Kritik Ganzheit merupakan suatu kritik seni (sastra) yang diperkenalkan Arief Budiman lewat esainya "Metode Ganzheit dalam Kritik Seni" yang dimuat majalah Horison No.4 Th.III, April 1968.
Pada akhir tahun 1960-an terjadi perdebatan dan polemik kritik sastra antara golongan pengikut kritik sastra Ganzheit dan pengikut kritik sastra akademik (yang kemudian menamakan dirinya kritikus Kritik Sastra Aliran Rawamangun). Di antara tokoh kritik sastra Ganzheit itu sebagaimana dikemukakan di atas adalah Arief Budiman dan Goenawan Mohamad, sedangkan kritikus aliran Rawamangun di antaranya ialah M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, M. Saleh Saad, dan Boen Sri Oemarjati. Dari mereka itu yang lebih-lebih bersemangat adalah M.S. Hutagalung.
Pada 31 Oktober 1968 Pusat Bahasa Jakarta mempertemukan kelompok kritikus Ganzheit dengan kritikus aliran Rawamangun dalam sebuah simposium (seminar). Kertas kerja mereka dan ulasan-ulasannya dibukukan oleh Pusat Bahasa dengan editor Lukman Ali berjudul Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi (1978). Perdebatan mereka itu masih berlanjut sampai pada pertengahan tahun 1970-an. Polemik M.S. Hutagalung dengan Arief Budiman dibukukan dengan judul Kritik atas Kritik atas Kritik (1975). Sayang esai-esai Arief Budiman tidak atau belum dibukukan. Pada 9 Oktober 1972 Dewan Kesenian Jakarta juga mengadakan diskusi kritik sastra dengan pembicara Kuntowijoyo, kertas kerjanya berjudul "Prosedur Lingkaran dalam Kritik Sastra" yang membicarakan dan membandingkan metode kritik sastra Ganzheit.
Kritik Ganzheit tidak tepat apabila disebut sebagai salah satu metode analisis dalam kritik sastra sebab kritik semacam ini tidak menekankan analisis dalam kerjanya. Ia mempunyai cara tersendiri yang khas dalam pendekatan suatu cipta sastra atau cipta seni pada umumnya.
Pada dewasa ini ada beberapa macam ilmu jiwa yang dicernakan dalam seni dengan hasil yang memuaskan. Bidang kritik sastra pun tidak ketinggalan. Ilmu jiwa "Gestalt" yang pertama kali dikemukakan oleh Wilhelm Wundt (1832—1920) telah dipergunakan sebagai dasar landasan metode kritik Ganzheit. Beberapa pengarang yang telah menulis tentang peranan ilmu jiwa Gestalt dalam seni, antara lain, ialah H.E. Roose (A Psychology of Artistic Greation), Worner Wolff (The Expressions of Personality), dan Rudolf Arnheim (Gestalt and Art).
Ilmu jiwa Gestalt yang menjadi dasar kritik Ganzheit itu pada asasnya memiliki dua prinsip (pokok pendirian) yaitu:
-
Penghayatan terhadap sesuatu objek pertama sekali berupa keseluruhan, dan keseluruhan (totalisme) itu memiliki sifat (kualitas) baru yang tidak sama dengan jumlah semua unsurnya. Apabila kita berjumpa dengan seseorang, maka yang pertama kita hayati adalah bentuk keseluruhan orang itu, bukan bagaimana bentuk bibirnya, matanya, hidungnya, dan sebagainya. Unsur-unsur itu kita ketahui sesudah kita mengadakan refleksi dan analisa, dan unsur-unsur yang timbul kemudian terlepas dari sifat universal dan merupakan suatu keseluruhan tersendiri yang memiliki sifat lain dari semula. Unsur-unsur dalam keseluruhan mengadakan interferensi dinamik sehingga menjelma sifat keseluruhan itu.
-
Penghayatan tiap manusia terhadap satu objek yang sama berbeda-beda sifat atau kualitasnya. Tiap penghayatan dari tiap manusia adalah unik, mewujudkan sifat keseluruhan yang berlain-lainan. Faktor manusia yang menghayati suatu objek merupakan satu unsur yang ikut menentukan sifat keseluruhan (kualitas totalitas) objek itu.
Berdasarkan dua prinsip tersebut, kemudian orang menerapkan prinsip-prinsip itu dalam kritik sastra atau kritik seni pada umumnya. Kutipan uraian Arief Budiman tentang metode Ganzheit itu adalah sebagai berikut
"Metode kritik Ganzheit merupakan suatu proses partisipasi aktif dari sang kritikus terhadap karya seni yang dihadapinya. Mula-mula tanpa konsepsi apriori apapun juga, sang kritikus membiarkan karya seninya berbicara sendiri kepada mereka. Kemudian, terjadilah sebuah dialog, sebuah pertemuan, sebuah interferensi dinamik antara kedua subjek yang hidup dan merdeka itu. Sebuah proses refleksi dan analisa terjadi kemudian. Di sini elemen-elemen menjadi 'terang dan jelas' dalam hubungannya dengan penyatuan keseluruhan tersebut. Elemen-elemen itu mendapatkan nilainya dari penyatuan total tersebut. Elemen-elemen yang tadinya tampak kaku-beku, setelah terjadi sebuah interferensi dinamik, seakan-akan mencair dan menjadi hidup penuh warna-warni. Pada saat sang kritikus menuliskan pengalaman-pengalamannya ini, maka lahirlah sebuah kritik seni yang merupakan hasil sebuah percintaan atau sebuah persengketaan antara seorang manusia dan sebuah karya seni".
Pertama kali Goenawanlah yang mengemukakan gagasan atau teori kritik Ganzheit dalam tulisannya yang berjudul "Tema Bukan Sebuah Utopia Kecil" (1966) kemudian ditulis kembali dengan judul "Tentang Tema & Machiavelisme Kesusastraan" (1972) dan dengan nama samaran Sutisna Adji tulisannya berjudul "Pengertian yang Salah terhadap Metode Analitik dalam Kritik Puisi" (1965). Kemudian baru pada tahun 1968, teori atau metode Ganzheit itu secara eksplisit dikemukakan oleh Arif Budiman dengan judul "Metode Ganzheit dalam Kritik Seni".
Arif Budiman dengan tulisannya "Metode Ganzheit dalam Kritik Seni" lebih menjelaskan teori kritik Ganzheit yang dikemukakan oleh Goenawan. Dikatakannya bahwa aliran psikologi Gestaltlah yang menyatakan suatu keseluruhan/totalitas memiliki kualitas baru yang tidak sama dengan jumlah semua unsurnya (1968). Sebuah totalitas bukan elemen yang disusun satu per satu, melainkan dihayati sebagai keseluruhan. Unsur-unsur itu secara dinamis mengadakan interferensi yang menghasilkan sebuah kualitas baru. Kualitas baru inilah yang langsung ditangkap pertama oleh pembaca (penanggap). Elemen baru muncul pada tahap kedua setelah pembaca (penanggap) mengadakan refleksi dan analisis. Sebuah elemen yang terlepas dari totalitas akan merupakan totalitas sendiri yang akan lain daripada bila bersama dalam sebuah totalitas yang baru.