Suku : Minang
Genre : Drama
Provinsi: Provinsi Sumatera Barat
Kabupaten/Kota: Kota.Padang
Penyebaran: Padang, Padang Pariaman, Pariaman, Solok, Sijunjung, Agam, Bukit
Di
Minangkabau, Randai merupakan kesenian pamenan rang mudo (permainan anak muda). Randai adalah suatu bentuk kesenian lama, yang dapat juga dikatakan seni drama,
tari, dan suara khas Minang.Dikatakan “drama” karena suatu “kaba” yang
dipertunjukkan diperankan oleh pelakunya
melalui gerak (action).
Antarwacana dialog), semita (mimic). Ada pula dimulai dengan sejenis
prolog, sekali-kali berisilkan prolog.
Suatu
kesenian tradisi yang hidup di Minangkabau sudah ada sejak lama, sejak
antarkomunitas dari satu nagari dan nagari lain bersosialisasi. Pola melingkar
dengan penonton/penikmatnya mengelilingi permainan randai telah menyatukan dan
membaurkan antara penonton dan pemain. Di dalam suatu pertunjukan randai,
ditemukan berjenis kesenian yang khas seperti; seni suara
(dendang/gurindam), musik (saluang, talempong, dan gendang), gerak (akting,
pencak, tari, dan galombang), serta
sastra/cerita atau kisah (dialog, joke/komik, dan monolog.
Dikatakan ;karena pertunjukan dimaksud dibuka dengan
bunyi-bunyian asli, seperti alat tiup (pupuik gadang, dan/atau alat pukul
(talempong atau gandang), sedang tiap-tiap adegan dalam permainan diisi dengan dendang
oleh para pembantu (figuran).Dikatakan”tari” karena dendang disertai serentak
dengan langkah gerak pencak yang kadangkala dibungai dengan gerak jari tangan (
M. Rasyid Manggis. 1980: 20).
Seperti
juga kesenian tradisi lainnya, tidak ada catatan pasti yang menyebutkan kapan
randai lahir. Namun dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa randai tercipta
dan dimainkan oleh anak-anak muda di suatu sasaran atauperguruan silat. Pada mulanya, anak laki-laki di
Minangkabau harus mampu membela diri dengan mempelajari ilmu beladiri yang
disebut silat. Gerak-gerak silat, yang disebut juga pancak (pencak)
bila dilakukan pengulangan terasa cukup ritmis dan dinamis sehingga kalau
distilir akan nampak lebih indah, bahkan menyerupai suatu tari. Lalu,
gerak-gerak tersebut dilakukan secara melingkar yang terkadang membentuk rantai
pertanda kekompakan. Semua pemain mengenakan celana latihan silat yang disebut galembong
sehingga ketika celana galembong tersebut ditepuk secara serentak akan
menimbulkan bunyi yang khas, bagaikan deburan ombak di pantai.
Legaran adalah gerakan melingkar
kemudian diisi dengan dendang gurindam yang diikuti oleh musik; saluang,
talempong, pupuik batang padi, dan gendang. Oleh pangkatuo (pelatih
silat) legaran tersebut diisi dengan kaba (cerita rakyat) yang
sudah ada sebelumnya. Umumnya cerita rakyat yang dimainkan ialah cerita-cerita
menarik yang menyampaikan pesan
atau “perumpamaan” sehingga masyarakat peminatnya menyebutnya sebagai suatu
pertunjukan barandai, berandai, atau beramsal.
Bila ada cerita, maka tentu ada tokoh/pemerannya.
Pemegang peran dalam suatu randai ditentukan oleh pangkatuo randai
karena dialah yang mengetahui setiap karakter dan kemampuan bersilat setiap pemainnya.
Pemeran utama misalnya, haruslah orang yang memiliki vokal yang lantang dan
mantap. Dia haruslah seorang pendekar yang mahir balabek (gerak
khas pesilat, pandangan mata, dan seluruh geraknya memperlihatkan
kewaspadaan).
Karena umumnya latihan randai dilaksanakan pada malam
hari (usai salat Isa), maka tentu tokoh perempuan dalam suatu cerita terpaksa
dimainkan oleh laki-laki karena perempuan di Minangkabau tidak diperbolehkan ke
luar malam harri. Itu sebabnya –pada mulanya- semua pemain randai adalah
laki-laki. Tokoh perempuan diperankan oleh laki-laki yang suaranya mirip suara
perempuan, bahkan diberi pakaian perempuan dan umumnya mengenakan kacamata
hitam. Maka jadilah ia suatu pertunjukan di suatu arena. Cerita rakyat yang
dimainkan umumnya menjadi ciri khas bagi suatu grup randai, bahkan sekaligus
menjadi nama grup randai yang memainkannya, seperti: Kaba Anggun Nan Tongga, Cindua Mato, Sabai Nan Aluih, dan
seterusnya.
Karena randai dimainkan di arena yang melingkar, maka
pergantian adegan disampaikan dalam dendang menggiring imajinasi setiap
penontonnya ke suatu tempat peristiwa berlangsung yang kemudian diperkuat oleh
dialog antarpemain. Itulah sebabnya, tokoh teater modern kemudian menyebut
randai adalah suatu pertunjukan teater tradisi yang absurd. Pertunjukan randai
yang absurd tersebut oleh kalangan pemerhati seni pertunjukan disebut sebagai
suatu Pertunjukan
Teater Tradisi yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Tokoh teater Indonesia yang
berdomisili di Padang, Wisran Hadi mencoba merombak pola randai ini dalam
setiap pementasan teaternya, bahkan cerita/kisah yang dimainkan pun ia tulis
dalam bentuk teks, untuk memudahkan pemain menghafal dialog dan mengenal
karakter penokohannya.
Randai
disebut suatu pertunjukan absurd karena setiap pertunjukannya selalu ada adegan
atau dialog yang tidak logis, namun ternyata mampu menggiring imajinasi
penontonnya ke arah yang nyata hanya dengan suatu dendang pengisah dan
peralihan setting. Misalnya, dikisahkan tokoh utama pergi ke dalam hutan, maka
dengan seketika ia sudah ada dalam hutan. Padahal, tempatnya masih di sana.
Juga dalam akting atau dialog diceritakan seseorang mati terbunuh, lalu tokoh
yang mati itu tiba-tiba bangkit kembali dan ikut dalam legaran galombang. Perubahan adegan atau babakan
tidak dilakukan dengan mengganti setting, atau cahaya lampu, atau mengganti
kostum, melainkan cukup dengan gurindam yang dibawakan dalam legaran (galombang).
Gerak dasar dalam galombang yang melingkar (juga merupakan frame atau panggung) ialah bunga-bunga silat yang disebut pancak
(pencak) yang distilirisasi menjadi gerak yang indah. Beberapa gerak pencak
tersebut juga menjadi gerak akting yang dominan bagi setiap tokoh cerita dalam
pengisahannya.
Hampir semua gerak dalam pertunjukan randai berasal
dari bunga-bunga silat. Baik dalam galombang
(legaran) yang berfungsi sebagai pengganti adegan, babakan yang diikuti dengan
dendang gurindam sebagai pengantar cerita berikutnya, maupun dalam dialog atau
akting. Seperti juga bentuk kesenian lainnya yang berawal dari kiasan dan
perumpamaan yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk musik, tari-tarian,
dendang saluang, gurindam, dan lain sebagainya.