SKOR KEMAHIRAN BERBAHASA DAN INDEKS KEMAHIRAN BERBAHASA
Pendahuluan
Bahasa Indonesia telah berkembang seturut perkembangan di bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya. Salah satu perkembangan mutakhir adalah
penstandaran kemahiran berbahasa Indonesia yang tercantum dalam Permendikbud Nomor
70 Tahun 2016 tentang Standar Kemahiran Berbahasa. Di dalam permendikbud tersebut
tercantum berbagai definisi dan aturan tentang kemahiran berbahasa. Hal utama yang patut
digarisbawahi adalah standar kemahiran berbahasa Indonesia diukur melalui Uji Kemahiran
Berbahasa Indonesia (UKBI).
Pelaksanaan Permendikbud tersebut berimplikasi terhadap berbagai hal, misalnya
berkaitan penyediaan instrumen UKBI, pengembangan bank soal, pengembangan layanan
uji yang termutakhir dengan sistem UKBI Adaptif berbasis jejaring internet, pelaksanaan
layanan uji melalui TUKBI, dan peningkatan kemahiran berbahasa penutur bahasa
Indonesia.
Tulisan ini mengangkat tajuk Skor Kemahiran Berbahasa dan Indeks Kemahiran
Berbahasa. Keduanya disandingkan untuk melihat keterkaitan keduanya dan perbedaan di
antara keduanya.
Skor Kemahiran Berbahasa
Kemahiran berbahasa dipetakan dalam rentang peringkat, predikat, dan skor
tertentu. Pemeringkatan dan predikat terbagi atas tujuh jenjang dengan pemerian sebagai
berikut.
Skor kemahiran berbahasa diperoleh penutur bahasa Indonesia setelah yang bersangkutan
mengikuti UKBI. Oleh karena itu, skor kemahiran berbahasa Indonesia merupakankarakteristik seseorang yang bersifat personal. Kumpulan skor kemahiran berbahasa dari
beragam peserta dalam satu karakteristik tertentu dapat dibuat reratanya. Misalnya, rerata
kemahiran dosen pada satu universitas tertentu atau rerata kemahiran berbahasa profesi
dosen.
Peningkatan rerata skor dapat dilakukan kepada penutur bahasa Indonesia dengan
karakteristik tertentu. Akan tetapi, tidak diterapkan untuk seluruh penutur bahasa Indonesia
yang mewakili beragam profesi, beragam instansi, bahkan mewakili beragam
kewarganegaraan
Peningkatan kemahiran berbahasa dengan menyamakan rerata penutur bahasa
Indonesia tidak sesuai dengan Permendikbud Nomor Nomor 70 Tahun 2016 tentang Standar
Kemahiran Berbahasa. Skor optimal yang diminta dalam setiap profesi berbeda. Demikian
pula, perbedaan terdapat pada skor kemahiran antara penutur jati dan penutur asing.
Misalnya, jika ditetapkan skor rerata peserta yang dipilih 500 dan akan ditingkatkan dalam
waktu satu tahun menjadi 505. Peningkatan skor tersebut tidak sesuai dengan semangat
dalam Permendikbud. Pada akhirnya pelaksanaannya pasti akan mengalami berbagai
kendala.
Kendala pertama, peserta uji yang akan ditingkatkan skornya harus termaktub dalam
rerata 500. Skor ini tidak dapat dijadikan tujuan peningkatan kemahiran. Standar kemahiran
berbahasa tidak bertujuan menyamakan skor semua penutur bahasa Indonesia. Peningkatan
skor juga tidak hanya diberlakukan bagi pemilik skor 500. Akan tetapi, peningkatan
kemahiran seharusnya juga terbuka bagi peserta uji yang mendapat skor 260, 300, 400, 500,
bahkan juga 600 sesuai dengan karakteristik tuntutan komunikasi yang diharapkan dalam
profesinya.
Kendala kedua, peningkatan skor dari 500 ke 505 bermakna dalam tahun berjalan
penutur bahasa Indonesia diharapkan mendapat dampak dari berbagai program
peningkatan kemahiran hanya dengan menambah 0,006% skor kemahiran atau setara
dengan menjawab betul satu butir soal (bahkan pada soal tertentu kurang dari skor
jawaban benar 1 soal). Apa yang diharapkan dari penyamaan skor penutur bahasa Indonesia
apalagi sebesar 0,006%?
Berdasarkan analisis tersebut, rerata skor kemahiran berbahasa tidak tepat
dilekatkan kepada capaian program atau dampak yang diharapkan dari penutur bahasa
Indonesia. Hal itu mungkin dilakukan jika dilekatkan dengan profesi tertentu. Misalnya, bagi
guru capaian yang diharapkan predikat Unggul. Oleh karena itu, guru yang belum
memperoleh predikat tersebut, misalnya masih Semenjana atau Madya, diharapkan dengan
mendapat perlakuan dari berbagai program kementerian yang ada dapat ditingkatkan
menjadi Unggul.
Indeks Kemahiran Berbahasa
Istilah indeks kemahiran memang tidak atau belum muncul dalam Permendikbud
Standar Kemahiran Berbahasa. Istilah itu muncul sebagai jawaban atas satuan yang
diharapkan dalam sebuah program peningkatan kemahiran berbahasa Indonesia. Karena
skor merupakan milik personal, rerata skor merupakan milik profesi tertentu, indeks
kemahiran berbahasa dapat dilekatkan kepada penutur bahasa Indonesia secara umum.
Indeks Kemahiran Berbahasa Indonesia adalah nilai rerata indeks karakteristik
peserta uji dalam kemahiran berbahasa Indonesia secara lisan d an tulis serta dalam
pemahaman kaidah bahasa Indonesia pada setiap tahun.
Indeks Kemahiran Berbahasa Indonesia dirumuskan sebagai berikut.
IKB: Indeks Kemahiran Berbahasa Indonesia
SP: Jumlah Skor Peuji Karakteristik Tertentu
P: Jumlah Peuji
SA: Skor Acuan Tertinggi (sesuai Permendikbud)
n: Jumlah Karakteristik Peuji
Dengan menggunakan indeks kemahiran berbahasa, kita dapat mengharapkan
peningkatan kemahiran berbahasa penutur bahasa Indonesia tanpa harus menyamakan
skor penutur bahasa Indonesia.
Simulasi Perhitungan
Baseline
Penentuan baseline pada tahun 2020 dan target hingga tahun 2024 dilakukan
dengan melihat kecenderungan hasil uji peserta pada tahun 2020 berikut ini.
Pelajar
Jumlah pelajar teruji pada tahun 2020 sebesar 604. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan
jumlah populasi pelajar. Dari data 25.200.000 hanya ada 604 atau sekitar 0,00002% yang
tercakupi dalam data hasil uji kemahiran berbahasa Indonesia. Karena data tidak reprentatif
dan tidak mencerminkan sampel yang terstratifikasi secara acak, nilai rerata yang diambil
adalah rerata skor yang di bawah median, bukan rata-rata skor secara keseluruhan. Selain
itu, dengan pertimbangan perlakuan yang akan diberikan, nilai yang diambil untuk baseline
dapat juga berupa skor terendah.
Rerata skor yang di bawah nilai median adalah 363. Skor acuan bagi pelajar adalah 577.
Dengan demikian, indeks yang didapat bagi pelajar berdasarkan rerata tersebut adalah
363/577 didapat nilai 0,62.
Skor 363 ini menunjukkan bahwa peserta uji memiliki kemahiran yang tidak memadai dalam
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis. Dalam
berkomunikasi untuk keperluan kemasyarakatan yang sederhana, yang bersangkutan tidak
mengalami kendala. Akan tetapi, untuk keperluan kemasyarakatan yang kompleks, yang
bersangkutan masih mengalami kendala. Hal ini berarti yang bersangkutan belum siap
berkomunikasi untuk keperluan keprofesian, apalagi untuk keperluan keilmiahan.
Mahasiswa
Jumlah mahasiswa teruji pada tahun 2020 sebesar 2.187. Jumlah ini sangat kecil
dibandingkan jumlah populasi mahasiswa. Dari data 7.500.000 hanya ada 2.187 atau sekitar
0,0002% yang tercakupi dalam data hasil uji kemahiran berbahasa Indonesia. Karena data
tidak reprentatif dan tidak mencerminkan sampel yang terstratifikasi secara acak, nilai
rerata yang diambil adalah rerata skor yang di bawah median, bukan rata-rata skor secara
keseluruhan.
Rerata skor terendah di bawah nilai median adalah 305. Skor acuan bagi mahasiswa adalah
640. Dengan demikian, indeks yang didapat bagi mahasiswa berdasarkan rerata tersebut
adalah 305/640 didapat nilai 0,48.
Skor 305 bermakna peserta uji memiliki kemahiran yang sangat tidak memadai dalam
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis. Dengan
kemahiran ini peserta uji hanya mampu berkomunikasi untuk keperluan sintas. Pada saat
yang sama, predikat ini juga menggambarkan bahwa potensi yang bersangkutan dalam
berkomunikasi masih sangat besar kemungkinannya untuk ditingkatkan.
Guru
Jumlah guru teruji pada tahun 2020 sebesar 2.187. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan
jumlah populasi mahasiswa. Dari data 2.698.103 hanya ada 1.094 atau sekitar 0,0004% yang
tercakupi dalam data hasil uji kemahiran berbahasa Indonesia. Karena data tidak reprentatif
dan tidak mencerminkan sampel yang terstratifikasi secara acak, nilai rerata yang diambil
adalah rerata skor terendah di bawah median, bukan rata-rata skor secara keseluruhan.
Rerata skor yang di bawah nilai median adalah 291. Skor acuan bagi guru adalah 640.
Dengan demikian, indeks yang didapat bagi guru berdasarkan rerata tersebut adalah
291/640 didapat nilai 0,45.
Skor 291 bermakna peserta uji memiliki kemahiran yang sangat tidak memadai dalam
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis. Dengan
kemahiran ini peserta uji hanya mampu berkomunikasi untuk keperluan sintas. Pada saat
yang sama, predikat ini juga menggambarkan bahwa potensi yang bersangkutan dalam
berkomunikasi masih sangat besar kemungkinannya untuk ditingkatkan.
Dosen
Jumlah dosen teruji pada tahun 2020 sebesar 36. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan
jumlah populasi dosen. Dari data 296.040 hanya ada 36 atau sekitar 0,0001% yang tercakupi
dalam data hasil uji kemahiran berbahasa Indonesia. Karena data tidak reprentatif dan tidak
mencerminkan sampel yang terstratifikasi secara acak, nilai rerata yang diambil adalah
rerata skor terendah di bawah Median, bukan rata-rata skor secara keseluruhan.
Nilai rerata terendah di bawah median 475. Sementara itu, skor acuan bagi dosen adalah
640. Dengan demikian, indeks yang didapat bagi dosen adalah sebesar 475/640 didapat nilai
0,74.
Skor 475 menunjukkan bahwa Predikat ini menunjukkan bahwa peserta uji memiliki
kemahiran yang cukup memadai dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
Indonesia, baik lisan maupun tulis. Dalam berkomunikasi untuk keperluan keilmiahan, yang
bersangkutan sangat terkendala. Untuk keperluan keprofesian dan kemasyarakatan yang
kompleks, yang bersangkutan masih mengalami kendala, tetapi tidak terkendala untuk
keperluan keprofesian dan kemasyarakatan yang tidak kompleks.
Dengan pertimbangan angka indeks kemahiran berbahasa, baik yang berdasarkan rerata
skor di bawah median maupun berdasarkan skor terendah didapat angka sebagai berikut.
Dengan demikian, dapat diambil angka sebesar 0.57 sebagai baseline pada tahun 2020.
Penambahan target sebesat 0,06 pada setiap tahun dengan melihat tren kenaikan skor pada
tahun sebelumnya yang jika dikonversi mendekati angka 0,06.