Majalah Sastra terbitan Agustus 1968 memuat cerpen Kipanjikusmin yang berjudul "Langit Makin Mendung". Selain di majalah sastra tersebut, cerpen ini pun dapat kita baca dalam buku H.B. Jassin, Heboh Sastra: Suatu Pertanggunganjawab (Jakarta: Gunung Agung, 1970).
"Langit Makin Mendung" cerpen Kipanjikusmin dimuat dalam majalah Sastra No.8 Th. VI, Agustus 1968, hlm. 3—8. Kemudian cerpen ini menimbulkan kasus apa yang disebut Jassin "Heboh Sastra 1968". Heboh Sastra 1968 (1970) adalah buku Jassin yang merupakan pertanggungjawabannya sebagai pemimpin redaksi majalah Sastra atas pemuatan cerpen Kipanjikusmin itu.
Cerpen itu menimbulkan sikap pro dan kontra di antara umat Islam dan para sastrawan. Karena pemuatan cerpen itu, majalah Sastra Agustus 1968 dilarang beredar oleh Kejaksaan Tinggi Medan di daerah hukumnya karena cerpen tersebut "melukiskan suatu penghinaan terhadap abstraksi dari ke-Tuhanan serta kemuliaan Nabi Muhammad" (menurut berita "Antara" 8-10-1968 via Rasuanto, "Larangan Beredar Majalah Sastra" Th.VII No.8, 1969). Cerpen tersebut dianggap menghina agama Islam. Atas kemarahan para alim-ulama dan umat Islam, Kipanjikusmin secara terbuka minta maaf kepada umat Islam tanggal 24 Oktober 1968, pukul 10.30 pagi, di gedung Departemen Penerangan, dan pernyataan Kipanjikusmin itu secara lengkap dimuat dalam harian Kami, 25 Oktober 1968. Akan tetapi, masalah tidak berhenti di situ saja. Terjadilah polemik yang melibatkan banyak sastrawan dari harian serta majalah mengenai "Langit Makin Mendung" sehingga menimbulkan heboh.
Sejak adanya pelarangan itu, terjadilah bermacam-macam tanggapan. Beberapa tanggapan di antaranya berasal dari Bur Rasuanto (Angkatan Bersenjata, 20 dan 27 Oktober 1968), Taufiq Ismail (Harian Kami, 25 Oktober 1968), dan Goenawan Mohamad (Horison, Oktober 1969). Semuanya itu dimuat kembali dalam Sastra No.8 Th.VII, 1969. Di samping itu, ada tanggapan lain, di antaranya Mochtar Lubis (Sastra No.10 Th.VII, 1969), J. Jusuf Lubis, Jus Rusamsi, Fuad Moch. Fachruddin, Tjahjo Nuswantoro, dan Ajip Rosidi.
Cerpen "Langit Makin Mendung" (LMM) ini menimbulkan heboh karena dianggap menghina Nabi Muhammad SAW dan agama/golongan Islam. Akibatnya, Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara di Medan menyita majalah tersebut (12 Oktober 1968), sementara kantor majalah Sastra di Jakarta didemonstrasi sekelompok orang.
LMM ini sendiri sebetulnya merupakan bagian pertama dari sebuah cerita panjang. Akan tetapi, karena timbul heboh, bagian keduanya tidak dimuat majalah Sastra. Sementara itu, Kipanjikusmin (pada tanggal 22 Oktober 1968) menyatakan mencabut cerpen LMM dan menganggapnya tidak ada.
Sekalipun pengaranya sudah mencabut cerpen tadi, majalah Sastra masih tetap berurusan dengan pengadilan. Perlu diketahui, Kipanjikusmin (lahir tahun 1941) adalah nama samaran. Nama sebenarnya hanya diketahui oleh redaksi majalah Sastra. Dengan kata lain, mestinya Kipanjikusminlah yang mempertanggungjawabkan LMM di pengadilan. Akan tetapi, karena redaksi majalah Sastra tidak mau membukakan identitas Kipanjikusmin yang sebenarnya, maka penanggung jawab majalah Sastra (dalam hal ini H.B. Jassin)-lah yang harus berhadapan dengan pengadilan.
Proses pengadilan perkara LMM berlangsung di Jakarta tahun 1969—1970 dan cukup banyak menarik perhatian. Hal terakhir ini mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama, baru kali inilah di Indonesia sebuah karya sastra diperkarakan di pengadilan. Kedua, yang diajukan ke pengadilan adalah tokoh penting dalam sastra Indonesia, yakni H.B. Jassin.
Di depan majelis hakim yang menangani perkara LMM, Jassin berkata (kutipan didasarkan pada buku Jassin, Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia. 1983. Jakarta: Gramedia):
-
"… 'Langit Makin Mendung' hanya imajinasi pengarang" (hlm.191)
-
"Saya berpendapat bahwa cerita pendek 'Langit Makin Mendung' yang adalah hasil imajinasi, mempunyai dunia lain dan logika lain dari karya agama dan karena itu tidak bisa diukur dengan akidah-akidah agama" (hlm.192).
-
"'Langit Makin Mendung' bukanlah suatu tulisan keagamaan yang melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang tidak berpretensi sebagai karya agama, yang hendak meruntuhkan kaidah-kaidah sesuatu agama" (hlm.97).
-
"Cerita fantasi tidak berpretensi ajaran agama, apalagi wahyu Tuhan. Satu cerita adalah hasil inspirasi, sedangkan ayat-ayat Quran adalah Wahyu Tuhan" (hlm.122).
-
"Jika dapat diterima bahwa hasil imajinasi bukan kitab pelajaran dan tidak sama dengan kitab pelajaran, maka dengan sendirinya suatu karya hasil imajinasi tidak dapat dikaji seperti mengkaji kitab pelajaran" (hlm.122).
-
"Suatu karya sastra bukanlah buku ketekismus dan bukan buku sejarah. Janganlah Anda membaca cerita fiktif seperti membaca riwayat hidup seseorang yang otentik" (hlm.122).
-
"Saya dengan kesadaran minta perhatian buat perbedaan antara dunia imajinasi seniman dan dunia realitas dengan positifnya…" (hlm.201).
-
"Dalam menghadapi cerita pendek ini orang membuat kesalahan mengira bahwa percakapan Tuhan dengan Nabi Muhammad terjadi sesungguhnya, histories, padahal hanya dalam imajinasi pengarang" (hlm.164).
-
"Dalam hal Kipanjikusmin dan 'Langit Makin Mendung' saya berpendapat bahwa pengarang tidak ada niat untuk menghina siapa-siapa…" (hlm.172).
-
"Sebagai penanggung jawab majalah Sastra, sedikit pun saya tidak bermaksud untuk menghina golongan Islam, malahan sebaliknya berhasrat meningkatkan golongan Islam dalam apresiasi dan pengertiannya terhadap sastra" (hlm.182).
Tanggal 28 Oktober 1970, hakim menjatuhkan vonis. Jassin dijatuhi hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun penjara.
Sebagian besar proses pengadilan itu direkam dan didokumentasikan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Transkripsi rekaman itu dikerjakan oleh J.E. Siahaan dengan judul "Imajinasi di Depan Pengadilan (Suatu Rekaman)" dimuat dalam Horison No.8, Agustus 1970; No.9, September 1970; No.10, Oktober 1970; dan No.11, November 1970. Isi pembelaan H.B. Jassin pada umumnya sama dengan tulisan-tulisan yang dibukukan dalam Heboh Sastra 1968.