang merupakan cerita
sejarah, yang berbeda dengan pembahasan ajaran-ajaran Islam. Namun begitu, salawat dulang tetap tidak meninggalkan
aspek-aspek ajaran Islamnya, salah satunya dengan membaca salawat di awal pertunjukannya.
Irama lagu yang digunakan untuk mengiringi
pendendangan teks salawat dulang juga
berkembang. Dulu ketika tradisi ini berkembang di daerah Malalo, irama yang
digunakan adalah “Lagu Malalo”. Sekarang berkembang ada seperti “Lagu Solok” di
Solok, “Lagu Salayo” di Salayo, “Singkarak Manangih”, dan sebagainya. Sehingga,
irama salawat dulang sangat beragam
dan seringkali menunjukkan kekhasannya masing-masing di tiap daerah. Saat ini, irama lagu yang digunakan juga
tidak terbatas hanya kepada lagu-lagu khas daerah Minang. Tetapi juga irama
lagu pop, dangdut, bahkan belakangan mulai ada irama lagu-lagu tradisional dari
daerah lain di Indonesia, seperti “Es Lilin” dari Sunda, dan “Butet” dari
Batak.
Struktur lagu (teks) salawat dulang adalah sebagai berikut.
- Katubah (khotbah).
Teks bagian khotbah ini terdiri dari:
- Imbauan
Katubah
(Himbauan khotbah). Isinya adalah rangkaian bunyi vokal seperti akan
memanggil orang untuk datang dan mendengar salawat tersebut seperti bunyi
“a…, ai…, oi…atau ei…”.
- Katubah (Khotbah),
yaitu bagian yang berisi salam pembuka assalamua’alaikum
- Lagu Batang,
yaitu bagian yang pendendangannya sudah mulai berirama sambil menabuh
dulang. Pada bagian ini tukang salawat menyampaikan identitas tukang
salawat yang tengah tampil.
- Yamolai.
Teks ini adalah bagian yang memuja dan memuji Allah dan Rasulnya dengan
kata Yamolai untuk nabi Muhammad, dan Ya Ilallah untuk Allah
SWT. Selain itu, pada bagian ini juga ada permintaan maaf sebelum memulai
pengajian.
Teks Yamolai
ini dibagi lagi menjadi yamolai I dan yamolai II. Pada
Yamolai I, tukang salawat mendendangkan kata “yamolai” dan “ilallah”
hanya satu kali di akhir bait. Sedangkan pada yamolai II, kata “yamolai”
dan “ilallah” didendangkan dua kali di akhir bait.
- Lagu Cancang. Teks bagian ini
adalah bagian inti dari keseluruhan teks. Lagu cancang ini juga
terdiri dari beberapa bagian yang disebut frasa.
- Frasa 1, pengantar,
berisi sedikit penjelasan mengenai masalah agama yang akan dibahas selanjutnya.
Bagian ini juga biasa disebut lagu
peralihan.
- Frasa 2, buah
atau isi. Bagian ini berisi pengajian mengenai suatu masalah agama.
- Frasa 3, menjawab
pertanyaan. Pada bagian ini ada jawaban pertanyaan dari grup sebelumnya. T
- Frasa 4, memberikan
pertanyaan. Pada bagian ini grup yang sedang tampil memberikan
pertanyaan untuk grup yang akan tampil sesudahnya.
- Frasa 5,
tambahan atau hiburan. Teks ini isinya bebas dan cenderung
menghibur.
- Penutup,
yaitu teks yang mengakhiri penampilan. Kadang bagian ini berupa pantun dan
permintaan agar grup selanjutnya memberikan pengajian yang bagus dan
penampilan yang seru.
Tim Peneliti : Eka Meigalia, S.S, M.Hum
|
27. |
Serentaun Genre: Pertunjukan Suku: Sunda |
Serentaun merupakan salah satu budaya lokal dalam bentuk upacara yang biasanya diselenggarakan oleh masyarakat berbasis agraris sebagai rasa syukur atas hasil bumi yang telah dilimpahkan kepada mereka. Namun, pada masa sekarang, Serentaun menjadi bagian dari produk industri di sektor pariwisata. Upacara Serentaun memiliki pengaruh Sunda Wiwitan, agama Budha, dan agama Islam. Serentaun Rekonsstruktif atau upacara yang dijadikan pariwisata tersebut diadakan selama 4 hari berturut-turut. Anis
Djatsunda (2007) menjelaskan, Serentaun
merupakan ekspresi rasa terima kasih yang ditujukan pada Tuhan Sang Hyang Tunggal yang
diadakan pada tutup tahun dan menjelang tahun baru agar kehidupan bertambah
baik. Tim Peneliti : Dina Amalia Susamto
|
28. |
Si Jampang Jago Betawi Genre: Cerita Rakyat Suku: Betawi |
Cerita rakyat ini bercerita tentang seorang Jawara yang berasal dari Jampang Sukabumi. Dia dibesarkan pamannya yang tinggal di daerah Grogol Depok. Dia rajin belajar silat dan ilmu kebatinan dari gurunya yang berasal dari Cianjur. Si Jampang digambarkan sebagai anak yang rajin dan cerdas. Setelah dewasa dia menjadi orang yang melakukan perampokan terhadap orang-orang kaya dan sebagian hasilnya dibagikan kepada rakyat yang lemah dan miskin. Si Jampang dianggap sebagai orang yang sangat penolong.
Ketika istrinya meninggal maka dia ingin menikahi Mayangsari, istri sahabatnya yang sudah meninggal akan tetapi niatnya itu ditolak oleh Mayangsari. Si Jampang menggunakan cara yang tidak baik untuk menaklukkan Mayangsari sehingga Mayangsari tergila-gila padanya.
Ketika Si Jampang menyanggupi persyaratan untuk menikahi Mayangsari, dia melakukan perampokan di rumah Haji Saud di Bekasi. Akan tetapi ketika perampokan itu berhasil dilakukannya, dia dikepung polisi Belanda yang bersenjata lengkap. Si Jampang menyerah dan kemudian dijatuhi hukuman mati.
|
29. |
Sinrilik Genre: Pertunjukan Suku: Makassar |
sinrilik merupakan tradisi lisan bercerita dari Sulawesi Selatan. Sinrilik merupakan alat musik gesek yang terbuat dari tali gesok-gesok. Sinrilik merupakan alat bercerita tentang kehidupan masyarakat, terutama tentang asal-usul, sejarah, dan kebesaran raja Gowa. Pada masa dahulu, pesinrilik dilengkapi dengan mantra dan azimat untuk kelancaran pertunjukan dan membuat suaranya tetap menarik bernama Cemangrara. |
30. |
Sohibul Hikayat Genre: Pertunjukan Suku: Betawi |
Sohibul Hikayat merupakan seni tradisional pertunjukan tutur yang dibawakan oleh pencerita daerah Betawi yang berasal dari Timur Tengah. Pencerita Sohibul Hikayat disebut sebagai tukang cerita, juru cerita, dan atau juru hikayat dan mereka harus mahir menyampaikan pesan melalui ekspresi suara. Selain itu, mereka biasanya menampilkan pertunjukan yang dibawakan dalam bentuk prosa dalam suatu perayaan keagamaan, seperti Maulid Nabi dan tahun baru hijrah atau perayaan daur hidup, seperti kelahiran, sunatan, dan pernikahan. Sohibul Hikayat dipentaskan dengan cara mendongengkan cerita-cerita yang umumnya kental dengan nilai religi dalam kehidupan. Pada masa ini, cerita lisan Sohibul Hikayat semakin kritis dan untuk mempertahankannya, karya lisan tersebut kebanyakan sudah diturunkan menjadi karya tulisan berupa teks.
Tim Peneliti : Rohim dkk. |
31. |
Tanggomo Genre: Puisi Suku: Gorontalo |
Tanggomo
adalah salah satu ragam sastra lisan dari Gorontalo yang pada masa jayanya, memiliki fungsi
membawakan berita(aktual) suatu
peristiwa di suatu tempat yang diubah dalam bentuk larik-larik puisi yang
dinyanyikan. Selain membawakan fakta yang informatif , tentu saja bentuk puisi
yang dinyanyikan itu dapat menghibur khalayak. Tidak hanya berisi berita,
konten Tanggomo juga banyak mengisahkan cerita-cerita imajinatif, juga narasi
sejarah. Di masa kini Tanggomo masih
dipentaskan meskipun frekwensiya tidak seperti masa tahun 1990-an. Fungsi
membawakan berita telah digantikan oleh media massa audio-visual, cetak, dan
daring. Banyak masyarakat yang tidak lagi menanggap Tanggomo. Memudarnya
frekwensi pertunjukan itu membuat popularitas Tanggomo juga sangat berkurang.
Tidak hanya itu, pemahaman masyarakat Gorontalo yang sudah jarang menggunakan
bahasa Gorontalo juga menjadi penyebab kurang pahamnya generasi muda pada seni tutur tersebut. Padahal Tanggomo di
dalamnya berisi norma-norma masyarakat, pengetahuan lokal, dan refleksi terhadap
realitas yang terjadi pada masyarakat Gorontalo.
t
Tanggomo
merupakan puisi naratif meskipun bentuknya dalam bait-bait serta dinyanyikan seperti
pantun. Jumlah baris-baris tidak sama antara satu cerita dengan cerita yang
lain. Ada yang dalam satu bait berjumlah empat baris, ada pula yang lebih dari
empat. Tiap-tiap baris berakhir dengan kata yang berbunyi sama atau berima. Nani
Tuloli (1990:68-69) mengatakan perbedaan
antara Tanggomo dan Pantun yaitu pada pantun digunakan bahasa campuran antara
Goorntalo dan Melayu manado. Pantun juga lebih mementingkan curahan hati atau
perasaan. Tanggomo lebih mementingkan peristiwa atau kejadian. Perbedaan utama
antara Tanggomo dan pantun adalah hubungan bagian-bagiannya. Pada Tanggomo
hubingan bagian itu berurutan karena menceritakan peristiwa, sedangkan pantun
hubungan antar bait merupakan bagian dari ide, rasa yang dipadu.
Komposisi
Tanggomo
Tanggomo terdiri dari judul dan jalan cerita. Satu cerita
Tanggomo biasanya dibuka dengan kata Bisimillah. Setelah pembukaan kemudian
rangkaian plot dalam irama. Tuloli mengatakan (1990: 83) Urutan episode dimulai
dari awal sampai akhir peristiwa, tetapi ada juga bagian yang diulang. Plot
yang dibawakan linier.
Perpindahan
episode diberi tanda berhenti sesaat sebelum masuk ke episode berikut. Tanggomo
yang disertai dengan alat musik, bagian perhentian ini dipakai untuk memainkan
instrumen. Sedangkan pada Tanggomo tanpa alat musik, jeda digunakan untuk
menarik nafas.
Menurut Tuloli,
Tanggomo dengan tema yang sama sering berubah pada saat dipentaskan pada waktu
dan tempat yang lain. Dalam sastra tutur hal itu bagian dari dinamika sastra
lisan yang sering berhubungan dengan konteks pada saat cerita dibuat.
Berikut Tanggomo
yang dibawakan Risno Ahaya pada bulan September 2016.
Kasimo Motora
(Pementasan
September 2016)
Oleh: Risno Ahaya
Bisimiila molumuloo
Bisimiila tumulaloo
De limuutu hulontalo
Gaji gaaji to hulalo
Gaji yiilametalio
Boturuusi ode belelio
Ma meyii to belelio
Mo miloohu u’alolio
He momiilohu u’alolio
Ma turuusi ode meja tio
De ma moota to meja tio
Turuusi ma hilu’olio
Dewepuuhu ma hilu’olio
Diyaluwo ilodunggalio
De ma too ‘u’oditolio
Turusii lolahu tio
De mayii lolahu tio
Ma turuusi ode topulio
De ma moola to topu tio
De ma hee mobataru tio
Hente hee moyitohu tio
De ma loopulito doilio
To’u maa lopulito doilio
Maturuusi lohuwalingo belelio
Lohuwaalingo belelio
De ma moola to belelio
Bele maa bilunggalalio
Bo turuusi ode mejalio
De ma moota to meja tio
Ma turuusi lo hama depuhu tio
Deweepuhu ma hilu’olio
Diya loo’odungga u’alolio
Diya loo’odungga u’alolio
Hiyaloo ma hiluwa’alio
To’u ma meyi totalulio
Wawu hiyalo tila-tila’apiyo
He mohiile awambungu tio
Hente hee ta’a-ta’apolio
Hente hee tinggi-tinggodulio
Aati he mohiile ambungu tio
He mohiile ambungu tio
A debo hee lumbe-lumbeta’alio
He teduu-tedu’olio
He ta’aa-ta’apolio
Ati maa lapato pilatelio
Bolo liililidu tio
To’u boolo lillilidu tio
Ma turuusi lohuwalingo topulio
Lo huwaalingo topulio
Bele maa hile-hile’utalio
Ma iluu-ilunthiyalio
Li
Hamiida tanggulio
Lapatoo ilu-ilunthiyaio
Wala’o ma piludu’iyo
Mameyii yilombingalio
Aati maa pilo’opiyohiyo
Lapatoo pilo’opiyohiyo
De malo pilotutulio
To’u laapato pilopotutulio
De ma piilopo’ulidiyo
Lapatoo pilopo’ulidiyo
Donggo lolaahu tio
Lona’o ode kioslio
Tio maa pilopilotaliyalio
De ma moola to kios tio
Ma lo taali ramba-ramba tio
O yinulo o watingio
O bongo o labiyalio
Lapatoo lota-lota tio
Ma lohuwaalingo belelio
Bele maa mola bilunggalalio
Bele doonggo ilu iluntiyalio
Bele lapato iluntiyalio
Wala’oo tilo’opulio
De ma too’o-to’opu’olio
Donggo yiilo-yilombingalio
Lapatoo to’u yilombingalio
Pito maa hilamalio
Pito maa meyi totalulio
Pito doonggo dilumbatio
Pito laapato dilumbatio
Mato maa pilito’iyo
Pitoma hiliwidiyo
Loputuu bulo’olio
Loputuu bulo’olio
Aati duhu maa pelepeleentelio
Aati maa lopulito dupotio
Aati maa lopulito dupotio
Aati lapata’o maa yilalitio
Lapato to’u yilalitio
Donggolo ilo-iloyodiyo
Lapatoo tapu ilo-iloyodiyo
Lunggongo ma yilobungiyo
Lunggongoo ma yilobungiyo
Wolo oluu’u wau o’atio
Ati’olo donggo yilobungiyo
Tulu maa pilopode’itio
Tulu maa pilopode’itio
Bulonggoo pilopotudulio
Lewemuulo uwilahelio
U ma lootilubulio
U wilaahe lapato tilubulio
Donggo u tilumiiti tilubulio
Bulonggo pilopogantiyolio
U tilumiiti he tubuwolio
U tilumiiti he tubuwolio
Sate hee wunggo-wunggo’olio
Lapatoo to’u yilunggo’iyo
Bu’awuu pilopobohulio
Bu’awuu lapato plopobohulio
Sate maa he lalangolio
To’utiiya hee lalangolio
Yilabuulo he bolulolio
Yilabuulo lapato tilubulio
Aati woolo satelio
Ila maa tilubulio
De ilaa mayilone’iyo
Ila maa lapato yilone’iyo
Aatiolo lohamaa ila tio
De malo ramba he lobu’olio
Ramba hee lobu’olio
Delapaato lo ramba tio
Malo tiilu tilubulio
Lapato to’u tilubulio
De ma loyilolihu tio
De lapato lolihu tio
De ma loganti kaini tio
Lapata’o lo lahuu tio
Ma hulo-hulo’o to bele tio
Ma hulo-huloo to walungo tio
Ma bo tiimayi hiayalio
Ma mola lonto topulio
Ma turuusi ode meja tio
Maa motaa hulo-hulo’o tio
Botiya to meja tio
Lewemulo u ilaalio
U wilaahe ma he wuntho wuntho’olio
U wilaahe lo pulitiyio
Donggolo u tilumitilio
Lapata’o piloopulitio
Sate maa hee wuntha-wunthapolio
Sate maa pilo’opulitio
Bolo u wilabulo pulitio
A u wito maa hilu’atalio
A ma hee wuntho-wuntho’olio
Uyilabulo he’alolio
Hiyalo amula ja huwaalio
Bo topo hunto’a tio
He wadupa lo hiyalio
Hewadupa lohiyalio
Ta to huuli lo belelio
Aati maa he po’owadupolio
Ilabuulo ma lopulitiyio
Yi maa yilopulitio
Ti hamida ma lona’o tio
Ma turuusi ode bele lo tau tio
Ma molaa lotitu’o tio
To’u lapato yilonga tio
Ma lomaso ode huwali tio
Turuusi mota de lulunggela tio
Bolo wala’o botu gantilio
Bolo walao botu gantilio
U piloganti lio wala’iyo
Wala’o lapato ilaalio
Ma hilumoyongo tio
To’u maa oditolio
Lo’odungga olu’u tio
Ati’olo to lulunggelelio
U wito lomota lowuwati’o tio
De malo to’u oditolio
Ma lona’o ode u ngowale tio
Te wito tanggulio
Ma ma’o helolohulio hiyalio
Ma ma’o helelohulio hialilio
Atiolo dila lotapulio
Ma me lotitipate tio
De bulo’olio iloyo diyo
Bulo’olio pilutulio
Ma pilopopulio lio wolo wala’iyo
Te wito mo ela wala’iyo
Wala’o maa lapato ilaalio
De to’u ma yilate tio
Matii maayi pulisilio
Ti
Hamiida ma tiliyangiyo
Ti Hamida he paraakisalio
De malo wolo sababulio
Wala’umu ilolotumu olio
Longola ma piloopo’amu olio
To tameeto hiyalio
Mohemeetayi gajilio Bo mootopu tio
Diyaa moolola balanja tio
Ma meyi to bele tio
Watiyaa hente hee pateelio
Ma loongongoto wawa’o latiya
Ma piloongolota wala’iyo
De malo to’u’oditolio
Botiye lo titipate tio
De tingga totalaalio
Watiyaa pohinggileyalio
Watiyaa pohinggileyalio
diyaalu balanja tolaalio
watiyaa pohehulalio
ma piloohutu laatiya odito tio
tio lowali odito
wamba’o yinggile laito
watiya hepaatelio
ma piloobuliya laatiya tio
bo’oditopo mongo wutato
tanggomo ma yilapato
bo’odito po pulitio
bo’odito wunggulilio
Potala mowonu motopu yinggilama’o
Podaha bolo tumonu mo’opate towala’o
Tanggomo berjudul Kasimo Motora tersebut
bercerita tentang seorang istri yang menyembelih anaknya karena suaminya tidak
pernah memberi nafkah. Harta mereka telah dihabiskan oleh kebiasaan sang suami
yang penjudi. Tanggomo itu dibawakan dalam rangka diminta oleh peneliti sebagai
bentuk dokumentasi.
Tauta berikut dari CNN INdonesia yang pernah meliput Tanggomo dalam festival Danau Limboto
|
32. |
Tari Kejei Genre: Pertunjukan Suku: Rejang |
Tari Kejei merupakan kesenian rakyat Rejang yang dilakukan pada setiap upacara kejei berlangsung. upacara kejei merupakan hajatan terbesar di suku Rejang. dikatakan hajatan terbesar karena yang mengangkat hajat kejei tersebut merupakan orang-orang yang mampu.dengan pemotongan beberapa kerbau, kambing atau sapi sebagai syarat sahnya upacara kejei. Tarian tersebut dimainkan oleh para muda-mudi di pusat-pusat desa pada malam hari di tengah-tengah penerangan lampion.tarian ini sebagai ajang perkenalan antara bujang dan gadis suku Rejang.
Area teritorial Rejang sendiri terdiri atas beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Lebong, Kabupaten Rejang lebong, dan Kabupaten Kepahiang, dan beberapa suku pendatang di daerah Provinsi Bengkulu lainnya.
Kekhasan tari ini adalah alat-alat musik pengiringnya terbuat dari bambu, seperti kulintang, seruling, dan gong. Tarian dimainkan sekelompok orang yang membentuk lingkaran dengan berhadap-hadapan searah menyerupai jarum jam.
Tarian ini pertama kali dilaporkan oleh seorang pedagang Pasee, bernama Hassanuddin Al-Pasee yang berniaga ke Bengkulu pada tahun 1468. Tapi, ada pula keterangan dari Fhathahillah Al Pasee, yang pada tahun 1532 berkunjung ke tanah redjang. Tari Kejei pertama kali dibawakan saat pernikahan Putri Senggang dengan Biku Bermano., yang menurut kisahnya buku pelaksanaan "kejei" tersebut disimpan di dalam perut Biku Bermano. "Kejei" pertama kali dilaksanakan adalah kejei pernikahan Putri Senggang dan Biku Bermano.
Tari Kejei dipercaya sudah ada sebelum kedatangan para biku dari Majapahit. Sejak para biku datang, alat musiknya diganti dengan alat dari logam, seperti yang digunakan sampai saat ini. Acara kejei dilakukan dalam masa yang panjang, bisa sampai 9 bulan, 3 bulan, 15 hari atau 3 hari berturut-turut.
Tari ini adalah tarian sakral yang diyakini masyarakat mengandung nilai-nilai mistik, sehingga hanya dilaksanakan masyarakat Rejang dalam acara menyambut para biku, perkawinan dan adat marga. Pelaksanaan tari ini disertai pemotongan kerbau atau sapi sebagai syaratnya.
|
33. |
Tari Mondinggu Genre: Pertunjukan Suku: Tolaki Mekongga |
Tari
Modinggu adalah tarian yang masuk dalam kategori terancam punah yang menggambarkan suatu proses penanaman padi hingga
masa panen yang seluruhnya dikerjakan secara gotong royong. Masyarakat Mekongga
memprecayai mitos bahwa padi berasal dari jasad seorang putri bidadari yang
turun ke bumi mereka melaksanakan seluruh proses tersebut dengan riang gembira
canda dan tawa terdengar sesekali dari mereka. Ketika musim panen tiba
masyarakat Mekongga melaksanakan suatu pesta rakyat sebagai rasa syukur
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Setelah panen padi diladang atau sawah masyarakat
Mekongga melaksanakan Modinggu, atau proses penumbuhan padi yang dilaksanakan
oleh para muda mudi dan diakhiri dengan lulu bersama.
|
34. |
Tari Mondotambe Genre: Pertunjukan Suku: Mekongga |
Mondotambe adalah tarian
penjemputan yang dilakukan pada saat penerimaan para tamu atau acara-acara yang
dilaksanakan masyarakat Mekongga di Kolaka. Namun, belakangan ini tarian tersebut telah jarang ditampilkan dan masuk dalam kategori terancam punah. Tarian tersebut di bawakan oleh
gadis-gadis remaja sebagai tanda penerimaan yang tulus, ikhlas dan merasa
gembira kepada para tamu. Jumlah penari terdiri dari 6, 8, bahkan jumlahnya
bisa mencapai 12 orang , yang terpenting jumlah penari genap. Variasi tarian
terdiri dari 13 gerakan yang diakhiri
dengan tabur bunga atau beras dalah bahas Tolaki disebut (mekaliako owoha).
|
35. |
Tari Persembahan Landok Sampot Genre: Pertunjukan Suku: Kluet |
Menurut keyakinan masyarakat Kluet, tarian ini diciptakan
oleh seorang Panglima Negeri Kluet yang bernama Amat Sa’id. Tarian ini mulai
berkembang pada masa pemerintahan Raja Imam Balai Pesantun dan Teuku Keujreun
Pajelo. Tarian ini dijadikan tarian adat yang disakralkan dalam setiap upacara
adat.
Sayangnya penciptanya tidak sempat melihat karyanya dicintai
masyarakat Kluet. Karena sebelum tarian ini berkembang, Ahmad Sa’id hilang dan
tidak pernah kembali dari sebuah perjalanan di Gunung Lawe Sawah. Sehingga
masyarakat menyebut gunung tersebut dengan nama Gunung Amat Sa’id. Sampai
sekarang masyarakat setempat sering mengunjungi gunung tersebut untuk
berziarah.
Sejak saat itu, Tari Landok Sampot terus dikembangkan dan
dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa dari Tanah Kluet. Akan tetapi, saat ini mulai terancam punah.
Tari
Landok sampot merupakan tari persembahan yang ditampilkan sebagai tanda
penghormatan kepada tamu atau seseorang yang dimuliakan dalam sebuah upacara
adat. Dahulu, tarian ini dipertunjukkan dalam penyambutan kalangan raja-raja,
atau boleh ditarikan di kalangan masyarakat atas persetujuan raja. Misalnya
dalam upacara perkawinan, khitan, dan lain-lain. Namun sekarang tari tersebut
juga digunakan untuk menyambut tamu kenegaraan meskipun bukan orang Kluet.
Tari
Landok sampot dimainkan oleh 8 orang laki-laki dewasa, diiringi oleh seorang
penyair dan seperangkat alat musik yang terdiri atas Siling, Gong, 2 canang dan
2 genderang.
Sesuai
namanya, Landok yang berarti tari dan sampot yang berarti libas/lecut, maka
tarian ini menampilkan gerakan seperti perkelahian antara 2 pemuda. Digambarkan
bahwa mereka sedang bertarung memperebutkan seorang putri raja, dan yang menang
akan dipilih menjadi pasangan putrid tersebut. Gerakannya terdiri dari 5 Bagian
gerakan antara lain: Landok Kedidi (gerakan seperti
burung kedidi yang bisa melompat riang dengan tempo cepat), Landok
Kedayung (gerakan gemulai seperti mendayung sampan), Landok
Sembar Keluakai (gerakan dasar seperti burang elang menyambar, gerak
cepat, tangkas dan dinamis), Landok
Sampot (gerak melecut dan memukul dengan menggunakan bamboo
seperti tangkai pancing tradisional), dan Landok Pedang (gerakan penari dengan
menggunakan pedang yang menunjukkan ketangkasan dan kekebalan).
|
36. |
Topeng Betawi Genre: Pertunjukan Suku: Betawi |
Topeng betawi merupakan salah satu hasil kebudayaan lisan masyarakat Betawi. Topeng Betawi merupakan perkembangan dari Topeng Babakan pada masa kependudukan bangsa Hindia Belanda di Batavia yang semula hanya mengenal dua pemain dan menggambarkan tradisi ritual sedekah bumi atau ungkapan rasa syukur yang dipertunjukkan pada malam hari. Pada masanya, Topeng Betawi memiliki tema besar dalam setiap pertunjukannya, seperti fenomena sosial yang terjadi. Topeng Betawi kini merupakan gabungan pertunjukkan yang melibatkan tari, musik, narasi, lagu, dialog, dan komedi. Kemudian Topeng Betawi ditanggap juga untuk kepentingan dan fungsi hiburan, yaitu sebagai hiburan pada pesta pernikahan atau khitanan dan dipertunjukkan pada siang hari atau malam hari.
Tim Peneliti : Dr. Sastri Sunarti dkk. |
37. |
Tradisi Dou Sandik Genre: Puisi Suku: Biak Numfor |
Tradisi
Dou Sandik Guyub Tutur Biak Numfor
(GTBN), Papua merupakan pengintegrasian tuturan bahasa yang dikemas dengan apik
sebagai wujud ekspresi jiwa manusia terhadap Tuhan dan karya ciptaan-Nya. Tradisi Dou
sandik dilirik sebagai media penguatan karakter, yaitu: (1) sebagai produk dan praktek dari
GTBN yang menggambarkan pandangannya tentang diri, alam (dunia), dan Tuhan; (2)
sebagai wujud interaksi langue dan parole dengan Tuhan; (3) sebagai kantong
nilai budaya yang mengendapkan tuturan makna dan fungsi bahasa; dan (4) sebagai
media yang mampu memagari entitas
(kesatuan lahiriah) tentang ekspresi kehidupan. Sebagai cerminan identitas, tradisi Dou Sandik merupakan upaya pengungkapan ide, gagasan, dan isi
pikiran, serta untuk merefleksikan realitas pengalaman pewarisnya.
Karakteristik tradisi dou
sandik merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Dou sandik bukan hanya sebagai sarana
yang memperkuat ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga
cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dan bersejarah baik di tingkat
keret ‘marga’, mnu ‘kampung’ maupun di tingkat komunitas yang lebih luas. Tradisi dou sandik bagi GTBN merupakan hal yang
sering dilakukan di setiap waktu. GTBN memiliki semboyan bahwa: nggo wor ba ido, na nggo mar ‘jika kami
tidak menyanyi, maka kami akan mati’. Dengan semboyan ini, GBTN menyadari
betapa pentingnya arti dou sandik dan
pesta dalam kehidupannya. Wor dou sandik
isya, kenm isya, munara isya ‘ada nyanyian pujian, penyembahan, ada
kehidupan’.
GTBN memiliki beberapa jenis dou ‘nyanyian’ yang menjadi sarana pengungkap isi hati baik suka
dan duka, yaitu: (1) dou kangkarem: nyanyian yang dituturkan
pada saat dilakukan upacara pemujaan, (2) dou
moringkir: nyanyian pengiring ritual
sedang berada di lautan, (3) dou erisam
bepok: nyanyian yang dituturkan dengan semangat saat berlayar mengarungi
lautan atau saat angin kencang, (4) dou
erisam bemawa: nyanyian yang dituturkan di atas perahu pada saat angin bertiup sepoi-sepoi,
(5) dou wonggei: nyanyian yang
dituturkan untuk mengiringi perjalanan di laut saat melakukan perdagangan
antarkampung, antarpulau dan antaretnis, (6) dou nambojaren: nyanyian yang dituturkan pada saat ritual tengah
malam dilaksanakan sampai pagi hari atau menyindir insos ‘gadis’ yang hamil tanpa suami, (7) dou kansyaru: nyanyian yang dituturkan oleh seorang nyonya tuan
rumah penyelenggara ritual, (8) dou
dunsner: nyanyian peringatan yang dituturkan untuk memperingatkan para
penyanyi dan penari dalam sebuah ritual adat agar bersiaga menyambut pagi
sebagai lambang kemenangan, (9) dou
sandia: nyanyian yang dituturkan menyambut datangnya sang fajar
menyingsing, yakni antara pukul 02.00 – 06.00 pagi hari, (10) dou randan: nyanyian yang dituturkan
pada siang hari antara pukul 11.00 – 14.00 dengan cara semua penutur dalam
keadaan duduk, (11) dou mamun: nyanyian yang dituturkan pada saat perjalanan ke
medan perang dengan syair yang menantang, (12) dou beyuser: nyanyian panjang yang dituturkan untuk mengisahkan
kejadian di masa lampau, kejadian yang sedang dialami, maupun kejadian yang
akan dihadapi pada masa depan, (13) dou
kayob: nyanyian ratapan yang diciptakan secara spontan tanpa terikat oleh
kerangka atau konvensi tertentu, (14) dou
beba: nyanyian kebesaran bagi kaum pelaut dan hanya dinyanyikan pada saat
di atas perahu, dan (15) dou sandik:
tradisi pujian dan penyembahan yang dituturkan pada saat acara ritual keagamaan
atau pesta keimanan.
Tim Peneliti : Hugo Warami
|
38. |
Tradisi Fua Pah Genre: Pertunjukan Suku: Dawan |
Tradisi Fua Pah adalah sebuah tradisi ritus agraris yang masih hidup dan terus dikembangkan dalam masyarakat Dawan sampai saat ini. Tradisi ini adalah senuah tradisi pemujaan roh yang dilaksanakan di tempat-temapt tertentu seperti kebun-kebun, gunung-gunung, dan bukit-bukit. Tradisi ini memiliki fungsi magis, religius, faktitif, intensifikasi.
Uis Pah atau Pah Tuaf adalah makhluk halus yang dianggap merugikan manusia sehingga sebagian masyarakat Dawan menyebutnya sebagai setan yang mendiami pohon-pohon dan tempat lainnya. Untuk mengambil hati dan menghindari kemarahan Pah Tuaf, masyarakat Dawan seringkali memberikan berbagai korban persembahan dalam upacara Fua Pah.
Tradisi Fua Pah merupakan sebuah
tradisi yang khas dalam alam kebudayaan pertanian tradisional. Ritus pemberian
korban sebagai persembahan kepada Uis Pah
atau Pah Tuaf itu senantiasa
dilaksanakan pada enam tahapan kegiatan pertanian, mulai dari membuka kebun
baru sampai dengan tahap menuai, memetik hasil kebun dan mengucapkan syukur
kepada Uis Neno atas panen melimpah.
Keenam tahap itu adalah: (1) tahap menebas hutan (lef nono//tafek hau ana), (2) tahap membakar hutan (polo nopo//sifo nopo), (3) tahap menanam
(lef boen no’o), tahap pertumbuhan
tanaman (eka ho’e), (4) tahap panenan
perdana (tasana mate), (5) tahap
panenan berakhir (tnibun bola’if ma aen
tauf).
Tim Peneliti :
Dr. Yoseph Yapi Taum, MA (Universitas Sanata Darma Yogyakarta)
|
39. |
Tradisi iko-iko Genre: Cerita Rakyat Suku: Masyarakat Bajo |
Etnis
Bajo merupakan suatu komunitas berbudaya Melayu hidup secara berkelompok di
berbagai wilayah pesisir pantai dan pulau terpencil di Nusantara dan Asia
Tenggara. Dalam proses pewarisan pengetahuan, nilai, dan keterampilan mereka
memiliki tradisi lisan Iko-iko, yang berperan
menyampaikan pesan moral dan dinyanyikan menjelang
tidur atau saat dalam pelayaran. Sebagai
suatu cerita rakyat yang di dalamnya mengandung unsur kehidupan
sehari-hari, mata pencaharian, sosial
budaya, termasuk kehidupan remaja pun di ceritakan. Terlepas
dari unsur-unsur mistis yang ada di dalamnya, iko-iko memiliki nilai dan norma. Nilai-nilai kearifan lokal Etnis
Bajo yang dikisahkan dalam iko-iko
dapat memberikan keseimbangan dan ketertiban (keharmonisan) hidup, melestarikan
alam dan lingkungan hidup. |
40. |
Tradisi Lisan Bebetu Genre: Teka-Teki Suku: Olilit Timur |
Bebetu merupakan
bentuk folklor lisan yang tergolong dalam pertanyaan tradisional, Sebagai
sastra daerah sekaligus produk budaya daerah, Bebetu dapat menunjukkan karakter masyarakat Olilit Timur yang
tetap eksis sampai saat ini. Bebetu
ini terdiri atas dua bagian, yaitu Bebetu
Rohani dan Bebetu Biasa. Bebetu Rohani adalah teka-teki yang
berkaitan dengan masalah keagamaan, sedangkan bebetu biasa adalah teka-teki
yang berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari. Bebetu ini digunakan oleh
masyarakat Olilit Timur pada saat merayakan malam ketiga dan malam ketujuh orang
yang telah meninggal. Masyarakat secara lisan saling mengajukan teka-teki, dan
diselingi dengan kidung-kidung rohani. Bebetu ini digunakan juga untuk
mengetahui tingkat kepandaian seseorang. Oleh karena itu, masyarakat Olilit
Timur, sebelum berbebetu, mereka harus mempersiapkan diri, jika tidak ingin
malu. Teka-teki yang diajukan, tidak boleh sama atau berulang. Jadi yang
diajukan harus berbeda atau lain dari yang telah disampaikan. |
41. |
Tradisi Lisan Kana Genre: Puisi Suku: Dayak Desa |
Kana adalah salah satu jenis folklor lisan masyarakat suku Dayak. Kana tergolong ke dalam cerita puisi rakyat, dan pada waktu dibawakan selau disertai dengan nyanyian. Kana dapat juga digolongkan ke dalam nyanyian rakyat (folk liryc), yaitu nyanyian yang bersifat liris, yang menceritakan kisah bersambung (narative folksongs). Kana mirip dengan cerita prosa. Perbedaannya dengan cerita prosa hanya terletak pada pemakaian bahasa yang puitis.
Ada beberapa nama yang digunakan di setiap daerah khususnya pada masyarakat suku Dayak untuk penyebutan kana. Masyarakat Dayak Desa, Dayak Kebahan, dan Dayak Ketungau menyebutnya kana. Masyarakat Dayak U’ud Danum mengenalnya dengan sebutan kelimo,. Dayak Suait menyebutnya bambay, Dayak Kubin menyebutnya dengan engkana, dan lain-lain
|
42. |
Tradisi Lisan Onjai Genre: Puisi Suku: Melayu Rokan |
Onjai merupakan tradisi lisan jenis non cerita berbentuk pantun. Tradisi lisan onjai ini merupakan tradisi berbalas pantun dalam
konteks mengirik padi (memisahkan padi dari tangkainya dengan cara
diinjak-injak). Semua anggota mengirik padi melakukan berbalas pantun dengan
cara didendangkan dan menggunakan bahasa Melayu dialek setempat dan status teks
lisan murni. Penyajian Onjai dilakukan di ladang dan disaksikan oleh
orang-orang diladang tersebut. Kegunaan onjai ini untuk menghibur diri waktu
bekerja. Tradisi lisan onjai terdapat disebuah desa yang bernama Desa Cipang
Kiri Hulu Kecamatan Rokan IV Koto. Masyarakat yang memiliki tradisi onjai di
desa ini dikenal dengan masyarakat Melayu Rokan.
|
43. |
Tradisi Lisan Onuo Genre: Puisi Suku: Suku Bonai |
Onuo merupakan tradisi lisan jenis non-cerita berbentuk pantun dan syair. Pantun dan syair ini
dinyanyikan untuk menidurkan anak atau cucu, karenanya ada onuo anak dan ada
pula onuo cucu. Tradisi nyanyian onuo ini dilakukan di rumah atau dekat buaian. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Rokan. Status teks lisan
murni. Penyajiannya sama dengan tradisi lisan atip anak. Tradisi ini terdapat di
Desa Sikilang (Suku Bonai), Pagaran Tapah, Kecamatan Kunto Darussalam;
Kelurahan Dalu-Dalu Kecamatan Tambusai Kabupaten Kampar. Tradisi ini umumnya terdapat
pada masyarakat Melayu Rokan dan Suku Sakai. |
44. |
Tradisi Mekare-kare Genre: Drama Suku: Tenganan |
Mekare-kare (Upacara Perang Pandan) adalah upacara persembahan yang dilakukan untuk
menghormati Dewa Indra (dewa perang) juga para leluhur. Perang Pandan atau mekare-kare diadakan tiap
tahun bulan Juni di Desa Tenganan, desa ini masuk salah satu desa tua di Bali dan desa ini disebut Bali Aga.
Upacara Perang Pandan/Mekare-kare ini
diadakan 2 hari dan merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah, yaitu upacara keagamaan
terbesar di Desa Tenganan. Pelaksanaan
upacara Mekare-kare ini adalah
didepan balai pertemuan yang ada di halaman desa. Waktu pelaksanaan biasanya
dimulai jam 2 sore dimana semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain
tenun Pegringsingan), untuk para pria hanya menggunakan sarung (kamen),
selendang (saput), dan ikat kepala (udeng) tanpa baju, bertelanjang dada.
Perang ini adalah pandan berduri
diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada, sementara untuk perisai yang terbuat
dari rotan. Setiap pria (mulai naik remaja) didesa ini wajib ikut dalam
pelaksanaan Perang Pandan, panggung berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi itu.
Dengan tinggi sekitar 1 meter, tanpa tali pengaman mengelilingi. Diawali dengan
ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan, lalu diadakan
ritual minum tuak, tuak di dalam bambu dituangkan ke daun pisang yang berfungsi
seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta
lain. Kemudian tuak tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dibuang kesamping
panggung.
Saat upacara Perang Pandan akan
dimulai seorang pemimpin adat di Desa Tenganan memberi aba-aba dengan suaranya,
lalu dua pemuda bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan
di tangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman rotan di tangan kiri. Penengah
layaknya wasit berdiri di antara dua pemuda ini.
Setelah penengah mengangkat tangan
tinggi-tinggi, dua pemuda itu saling menyerang. Mereka memukul punggung lawan
dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Mereka berpelukan. Saling memukul
punggung lawan dengan daun pandan itu lalu menggeretnya. Karena itu ritual ini
disebut pula megeret pandan. Peserta
perang yang lain bersorak memberi semangat. Gamelan ditabuh dengan tempo cepat.
Dua pemuda itu saling berangkulan dan memukul hingga jatuh. Penengah memisahkan
keduanya dibantu pemedek yang lain. Pertandingan ini tidak berlangsung lama.
Kurang dari satu menit. Selesai satu pertandingan langsung disambung
pertandingan yang lain, Ini dilakukan bergilir (lebih kurang selama 3 jam).
Semua luka gores diobati dengan
ramuan tradisional berbahan kunyit yang konon sangat ampuh untuk menyembuhkan
luka. Pada saat itu karena mereka semua melakukannya dengan iklas dan gembira
tidak ada yang kesakitan, menangis, menyesal bahkan marah. Tradisi ini adalah
bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra, dewa perang
yang dihormati dengan darah lewat upacara perang pandan, dilakukan tanpa rasa
dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri
pandan. Perang Pandan ditutup dengan bersembahyangan di Pura setempat
dilengkapi dengan mempersembahkan/menghaturkan tari Rejan. |
45. |
Tradisi Mekotek Genre: Pertunjukan Suku: Bali |
Upacara Mekotek dilaksanakan dengan tujuan
memohon keselamatan. Upacara yang juga di kenal dengan istilah ngerebek. Mekotek ini adalah warisan
leluhur, adat budaya dan tradisi yang secara turun temurun terus dilakukan umat
Hindu di Bali.
Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang
merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi. Perayaan upacara Mekotek selalu dilakukan oleh
warga Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, pada setiap Hari
Raya Kuningan. Selain sebagai simbol kemenangan, Mekotek juga merupakan upaya
untuk menolak bala yang pernah menimpa desa puluhan tahun lalu.
Upacara ini Makotek ini diikuti sekitar 2000
penduduk Munggu yang terdiri dari 15 banjar turun ke jalan dari umur 12 tahun
hingga 60 tahun. Mereka mengenakan
pakaian adat madya dengan hanya mengenakan kancut dan udeng batik dan membawa
selonjoran kayu 2 meter yang telah dikuliti. Pada tengah hari seluruh peserta berkumpul di
pura Dalem Munggu yang memanjang. Disana dilakukan upacara syukuran bahwa
selama 6 bulan pertanian perkebunan dan segala usaha penduduk berlangsung
dengan baik, setelah serangkaian upacara berlangsung, keseluruhan peserta
melakukan pawai menuju ke sumber air yang ada di bagian utara kampung.
Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok.
Di setiap pertigaan yang dilewati masing masing kelompok yang terdiri dari 50
orang akan membuat bentuk segitiga menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga
berbentuk kerucut lalu mereka berputar, berjingkrak dengan iringan gamelan. Pada saat yang
tepat seorang yang dianggap punya nyali sekaligus punya kaul akan mendaki
puncak piramid dan melakukan atraksi entah mengangkat tongkatnya atau berdiri
dengan mengepalkan tangan, sambil berteriak laksana panglima perang
mengkomamdoi prajuritnya untuk terus menerjang musuh lalu kemudian ditabrakkan
dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain. Sesampai di sumber
air, tameng suci, segala perangkat upacara yang dibawa dari Pura Dalem diberi
tirta air suci dan dibersihkan. Kemudian mereka melakukan pawai kembali ke Pura
Dalem untuk menyimpan semua perangkat yang dibawa berkeliling tadi. |
46. |
Tradisi Nyopuh Genre: Pertunjukan Suku: Jagoibabang |
Tradisi
nyopuh atau dikenal ritual pengambilan madu oleh masyarakat dayak Bedayuh sudah
mulai langka pelaksanaannya. Tradisi nyopuh pada waktu dulu sangat
sering dilakukan oleh nenek moyang dayak Bedayuh. Adapun hasil madu yang
diperoleh dengan cara ritual nyopuh yaitu untuk dikonsumsi pribadi ataupun
untuk mendapatkan penghasilan tambahan dijual kepada orang yang membutuhkan.
Disamping untuk mengambil madu, tradisi nyopuh juga sebagai sarana mempererat
rasa kebersamaan masyarakat Jagoibabang dalam kehidupan bersosial.
Tradisi ini merupakan tradisi turun
menurun dari nenek moyang dayak Bedayuh masyarakat Jagoi Babang. Nenek moyang
mereka mewariskan tradisi nyopuh secara alami. Para pelaku tradisi nyopuh kebanyakan
orang-orang yang dulunya lebih banyak mengetahui proses tradisi, baik dari
ritual maupun media yang harus disiapkan. Kebanyakan orang tua yang terlibat di
dalamnya, sehingga peran sesepuh sangat penting dalam proses ritual ini. Sangat
disayangkan jika tidak ada yang dapat melestarikan ritual nyopuh karena tradisi
ini akan punah berlahan-lahan. Jika sesepuh atau para orang tua yang sangat
berperan dalam ritual nyopuh meninggal dan belum ada yang dapat melanjutkan
tentu saja tradisi ini akan mandek dengan sendirinya.
Tradisi nyopuh dilakukan sebelum
bulan purnama yaitu dalam keadaan gelap, alasannya agar lebah-lebah tidak
menyengat para pelaku nyopuh. Disisi lain kondisi lebah sebelum bulan purnama
telur-telur anak lebah sudah mulai menetas. Kegiatan ritual nyopuh sebagai
bentuk gotong royong masyarakat setempat. Wujud gotong royong itu sendiri yaitu
dengan kerja sama mereka untuk mempersiapkan semua perlengkapan awal, proses,
dan hasil yang diperoleh dari tradisi nyopuh tersebut.
Keterlibatan seluruh masyarakat dalam
proses ritual tanpa membedakan kedudukan dalam kehidupan bermasyarakat
menjadikan modal utama tersendiri bagi mereka. Di dalam ritual nyopuh terdapat
banyak orang yang berperan dan mereka saling bersinergi.
Seiring berjalan waktu tradisi nyopuh
di kalangan masyarakat dayak Bedayuh Jagoibabang sudah mulai punah saat ini.
Faktor yang menyebabkan punahnya tradisi ini selain faktor alam akibat
pohon-pohon besar di hutan yang sudah mulai berkurang. Tradisi ini juga sudah
mulai tidak digunakan lagi tidak sesering pada waktu lalu, di sisi lain bisa
jadi karena kurang minatnya generasi muda untuk melestarikan tradisi ini karena
memang memerlukan begitu banyak persiapan baik secara material maupun
nonmaterial. |
47. |
Uning-Uningan Genre: Pertunjukan Suku: Batak Toba |
Uning-uningan merupakan kesenian
tradisional Batak Toba yang tersisa. Selain digunakan sebagai sarana pendekatan
kepada pujaan hati, konon juga bermanfaat sebagai alat komunikasi antara
manusia dengan Sang Pencipta (Mula jadi na Bolon). Kesenian ini terdiri dari
unsur musik (musik instrumental) di mana alat musiknya merupakan alat musik
tertua dan asli dari masyarakat Batak Toba.
M Hutasoit dalam bukunya, Ende
Batak dohot Uning-uningan mengatakan, perkataan uning-uningan berasal dari dua
kata un dan ing. Un berarti suara yang rendah (bongor) dan ing berarti suara
yang tinggi (sihil). Dengan demikian, pengertian uning-uningan berarti, suara
bongor dan sihil yang bersahut-sahutan.
Ada beberapa jenis alat musik
yang dipakai dalam uning-uningan, antara lain jenis aerophone (alat musik yang
ditiup) terdiri dari sarune na met-met, sulim, sordam, tulila, tataloat, salung
dan along-along. Jenis chordophone (alat musik yang dipetik) terdiri dari
hasapi, tanggetong atau mengmong dan sidideng. Jenis idiophone (alat musik yang
dipukul) terdiri dari garantung, saga-saga, jenggong dan hesek. Kemudian jenis
membranophone (alat musik yang terbuat dari kulit binatang) terdiri dari
gardap.
Biasanya, dalam pertunjukan musik
tradisional Batak Toba, tidak semua alat musik ini digabung dalam satu
ensambel, tetapi dipilih beberapa jenis saja (biasanya tiga sampai enam jenis
alat musik dalam satu ensambel). Misalnya, sebuah sarune na met-met,
seperangkat garantung, dua buah hasapi (hasapi ende dan hasapi doal), sebuah
sulim dan sebuah hesek. Hal yang penting dalam uning-uningan, yaitu harus ada paling
sedikit satu jenis alat musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi dari
repertoar yang dimainkan.
Selain berfungsi sebagai alat
untuk memanggil roh, fungsi lain dari Uning-uningan adalah sebagai alat
komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta (Mula Jadi na Bolon). Dalam hal
pemanggilan roh, beberapa persyaratan harus dipenuhi yang diminta oleh Datu
(dukun) sebelum upacara dimulai, seperti menyediakan sesajen, membatasi orang
yang hadir dan lain sebagainya. Setelah seluruh persyaratan terpenuhi,
Uning-uningan pun dimainkan. Si dukun kemudian menari mengikuti irama musik dan
biasanya kemasukan roh orang yang sudah mati (trance) yang sengaja diundang.
Fungsi lainnya, uning-uningan
digunakan sebagai pelengkap pembacaan doa bagi kesembuhan orang sakit. Malah,
dimanfaatkan sebagai pengantar doa permohonan untuk mendapatkan keturunan. Saat
upacara berlangsung, biasanya dilengkapi beberapa umpasa (umpama) yang
dibacakan penatua kampung. Isiumpasa tersebut disesuaikan dengan keadaan orang
yang akan didoakan. Contohnya, Bintang na rumiris, ombun na sumorop; Anak pe
antong riris, boru pe antong torop (Bintang yang bertabur, embun yang
berserakan; Anak laki-laki pun banyak, anak perempuan pun banyak). Hadirin
spontan menyahuti umpama tersebut dengan seruan,”Ima tutu” (semoga benarlah
adanya).
Untuk fungsi secara pribadi,
beberapa perangkat uning-uningan bisa dimainkan sendiri-sendiri. Seorang ibu
hamil, bisa memainkan garantung agar kelak anaknya lahir dalam keadaan sehat.
Seorang kakek juga sering memainkan hasapi begitu mendengar kabar kelahiran
cucunya. Sedangkan sordam dimainkan para orangtua yang sedang bersedih hati
pada malam ketika suasana sudah benar-benar sepi. Kini, uning-uningan sudah
semakin jarang dimainkan. |
48. |
Uning-uningan Genre: Pertunjukan Suku: Toba Samosir |
Uning-uningan merupakan kesenian
tradisional Batak Toba yang tersisa. Selain digunakan sebagai sarana pendekatan
kepada pujaan hati, konon juga bermanfaat sebagai alat komunikasi antara
manusia dengan Sang Pencipta (Mula Jadi na Bolon). Kesenian ini terdiri dari
unsur musik (musik instrumental) di mana alat musiknya merupakan alat musik
tertua dan asli dari masyarakat Batak Toba.
M Hutasoit dalam bukunya, Ende
Batak dohot Uning-uningan mengatakan, perkataan uning-uningan berasal dari dua
kata un dan ing. Un berarti suara yang rendah (bongor) dan ing berarti suara
yang tinggi (sihil). Dengan demikian, pengertian uning-uningan berarti, suara
bongor dan sihil yang bersahut-sahutan.
Ada beberapa jenis alat musik
yang dipakai dalam uning-uningan, antara lain jenis aerophone (alat musik yang
ditiup) terdiri dari sarune na met-met, sulim, sordam, tulila, tataloat, salung
dan along-along. Jenis chordophone (alat musik yang dipetik) terdiri dari
hasapi, tanggetong atau mengmong dan sidideng. Jenis idiophone (alat musik yang
dipukul) terdiri dari garantung, saga-saga, jenggong dan hesek. Kemudian jenis
membranophone (alat musik yang terbuat dari kulit binatang) terdiri dari
gardap.
Biasanya, dalam pertunjukan musik
tradisional Batak Toba, tidak semua alat musik ini digabung dalam satu
ensambel, tetapi dipilih beberapa jenis saja (biasanya tiga sampai enam jenis
alat musik dalam satu ensambel). Misalnya, sebuah sarune na met-met,
seperangkat garantung, dua buah hasapi (hasapi ende dan hasapi doal), sebuah
sulim dan sebuah hesek. Yang penting dalam uning-uningan harus ada paling
sedikit satu jenis alat musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi dari
repertoar yang dimainkan.
Selain berfungsi sebagai alat
untuk memanggil roh, fungsi lain dari Uning-uningan adalah sebagai alat
komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta (Mula Jadi na Bolon). Dalam hal
pemanggilan roh, beberapa persyaratan harus dipenuhi yang diminta oleh Datu
(dukun) sebelum upacara dimulai, seperti menyediakan sesajen, membatasi orang
yang hadir dan lain sebagainya. Setelah seluruh persyaratan terpenuhi,
Uning-uningan pun dimainkan. Si dukun kemudian menari mengikuti irama musik dan
biasanya kemasukan roh orang yang sudah mati (trance) yang sengaja diundang.
Fungsi lainnya, uning-uningan
digunakan sebagai pelengkap pembacaan doa bagi kesembuhan orang sakit. Malah,
dimanfaatkan sebagai pengantar doa permohonan untuk mendapatkan keturunan. Saat
upacara berlangsung, biasanya dilengkapi beberapa umpasa (umpama) yang
dibacakan penatua kampung. Isiumpasa tersebut disesuaikan dengan keadaan orang
yang akan didoakan. Contohnya, Bintang na rumiris, ombun na sumorop; Anak pe
antong riris, boru pe antong torop (Bintang yang bertabur, embun yang
berserakan; Anak laki-laki pun banyak, anak perempuan pun banyak). Hadirin
spontan menyahuti umpama tersebut dengan seruan,”Ima tutu” (semoga benarlah
adanya).
Untuk fungsi secara pribadi,
beberapa perangkat uning-uningan bisa dimainkan sendiri-sendiri. Seorang ibu
hamil, bisa memainkan garantung agar kelak anaknya lahir dalam keadaan sehat.
Seorang kakek juga sering memainkan hasapi begitu mendengar kabar kelahiran
cucunya. Sedangkan sordam dimainkan para orangtua yang sedang bersedih hati
pada malam ketika suasana sudah benar-benar sepi. Kini, uning-uningan sudah
semakin jarang dimainkan. Agaknya, generasi muda sekarang takut dicap kolot
bila memainkannya. Mereka lebih memilih untuk memainkan atau mendengarkan musik
yang lagi tren. |
49. |
Untu Wa Ode Genre: Cerita Rakyat Suku: Wakatobi |
Cerita rakyat Untu Wa Ode
di Desa Waha, mengisahkan tentang seorang yang kembar dengan gurita. Gurita itu
kemudian di lepas di laut. Maka jadilah legenda Untu Wa Ode. Suatu saat Bapak
dari anak itu pergi memancing, tiba-tiba kailnya terkait di batu. Maka ia pun
berkeputusan untuk menyelam guna melepaskan mata kailnya. Namun tiba-tiba ia
seperti masuk di dalam rumah yang bagus. Di situlah ia disambut oleh seorang
perempuan cantik yang mengaku sebagai anak kandungnya. Anaknya tersebut bernama
Wa Ode.
Di dalam laut itu, sang ayah seperti hidup di darat, mereka makan
dan minum, setelah itu ayah mereka pun minta permisi untuk kembali ke darat.
“Ayah sudah mau pulang, nanti menyusahkan orang kampung dan
saudara-saudaramu di kampung”, kata ayah pada anak dan keluarganya di dalam
laut itu.
“Tidak ayah, tinggal saja di sini”, minta Wa Ode.
“Tidak, saya harus pulang, kasian kakak-kakakmu yang masih
kecil-kecil”, jelas ayahnya.
Maka Wa Ode tinggal pasrah mengingat kakak-kakaknya di desa Waha.
Maka keluarlah ayah Wa Ode dengan membawa ikan yang banyak. Tetapi tiba-tiba Wa
Ode berkata pada ayahnya, “Ayah, tolong beritahu keluarga di Waha agar jangan
pernah membuat kerusakkan di kampung kami ini, banyak anak-anak yang bermain.
Ayah lihat sendiri indahnya perkampungan ini. Kalau saudara-saudara saya dari
Waha merusak kampung kami, karang ini, maka kami akan hukum mereka.
Ketika ayahnya berhenti, Wa Ode mengingatkan lagi ayahnya agar
jangan merusak perkampungan mereka.
“Ayah, sekali lagi beritahu saudara-saudaraku agar jangan merusak
kampung kami!”
Maka tiba di rumah, menangislah semua orang kampung, karena ayah Wa
Ode sudah tiga hari tiga malam tidak pulang dari laut, namun ketika ia pulang
di antar gurita sampai pinggir pantai, dan setelah tiba berceritalah ayah Wa
Ode tentang pesan Wa Ode agar tidak merusak karang dan laut di sekitar Untu Wa
Ode.
Demikianlah pesan Wa Ode penjaga karang Untu Wa Ode kepada kita.
Inga, inga jangan rusak karang!
Inga-inga mari kita cintai karang kita, karang Wakatobi seperti
pesan Wa Ode dari desa Waha Untu Wa Ode. |
50. |
Upacara Adat Naik Dango Genre: Pertunjukan Suku: Dayak Kanayatn |
Naik
Dango atau Gawai Dayak merupakan Upacara adat masyarakat kalimantan Barat (Dayak Kanayatn) yang dilakukan dari daerah Kabupaten Landak, Kabupaten
Pontianak, hingga Kabupaten Sanggau. Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang
murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai
Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak.
Upacara adat Naik Dango yang merupakan sebuah upacara untuk menghaturkan rasa
syukur terhadap Nek Jubata atau Sang Pencipta atas berkah yang diberikannya
berupa hasil panen (padi) yang berlimpah. Upacara ini rutin dilaksanakan setiap
tahun setelah masa panen.
Upacara adat Naik Dango ditandai
dengan menyimpan seikat padi yang baru selesai di panen di dalam dango (lumbung
padi) oleh setiap kepala keluarga masyarakat Dayak yang bertani/ berladang.
Padi yang disimpan di dalam Dango nantinya akan dijadikan bibit padi untuk
ditanam bersama-sama dan sisanya menjadi cadangan pangan untuk masa-masa
paceklik. Selanjutnya, menimang padi dan diikuti dengan pemberkatan padi oleh
ketua adat.
Upacara Naik Dango merupakan acara
yang memiliki 3 aspek pokok, yaitu aspek kehidupan agraris, aspek religius, dan
aspek kehidupan kekeluargaan solidaritas serta persatuan. Aspek kehidupan
agraris, yaitu kehidupan masyarakat yang bertradisi bercocok tanam, kemudian
aspek religius merupakan aspek untuk berterima kasih kepada Tuhan atas hasil
panen yang diperoleh dan yang terakhir adalah aspek kehidupan kekeluargaan
solidaritas dan persatuan yang merupakan aspek menjunjung tinggi kekeluargaan
antar keluarga terdekat dalam rumah masing-masing tiap tahunnya. |
51. |
Upacara Banyu Pinaruh Genre: Pertunjukan Suku: Bali |
Hari Raya Saraswati adalah hari
turunnya Ilmu Pengetahuan. Umat Hindu Dharma di Bali merayakannya setiap 210
hari sekali pada Sabtu (Saniscara), Umanis (Legi), Watugunung. Pada Hari Raya
Saraswati dilakukan pemujaan pada Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan
dan Seni. Pada malam harinya para penganut agama Hindu membaca lontar lalu
keesokan harinya dilaksanakan Banyu Pinaruh, yakni mensucikan diri di pagi
buta. Karena itu di pantai Soka Indah terlihat ramai oleh penduduk sekitar yang
melaksanakan Banyu Pinaruh. Beberapa sesaji diletakkan di pantai maupun di atas
batu karang lalu dipanjatkan do’a-do’a.
Setelah merayakan piodalan Saraswati, umat Hindu melanjutkannya dengan
melaksanakan prosesi Banyu Pinaruh.
Tradisi Banyupinaruh, merupakan upacara yadnya yang
dilakukan sehari setelah hari raya saraswati. Tujuannya untuk pembersihan dan
kesucian diri. Banyu Pinaruh sendiri berasal kata dari Banyu yang berarti
air, dan Pinaruh atau Pengeruwuh berarti pengetahuan. Pada hari
Banyu Pinaruh, biasanya umat membersihkan badan dan keramas di sumber mata air
atau di laut. Prosesi ini bermakna untuk membersihkan kegelapan pikiran yang
melekat pada tubuh manusia, dengan Asucilaksana yang dilaksanakan pada
pagi hari. Momen Banyu Pinaruh inilah jadi kesempatannya, selain untuk
membersihkan diri, juga untuk menenangkan pikiran. |
52. |
Upacara Mecaru Genre: Pertunjukan Suku: Bali |
Upacara Mecaru bisa juga disebut Butha Yadnya,
ini adalah suatu upacara untuk menjaga mengharmoniskan hubungan antara manusia
dengan alam lingkungan sekitarnya, sementara caru sendiri arti nya cantik atau
harmonis (kitab Samhita Swara). Mecaru ini dilaksanakan sehari sebelum hari
raya Nyepi, tepat pada bulan mati (tilem).
Satu hari sebelum Hari Raya Nyep,i yaitu pada waktu sasih kesanga umat
Hindu Bali melaksanakan upacara Butha Yadnya yang diadakan di perempatan jalan
dan lingkungan rumah masing-masing, pada upacara ini dibuatkan
Caru/persembahan menurut kemampuan dari
yang melaksanakannya. Pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta
Kala dan segala kotoran yang ada dan
berharap semoga sirna semuanya dan
menjadi suci kembali.
Upacara ini dilakukan dirumah masing masing,
caru/persembahan berisikan atau terdiri dari; nasi manca warna (lima warna),
lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak.
Permohonan ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala
agar supaya mereka tidak mengganggu umat manusia. Upacara mecaru ini berfungsi untuk menanamkan
nilai-nilai luhur dan spiritual kepada umat manusia agar selalu menjaga
keharmonisan alam, lingkungan beserta isinya (wawasan semesta alam). Sementara
makna upacara mecaru sendiri adalah kewajiban manusia merawat alam yang
diumpamakan badan raga Tuhan dalam perwujudan alam semesta beserta isinya.
|
53. |
Upacara Nyangku Genre: Pertunjukan Suku: Sunda |
Upacara adat Nyangku adalah sebuah ritual untuk
membersihkan pusaka peninggalan leluhur warga Kecamatan Panjalu, Prabu
Borosngora yang dilaksanakan setiap datangnya bulan Maulud. Dalam setiap upacara
Nyangku ini, sejumlah warga Panjalu dan Ciamis Jawa Barat membawa
pusaka yang ditutupi kain.
Makna dilaksanakannya upacara adat
ini adalah untuk menghormati peninggalan pusaka leluhur sebagai ungkapan terima
kasih atas jasa-jasa leluhur Panjalu yang telah mendirikan negara dan
menyebarkan agama Islam di wilayah Galuh, Ciamis, khususnya di Kecamatan
Panjalu. Oleh karena itu, tradisi ini diadakan setiap bulan Maulid minggu
keempat. Inti dalam ritual ini adalah pembersihan benda-benda pusaka yang
dimiliki oleh Kerajaan Panjalu.
Ritual Nyangku diawali dengan berziarah ke
makam raja di Situ Lengkong, Panjalu, Upacara dilanjutkan dengan pencucian
benda pusaka peninggalan raja seperti pedang. Rombongan pembawa benda pusaka
mengenakan pakaian muslim dan pakaian adat Sunda. Mereka berjalan kaki dari
Bumi Alit (rumah penyimpanan benda pusaka) menuju Situ Lengkong.
Setelah itu, benda-benda pusaka
dibawa ke alun-alun dan disimpan kembali di Bumi Alit. Dengan diiringi musik
rebana,para pembawa pusaka menuju panggung utama tempat digelarnya pencucian
benda pusaka. Benda-benda pusaka itu kemudian dibersihkan dengan air yang sudah
didoakan.
Hingga
kini, ritual Nyangku menjadi tradisi dan kebudayaan kebanggaan
masyarakat Panjalu. Tradisi ini dimanfaatkan untuk mengenang kebesaran Kerajaan
Panjalu pada masa lalu.
|
54. |
Upacara Pamali Manggodo Genre: Pertunjukan Suku: Sambori |
Di Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, terdapat suatu upacara adat yang terejawantah dalam kehidupan
ekonomi masyarakat, yakni pada
aktivitas pertanian. Upacara adat yang dimaksud dikenal dengan istilah pamali manggodo yang
menandakan event khusus pada saat masyarakat akan
membuka lahan untuk bercocok tanam. Sebagaimana upacara-upacara
adat lainnya, pamali manggodo
didasari
oleh kepercayaan dan tradisi yang telah melekat sejak lama dalam kehidupan masyarakat di desa Sambori.
Peralatan dan sesaji atau sesajen merupakan
suatu perangkat
yang biasanya ada di dalam berbagai kegiatan ritual. Perangkat
itu harus lengkap, dan setiap perangkat mewakili suatu makna
tertentu. Kelengkapan dari sesajen menjadi prasyarat dari keputusan
pihak yang diberikan sesajen dan di sisi lain merupakan wujud
kepercayaan dari pihak yang memberi sesaji. Bagi
beberapa kelompok masyarakat, sesajen merupakan simbol
dari pengakuan akan adanya kuasa yang harus dia puaskan supaya
memberi keamanan dan ketenangan di dalam hidup mereka,
dan yang akan mejawab semua permohonan mereka. Seberapa
lengkap dan sempurna sesajen yang telah diuasahkan dan
dipersembahkan merupakan sumber ketenangan dan keamanannya. Pada
upacara pamali manggodo proses yang memuat unsur sesaji
bersama dengan perangkat peralatan upacara dapat ditemukan
di awal upacara. Yakni pada saat masyarakat mendatangi
uma manggodo untuk meminta izin pada parafu. Upacara Pamali Manggodo dipimpin oleh
seorang tokoh yang disebut Panggawa. Selain Panggawa upacra ini juga diikuti oleh beberapa
tokoh adat yang memiliki tugas masing-masing untuk memimpin
upacara tolak bala. Di antaranya adalah Pamali Lawo/Lancole
yang memimpin tolak bala hama tikus dan Pamali Kari‟i memimpin tolak bala burung pipit. Setelah upacara tolak
bala burung pipit usai, tibalah waktunya membagi-bagikan semua hasil buruan kepada seluruh
warga masyarakat di rumah
Pamali Lawo.
|
55. |
Upacara Tedhak Siten Genre: Pertunjukan Suku: Jawa |
Tedhak Siten merupakan bagian dari adat dan tradisi
masyarakat Jawa Tengah. Upacara ini
dilakukan ketika seorang bayi berusia tujuh bulan dan mulai belajar duduk dan berjalan di tanah. Secara keseluruhan, upacara ini
dimaksudkan agar ia menjadi mandiri di masa depan.
Upacara Tedhak Siten selalu ditunggu-tunggu oleh orangtua dan kerabat
keluarga Jawa karena dari upacara ini mereka dapat memperkirakan minat dan bakat
adik kita yang baru bisa berjalan.
Dalam pelaksanaannya, upacara ini dihadiri oleh keluarga
inti (ayah, ibu, kakek, dan nenek), serta kerabat keluarga lainnya. Mereka
hadir untuk turut mendoakan agar adik kita terlindung dari gangguan setan. Tak
hanya ritualnya saja yang penting, persyaratannya pun penting dan harus
disiapkan oleh orangtua yang menyelenggarakan Tedhak Siten ini, seperti
kurungan ayam, uang, buku, mainan, alat musik, dll.
Selain itu ada pula ada tangga yang terbuat dari tebu,
makanan-makanan (sajen), yang terdiri dari bubur merah, putih, jadah
7 warna, (makanan yang terbuat dari beras ketan), bubur boro-boro
(bubur yg terbuat dari bekatul-serbuk halus atau tepung yang diperoleh
setelah padi dipisahkan dari bulirnya), dan jajan pasar. |
56. |
Wato Wele Lia Nurat Genre: Cerita Rakyat Suku: Lamaholot |
Adalah seorang tokoh purba bernama Ema Wato Sem Bapa Madu Ma. Dia tinggal di sebuah tempat yang dikenal sebagai Sina Jawa. Pada suatu hari, dia menyuruh orang tuanya yakni burung garuda untuk terbang ke timur menuju ke puncak sebuah gunung yang bernama Ile Mandiri di bagian timur Pulau Flores. Ketika tiba di puncak gunung itu, sang garuda meletakkan sebutir telurnya. Dari sebutir telur itu, menetas dan lahirlah dua orang anak kembar, yang kemudian dinamakan Wato Wele (seorang wanita) dan Lia Nurat (seorang laki-laki).
Sejak masih bayi hingga menjadi dewasa, Wato Wele dan Lia Nurat dipelihara dan dibesarkan oleh seorang hantu gunung. Ketika sudah mencapai usia akil-balik, Lia Nurat mengantar adiknya Wato Wele untuk menempati bagian selatan Ile Mandiri sedangkan Lia Nurat sendiri menempati bagian utaranya.
Pada suatu malam, Lia Nurat menyalakan api unggun di puncak Ile Mandiri. Cahaya api itu sampai ke perkampungan Paji. Sinar api itu menimpa seorang gadis Paji bernama Hadung Boleng Teniban Duli. Suku Suban Lewa Hama, saudara Hadung Boleng disuruh pergi ke puncak Ile Mandiri mencari asal api unggun itu. Ketika tiba di sana dia bertemu dengan Lia Nurat. Lia Nurat berjanji akan turun ke perkampungan Paji.
Lia Nurat pun turunlah ke perkampungan Paji dan menikah dengan Hadung Boleng. Dari pernikahan itu, lahirlah tujuh orang anak yang kelak menurunkan suku-suku Ile Jadi di Baipito. Mereka hidup berkecukupan.
Kemakmuran mereka diketahui oleh orang-orang suku Soge (Maumere). Raja suku Soge pun mengantarkan anaknya yang bernama Uto Watak untuk diperistri Lia Nurat. Hadung Boleng tidak senang dengan kehadiran Uto Watak. Dia pun mengusir Uto Watak. Raja Suku Soge sangat marah. Mereka datang menyerbu dan membunuh Lia Nurat.
Setelah Lia Nurat meninggal, kehidupan Hadung Boleng dan ketujuh anaknya sangat menderita. Suatu ketika Hadung Boleng bermimpi melihat pusat gunung. Dengan mimpi itu, kehidupan mereka kembali menjadi makmur.
Terjadi perang di Adonara. Kelima putra Lia Nurat ikut berperang membela adik perempuan mereka. Dalam perang tersebut, putra sulung Lia Nurat, yakni Blawa Burak Sina Puri tewas terbunuh. Keempat putra Lia Nurat yang masih hidup kembali ke Ile Mandiri dan membagi tanah warisan di antara mereka.
|
57. |
Watu Samboka-mboka Genre: Cerita Rakyat Suku: Kaledupa |
Watu
Samboka-mboka adalah salah satu cerita lisan rakyat yang hidup di tengah-tengah
masyarakat Kaledupa, bisanya dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya
menjelang tidur.
Teknik
penuturannya berupa nyanyian dengan lagu tertentu. Cerita ini digunakan untuk
mengajarkan bahwa penyesalan itu selalu datang terlambat. Pesan lainnya berupa
falsafah “gau satoto” yang menekankan pentingnya prinsip keteguhan pendirian,
sikap dan satunya kata dengan perbuatan. Falsafah itu diajarkan dalam lima
prinsip nilai, yaiu tara (ketangguhan), turu (kesabaran), toro (komitmen), taha
(keberanian), dan toto (kejujuran). |
58. |
Wayang Cecak Genre: Pertunjukan Suku: Riau |
Wayang cecak adalah sebuah tradisi wayang dari akulturasi suku Melayu dan Cina yang ada di Kepulauan Riau. Wayang yang dipentaskan dalam wayang cecak tersebut berbentuk seperti boneka yang dipentaskan menggunakan panggung kecil di tengah ruangan dan dipertunjukkan kepada penonton anak-anak dan orang dewasa yang dipentaskan pada siang atau malam hari. Cerita yang dibawakan dalam wayang cecak bersumber pada epos Melayu, seperti Syair Siti Zubaidah, Cerita Nak Kapiten, Syair Kapiten Tik Sing, Syair Raja Haji Fi Sabilillah, dan Syair Silindung. Pada masa lalu, wayang cecak dimainkan hanya di kalangan orang kaya dan bangsawan, sehingga kurang menyebar ke masyarakat luas. Kondisi wayang cecak kini diklasifikasikan sebagai sastra yang keadaannya kritis, bahkan punah karena tradisi ini sudah hampir tidak dipentaskan lagi semenjak kematian dalang wayang cecak yang terkenal pada tahun 1950-an, yaitu Khadijak Terung. Meskipun wayang cecak ini dikatakan punah, namun wayang cecak di alihwahanakan ke dalam cerpen, tari, dan teater agar tetap bertahan dengan mengandalkan ingatan dari para penonton wayang cecak yang masih hidup. |
59. |
Wayang Orang Betawi Genre: Pertunjukan Suku: Betawi |
Wayang Orang Betawi adala kesenian tradisional Betawi yang berasal dari pencampuran budaya Betawi, Sunda, dan Jawa. Masyarakat Betawi mengadaptasi kesenian Wayang Orang yang pernah dibawa oleh Sultan Agung pada saat Mataram menyerbu VOC di Batavia. Kesenian Wayang Orang Betawi dinilai unik karena terjadi pencampuran bahasa dan peralatan musik yang membuat kesenian ini dapat disukai oleh masyarakat. Saat ini, grup-grup Wayang Orang Betawi masuk dalam kategori mengalami kemunduran jika dihitung vitalitasnya yang dihitung hanya ada satu atau dua grup. Dalam pertunjukkan Wayang Orang Betawi, gerakan adalah salah satu yang menjadi daya tarik, misalnya seperti gerak dalam tarian, gerak tangan, lirikan mata, dan ucapan yang disertai mimik ekspresif ketika berdialog. Hal itu yag membuat para penonton lebih mudah untuk memahami cerita yang ditampilkan. |
60. |
Tari Sembah Siger Penguten (Tari Sembah Nyai) Genre: Pertunjukan Suku: |
Salah satu
jenis tarian yang terkenal adalah Tari Sembah dan Tari Melinting(saat ini nama
Tari Sembah sudah dibakukan menjadi Sigeh Penguten). Tarian ini sudah dalam kategori terancam punah. Ritual tari sembah
biasanya diadakan oleh masyarakat lampung untuk menyambut dan memberikan
penghormatan kepada para tamu atau undangan yang datang, mungkin bolehlah
dikatakan sebagai sebuah tarian penyambutan. Selain sebagai ritual penyambutan,
tari sembah pun kerap kali dilaksanakan dalam upacara adat pernikahan
masyarakan Lampung.
Tari Sembah Nyai
Tarian ini merupakan tari
kreasi baru yang diciptakan oleh Dadi Djaja, merupakan tari penyambutan tamu.
Tari ini di iringi musik Gambang Kromong seperti tari Cokek. Bentuk
penyajiannya hampir sarna dengan tari Sekapur Sirih pada tari Melayu. Tarian
ini mungkin dapat dikatakan sebagai bentuk pengembangan dari tarian yang
berkembang di Betawi Tengah, dimana nuansa Melayu cukup berperan.
Tim Peneliti
|
61. |
Aktojeng Genre: Permainan Rakyat Suku: |
Aktojeng adalah salah
satu permainan rakyat yang terdapat di Kepulauan Selayar. Permainan rakyat ini
ditemukan pula pada saat acara addinging-dinging
berlangsung. Aktojeng sejenis permainan ayunan dengan cara menancapkan dua tiang
besar dan pada bagian atas diletakkan
sebatang kayu yang melintang dan ukurannya sebesar kedua tiang penyangga. Pada
kayu atau balok yang melintang tersebut diikatkan dua batang bambu yang bagian tengah kedua bambu tersebut diletakkan
sebuah papan yang berfungsi sebagai tempat duduk pemain.
Ketika
melakukan aktojeng, biasanya pemain
melakukannya sambil menyanyikan lagu-lagu tradisional daerah Kepulauan
Selayar. Di kedua sisi tiang berdiri
seorang laki-laki dengan memegang ujung
tali, sehingga tali melintang di depan kedua tiang tersebut. Tugas kedua
laki-laki tersebut adalah mengayun perempuan yang duduk pada tiang tali
setinggi mungkin. Semakin tinggi ayunan
semakin ramai sorak dan teriakan penonton.
Makna
yang dapat dipetik dalam permainan aktojeng
adalah keberanian dan ketangguhan
perempuan Selayar. Keberanian dalam ketinggian adalah manifestasi
keberanian dan ketangguhan kaum
perempuan Selayar mengarungi hidup yang
tidak terlepas dari tantangan dan suka duka. Permainan aktojeng merupakan simbol keberanian dan ketangguhan perempuan
Selayar.
Tim Peneliti : Dafirah As’ad
|
62. |
Bapandung Genre: Pertunjukan Suku: Banjar |
Bapandung adalah teater tutur suku Banjar yang menjelmakan cerita rakyat ke dalam suatu
pertunjukkan tradisional. Cerita-cerita rakyat yang diangkat dalam pertunjukkan
bapandung dapat berupa hikayat, dongeng, dan legenda. Bapandung dipertunjukkan
dengan cara bertutur atau bercerita oleh seorang penutur (monolog). Seorang
tukang pandung (pemandungan) menggunakan tubuhnya sendiri untuk menggantikan
dialog tokoh-tokohnya.
|
63. |
Basiacuong Genre: Puisi Suku: |
Penelitian Vitalitas Sastra Basiacuong ini bertujuan mengetahui tingkat vitalitas sastra lisan Basiacuong yang ada di Kabupaten Kampar, Riau. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Pengumpulan data dilaksanakan dengan teknik observasi, wawancara, dan survey. Kerangka teori yang digunakan adalah teori vitalitas sastra yang diadopsi dari vitalitas bahasa. Untuk dapat mengukur kebertahanan Basiacuong digunakan faktor-faktor berikut, yakni faktor transmisi antargenerasi, jumlah absolut penutur, proporsi penutur dalam populasi penduduk, ranah dan fungsi, alihawahana, ketersediaan bahan ajar di sekolah, sikap pemerintah, sikap masyarakat, serta jumlah dan kualitas dokumentasi. Hasil pembahasan adalah sastra lisan Basiacuong dalam posisi terancam punah karena Basiacuong saat ini hanya dilakukan secara terbatas di lembaga adat. Selain itu, sastra lisan Basiacuong juga belum diajarkan di sekolah. Sastra lisan ini juga belum adaptif dengan media baru. Namun, dalam hal pewarisan sastra lisan ini aman karena setiap laki-laki dalam suku Melayu Kampar apabila berperan sebagai sumando (ipar) harus dapat melakukan Basiacuong. Sastra lisan ini akan aman selama adat dan kebiasaan masih terpelihara.
|
64. |
Bhanti-bhanti Genre: Puisi Suku: |
Bhanti-Bhanti merupakan tradisi lisan dalam masyarakat Wakatobi berbentuk syair yang disampaikan dengan cara didendangkan. Bhanti-Bhanti merupakan alat komunikasi dalam masyarakat untuk menyampaikan nasihat, perasaan, larangan, permintaan, dan lain-lain. Bhanti-Bhanti memiliki dua pengertian; sindiran halus dan nyanyian rakyat. orang yang melantunkan bhanti-bhanti disebut Pabhanti. |
65. |
Cerita Kentrung Sarahwulan Genre: Cerita Rakyat Suku: Jawa Timur |
Cerita kentrung dimainkan pada situasi yang
berbeda. Situasi mencari uang, atau pertunjukkan ngamen, dan kentrung dalam situasi
pertunjukkan dalam bentuk telah diborong oleh pengundang. Pada situasi kentrung
telah diborong, maka tampaklah bahwa segi estetika diperhatikan betul oleh
dalang kentrung. Sementara pada situasi ngamen, terlihat sekali tidak pernah
memperhatikan cerita, hanya lagu dan adegan peperangan, kadang kalau di hadapan
anak adalah hiburannya yang ditunjukkan.
|
66. |
Darman dan Darmin Genre: Cerita Rakyat Suku: Betawi |
Darman dan Darmin bercerita tentang keserakahan orang anak. |
67. |
Dulmuluk Genre: Pertunjukan Suku: |
Dulmuluk, seni pertunjukkan yang berasal dari pembacaan naskah Abdul Muluk merupakan kesenian yang di Sumatera Selatan muncul di Palembang kemudian menyebar di daerah Sumatera Selatan yang lain. Penelitian ini mencatat pertunjukan Dulmuluk yang menekankan perubahan struktur sebagai akibat strategi bertahan kesenian ini dari kepunahan. Aspek vitalitas dengan demikian menjadi tema utama yang melingkupi studi terhadap pertunjukan Dulmuluk sendiri maupun pengetahuan masyarakat sebagai pasar atau konsumen yang menghadirkan Dulmuluk. Pertunjukan Dulmuluk beserta komunitas yang diteliti yaitu kelompok-kelompok yang berada di Palembang dan di Kabupaten Ogan Ilir selama sepuluh hari.
Peneliti: Dina Amalia Susamto dan tim. |
68. |
Hiem Genre: Teka-Teki Suku: Aceh |
Hiem (teka-teki) yang digunakan masyarakat Aceh untuk mengisi waktu senggang. Biasanya digunakan ketika mereka berkumpul seusai menanam padi atau setelah seharian bekerja. salah seorang di antara mereka menyampaikan teki teki dan yang lainnya diminta untuk menjawab teka teki tersebut. si penjawab teka teki tidak harus pada saat itu menjawab teka teki yang dilontarkan oleh si pembuat teka-teki tersebut. si penjawab diberi waktu untuk memikirkan jawaban yang tepat dari teka teki tersebut. semakin sulit teka teki itu dijawab semakin ramai suasana kegiatan tersebut. |
69. |
Kabanti Kaluku Panda Atuwu Incuna Dempa Genre: Puisi Suku: Baruta Analalaki |
Tradisi lisan
kaбanti merupakan salah satu bentuk puisi yang paling banyak berkembang dalam
masyarakat Wakatobi dan Buton pada umumnya. Kabhanti lahir dan berkembang
secara turun-temurun sebagai salah satu kesenian maupun sebagai bagian dari
berbagai aktivitas kehidupan masyarakat Wakatobi. Dalam Kabhanti terdapat konsep kearifan lokal masyarakat
Buton, misalnya konsep kearifan lokal terhadap lingkungan (hutan, laut,
karang, sungai), sistempolitik, dan sistem sosial (konsep mengenai keluarga termasuk
konsep seks). Untuk kepentingan pengajaran bagi calon ayah dan ibu itulah
naskah Kabanti Kaluku Panda Atuwu Incuna Dempa selanjutnya disingkat (KP) hadir
dalam kehidupan keluarga masyarakat Buton. Oleh karena itu, upaya penelusuran
mengenai konsep kearifan lokal mengenai seks tersebut sangat penting terutama
dalam mewujudkan generasi bangsa yang berbudaya dan bermartabat.
Dalam naskah
kabanti (KP) menggambarkan tata cara pemilihan lahan (jodoh), waktu untuk
menebas pohon (melamar, pernikahan), waktu untuk menanam (berhubungan intim),
cara menanam (cara berhubungan intim), sampai pada cara perawatan bibit yang
disemai hingga lahir menjadi seorang bayi. Dalam naskah juga dijelaskan
mengenai sifat anak jika orang tunya mengikuti kaidah-kaidah seks, demikian
juga implikasi jika terjadi kesalahan baik dalam pemilihan lahan, waktu
menebas, menanam, ataupun cara merawat tanaman yang ada akan berdampak pada
sifat anak atau bayi tersebut.
KP yang berarti “Kelapa Pendek yang Tumbuh di
Batu Cadas” merupakan naskah kabanti yang ditulis oleh La Kobu (Yarona La
Buandairi) yang bergelar Petapasina Baadia yang berarti yang memperbaiki
kehidupan orang Baadia di bidang seks atau yang menanamkan adab seks di dalam
masyarakat Baadia (Kraton Buton). Naskah ini memiliki banyak salinan dan sampai
saat ini masih banyak tersebar di dalam masyarakat Buton. Naskah kabanti (KP) merupakan naskah yang
banyak dijumpai dalam keluarga-keluarga yang ada dalam masyarakat Buton. |
70. |
Kaghati (Layang-Layang) Genre: Drama Suku: Liang Kabori Sei |
Kaghati dalam bahasa Muna berarti layang-layang dan Kolope adalah nama
dedaunan yang digunakan sebagai bahan layang-layang khas pulau Muna tersebut.
Menurut kisah tradisional masyarakat Liang Kabori Sei Pulau Muna, layang-layang
adalah permainan petani dimana mereka menjaga kebun sambil bermain
layang-layang. Masyarakat Pulau Muna juga percaya bahwa layang-layang berfungsi
sebagai payung yang akan menjaga pemiliknya dari sengatan sinar matahari bila
ia meninggal dunia.
Tradisi menerbangkan Kaghati Kolope ini masih
dipegang masyarakat setempat hingga sekarang, terutama saat musim panen tiba.
Saat yang tepat untuk menerbangkan layang-layang ini adalah pada bulan Juni - September, karena pada bulan tersebut angin timur bertiup cukup kencang dan sanggup
menerbangkan Kaghati Kolope hingga 7 hari lamanya. Dan kalau benar-benar dapat terbang selama 7 hari, maka sang pemilik akan membuat syukuran karena dianggap
mendatangkan rejeki.
|
71. |
Kande-kandea Genre: Pertunjukan Suku: Cia-Cia, Muna (Pancana), dan Wolio |
Tradisi
kande-kandea merupakan tradisi makan bersama yang sangat umum ditemukan
pada masyarakat Buton. Khusus di Kabupaten Buton, terdapat tiga etnis yang
masih secara rutin melaksanakannya, yaitu etnis Cia-Cia, Muna (Pancana), dan
Wolio. Penamaan atas tradisi ini juga beragam sesuai dengan bahasa etnisnya
masing-masing, misalnya etnis Muna (Pancana) menyebut kafoma-foma’a, etnis Cia-Cia menyebut maataa, dan etnis Wolio
menyebut peka kande-kandea.
Secara umum tradisi kande-kandea yang
dilakukan ketiga etnis tersebut merupakan tradisi makan bersama yang melibatkan
unsur hiburan dan ritual, serta terdapat interaksi sosial, politik, dan budaya
di dalamnya.
Pada zaman dulu, pekande-kandea merupakan tradisi
untuk menyambut pulangnya para laskar Kesultanan Buton dari medan perang. Jika
para laskar tersebut kembali dengan membawa kemenangan, pekande-kandea jauh
lebih meriah lagi. Para gadis bersiap dengan makanannya untuk menyuapkannya ke
para anggota laskar yang lelah sebagai penghargaan atas perjuangan mereka
dimedan laga. Disamping itu acara ini
merupakan pula acara pertemuan muda mudi karena hanya pada acara seperti inilah
remaja putera dan puteri memperoleh kesempatan bebas untuk saling pandang.
Berbicara
mengenai wacana tradisi kande-kandea di Buton, maka akan membahas tentang dua
kekuatan yang menghidupinya hingga saat ini, yaitu negara dan adat. Dua kekuatan tersebut mengelola tradisi
kande-kandea dengan cara dan tujuan yang berbeda-beda. Bagi masyarakat adat Baruta Analalaki (Nama
masyarakat adat yang terdapat di Desa Baruta, Kecamatan Sangia Wambulu,
Kabupaten Buton) acara ini dilaksanakan secara sederhana,
bersifat ritual dan dilaksanakan secara tertutup di rumah adatnya. Tradisi yang kerap disebut dengan kande-kandea kabolosi ini, hanya dapat
dihadiri oleh masyarakat adat dari beberapa desa, yaitu Desa Tolandona, Baruta
Analalaki, Baruta, dan Tampuna. Konon mereka merupakan kelompok masyarakat
bangsawan Buton yang bermukim di wilayah pesisir.
Tradisi
kande-kandea kabolosi melambangkan kesatuan mistis dan sosial masyarakatnya,
dengan cara menghadirkan arwah-arwah
leluhur di tengah-tengah mereka. Konsep ritualnya adalah masyarakat
mempersembahkan makanan kepada arwah leluhur dan dimakan secara bersama-sama,
seperti slametan pada masyarakat Jawa. Kande-kandea kabolosi meliputi lima rangkaian
ritual yaitu ziarah Fompua dan Dampu, powintahano lima, kande-kandeano fompu’a,
kande-kandeano kabolosi dan kadandio. |
72. |
Kapata Genre: Puisi Suku: Maluku |
Kapata atau nyanyan rakyat Maluku merupakan jenis nyanyian rakyat liris-naratif, yaitu nyanyian rakyat yang bercerita tentang suatu peristiwa (perang,
asal-usul, percintaan, persekutuan, perdamaian, lingkungan hidup, serta berbagai
aspek lainnya).Kapata dapat diucapkan sebagai puisi atau dinyanyikan dengan melodi atau nada tertentu dengan atau tanpa iringan alat musik. Kapata juga biasanya dinyanyikan dan diselingi dengan tarian yang menyimbolkan keutuhan persekutuan masyarakatnya. Keberadaan Kapata saat ini mulai terancam punah. Hal itu dikarenakan penguasaan bahasa yang tidak diturunkan ke generasi selanjutnya. Bahasa yang diucapkan dalam Kapata adalah Bahasa Tana. Hanya kalangan tertentu ataupun golongan orangtua berusia lebih dari 60 tahun yang menguasainya.
Kapata dilantunkan dalam upacara adat, pelantikan raja, penyambutan tamu, bahkan pada acara kumpul keluarga yang dinyanyikan oleh orangtua sebagai nasihat kepada anak-anaknya.
Tim Peneliti : Falentino Eryk Latupapua, dkk. |
73. |
Kappalak Tallumbatua Genre: Cerita Rakyat Suku: Bugis |
Cerita ini berkisah tentang perjalanan raja Gowa menghadapi Belanda. Dalam kisah ini raja sedang membangun benteng pertahanan agar terhindar dari serangan musuhnya. Dari ahli nujum didapatkan keterangan bahwa kerajaan akan hancur dari dalam. Anak raja sendiri yang menjadi penyebab kehancuran kerajaan. Maka dibuanglah pangeran dari istana. Karena sakit hati, pangeran yang terbuang itu bersekutu dengan Belanda untuk memerangi kerajaan. |
74. |
Katoba Genre: Drama Suku: Muna |
Katoba merupakan sebuah tradisi asal Sulawesi Tenggara yang sudah terancam punah. Pesta Kotoba adalah bagian dari prosesi pengislaman bagi anak laki-laki dan anak perempuan yang baru beranjak usia dewasa atau usia 7-10 tahun. Pada prosesi tersebut, laki-laki didandani rapi dengan pakaian adat yang disesuaikan dengan golongan sosial anak tersebut. Golongan Kaomu berpakaian adat lengkap dengan keris layaknya seorang raja, sedangkan golongan maradika memakai pengikat kepala atau kopiah yang biasa dipakai oleh lakina agamai. Untuk anak perempuan mengenakan pakaian adat lengkap dengan perhiasan keluarga (atau bagi yang tidak memiliki perhiasan keluarga, dipinjamkan dari orang lain). Mereka pun memakai bedak berwarna putih atau kuning muda, kemudian alis mereka dibentuk seperti bulan sabit, dan rambut yang berada di dekat telinga dipotong. Sebagai pemanis terakhir disematkan sebuah pena yang terbuat dari emas atau perak. Proses Katoba dilangsungkan setelah anak-anak sudah dikhitan. Katoba pun juga dapat dilakukan setelah khitanan maupun di lain waktu setelahnya. Adapun hal-hal yang diajarkan dalam prosesi Katoba, yaitu : 1. Mengucapkan dua kalimat syahadat. 2. Seorang anak harus menghormati dan menghargai orangtua laki-laki karena dianggap sebagai pengganti Allah SWT. Orangtua laki-laki yang dimaksudkan di sini bukan hanya ayah, melainkan semua laki-laki yang lebih tua. 3. Seorang anak harus menghormati dan menghargai orangtua perempuan (semua perempuan yang lebih tua) karena dianggap sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW.
4. Seorang anak harus menghormati dan menghargai kakak (semua orang yang lebih tua) karena dianggap sebagai pengganti malaikat Jibril 5. Seorang anak harus menghargai dan menyayangi adik (semua orang yang lebih muda) karena dianggap sebagai pengganti seluruh kaum mukminin. Selain kelima hal di atas, seorang anak yang menjalani prosesi Katoba diajari mengenai air-air yang suci (hujan, embun, sumur, laut, dsb), bagaimana menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Setelah itu, barulah seorang Imam membacakan doa setelah menyalakan dupa dan menyajikan sesajen. Sesajen tersebut tidak dimaksudkan untuk menyembah berhala, akan tetapi nantinya sesajen tersebut dimakan oleh anak-anak yang telah menyelesaikan prosesi Katoba.
Tim Peneliti : Hardin (Kajian Budaya UNUD)
|
75. |
Kawi Bali Genre: Prosa Suku: Bali |
Pertunjukan Wayang Dalang I Wayan Nardayana dengan lakon Kumbakarna Lina, yaitu cerita yang mengisahkan kesanggupan Kumbakarna berperang melawan Rama, walaupun tahu ajal akan menjemputnya.
|
76. |
Kayat Genre: Puisi Suku: Melayu Riau |
Kayat merupakan salah satu sastra lisan yang hidup dan berkembang di Provinsi Riau, Kayat berasal dari kata hikayat yang artinya cerita. Kayat dituturkan dalam bentuk pantun/syair. Isi dan kandungan kayat bernuansa Islam, pandangan dan prilaku hidup sehari-hari. |
77. |
Kerauhan Genre: Pertunjukan Suku: Bali |
Kerauhan merupakan tradisi yang diwariskan
para leluhur masyarakat Bali sebagai pembuktian tentang kemahakuasaan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa Wasa beserta manifestasi-Nya dan masih dilakukan sampai saat ini. Kerauhanberbeda
dengan kesurupan, sebab Kerauhan dilaksanakan dalam sebuah ritual
keagamaan yang terdapat pemuput upacara (sulunggih/pemangku pura), upacara atau
upakara, hari suci atau piodalan, rangkaian upacara, pelaksanaanya di tempat
suci (pura), adanya Tapakan Kerauhan, dilaksanakan umat (pengempon
pura), adanya prosesi sakralisasi dan lain sebagainya. Berdasarkan hal tersebut
kekuatan suci yang masuk dalam tubuh Tapakan Kerauhanialah Ida Sang
Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, sedangkan apabila ada orang
kesurupan tanpa ada factor-faktor diatas, patut dipertanyakan roh apa yang
memasuki tubuh orang tersebut.
Dalam fenomena Kerauhan
terdapat beberapa pembahasan tentang masuknya kekuatan suci Ida
Bhattara/Bhattari yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa
Wasa dalam Teologi loKal masyarakat Hindu di Bali, fenomena
tersebut antara lain pura tempat Kerauhan, waktu Kerauhan,
jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan, dan material (sarana) Kerauhan.
HadirnyaTapakan Kerauhan dalam ritual agama di Bali, akan menambah
keyakinan umat dalam melaksanakan yajna dan umat mendapatkan penjelasan
langsung pelaksanaan yajna yang benar
Tim Peneliti |
78. |
Kisah Lahai Bara Genre: Cerita Rakyat Suku: Tidung |
Kisah Lahai Bara merupakan cerita asal usul kejadian tempat bernama pulau Hanyu atau Busang Mayun. dikisahkan tentang pesan Raja Pare Anyi kepada Lahai Bara, putrinya yang akan menjadi raja setelah dia meninggal.Paren Anyi adalah raja yang sangat bijaksana dan dicintai rakyatnya. Ketika dia berpesan kepada Lahai Bara dan para bangsawan kerajaan, jika dia meninggal untuk dimasukkan pada peti batu dan dihanyutkan di Sei. Kayan dan jangan dikuburkan sebagaimana harusnya. LAhai Bara menerima sebagai perintah dan tanda baktinya kepada ayahnya, akan tetapi tidak ada orang yang setuju Lahai Bara melaksanakan permintaan itu.
ketika Paren Anyi meninggal, kampung jadi sunyi dan semua prahu hilang dari pinggir sungai. Hal itu tidak menyurutkan niat Lahai Bara untuk memenuhi permintaan terakhir ayahandanya.
Lahai Bara sadar sesuatu tengah terjadi. Dengan kesal diikatnya peti mati ayahandanyadengan seutas tali, lalu diseretnya keluar rumah duka sambil membawa dayung, ia mencari perahu. Lahai Bara berjalan dari sebelah barat tepi sungai Kayan yang melingkar berliku sampai ke timur.
Tanpa sadar ujung dayung yang dibawanya menggores tanah, menciptakan garis sesuai arah langkanya garis tanah goresan ujung dayung itu pelan-pelan dialiri air, yang semakin lama semakin besar dan dalam, hingga akhirnya daratan ditengahnya menjadi sebuah pulau. Lahai Bara berdiri di pulau itu dengan heran. Keajaiban itu telah terjadi. Karana seperti hanyut, maka disebutlah Busang Mayun atau Pulau Hanyu.
Saat itu pulalah ia mendengar ayahandanya. Ayahnya meminta mayatnya dibiarkan di sana. Tidak perlum di kubur. Lahai Bara pun mengikuti pesan suara itu.
penduduk melihat bahwa Lahai Bara sangat keras hati dan tidak surut ketika niatnya dihalangi.
|
79. |
Kisah Magessong Genre: Cerita Rakyat Suku: Bugis |
Cerita Magessong merupakan cerita berseri dengan kisah-kisah unik dan cerdik yang terjadi. Kisah Magessong merupakan kumpulan peristiwa yang dialami dalam perjalanan seperti cerita Abu Nawas. Magessong merupakan tokoh cerdik yang polos dan baik hati. Ketika mengungkapkan kebenaran dengan permainan dan teka-teki. Penampilannya yang sederhana akan tetapi sangat terkenal di luar kampungnya dan sulit dikenali. Ketika utusan raja mencari Magessong, dapat diperdayanya dengan menunjukkan jalan yang ditanyakan utusan itu. akhirnya diketahuilah bahwa yang dicari raja itu adalah petani yang ditanya beberapa kali alamat Magessong. Maknanya bahwa kesederhanaan menjadi sikap yang patut dicontoh. |
80. |
Kisah Yaki Yamus Genre: Cerita Rakyat Suku: Tidung |
Cerita asal-usul ini bercerita tantang kejadian pulau Sulumun yang terletak antara Indonesia dan Filipina, sekarang pulau itu terdapat tiga pohon kelapa, kelapa itu tidak pernah jatuh buahnya. Tapi jika ada keturunan Yaki Yamus datang kepulau itu itu baru bisa jatuh dari pohonnya.
dikisahkan ada empat orang bersaudara yang tinggal di sebuah pulau. Mereka menjadi anak yang baik selain Yaki Yamus, anak paling bungsu. Yaki yamus merupakan oang yang sakti dan memilik empat mata, dua di depan dan dua di belakang. Akan tetapi, Yaki Yamus melakukan kejahatan yang membuat penduduk merasa terganggu. kepada kakak Yaki Yamus, Sigang Sipoun dilaporkanlah ulah Yaki Yamus yang meresahkan penduduk sekitar yang saat itu nermata pencaharian bertani dan mencari ikan. kesaktian Yaki Yamus adalah hal yang paling berpengaruh, akan tetapi tiap manusia punya sisi kelemahannya sendiri. Yaki Yamus ternyata akan dikalahkan dengan akar-akar pohon setelah dengan berbagai alat dan berbagai cara gagal dikalahkan. setelah Yaki Yamus menyadari bahwa dia dijebak oleh saudaranya, maka dia berjanji tidak akan kembali lagi setelah dihanyutkan di sungai. dia berkata akan menjadi makhluk lain setelah itu. akhirnya Yaki Yamus berubah menjadi pulau yang disebut pulau Sulumun. |
81. |
La Kadandio Genre: Puisi Suku: Muna |
La Kadandio adalah lagu rakyat yang masih bertahan sampai saat ini. Lagu itu menceritakan mengenai rasa duka masyarakat Muna atas pengkhianatan yang dilakukan oleh Sultan Buton yang bekerja sama dengan Belanda untuk menangkap dan mengasingkan Raja Muna. La Kadandio merujuk pada nama samaran Raja Muna La Ode Kadiri, bergelar Sangia Kaendea. La Ode Kadiri diundang oleh Sultan Buton dan Belanda untuk menghadiri sebuah acara, akan tetapi, saat ia tiba di kapal, ia ditangkap dan diasingkan ke tempat yang tidak diketahui oleh masyarakat Muna. Namun, setelah mereka tahu di mana tempat disembunyikannya raja mereka, yaitu Ternate, sang permaisuri pun segera menjemput raja. Dengan penyamaran dan tipu daya, akhirnya sang permaisuri berhasil menyelamatkan Raja Muna. La Kadandio didendangkan oleh masyarakat Muna, Sulawesi Tenggara hanya pada saat pementasan tari linda, tari khas Muna. Lagu La Kadandio tidak dapat didendangkan di sembarang tempat karena dipercaya bagi siapa pun yang mendendangkannya di sembarang tempat akan didatangi makhluk-makhluk yang menyeramkan dari golongan jin (masyarakat Muna menyebutnya Wakaokili) Ditinjau dari segi bentuknya, teks
La Kadandio sangat singkat karena hanya terdiri atas 8 baris. Secara etimologis, La Kadandio terdiri atas La sebagai penanda laki-laki dalam
masyarakat Muna dan Kadandio. Secara morfologis,
Kadandio dibentuk dari akar kata ndiolo
yang berarti ‘berduka’, diberi prefiks da- menjadi dandiolo yang berarti ‘kita
berduka’. Kemudian bentukan kata dandiolo
‘kita berduka’ ini mendapat prefiks ka-
sebagai pemarkah adjektiva (keadaan) sehingga menjadi kadandiolo yang berarti ‘keberdukaan
kita semua’. Setelah itu, bentuk
derivasi kadandiolo ‘keberdukaan kita
semua’ ini mengalami peluluhan (deletion)
pada suku kata terakhirnya yaitu lo,
sehingga menjadi kadandio. Dengan
demikian, secara semantis konstituen kadandio berarti ‘kita semua berada
dalam keadaan duka’.
Tim Peneliti : Aderlaepe (Universitas Haluoleo)
|
82. |
Lagenda Telaga Ngebel Genre: Cerita Rakyat Suku: Jawa |
Asal-usul Telaga Ngebel berdasarkan kejadian alam adalah letusan gunung yang membentuk sebuah telaga. Namun, menurut lagenda, asal mula Telaga Ngebel adalah ada sepasang suami-istri yang memiliki anak berupa ular naga. Suami-istri itu kemudian meninggalkan desa dan tinggal di atas gunung sambil memohon doa agar anaknya kebali berwujud manusia. Doa itu akan dikabulkan apabila sang anak melingkarkan dirinya di gunung dan bertapa selama 300 tahun. Syarat lain yang harus mereka penuhi adalah memotong lidah sang anak. Hanya satu hari lagi pertapaan sang anak akan selesai. Namun, orang-orang yang memburu makanan di hutan untuk dijadikan lauk saat pesta besar menemukan sang anak yang masih dalam wujud ular naga. Mereka lalu mengambil bagian daging dan memasaknya. Saat menjelma menjadi manusia, sang anak bertubuh cacat karena hal yang dilakukan oleh warga desa. Lalu, sang anak mendatangi pesta tersebut dan meminta makanan. Tidak ada yang menghiraukannya dan malah mengusirnya. AKhirnya, sang anak kembali dengan llidi yang ditancapkan di seonggok daging yang dicabut dan setelah itu mengeluarkan air terus-menerus sampai membentuk telaga. Akan tetapi, lagenda itu pun memiliki beberapa versi yang berbeda-beda.
Tim Peneliti : Sri Sayekti
|
83. |
Lakipadada Genre: Cerita Rakyat Suku: Toraja |
Lakipadada, Cerita Asal-usul Kerajaan di Jazirah Sulawesi Selatan
Lakipadada adalah sastra lisan jenis mite (kepahlawanan) dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tokoh Puang Lakipadada dipandang sebagai pencetus berdirinya kerajaan di Sangalla’. Melalui ketiga putranya hasil perkawinannya dengan putri Raja Gowa, Lakipadada meneruskan dan mendirikan kerajaan di jazirah Sulawesi Selatan. Putra sulungnya bernama Patta La Bantang diutusnya ke Toraja meneruskan kerajaan kakeknya, Tumanurung Puang Tamboro Langi’, Kerajaan Batuborong di Sangalla’ yang terakhir dipegang oleh ayahnya, Puang Sandaboro dan permaisurinya Puang Bu’tuipattung. Putra keduanya, Patta La Bunga diutus ke Tanah Luwu dan mendirikan kerajaan di Palopo; sedangkan putra bungsunya, Patta La Merang menetap di Gowa menggantikannya menjadi Raja di Gowa. Cerita mite Lakipadada terdapat setidaknya dalam tiga versi, yakni versi Gowa, versi Bantaeng, dan versi Toraja. Akan tetapi, Bone juga memiliki versi tersendiri tentang mite Lakipadada yang menyebut Lakipadada mempunyai empat putra. Putra keempatnya bernama Patta Sandro’i Bone yang menjadi raja di Bone dengan gelar Puang To Matasik Lampoe ri Bone.
(Sumber: Cerita Lakipadada. Drs. C.L. Palimbong, M.Hum. (tanpa tahun dan data terbitan). Disusun atas dasar kerja sama Pemerintah Daerah Tana Toraja. Koleksi Perpustakaan Daerah Tana Toraja Utara di Rantepao).
|
84. |
Lenong Denes Betawi Genre: Pertunjukan Suku: Betawi |
Lenong merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang berasal dari suku Betawi. Terdapat sumber yang menyatakan bahwa Lenong berasal dari nama salah seorang saudagar Cina yang bernama Lien Ong. Beliau lah yang sering memanggil dan menggelar pertunjukkan teater yang kini disebut Lenong. Lenong Denes pun dimaknai sebagai pertunjukkan teater yang berisi cerita mengenai dinamika pemerintahan yang saat itu dipegang oleh penjajah. Cerita yang sering diusung mengenai sisi perlawanan masyarakat terjajah, namun dengan penggunaan gaya bahasa yang halus. Lenong Denes diasumsikan berdasarkan sudut pandang golongan menengah atas dan panggung pertunjukkannya cenderung ekslusif karena diselenggarakan untuk kalangan pemerintah. Berbeda halnya dengan lenong pada umumnya, Lenong Denes memerlukan properti yang berbeda dan agak rumit. Hal tersebut dikarenakan dekorasi dan kostum yang digunakan bertemakan kerajaan. Di Setu Babakan terdapat sebuah tempat untuk mempertunjukkan berbagai kesenian Betawi termasuk Lenong Denes. Hanya ada satu grup yang memainkan dua kali pertunjukkan, yaitu Jali Putra yang dipimpin oleh Burhanuddin. Hal tersebut menunjukkan bahwa teater Lenong Denes merupakan salah satu bentuk teater tradisional Betawi yang hampir punah Salah satu tokoh yang sampai saat ini masih mengingat cerita-cerita Lenong Denes adalah H. Rojali atau lebih dikenal sebagai Babe Jali Jalut. Beberapa cerita Lenong Denes yang beliau ingat berjudul Jula-Juli Bintang Tujuh, Pangeran Jaka Sundang, Sultan Bandatasin, dan Putri Siluman.
Tim Peneliti : Erlis Nur Mujiningsih
|
85. |
Macapat Genre: Drama Suku: Jawa |
Macapat merupakan salah satu hasil kebudayaan Jawa yang menyebar di wilayah etnis Jawa, Sunda, Madura, Lombok, dan etnis-etnis lain yang terpengaruh oleh budaya Jawa. Hasil penelitian adalah macapat ada dan beredar serta digunakan di wilayah Jawa Tengah (Solo dan Jogya), Jawa Timur (termasuk Madura), Bali, dan Lombok. Aturan guru gatra, guru wilangan, guru lagu yang digunakan di wilayah-wilayah tersebut hampir sama karena semuanya memang berpatokan pada aturan-aturan macapat yang digunakan di Surakarta yang diatur pada masa keemasaan pujangga Surakarta Ranggawarsita. Aturan-aturan macapat tersebut kemudian dikodifikasi (disusun dalam bentuk buku dan kemudian dijadikan pedoman) oleh Harjowirogo pada masa Balai Pustaka dengan bukunya Patokaning Nyekaraken. Yang membedakan antara macapat di satu wilayah dcngan wilayah lainnya adalah persoalan cengkok. Berbagai macam cengkok digunakan di setiap daerah. Selain itu, yang membedakan juga adalah dari segi struktur pertunjukkan karena ada macapat yang dapat dilakukan sendiri saja, bersama komunitas tanpa penonton, dan ada yang dipertunjukkan dan ada penontonnya. Selain itu, ada yang menggunakan iringan musik (gamelan) dan ada yang tidak atau diiringi tetapi alat musiknya sederhana. Fungsi macapat di setiap wilayah dan di setiap masyarakat juga berbeda-beda. Hal itu berhubungan dengan persoalan apakah macapat tersebut digunakan dalam situasi sakral atau profan. Yang utama macapat sebenarnya merupakan sebuah alat yang sangat efektif untuk pendidikan bahkan pada masa lampau digunakan sebagai salah satu sarana untuk menyebarkan agama Islam oleh para wali. Di Bali karena yang masih digunakan adalah bentuk-bentuk kakawin secara integral merupakan bagian dari upacara keagamaan. Selain itu, apabila macapat dilakukan sendiri macapat merupakan salah satu alat untuk merenung. Bahkan beberapa orang dan di beberapa tempat mengatakan bahwa macapat merupakan sarana untuk berdoa.
|
86. |
Madihin Genre: Cerita Rakyat Suku: Suku Banjar |
Madihin, yaitu
tradisi lisan jenis cerita spontan yang
terancam punah. Berbentuk pantun dan syair, disajikan
dengan gaya dinyanyikan. Tradisi lisan Madihin, ini bercerita bebas karena itu kata-kata yang
terdapat dalam Madihin, biasanya kata-kata yang muncul secara
spontan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu logat setempat dan bahasa
suku Banjar. status teks lisan murni. Penampilan Madihin, dapat dilakukan
beberapa orang dengan cara berbalas-balasan dan diiringi oleh alat musik
gendang rebana yang dipukul oleh Pemadihin,
sendiri atau orang lain. Konteks penyajian Madihin,
yaitu sebagai hiburan dalam acara perhelatan perkawinan, sunat rasul dan
perhelatan hajat lainnya. Penyajian Madihin,
boleh di rumah, panggung atau
tempat-tempat yang telah ditentukan si pengundang. Biasanya dilakukan pada
malam hari dengan waktu yang disesuaikan dengan acara. Tradisi lisan Madihin, terdapat di Parit Sepuluh
Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir. Merupakan tradisi masyarakat Suku Banjar
di Tembilahan, dan itulah sebabnya Madihin, dapat disajikan dengan mengunakan Bahasa
Banjar.
Tim Peneliti
|
87. |
Malin Kundang Genre: Cerita Rakyat Suku: Minang |
Malin Kundang merupakan mitos yang sangat terkenal dari Sumatera Barat. mitos ini menceritakan tentang anak yang durhaka kepada ibunya. dia tidak mau mengakui ibunya yang tua renta setelah dia berhasil menjadi orang terpandang di rantau. Malin Kundang menghina ibunya kemudian ibuny mengutuk Malin kundang jadi batu. |
88. |
Mantra Ibung-ibung Sari Dayu Genre: Puisi Suku: Musi |
Mantra ini diucapkan saat ada bayi yang sakit agar sembuh. |
89. |
Mat Item Jago Rawabelong Genre: Cerita Rakyat Suku: Betawi |
Berbeda dengan cerita rakyat lainnya tentang Mat Item yang dianggap jawara pada awalnya kemudian ditakuti oleh seluruh masyarakat setelah Indonesia merdeka. Mat Item adalah jawara yang selalu melindungi masyarakat dengan menangkap para perampok yang memasuki rumah-rumah Cina dan pribumi kaya.
Mat item hanya dikenal sebagai sosok yang ditakuti oleh masyarakat serta dianggap lawan oleh perampok yang ada di Rawabelong. Akan tetapi kemudian Mat Item menjadi sosok yang dianggap sebagai perampok dan pengacau setelah diketahui bahwa setiap kekacauan yang terjadi selalu melibatkan Mat Item.
Mat Item memiliki ajimat yang dapat menjelma menjadi binatang ketika dalam kondisi berbahaya. Sehingga ketika dianggap telah terbunuh oleh Belandapun, selama 6 bulan kuburannya dijaga sangat ketat agar tidak lagi menjelma menjadi binatang yang sulit ditangkap.
|
90. |
Merot Dingan Sising Genre: Permainan Rakyat Suku: Tidung |
Biasanya dimainkan dalam acara perkawinan. Pada awalnya peserta pesta masih banyak sehingga dapat bermain dengan kesenian lain-lain, namun semakin larut peserta banyak yang mengundurkan diri dan yang tinggal bermain dengan cincin. Menggunakan tali sepanjang 3 sampai 4 meter tergantung peserta yang ikut diikat setelah dimasukan ke lobang cincin. Peserta memegang tali dedepannya dengan kedua tangan dengan mengoper cincin yang ada dari satu ke yang lainnya sambil bernyanyi. Seorang ditengah lingkaran menebak siapa yang memegang cincin setelah lagu dihentikan atau berakhir. Tidak dapat menebak tetap duduk menunduk ditengah, tetapi apabila tepat menebak yang memegang cincin menggantikan duduk ditengah untuk menebak berikutnya. |
91. |
Mirah Singa Betina dari Merunda Genre: Cerita Rakyat Suku: Betawi |
Cerita Mirah ini termasuk cerita yang terkenal di Merunda. Cerita ini merupakan satu-satunya cerita tentang jawara perempuan. Mirah digambarkan sebagai perempuan yang memiliki keahlian silat yang sangat tinggi yang diwariskan oleh ayahnya.
Mirah sangat cantik dan menjadi rebutan laki-laki yang mengenalnya. Akan tetapi mereka mundur setelah mengetahui ilmu silat Mirah yang tidak dapat mereka tandingi.
Mirah dianggap penolong oleh masyarakatnya karena dia menjaga kampungnya dari ancaman dan kekacauan yang akan dilakukan oleh jagoan-jagoan lainnya.
|
92. |
Mob Genre: Cerita Rakyat Suku: Papua |
Mob (atau ada yang menyebutnya mop) adalah salah satu cerita rakyat yang konstruksinya mirip dengan cerpen atau fiksi mini yang sekarang sedang tren di Papua dikenal sebagai tradisi lisan yang bernuansa jenaka penuh lelucon. Mob sebagai lelucon isinya hanya sebuah cerita fiktif, baik berdasarkan pengalaman pribadi orang lain, atau fakta kehidupan sehari-hari yang diolah kembali. Ia tersusun dari prasangka yang bersifat negatif ataupun positif, yang berasal dari sentimen atau pengetahuan berdasarkan stereotip dan memiliki fungsi sebagai hiburan. Dalam tradisi, Mob tidak mengenal rasa marah ataupun dendam karena tidak bermaksud menghina atau mengejek, melainkan hanya dimaksudkan untuk menghibur orang lain, mengandung pesan positif, dan mempererat ikatan persaudaraan.
Mob merupakan representasi lelucon atau humor yang dituturkan secara lisan menggunakan logat dan aksen khas Papua. Mob digunakan bukan hanya unruk hiburan semata, tetapi juga dipakai sebagai alat bersosialisasi dan perekat sosial masyarakat. Berdasarkan hasil observasi dan pengumpulan data sumber, Mob sudah menjadi milik bersama masyarakat Papua, termasuk yang bukan suku asli Papua. Bahkan, beberapa tahun terakhir ini, Mob telah menjadi konsep untuk suatu seni pertunjukkan yang marak dipertontonkan lewat media elektronik.
Tim Peneliti : Ganjar Harimansyah Nur Ahid Prasetyawan P. Toha Machsum
|
93. |
Pak Andir Genre: Prosa Suku: Muna |
Cerita Pak Andir menyebar di masyarakat Bengkulu Selatan sebagai bahan hiburan bagi masyarakat luas, sehingga sifatnya bukan serius. Walaupun sifatnya menghibur, tetapi mendengar sebuah cerita ini sangat ‘berat bebannya’ dibanding dengan membaca sastra modern atau karya-karya lain yang populer pada masa sekarang. Ke’berat’an atas pembacaan ini tidak mengartikan tidak ‘berat’nya sastra modern, hal ini dimaksudkan kepada penafsiran yang dibuat akan terasa lebih sukar dibanding sastra populer karena berbagai alasan, salah satu yang menonjol adalah gaya bahasa.
Cerita rakyat Pak Andir merupakan salah satu contoh hasil karya sastra daerah yang berkisah tentang kebodohan tokoh utama dalam menjalani proses interaksi kehidupan sosial di tengah masyarakat. Tema-tema semacam ini sudah sangat lazim muncul dalam cerita-cerita rakyat lucu di daerah Sumatra, seperti Pak Belalang, Pak Kadok, dan yang lainnya. Tujuan pengarang mengangkat tema-tema jenaka seperti ini salah satunya sebagai bahan cerita hiburan bagi masyarakat yang sangat baik dan mulia, tetapi dibalik itu semua tersimpan amanat yang harus dijadikan pelajaran dalam kehidupan sehar-hari Peneliti: Rohim |
94. |
Paleng Genre: Permainan Rakyat Suku: Kenyah |
Suku Kenyah memperlakukan permainan sebagaimana olah raga. Paleng merupakan permainan untuk menguji kekuatan melempar sasaran. Alatnya terbuat dari kayu yang cukup kuat dan tidak mudah patah, bergaris tengan 1—3 cm. panjang tiangnya sekitar 50—100 cm, lengan sepanjang 50—100 cm. permainan ini biasanya dimainkan pada musim menebas ladang. |
95. |
Permainan Rakyat Bambu Gila Genre: Pertunjukan Suku: Liang |
Bambu Gila merupakan permainan rakyat di daerah Liang, Maluku Tengah. Permainan ini pada umumnya dilakukan oleh masyarakat pedalaman dan masyarakat pesisir pantai. Permainan ini merupakan permainan dengan seutas bambu pilihan dengan mantra pemanggilan arwah nenek moyang sebagai peggerak bambu itu. permainan ini dilakukan secara ganjil untuk keseimbangan. Pemainnya berjumlah lima, tujuh, sembilan orang, dan seterusnya. Bambu gila dipimpin oleh seorang pawang yang bertugas menjadi penggerak permainan. dia adalah orang yang mengawasi permainan berlangsung dan mengatasi gangguan dari dalam maupun dari luar. seorang pawang akan sangat mengerti, kapan saatnya pemain mesti diganti. dia juga sangat bijaksana membaca gerak dan bahaya dari beberapa tangan yang akan mengacaukan permainan. Permainan dipimpin oleh seorang kepala bambu yang merupakan orang pilihan dari pawang dengan pertimbangan bahwa pemimpin itu mestilah orang yang mampu mengendalikan amarah dan berbudi pekerti baik.
|
96. |
Puang Laki Padada Genre: Cerita Rakyat Suku: Toraja |
Seorang raja bernama Raja Tamboro Langi’ menikah dengan Sandabilik yang melahirkan Raja Maeso, raja Sandaboro, Raja Tumambuli Buntu. Raja Sandaboro menikahi Ao’ Gading yang melahirkan Puang Laki Padada. Ketika semua keluarganya meninggal, Puang Laki Padada sangat takut dan kehilangan. Dia pergi mencari hidup kekal. Dia bertemu seekor kerbau putih bernama Bulan Panaring yang mengantarnya menyeberangi lautan. Puang Laki Padada bertemu Tolumuran yang memintanya tidak melakukan apa-apa selama tujuh hari tujuh malam untuk bisa hidup kekal. tiga hari kemudian Puang Laki Padada tertidur, Tolumurun mengatakan bahwa Puang Laki Padada tidak akan kekal, pasti akan meninggal. Puang Laki Padada akhirnya kembali menyeberangi lautan dengan perahu tapi perahunya tenggelam. Dia ditolong seekor elang besar dan jatuh di pohon cendana, dekat sumur milik ratu Gowa. Setelah dicari asal usulnya, ternyata Puang Laki Padada keturunan raja dan dinikahkan dengan putrinya. Mereka memiliki 3 orang. Pada akhirnya anak-anaknya itu memerintah di tiga tempat, Toraja, Gowa, dan Luwu. |
97. |
PUTRI MANDALIKE Genre: Cerita Rakyat Suku: SASAK |
Putri Mandalike bercerita tentang pengorbanan dengan membuang dirke laut karena berpikir untuk meyelamatkan perdamaian. gadis cantik jelita ini dilamar oleh beberapa orang pangeran tampan. Putri Mandalike mengulur waktu memikirkan cara mengambil keputusan untuk menolak dan menerima salah seorang lamaran untuk menjadi suaminya. Hingga waktu yang ditentukan, keputusan belum juga didapatkan. Putri Mandalike malah mempertimbangkan akibat yang akan terjadi jika diamengambil keputusan dengan memilih salah seorangnya yang tidak mau mengalah. Akhirnya, dia memilih terjun ke laut daripada memilih salah seorangnya. Kemudian pada laut itu bermunculanlah cacing-cacing kecil yang memenuhi pantai, dan Putri Mandalike berpesan bahwa itulah yang akan membuat rakyat negerinya makmur. Maka setiap tahun, tepatnya sekitar bulan Februari selalu bermunculan cacing-cacing kecil itu yang dijadikan masyarakat setempat sebagai makanan yang diolah berbagai rasa. Maka tradisi nangkap Nyale itu dilaksanakan tiap tahunnya. Peristiwa itu terjadi di pantai Kuta, Lombok. |
98. |
Ratip Fatimah Genre: Puisi Suku: Melayu Kampar |
Ratip Fatimah, merupakan
tradisi lisan jenis non cerita yang sudah terancam punah, disampaikan pada khalayak dalam acara pertama
kali membuaikan anak yang baru lahir. Gaya penyajian dinyanyikan dengan
menggunakan bahasa Melayu dialek setempat dan status teks lisan murni. Kegiatan
ini dilakukan di rumah orang yang mempunyai hajat. Kegiatan boleh dilakukan
siang atau malam dengan waktu penyajian disesuaikan dengan keperluan. Tradisi
ratip Fatimah terdapat di Langgam Kecamatan Langgam Kabupaten Kampar tempat
tradisi lisan ratip Fatimah ini berada dikenal juga dengan nama acara naik buaih dalam masyarakat Melayu Kampar
|
99. |
Ritual Ngurek (Ngunying) Genre: Pertunjukan Suku: Bali |
Tradisi Ngurek atau di beberapa wilayah menyebutnya Ngunying adalah tradisi yang masih bertahan dan dilakukan oleh masyarakat Bali. Tradisi ini erat kaitannya dengan ritual keagamaan yang dipercaya oleh masyarakat Bali sebagai wujud nyata dari pengabdian kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Tradisi Ngurek merupakan tradisi yang sangat ekstrem untuk dilakukan. Seseorang yang menjalani ritual ini akan menyakiti dirinya sendiri dengan cara menusuk diri sendiri menggunakan keris. Namun, seseorang yang melakukannya tidak dalam keadaan sadar (kerasukan), karena itu mereka tidak merasa kesakitan. Ngurek sendiri berasal dari kata "Urek" yang berarti melobangi atau menusuk. Maka dari itu, implementasi yang dilakukan dalam ritual adalah dengan menusuk diri.
Tim Peneliti
|
100. |
Sapuk Genre: Permainan Rakyat Suku: Tidung |
Di sekatak ada permainan anak bambu atau bambu kecil sebesar kelingking. Bambu tersebut dipotong di antara buku-buku atau ruasnya. Kemudian lubang bambu diisi dengan kertas basah. Kertas basah tersebut berfungsi sebagai peluru. Untuk melemparkan dan menembakkan peluru tersebut, diperlukan pilahan bambu seukuran lubang bambu. Cara membuatnya adalah dengan bambu dibelah, dipilah kecil-kecil dan dihaluskan. Selain kertas basah, anak-anak juga memanfaatkan biji-bijian misalnya biji jambu air, biji salam, dan sebagainya. Ditempat lain, permainan ini disebut pletukan. |
1 2 >> |
|
|