Suku : Biak Numfor
Genre : Puisi
Provinsi: Provinsi Papua
Kabupaten/Kota: Kabupaten.Biak Numfor
Tradisi
Dou Sandik Guyub Tutur Biak Numfor
(GTBN), Papua merupakan pengintegrasian tuturan bahasa yang dikemas dengan apik
sebagai wujud ekspresi jiwa manusia terhadap Tuhan dan karya ciptaan-Nya. Tradisi
Dou
sandik dilirik sebagai media penguatan karakter, yaitu: (1) sebagai produk dan praktek dari
GTBN yang menggambarkan pandangannya tentang diri, alam (dunia), dan Tuhan; (2)
sebagai wujud interaksi
langue dan
parole dengan Tuhan; (3) sebagai kantong
nilai budaya yang mengendapkan tuturan makna dan fungsi bahasa; dan (4) sebagai
media yang mampu memagari
entitas
(kesatuan lahiriah) tentang ekspresi kehidupan. Sebagai cerminan identitas, tradisi
Dou Sandik merupakan upaya pengungkapan ide, gagasan, dan isi
pikiran, serta untuk merefleksikan realitas pengalaman pewarisnya.
Karakteristik tradisi dou
sandik merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Dou sandik bukan hanya sebagai sarana
yang memperkuat ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga
cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dan bersejarah baik di tingkat
keret ‘marga’, mnu ‘kampung’ maupun di tingkat komunitas yang lebih luas. Tradisi dou sandik bagi GTBN merupakan hal yang
sering dilakukan di setiap waktu. GTBN memiliki semboyan bahwa: nggo wor ba ido, na nggo mar ‘jika kami
tidak menyanyi, maka kami akan mati’. Dengan semboyan ini, GBTN menyadari
betapa pentingnya arti dou sandik dan
pesta dalam kehidupannya. Wor dou sandik
isya, kenm isya, munara isya ‘ada nyanyian pujian, penyembahan, ada
kehidupan’.
GTBN memiliki beberapa jenis dou ‘nyanyian’ yang menjadi sarana pengungkap isi hati baik suka
dan duka, yaitu: (1) dou kangkarem: nyanyian yang dituturkan
pada saat dilakukan upacara pemujaan, (2) dou
moringkir: nyanyian pengiring ritual
sedang berada di lautan, (3) dou erisam
bepok: nyanyian yang dituturkan dengan semangat saat berlayar mengarungi
lautan atau saat angin kencang, (4) dou
erisam bemawa: nyanyian yang dituturkan di atas perahu pada saat angin bertiup sepoi-sepoi,
(5) dou wonggei: nyanyian yang
dituturkan untuk mengiringi perjalanan di laut saat melakukan perdagangan
antarkampung, antarpulau dan antaretnis, (6) dou nambojaren: nyanyian yang dituturkan pada saat ritual tengah
malam dilaksanakan sampai pagi hari atau menyindir insos ‘gadis’ yang hamil tanpa suami, (7) dou kansyaru: nyanyian yang dituturkan oleh seorang nyonya tuan
rumah penyelenggara ritual, (8) dou
dunsner: nyanyian peringatan yang dituturkan untuk memperingatkan para
penyanyi dan penari dalam sebuah ritual adat agar bersiaga menyambut pagi
sebagai lambang kemenangan, (9) dou
sandia: nyanyian yang dituturkan menyambut datangnya sang fajar
menyingsing, yakni antara pukul 02.00 – 06.00 pagi hari, (10) dou randan: nyanyian yang dituturkan
pada siang hari antara pukul 11.00 – 14.00 dengan cara semua penutur dalam
keadaan duduk, (11) dou mamun: nyanyian yang dituturkan pada saat perjalanan ke
medan perang dengan syair yang menantang, (12) dou beyuser: nyanyian panjang yang dituturkan untuk mengisahkan
kejadian di masa lampau, kejadian yang sedang dialami, maupun kejadian yang
akan dihadapi pada masa depan, (13) dou
kayob: nyanyian ratapan yang diciptakan secara spontan tanpa terikat oleh
kerangka atau konvensi tertentu, (14) dou
beba: nyanyian kebesaran bagi kaum pelaut dan hanya dinyanyikan pada saat
di atas perahu, dan (15) dou sandik:
tradisi pujian dan penyembahan yang dituturkan pada saat acara ritual keagamaan
atau pesta keimanan.
Tim Peneliti : Hugo Warami