Diah Hadaning, penulis berbagai genre sastra yang mempunyai nama asli Sinaryo Indiyah lahir pada tanggal 4 Mei 1940 di Jepara, Jawa Tengah. Dia berasal dari suku Jawa dan beragama Islam. Ia tamat dari SPSA (Sekolah Pendidikan Sosial Atas) Semarang pada tahun 1960. Selanjutnya ia lebih menulis puisi.
Diah Hadaning pernah bekerja pada Perwakilan Departemen Sosial dan pernah menjadi guru di Sekolah Tuna Netra, Semarang. Selain itu, ia juga pernah menjadi redaktur mingguan Swadeshi, Jakarta. Ibu dari tiga orang anak ini menggeluti dunia tulis-menulis tahun 1970—1981. Dia telah menulis 135 puisi. Dari jumlah puisi yang ditulis, 70 judul telah dibukukan dalam kumpulan Kabut Abadi dan Jalur-Jalur Putih bersama I G. Putu Bawa Samar Gantang. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerita pendek (93 judul) dan novel (2 judul). Hasil tulisannya tersebar di berbagai media massa, antara lain Minggu Pagi (Yogyakarta), Berita Nasional (Yogyakarta), Bali Pos Minggu (Denpasar), Karya Bhakti (Denpasar), Mimbar Masyarakat (Samarinda, Kaltim), Suara Nusa (Mataram, NTB), Mingguan Simponi (Jakarta), Mingguan Swadesi (Jakarta), Berita Buana Minggu (Jakarta), Media Indonesia Minggu (Jakarta), majalah femina (Jakarta), dan majalah Dialog (Jakarta). Diah Hadaning menulis karena ingin menampilkan pribadinya dan untuk mengembangkan studi dan kariernya yang terpenggal.
Isbedy Setiawan ZS dalam Harian Terbit, 11 Februari 1986, mengulas puisi Diah yang berjudul Balada Sarinah. Kumpulan Balada Sarinah memuat 31 buah puisi yang ditulis dari masa 1981—1984. Memahami puisi-puisi penyair wanita ini memang tidaklah terlalu sulit. Ada semacam kesadaran dari penyair bahwa puisi adalah karya cipta untuk berdialog dengan orang lain. Jadi, untuk bisa sampai dan bersambung ke pembaca, tentunya dipilih ialog yang langsung, yakni tanpa pretensi yang samar atau gelap sama sekali. Untuk berialog dengan orang lain, ia bertutur dalam bahasa puitik, dengan tidak melupakan bahasa keseharian yang telah diramu sedemikian rupa sehingga bahasa tersebut sudah merupakan bahasa puisinya.
Korrie Layun Rampan dalam Suara Karya Minggu, Tahun 20, Nomor 1001, Minggu IV, Februari 1991, halaman 2 (kolom 1—2) dan halaman 11 kolom 7—9 menyatakan bahwa kegamangan yang muncul dari sajak-sajak Diah Hadaning merupakan potret sosial yang menggetarkan karena banyak sajaknya merupakan suara hati yang tertekan oleh kemelut derita. Dalam sajak "Perempuan yang Berjalan di Arus Zaman" Diah memperlihatkan potret jiwa seorang perempuan. Sajak ini mencerminkan suasana psikologis yang diangkat ke dalam realitas sosial tentang perjalanan umat manusia, kesaksian penyair yang merupakan kesaksian kaum perempuan dan kesaksian "hati nurani" kemanusiaan.
Karya Diah Hadaning, antara lain adalah Ballada Sebuah Nusa (1979), dan Kabut Abadi (bersama I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, 1979), Jalur-Jalur Putih (1980), Pilar-Pilar (bersama Putu Arya Tirtawirya, 1981), Kristal-Kristal (bersama Dinullah Rayes, 1982), Nyanyian Granit-Granit (1983), Balada Sarinah (1985), Sang Matahari (1986), Nyanyian Hening Senjakala (bersama Rita Oetoro, 1996), dan Elegi Muria dan Semak Bakau (2010).
Wanita penyair ini pernah menjadi pemenang ketiga dalam lomba penulisan puisi Anugerah Puisi Putera I dari Gapena, Malaysia yang diselenggarakan pemerintah Malaysia pada tahun 1980 dan memperoleh hadiah sebesar 3.000 ringgit Malaysia. Dalam kumpulan puisi yang memperoleh penghargaan itu, Diah Hadaning mencoba membebaskan pikiran usang tentang perempuan yang selalu menjadi korban tanpa bermaksud menentang kaum lelaki.