Zawawi Imron dikenal sebagai penyair kelahiran Batang-Batang, Sumenep, Madura. Batang-Batang merupakan sebuah dusun yang terletak sekitar 23 kilometer dari Sumenep, sebuah kota kabupaten di ujung paling timur Pulau Madura. Karena keterbelakangan dan keterpencilan daerah kelahirannya, ia tidak mengetahui tanggal kelahirannya secara tepat. Namun, untuk kepatutan dalam urusan administrasi, dalam KTP tercatat pada tanggal 19 Sepetember 1946. Dia tetap tinggal di daerah tempat ia menulis sajak-sajaknya. Sajak-sajaknya umumnya menghadirkan tema perenungan tentang alam, terutama alam Madura. Lingkungan tempat ia dilahirkan sangat kental dengan budaya Madura dan masyarakatnya sangat taat beragama (Islam) sehingga mempengaruhi tema sajak-sajaknya.
Penyair daerah yang berbakat dan berkualitas ini pertama-tama ditemukan dan dipromosikan oleh penyair Subagio Sastrowardojo. Dia hanya sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar yang pada saat itu masih bernama Sekolah Rakyat (SR). Kemudian, ia mendaftarkan diri menjadi santri di pondok pesantren di Lambi Cabbi, Desa Gapura Tengah, Sumenep, sebuah tempat berjarak empat puluh kilometer dari kampung halamannya. Setelah merasa cukup menimba ilmu di pesantren selama setahun setengah, ia mengikuti ujian PGA dan berhasil lulus sehingga memperoleh ijazah yang memberinya peluang untuk menjadi guru di SD. Selebihnya ia menjadi otodidak dengan cara banyak membaca koran, majalah, ataupun buku-buku. Karena kondisi desanya yang terpencil sehingga untuk memperoleh bahan-bahan bacaan itu, Zawawi harus pergi ke kota. Hal itu dilakukannya secara rutin seminggu sekali.
Selepas SR, Zawawi yang mempunyai nama panggilan Cak Imron pernah melakukan pekerjaan serabutan, seperti mengangkut kantong daun siwalan, mengumpulkan batu untuk pembuatan jalan, dan menjadi kuli angkat barang. Pekerjaan rutinnya sehari-hari adalah guru mengaji. Di samping sebagai penyair, untuk wilayah sekitar Madura dan Jawa Timur ia juga dikenal sebagai seorang mubalig. Selaku juru dakwah, ia pun selalu mendapatkan simpati saat menyampaikan risalah-risalah Islam. Namanya sudah tidak asing lagi bagi majelis-majelis taklim di lingkungan Muhammadiyah, Aisyiah, Pelajar Islam Indonesia (PII), IPNU, dan Persatuan Ukhuwah Islamiyah. Sebagai penceramah dalam pengertian umum, ia yang hanya lulusan sekolah dasar, membuat orang terkagum-kagum karena pidato dan gagasannya dapat diterima oleh kalangan intelektual kampus, seperti di IKIP Surabaya dan Universitas Jember saat ia mengisi kuliah umum.
Pada tahun 1984 ia dipercaya mengajar kesusastraan di sebuah SMP di Madura, mengajar menggambar di sebuah SD, dan menjadi guru agama di pesantren kecil di desanya. Dia pernah menjabat Ketua Bidang Sastra Lembaga Kesenian Sumenep.
D. Zawawi Imron adalah sosok seniman langka. Ayahnya meninggal sebelum ia berumur delapan tahun. Zawawi Imron lahir di lingkungan masyarakat yang tidak biasa menggunakan bahasa Indonesia. Istrinya sempat mengenyam pendidikan sampai Kelas III SD dan tidak bisa berbicara dalam bahasa Indonesia (hanya mengerti secara pasif). Namun, istrinya pandai setiap tulisan suaminya hingga tidak pernah ada yang hilang.
Sebagai orang Madura yang masih terikat adat, Zawawi mengalami masa kawin muda. Istrinya baru berumur 13 tahun saat dikawininya, sedangkan Zawawi sendiri saat itu berumur 21 tahun. Dia memiliki tiga orang anak, tetapi satu di antaranya meninggal dunia. Anak sulungnya, Zaki, semasa remaja menyukai sajak juga.
Pertama kali Zawawi Imron menulis sajak ketika berusia 17 tahun dalam bahasa Madura. Selanjutnya, Zawawi beralih menulis dalam bahasa Indonesia karena teman-temannya mengomentari bahwa ia tampak kolot saat membacakan sajaknya dalam bahasa Madura. Dia merasa sangat berterima kasih kepada Pak Sutama, camat di tempatnya yang pertama kali memberinya kesempatan untuk mengetik puisi-puisinya. Pak Sutama itu pula yang berjasa mengirimkan puisinya ke Mingguan Bhirawa (Surabaya) asuhan Suripan Sadi Hutomo dan pertama kali disiarkan tahun 1974. Pada tahun 1979 ia memenangi sayembara cipta puisi tingkat nasional yang diadakan oleh Pengurus Pusat Perkumpulan Sahabat Pena Indonesia. Pada tahun 1981 ia memenangi lomba mengarang buku bacaan SD yang diadakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebagai penyair, nama Zawawi mulai mengorbit setelah kritikus Subagio Sastrowardojo membicarakannya pada acara Pertemuan Penyair Sepuluh Kota yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada bulan April 1982. Pada tahun itu juga, dalam acara Temu Penyair Muda di Taman Ismail Marzuki, Subagio Sastrowardojo memilihnya sebagai salah satu penyair terbaik bersama dengan Kriapur.
Tulisan-tulisan Zawawi banyak dimuat di koran-koran dan majalah pusat dan daerah seperti Suara Karya, Bhirawa, Berita Buana, Sinar Harapan, Horison, Zaman, Liberty, dan Panji Masyarakat. Buku kumpulan sajaknya, antara lain, ialah Semerbak Mayang (1977), Madura, Akulah Lautan (1978), Bulan Tertusuk Ilalang (Balai Pustaka, 1982), Nenek Moyangku, Air Mata, Celurit Emas, Derap-Derap Tasbih (Pustaka Progresif, 1993), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), dan Mata Badik Mata Puisi (2012). Kumpulan Nenek Moyangku Air Mata mendapatkan hadiah Yayasan Buku Utama. Hasil karya prosanya adalah berupa buku-buku cerita remaja yang mengangkat cerita-cerita rakyat Madura, seperti Cempaka (1979), Ni Peri Tanjung Wulan (1980), dan Bangsacara Ragapadmi (1980).
Kota pertama yang ia kunjungi di luar Madura adalah Surabaya pada tahun 1977, kemudian kota Jakarta pada tahun 1979, yaitu saat mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara di TIM. Selanjutnya, ia sering diundang ke berbagai tempat untuk membacakan sajak-sajaknya, misalnya pertama-tama di Pasongsongan yang terhitung masih dekat Sumenep (pantai utara). Beranjak dari Pulau Madura, pada tahun 1993 Zawawi tampil membacakan sajaknya di Surabaya pada Pekan Seni Surabaya. Undangan dari Jakarta kembali diperolehnya untuk ikut ambil bagian dalam acara Forum Puisi Indonesia 1983 di TIM Jakarta pada 27—29 Oktober 1983. Dalam kesempatan itu banyak seniman dan pakar sastra yang meramalkan bahwa Zawawi Imron bakal menjadi penyair yang kuat. Di luar Jakarta ia ambil bagian dalam Forum Penyair pada tahun 1983 di Bentara Budaya Yogya dan Sasonomulyo Solo pada tahun 1984.
Kegiatan lain yang berhubungan dengan profesinya sebagai penulis adalah memberikan bimbingan apresiasi sastra ke beberapa sekolah ataupun pesantren, antara lain, sampai ke Makassar dan Ambon. Dia yang termasuk yang mengelola Jambore Puisi se-Jawa Timur di Ambuten, sebuah desa pantai dekat Sumenep.
Penyair yang merasa betah tinggal di desa ini selalu terdorong untuk menulis puisi ketika dalam dirinya berlangsung getaran atau keterharuan. Zawawi Imron pun memenangi sayembara nasional menulis puisi yang diadakan oleh Perkumpulan Sahabat Pena Indonesia tahun 1979 dan mendapatkan hadiah dari Depdikbud RI tahun 1981 untuk lomba mengarang buku bacaan SD.
Sebuah puisi Zawawi Imron berjudul "Bulan Tertusuk Ilalang" menjadi terkenal karena sutradara Garin Nugroho pada tahun 1999 telah membuat sebuah film yang diilhami dan diberi nama dengan judul yang sama. "Bulan Tertusuk Ilalang" adalah sebuah sajak yang judulnya dipakai untuk menamai judul kumpulan puisinya.
Keberadaan Zawawi Imron dalam kehidupan kesusastraan Indonesia terletak pada perannya sebagai pelopor kebangkitan penyair daerah secara nasional. Dengan demikian, Zawawi Imronlah yang pertama-tama berhasil mematahkan pandangan selama ini bahwa seorang penyair Indonesia yang berkualitas mesti lahir di kota-kota besar.
Subagio mengangkat dua kumpulan puisi Zawawi, yaitu Bulan Tertusuk Ilalang dan Nenek Moyangku Air Mata, sebagai topik makalahnya pada Pertemuan Sastrawan Nusantara V di Makasar tahun 1986. Dalam kesempatan itu Subagio memberikan pujian dengan menyatakan bahwa Zawawi Imron telah mencapai pengucapan pribadi yang khas dengan mengungkapkan dunia angan-angannya yang berwatak surealisme yang mengatasi dan menolak batas-batas kenyataan. Sebagai orang yang selalu berusaha banyak membaca, D. Zawawi Imron mengaku kagum pada Kriapur, Amir Hamzah, Iqbal, dan Jalaluddin Rumi yang dinilainya sebagai penyair-penyair yang baik.