Bur Rasuanto mengawali kesastrawanannya sebagai cerpenis dengan mempublikasikan cerita pendek melalui majalah Sastra tahun 1960. Dia lahir di Palembang, Sumatra Selatan, tanggal 6 April 1937. Istrinya bernama Masnun, dikaruniai tiga orang anak, dua perempuan dan satu laki-laki. Beberapa saat setelah menamatkan sekolah menengah umum bagian B tahun 1957, ia bekerja sebagai buruh kilang minyak di PT Stanvac, Sungai Gerong tahun 1960. Bur Rasuanto menulis cerita pendek sejak bekerja di perusahaan minyak itu. Di tempat kerjanya itu ia menyaksikan berbagai peristiwa dan suasana yang penuh dengan rasa iri, dendam, dan persaingan, khususnya yang terjadi di kalangan pegawai yang merasa lebih senior, tetapi bergaji kecil (Kompas, 22 Juni 1980). Pendidikan terakhir Bur Rasuanto adalah S3 Filsafat dari Universitas Indonesia tahun 2000.
Di bawah asuhan H.B. Jassin, ia berusaha menjadi cerpenis yang baik. Cerita pendeknya diserahkannya kepada Jassin sebelum dipublikasikan agar Jassin memberikan kritik dan catatan. Jassin pun tidak segan-segan mengkritik, memuji, bahkan merekomendasikan tulisannya agar dipublikasikan dalam majalah Sastra atau Mimbar Indonesia.
Tiga cerpen Bur Rasuanto, yaitu "Discharge" (1961), "Ethyl Plant" (1962), dan "Pertunjukan" (1962) memperoleh hadiah tahunan majalah Sastra sebagai cerita pendek terbaik. Kemudian, pada tahun 1963, ketiga cerita pendek tersebut dan beberapa cerita pendek yang lain yang tersebar di beberapa majalah dihimpun dalam dua kumpulan cerpen, yaitu Bumi yang Berpeluh dan Mereka akan Bangkit. Dalam buku Bumi yang Berpeluh dimuat delapan cerita pendek, yaitu "Anak Lelaki", "Masa Percobaan", "Tangki 209", "Bulletin", "Ethyl Plant", "Ms Karachi", "Discharge", dan "Debu-Debu Dilebuh". Sementara itu, kumpulan cerpen Mereka akan Bangkit memuat sembilan cerita pendek, "Aman", "Biduk Tambangan", "Upahku yang Terakhir", "Kembali Menanti", "Dia Tidak akan Bercerita", "Pertunjukan", "Makam", "Piket", dan "Orang Perantara".
Dengan terbitnya dua buku itu, Bur Rasuanto terkenal sebagai penulis cerita pendek. Ciri khas cerita pendeknya berlatar kehidupan kaum buruh industri perminyakan. H.B. Jassin menyatakan bahwa cerita pendek yang berlatar lingkungan perkilangan minyak merupakan daerah baru bagi pengarang Indonesia dan Bur Rasuanto orang pertama yang mengungkapkan persoalan itu dalam sastra dengan pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya selama beberapa tahun bekerja di Stanvac.
Sebagai pengarang, Bur mengaku tidak cukup produktif, khususnya dalam hal mengarang novel. Menurut Bur (Kompas, 22 Juni 1980), mengarang cerpen terasa lebih ringan dan mudah daripada menciptakan novel. Walaupun demikian, ada empat novel yang telah ditulisnya, yaitu Manusia Tanah Air (semula berupa cerita bersambung dalam harian Sinar Harapan (1969), Sang Ayah (Jakarta: Budajata, 1969), Tambang Emas bagi Wan Muda, (novel anak-anak, 1976), dan Tuyet (Jakarta: Gramedia, 1978).
Selain sebagai pengarang, Bur Rasuanto juga berkerja sebagai wartawan perang di harian Kami. Tahun 1967 ia meliput Perang Vietnam. Di samping pernah bertugas di harian Kami, Bur juga pernah bekerja sebagai redaktur harian Indonesia Raja. Dia menulis berbagai artikel, antara lain artikel kebudayaan, politik, dan tinjauan umum, terutama yang berkaitan dengan tugasnya meliput perang. Tulisan-tulisannya antara lain "Sketsa-Sketsa Eksklusif dari Laos" dalam Sinar Harapan, 18 Juli 1968--14 Agustus 1968, yang mengungkapkan pengalamannya selama bertugas sebagai wartawan perang di Laos. Selain itu, "Masalah Mediator dalam Konflik Vietnam" dalam Kompas, 2 Desember 1967, "Vietnam di Selatan Sungai Ben Hai" dalam harian Kami, 12 Desember 1967, dan "Dengan Pasukan Korea Selatan di Vietnam" dalam Sinar Harapan, 5 Juli 1968.
Tahun 1966 Bur Rasuanto ikut demonstrasi mahasiswa yang menuntut keadilan dan kebenaran. Bahkan, ia tercatat sebagai penandatangan Manifes Kebudayaan dan sangat aktif memperjuangkan substansi gerakan moral kebudayaan itu. Sebagai akibatnya, dua kumpulan cerita pendeknya dilarang terbit. Selain itu, hadiah sastra Yayasan Yamin yang akan dianugerahkan kepadanya juga gagal diberikan. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang bernaung di bawah PKI mengetahui bahwa Bur Rasuanto penandatangan pertama Manifes Kebudayaan, sehingga mereka menyerang Bur Rasuanto lewat media massa yang mereka kuasai dan berhasil menghasut pengurus Yayasan Yamin untuk membatalkan pemberian hadiah itu.
Dari peristiwa demonstrasi mahasiswa yang menentang pemerintahan Orde Lama, lahirlah puisi-puisi Bur Rasuanto yang terhimpun dalam Mereka telah Bangkit (Februari 1966), yang diterbitkan oleh Sanggar Ibukota. Karya tersebut merupakan puisi-puisi perlawanan terhadap rezim yang berkuasa pada saat itu.
Sampai tahun 1970 nama Bur Rasuanto masih muncul di Horison melalui cerpen-cerpennya. Dia pun aktif di Indonesia Raja, Ekspres, dan ikut mendirikan majalah Tempo. Tahun 1990 Bur Rasuanto terpilih sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Hingga kini ia masih menulis di beberapa media massa.
Jakob Sumardjo dalam Pengantar Novel Indonesia (1983:253) menyatakan bahwa Bur Rasuanto bukanlah orang baru dalam sastra Indonesia. Dia tokoh sastra yang sudah mapan dalam sejarah sastra Indonesia modern.