"Bung Besar" merupakan naskah drama satu babak karya M. Jusa Biran yang ditulis pada tahun 1959. Drama ini merupakan salah satu dari tiga judul drama Biran yang diterbitkan oleh majalah Budaya, VIII/3/4/5, Maret/April/Mei 1959 dan dinyatakan sebagai pemenang drama juara ke-2 pada tahun 1968 dalam perlombaan yang diselenggarakan oleh Kementerian P dan K. Selain diterbitkan oleh majalah Budaya, H.B. Jassin juga menerbitkan dan mengupas isi drama "Bung Besar" dalam bukunya yang berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai IV tahun 1985.
Drama "Bung Besar" ini pernah dipentaskan oleh mahasiswa HMl pada acara penutupan perayaan Dies Natalis ke-14 di Gedung Kesenian, Pasar Baru pada tanggal 13 Februari 1961. Drama Bung Besar tidak sering dipentaskan karena sulitnva perizinan, bahkan drama itu pernah dicekal atau di-black out di daerah Jakarta dan sekitarnva.
Awal ceritanya dikisahkan bahwa Bung Besar berhasil membina kehidupannya. la telah membeli kawasan tempat ia dan tentara Indonesia melawan Belanda, bahkan kuburan kawan seperjuangannya berada di dekat vilanya. Keberadaan kuburan itu mengganggu kejiwaan Bung Besar. karena ia pernah berbuat dosa dan curang. Di masa lalu, menjelang akhir pertempuran, Bung Besar telah membunuh dua orang pemimpin bernama Letnan Nasir dan Sersan Dachlan. Kepada masyarakat ia mengatakan bahwa dua orang itu gugur ditembak Belanda di medan Perang. Konflik batin sudah mulai disajikan pengarang dalam naskah ini.
Dengan dalih sebagai seorang pejuang, Bung Besar memanfaatkan segala fasilitas. Ia juga berani mengawini Sri Ayu, istri Letnan Nasir. Wanita itu pun tahu kalau Bung Besar telah membunuh suaminva karena menginginkan dirinya. Sementara itu, Sri Ayu mau dinikahi Bung Besar karena kekayaannya. Bung Besar alias Karim menjadi kaya karena terjun ke dunia politik yang dipimpin oleh Anwar seorang ahli pidato dan ahli berpolitik.
Pagi itu, Bung Besar alias Karim terlihat mulai bosan belajar berpidato. Ia ingin mundur dan belajar mendalami ilmu politik yang sebenarnya agar tidak lagi didikte oleh Anwar. Namun, Anwar tidak setuju karena kesempatan menjadi pemimpin partai tidak selalu ada. Karim harus pandai memanfaatkannya.
Sementara itu, Bung Besar telah mengetahui dengan mata kepalanya sendiri bahwa istrinya telah berselingkuh dengan Anwar. Ia menjadi kesal dan frustasi. Kembali bayang-bayang kesalahannya di masa lalu datang mengganggu jiwanya. Letnan Nasir bersama Sersan Dahlan datang menghampiri, Bung Besar pun menjadi ketakutan.
Ternyata dua ruh itu tidak akan membalas dendamnya, tetapi ingin memperingatkan bahwa Anwar kawannva itu telah menjerumuskan Bung Besar ke penjara. Anwar melakukan korupsi dengan atas nama Bung Besar. Letnan Nasir dan kawan menasihati agar Bung Besar sadar dan mau menebus dosanya.
Alur yang terlihat padat oleh berbagai persoalan itu ditampilkan dalam dialog yang sangat menarik. H.B. Jassin (1985) berpendapat "kecuali tendens yang terkandung di dalamnya, kekuatan drama itu terletak dalam percakapan-percakapan yang penuh humor mengendap, humor yang mempunyai tenaga lontar yang dalam dan jauh."
Jusa Biran sebagai penulis drama menurut Jassin mendapat pengaruh dari beberapa pikiran film "Quo Vadis", roman Atheis dan sajak Chairil Anwar, namun pengaruh tersebut tidak mencemari karya asli ciptaannya sendiri. Selain itu, Jusa Biran dalam menulis drama sengaja tidak menggunakan dialek Betawi karena peristiwa yang ia paparkan bisa terjadi di mana-mana, khususnya di Indonesia.