• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 

Randai

Kategori: Registrasi Sastra Lisan

 

Suku : Minang

Genre : Drama

Provinsi: Provinsi Sumatera Barat

Kabupaten/Kota: Kota.Padang

Penyebaran: Padang, Padang Pariaman, Pariaman, Solok, Sijunjung, Agam, Bukit


Di Minangkabau, Randai merupakan kesenian pamenan rang mudo (permainan anak muda). Randai adalah suatu bentuk kesenian lama, yang dapat juga dikatakan seni drama, tari, dan suara khas Minang.Dikatakan “drama” karena suatu “kaba” yang dipertunjukkan diperankan oleh pelakunya melalui gerak (action). Antarwacana dialog), semita (mimic). Ada pula dimulai dengan sejenis prolog, sekali-kali berisilkan prolog.

Suatu kesenian tradisi yang hidup di Minangkabau sudah ada sejak lama, sejak antarkomunitas dari satu nagari dan nagari lain bersosialisasi. Pola melingkar dengan penonton/penikmatnya mengelilingi permainan randai telah menyatukan dan membaurkan antara penonton dan pemain. Di dalam suatu pertunjukan randai, ditemukan berjenis kesenian yang khas seperti; seni suara (dendang/gurindam), musik (saluang, talempong, dan gendang), gerak (akting, pencak, tari, dan galombang), serta sastra/cerita atau kisah (dialog, joke/komik, dan monolog.  

Dikatakan ;karena pertunjukan dimaksud dibuka dengan bunyi-bunyian asli, seperti alat tiup (pupuik gadang, dan/atau alat pukul (talempong atau gandang), sedang tiap-tiap adegan dalam permainan diisi dengan dendang oleh para pembantu (figuran).Dikatakan”tari” karena dendang disertai serentak dengan langkah gerak pencak yang kadangkala dibungai dengan gerak jari tangan ( M. Rasyid Manggis. 1980: 20).

Seperti juga kesenian tradisi lainnya, tidak ada catatan pasti yang menyebutkan kapan randai lahir. Namun dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa randai tercipta dan dimainkan oleh anak-anak muda di suatu sasaran atauperguruan silat. Pada mulanya, anak laki-laki di Minangkabau harus mampu membela diri dengan mempelajari ilmu beladiri yang disebut silat. Gerak-gerak silat, yang disebut juga pancak (pencak) bila dilakukan pengulangan terasa cukup ritmis dan dinamis sehingga kalau distilir akan nampak lebih indah, bahkan menyerupai suatu tari. Lalu, gerak-gerak tersebut dilakukan secara melingkar yang terkadang membentuk rantai pertanda kekompakan. Semua pemain mengenakan celana latihan silat yang disebut galembong sehingga ketika celana galembong tersebut ditepuk secara serentak akan menimbulkan bunyi yang khas, bagaikan deburan ombak di pantai.

Legaran adalah gerakan melingkar kemudian diisi dengan dendang gurindam yang diikuti oleh musik; saluang, talempong, pupuik batang padi, dan gendang. Oleh pangkatuo (pelatih silat) legaran tersebut diisi dengan kaba (cerita rakyat) yang sudah ada sebelumnya. Umumnya cerita rakyat yang dimainkan ialah cerita-cerita menarik yang menyampaikan pesan atau “perumpamaan” sehingga masyarakat peminatnya menyebutnya sebagai suatu pertunjukan barandai, berandai, atau beramsal.

            Bila ada cerita, maka tentu ada tokoh/pemerannya. Pemegang peran dalam suatu randai ditentukan oleh pangkatuo randai karena dialah yang mengetahui setiap karakter dan kemampuan bersilat setiap pemainnya. Pemeran utama misalnya, haruslah orang yang memiliki vokal yang lantang dan mantap. Dia haruslah seorang pendekar yang mahir balabek (gerak khas pesilat, pandangan mata, dan seluruh geraknya memperlihatkan kewaspadaan).

            Karena umumnya latihan randai dilaksanakan pada malam hari (usai salat Isa), maka tentu tokoh perempuan dalam suatu cerita terpaksa dimainkan oleh laki-laki karena perempuan di Minangkabau tidak diperbolehkan ke luar malam harri. Itu sebabnya –pada mulanya- semua pemain randai adalah laki-laki. Tokoh perempuan diperankan oleh laki-laki yang suaranya mirip suara perempuan, bahkan diberi pakaian perempuan dan umumnya mengenakan kacamata hitam. Maka jadilah ia suatu pertunjukan di suatu arena. Cerita rakyat yang dimainkan umumnya menjadi ciri khas bagi suatu grup randai, bahkan sekaligus menjadi nama grup randai yang memainkannya, seperti: Kaba Anggun Nan Tongga, Cindua Mato, Sabai Nan Aluih, dan seterusnya.

            Karena randai dimainkan di arena yang melingkar, maka pergantian adegan disampaikan dalam dendang menggiring imajinasi setiap penontonnya ke suatu tempat peristiwa berlangsung yang kemudian diperkuat oleh dialog antarpemain. Itulah sebabnya, tokoh teater modern kemudian menyebut randai adalah suatu pertunjukan teater tradisi yang absurd. Pertunjukan randai yang absurd tersebut oleh kalangan pemerhati seni pertunjukan disebut sebagai suatu Pertunjukan Teater Tradisi yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Tokoh teater Indonesia yang berdomisili di Padang, Wisran Hadi mencoba merombak pola randai ini dalam setiap pementasan teaternya, bahkan cerita/kisah yang dimainkan pun ia tulis dalam bentuk teks, untuk memudahkan pemain menghafal dialog dan mengenal karakter penokohannya.

Randai disebut suatu pertunjukan absurd karena setiap pertunjukannya selalu ada adegan atau dialog yang tidak logis, namun ternyata mampu menggiring imajinasi penontonnya ke arah yang nyata hanya dengan suatu dendang pengisah dan peralihan setting. Misalnya, dikisahkan tokoh utama pergi ke dalam hutan, maka dengan seketika ia sudah ada dalam hutan. Padahal, tempatnya masih di sana. Juga dalam akting atau dialog diceritakan seseorang mati terbunuh, lalu tokoh yang mati itu tiba-tiba bangkit kembali dan ikut dalam legaran galombang. Perubahan adegan atau babakan tidak dilakukan dengan mengganti setting, atau cahaya lampu, atau mengganti kostum, melainkan cukup dengan gurindam yang dibawakan dalam legaran (galombang).

            Gerak dasar dalam galombang yang melingkar (juga merupakan frame atau panggung) ialah bunga-bunga silat yang disebut pancak (pencak) yang distilirisasi menjadi gerak yang indah. Beberapa gerak pencak tersebut juga menjadi gerak akting yang dominan bagi setiap tokoh cerita dalam pengisahannya.

            Hampir semua gerak dalam pertunjukan randai berasal dari bunga-bunga silat. Baik dalam galombang (legaran) yang berfungsi sebagai pengganti adegan, babakan yang diikuti dengan dendang gurindam sebagai pengantar cerita berikutnya, maupun dalam dialog atau akting. Seperti juga bentuk kesenian lainnya yang berawal dari kiasan dan perumpamaan yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk musik, tari-tarian, dendang saluang, gurindam, dan lain sebagainya.

 
PENCARIAN TERKAIT

  • Arandai
    Provinsi Papua Barat Bahasa Arandai dituturkan di Kampung Botonik (Arandai), Distrik Arandai, Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat. Penutur bahasa Arandai diperkirakan sebanyak 176 orang. ...
  •  
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
     

    Randai

    Kategori: Registrasi Sastra Lisan

     

    Suku : Minang

    Genre : Drama

    Provinsi: Provinsi Sumatera Barat

    Kabupaten/Kota: Kota.Padang

    Penyebaran: Padang, Padang Pariaman, Pariaman, Solok, Sijunjung, Agam, Bukit


    Di Minangkabau, Randai merupakan kesenian pamenan rang mudo (permainan anak muda). Randai adalah suatu bentuk kesenian lama, yang dapat juga dikatakan seni drama, tari, dan suara khas Minang.Dikatakan “drama” karena suatu “kaba” yang dipertunjukkan diperankan oleh pelakunya melalui gerak (action). Antarwacana dialog), semita (mimic). Ada pula dimulai dengan sejenis prolog, sekali-kali berisilkan prolog.

    Suatu kesenian tradisi yang hidup di Minangkabau sudah ada sejak lama, sejak antarkomunitas dari satu nagari dan nagari lain bersosialisasi. Pola melingkar dengan penonton/penikmatnya mengelilingi permainan randai telah menyatukan dan membaurkan antara penonton dan pemain. Di dalam suatu pertunjukan randai, ditemukan berjenis kesenian yang khas seperti; seni suara (dendang/gurindam), musik (saluang, talempong, dan gendang), gerak (akting, pencak, tari, dan galombang), serta sastra/cerita atau kisah (dialog, joke/komik, dan monolog.  

    Dikatakan ;karena pertunjukan dimaksud dibuka dengan bunyi-bunyian asli, seperti alat tiup (pupuik gadang, dan/atau alat pukul (talempong atau gandang), sedang tiap-tiap adegan dalam permainan diisi dengan dendang oleh para pembantu (figuran).Dikatakan”tari” karena dendang disertai serentak dengan langkah gerak pencak yang kadangkala dibungai dengan gerak jari tangan ( M. Rasyid Manggis. 1980: 20).

    Seperti juga kesenian tradisi lainnya, tidak ada catatan pasti yang menyebutkan kapan randai lahir. Namun dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa randai tercipta dan dimainkan oleh anak-anak muda di suatu sasaran atauperguruan silat. Pada mulanya, anak laki-laki di Minangkabau harus mampu membela diri dengan mempelajari ilmu beladiri yang disebut silat. Gerak-gerak silat, yang disebut juga pancak (pencak) bila dilakukan pengulangan terasa cukup ritmis dan dinamis sehingga kalau distilir akan nampak lebih indah, bahkan menyerupai suatu tari. Lalu, gerak-gerak tersebut dilakukan secara melingkar yang terkadang membentuk rantai pertanda kekompakan. Semua pemain mengenakan celana latihan silat yang disebut galembong sehingga ketika celana galembong tersebut ditepuk secara serentak akan menimbulkan bunyi yang khas, bagaikan deburan ombak di pantai.

    Legaran adalah gerakan melingkar kemudian diisi dengan dendang gurindam yang diikuti oleh musik; saluang, talempong, pupuik batang padi, dan gendang. Oleh pangkatuo (pelatih silat) legaran tersebut diisi dengan kaba (cerita rakyat) yang sudah ada sebelumnya. Umumnya cerita rakyat yang dimainkan ialah cerita-cerita menarik yang menyampaikan pesan atau “perumpamaan” sehingga masyarakat peminatnya menyebutnya sebagai suatu pertunjukan barandai, berandai, atau beramsal.

                Bila ada cerita, maka tentu ada tokoh/pemerannya. Pemegang peran dalam suatu randai ditentukan oleh pangkatuo randai karena dialah yang mengetahui setiap karakter dan kemampuan bersilat setiap pemainnya. Pemeran utama misalnya, haruslah orang yang memiliki vokal yang lantang dan mantap. Dia haruslah seorang pendekar yang mahir balabek (gerak khas pesilat, pandangan mata, dan seluruh geraknya memperlihatkan kewaspadaan).

                Karena umumnya latihan randai dilaksanakan pada malam hari (usai salat Isa), maka tentu tokoh perempuan dalam suatu cerita terpaksa dimainkan oleh laki-laki karena perempuan di Minangkabau tidak diperbolehkan ke luar malam harri. Itu sebabnya –pada mulanya- semua pemain randai adalah laki-laki. Tokoh perempuan diperankan oleh laki-laki yang suaranya mirip suara perempuan, bahkan diberi pakaian perempuan dan umumnya mengenakan kacamata hitam. Maka jadilah ia suatu pertunjukan di suatu arena. Cerita rakyat yang dimainkan umumnya menjadi ciri khas bagi suatu grup randai, bahkan sekaligus menjadi nama grup randai yang memainkannya, seperti: Kaba Anggun Nan Tongga, Cindua Mato, Sabai Nan Aluih, dan seterusnya.

                Karena randai dimainkan di arena yang melingkar, maka pergantian adegan disampaikan dalam dendang menggiring imajinasi setiap penontonnya ke suatu tempat peristiwa berlangsung yang kemudian diperkuat oleh dialog antarpemain. Itulah sebabnya, tokoh teater modern kemudian menyebut randai adalah suatu pertunjukan teater tradisi yang absurd. Pertunjukan randai yang absurd tersebut oleh kalangan pemerhati seni pertunjukan disebut sebagai suatu Pertunjukan Teater Tradisi yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Tokoh teater Indonesia yang berdomisili di Padang, Wisran Hadi mencoba merombak pola randai ini dalam setiap pementasan teaternya, bahkan cerita/kisah yang dimainkan pun ia tulis dalam bentuk teks, untuk memudahkan pemain menghafal dialog dan mengenal karakter penokohannya.

    Randai disebut suatu pertunjukan absurd karena setiap pertunjukannya selalu ada adegan atau dialog yang tidak logis, namun ternyata mampu menggiring imajinasi penontonnya ke arah yang nyata hanya dengan suatu dendang pengisah dan peralihan setting. Misalnya, dikisahkan tokoh utama pergi ke dalam hutan, maka dengan seketika ia sudah ada dalam hutan. Padahal, tempatnya masih di sana. Juga dalam akting atau dialog diceritakan seseorang mati terbunuh, lalu tokoh yang mati itu tiba-tiba bangkit kembali dan ikut dalam legaran galombang. Perubahan adegan atau babakan tidak dilakukan dengan mengganti setting, atau cahaya lampu, atau mengganti kostum, melainkan cukup dengan gurindam yang dibawakan dalam legaran (galombang).

                Gerak dasar dalam galombang yang melingkar (juga merupakan frame atau panggung) ialah bunga-bunga silat yang disebut pancak (pencak) yang distilirisasi menjadi gerak yang indah. Beberapa gerak pencak tersebut juga menjadi gerak akting yang dominan bagi setiap tokoh cerita dalam pengisahannya.

                Hampir semua gerak dalam pertunjukan randai berasal dari bunga-bunga silat. Baik dalam galombang (legaran) yang berfungsi sebagai pengganti adegan, babakan yang diikuti dengan dendang gurindam sebagai pengantar cerita berikutnya, maupun dalam dialog atau akting. Seperti juga bentuk kesenian lainnya yang berawal dari kiasan dan perumpamaan yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk musik, tari-tarian, dendang saluang, gurindam, dan lain sebagainya.

     
    PENCARIAN TERKAIT

  • Arandai
    Provinsi Papua Barat Bahasa Arandai dituturkan di Kampung Botonik (Arandai), Distrik Arandai, Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat. Penutur bahasa Arandai diperkirakan sebanyak 176 orang. ...
  • Arandai
    Provinsi Papua Barat Bahasa Arandai dituturkan di Kampung Botonik (Arandai), Distrik Arandai, Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat. Penutur bahasa Arandai diperkirakan sebanyak 176 orang. ...
  •  
     
     
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa