Burung-Burung Manyar novel karya Y.B. Mangunwijaya diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Djambatan, Jakarta, Agustus tahun 1981. Selanjutnya, novel itu mengalami pencetakan ulang secara berurut, yaitu cetakan kedua pada Desember tahun 1981, cetakan ketiga Juni 1983, cetakan keempat Maret 1986, cetakan kelima Oktober 1988, cetakan keenam Agustus 1993, cetakan ketujuh Oktober 1996, cetakan kedelapan Agustus 1999, cetakan keenam belas tahun 2010.Novel itu tergolong panjang dengan ketebalan 261 halaman dan ukuran 14 x 21 cm. Pada halaman muka diberi keterangan bahwa buku itu adalah sebuah roman. Menurut pengakuan Mangunjaya, buku itu selesai ditulis pada waktu ia berusia 50 tahun.
Penataannya disusun menjadi tiga bagian yang didasarkan pada tahun terjadinya peristiwa yang dialami tokoh utama pria, Setodewa. Bagian I: 1934—1944, terdiri atas 4 subbagian; Bagian II: 1945—1950, terdiri atas 9 subbagian, dan Bagian III: 1968—1978, terdiri atas 9 subbagian. Buku itu ada juga yang menyebut sebagai roman sejarah, mungkin karena di dalamnya berisi peristiwa yang bernilai sejarah atau yang erat kaitannya dengan peristiwa sejarah. Misalnya, penggunaan latar waktu yang ada kaitannva dengan sejarah, seperti pada saat penjajahan Belanda, Jepang, dan Sekutu. Demikian pula latar tempat yang mengacu pada latar nyata yang sangat berperan dalam masa penjajahan, seperti Batavia, Yogyakarta, Hinia Belanda, Den Haag, dan Akademi Breda Holland. Bahkan, nama tokoh yang dimunculkan pun tercatat secara faktual dalam sejarah, seperti Sukarno, Hatta, Haji Agus Salim, dan Syahrir walaupun yang banyak disebut hanya Syahrir. Jadi, isi novel itu dikaitkan dengan peristiwa sejarah yang konkret dan faktual, yakni perjuangan senjata dan diplomasi antara bangsa Belanda dan Indonesia pada zaman Perang Kemerdekaan.
Dalam cerita ini dikisahkan seorang anak manusia yang bernama Teto. Perjalanan hidupnya penuh dengan liku-liku, penuh sejarah, serta peristiwa penting yang menggiringnya. Teto adalah anak tunggal sebuah keluarga yang terbiasa dalam kehidupan yang berkecukupan. Akan tetapi, hal itu seakan-akan tidak berlangsung lama karena datangnya Jepang ke Indonesia.
Ayahnya bernama Kapten Brajabasuki adalah seorang Kepala Garnisun II. Ia menjadi buronan Jepang. Belakangan ia tertangkap oleh Jepang. Nasibnya di ujung tanduk. Nasibnya sangat bergantung pada kebijakan istrinya, Merice, yang oleh Jepang dipaksa harus memilih sebagai gundik Jepang.
Lain halnya dengan Atik atau Larasati, teman sepermainan Teto di masa kecil yang kemudian tidak lain adalah kekasih hati Teto. Atik berjuang membela bangsanya dengan mengabdi di Kementerian Luar Negeri Indonesia. Akan tetapi, di antara Atik dan Teto tidak mungkin bersatu lagi, masing-masing sudah mempunyai dinding pemisah yang tebal dan tinggi. Suami Atik, Janakatamsi, merupakan seorang anak Direktur Rumah sakit Jiwa menyadari hubungan istri dan Teto sebelumnya. Dengan segala kebijaksanaannya, ia merayu Teto agar mau menjadi kakak angkatnya. Teto terharu mendengarnya dan ia pun menerima ajakan itu.
Demi membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh keluarga Atik dan suaminya, dan demi cintanya kepada Atik, serta demi membalas segala kesalahan kepada negerinya, Teto dengan penuh ikhlas mengangkat ketiga orang anak hasil perkawinan Atik dan Janakatamsi.
Burung-Burung Manyar mengungkapkan pengetahuan dan pengalaman manusia tentang pola perilaku dan pola pikir manusia secara renik. Secara semantis, gagasan dasar yang dianggap menonjol di dalam novel tersebut adalah masalah ketidaksiapan mental untuk menerima kenyataan hidup (diperlihatkan oleh Teto yang sangat terpukul dengan nasib yang menimpa keluarganya); masalah dendam hati (dendamnya Teto pada Jepang telah membutakan mata dan hatinya, mengacaukan jalan pikirannya); masalah cinta tak sampai (tidak sampainya cinta Teto kepada Atik); dan masalah politik bangsa (banyak diceritakan keberadaan politik bangsa Indonesia ketika zaman penjajahan Belanda, Jepang, serta pascakemerdekaan).
Beberapa pengamat sastra, seperti H.B. Jassin (dalam Maman, 1992) berpendapat bahwa novel itu bernada humoristis, kadang-kadang tajam mengiris. Ia menganalisis dan mengejek diri tak tanggung-tanggung, suatu tanda kedewasaan jiwa. Bahasanya segar dan gurih, ngelotok, dan kontemporer. Isinya penuh pengalaman dahsyat, keras, dan kasar, tetapi juga romantik, penuh kelembutan dan kemesraan.
Pendapat lain, Jakob Sumardjo mengatakan bahwa nilai buku itu terutama terletak pada keberanian pengarang untuk mengisahkan konflik jiwa seorang antirepublik pada masa revolusi. Di sisi lain, pengarang juga menampilkan kehidupan tentara KNIL secara humor dan kadang-kadang terselip ejekan yang penuh kejutan.
Subagio Sastrowardoyo (1983) berpendapat bahwa karya sastra besar selalu menghimbau angan-angan kita untuk bergerak dengan leluasa di dalam ruang jagatnya guna menemukan makna bagi kehidupan kita sendiri. Dan, Burung-Burung Manyar telah sanggup memberikan makna itu.
Marianne Katoppo dalam surat kabar Sinar Harapan menanggapi bahwa banyak hal yang menarik dalam buku itu. Bukan hanya gaya bercerita yang khas, bahasa yang hidup juga mampu membawa pembaca ke alam pikiran sang tokoh. Demikian juga, lembaran sejarah yang dibuka kembali dengan titik pandang kekinian jarang ditemukan dalam sastra Indonesia.
Pendapat lain, Rasyid Sartuni menyatakan bahwa unsur penokohan dalam novel itu terlihat sangat menonjol. Selain itu, menurut Th. Sri Rahayu Prihatmi sudut pengisahan novel itu pun sangat menarik.
Mangunwijaya melalui Burung-Burung Manyar memunculkan persoalan-persoalan nasionalisme. Sebutan-sebutan seperti: "anak kolong", "anak emas", "buah gugur", "kuncup mekar", "anak harimau mengamuk", "merpati lepas", "singa mengerti", "banteng-banteng muncul", "macan tutul meraung", "cenderawasih dipanah", "burung kul mendamba", "firdaus kobra", "nisan perhitungan", "gunung rawan", "aulah hikmah", "istana perjuangan", dan "sarang manyar baru" mengandung simbol dan makna yang dalam tentang isi cerita.
Karya ini memberikan simbolisasi bahwa Indonesia harus membangun sarang-sarang baru. Merumuskan kembali wujud masyarakat Indonesia dan menafsirkan nilai-nilai yang ada. Nasionalisme bagi Mangun bermakna penciptaan identitas Indonesia. Penciptaan kembali nation building yang harus menyertakan berbagai kemungkinan, sekalipun dari kutub yang paling ekstrem, seperti peran 'pembelot' sebagaimana tecermin pada tokoh utama, Teto. Selain itu, tersirat pula latar sejarah yang mampu membangkitkan ingatan pembaca ke masa lalu.
Novel Burung-Burung Manyar telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Tahun 1987 novel itu terbit dalam edisi bahasa Jepang dengan judul Arasi no Naka no Manyar. Tahun 1987 terbit juga dalam bahasa Belanda dengan judul Het Boek van de Wevervogel. Kemudian, pada tahun 1989 diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Weaverbirds.
Tahun 1983 novel Burung-Burung Manyar telah mengangkat derajat pengarangnya dengan memenangi Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand. Para penilai telah menunjukkan apresiasi yang tinggi melalui pemberian penghargaan kepada novel tersebut.