Boenga Roemah Makan merupakan drama satu babak karya Utuy Tatang Sontani yang terkenal dan banyak dipentaskan di sekitar tahun 1950-an. Drama ini selesai ditulis pada permulaan tahun 1947 dan diterbitkan tahun 1948 oleh Balai Poestaka, Jakarta. Cetakan keduanya terbit tahun 1954, berukuran 18,7 x 13,5 cm, setebal 39 halaman oleh Balai Pustaka juga. Penerbit Kiwari, Bandung menerbitkan drama ini tahun 1962. Cetakan ketiga diterbitkan tahun 2002 oleh Balai Pustaka bersama-sama karya Utuy yang lainnya.
Drama Boenga Rumah Makan yang terdiri atas 21 adegan menceritakan seorang gadis cantik pelayan rumah makan bernama Ani. Sebelum menjadi pelayan Rumah Makan Sambara milik Sudarma, Karnaen (anak Sudarma) bertemu dengan Ani ketika gadis itu masih dalam keadaan melarat. Karnaen lalu membawa Ani ke rumah makan milik ayahnya dan mempekerjakan Ani sebagai pelayan. Sejak Ani bekerja di rumah makan itu, banyak pembeli berbelanja, terutama pemuda-pemuda. Mereka datang tidak hanya untuk berbelanja, tetapi untuk bertemu Ani dan menggodanya.
Di antara pengunjung rumah makan itu, mula-mula Ani tertarik pada Kapten Suherman, padahal Kapten Suherman tidak bermaksud kawin dengan Ani meskipun Ani mencintainya. Ani sangat kecewa dan sekaligus menyadari bahwa orang-orang itu hanya menyukai senyumannya dan tidak menyukai air matanya. Karnaen yang sungguh-sungguh mencintai menyatakan isi hatinya dan mengajak Ani untuk berumah tangga, tetapi ditolak oleh Ani dengan alasan Ani masih senang bekerja sebagai pelayan dan menyayangi Karnaen hanyalah sebagai seorang adik terhadap abangnya.
Pemuda lain yang datang ke rumah makan itu adalah Iskandar, seorang seniman gelandangan. Ia datang tidak untuk belanja, tetapi untuk duduk-duduk saja. Hal ini membuat Ani marah hingga terjadi pertengkaran. Iskandar menghina dan menyindir Ani yang dikatakannya hanya memperdagangkan kecantikannya dengan menjadi pelayan di rumah makan itu dan menipu orang-orang yang datang untuk makan di tempat itu. Ani dan Karnaen menyuruh Iskandar meninggalkan tempat itu, tetapi Iskandar tidak bersedia pergi sehingga Karnaen menelepon polisi. Akhirnya, Iskandar pergi juga setelah berhasil memukul roboh Karnaen.
Ketika polisi berhasil menangkap Iskandar dan hendak memenjarakan dengan tuduhan penghinaan, Ani justru membela Iskandar dan mengatakan bahwa Iskandar tidak menghina, tetapi mengatakan hal yang sebenarnya. Bahkan, Ani kemudian memutuskan akan meninggalkan rumah makan itu dan pergi bersama Iskandar. Sebagai orang jujur, Ani akan "menjauhi kepalsuan dalam rumah makan" dan ingin "hidup merdeka". Iskandar bersedia hidup bersama Ani dan berjanji akan mencari pekerjaan. Sudarma sangat menyesali semua kejadian itu dan untuk sementara akan menutup rumah makan itu.
Drama Boenga Rumah Makan mengungkapkan makna kejujuran dalam kehidupan. Bersikap jujur jauh lebih baik daripada berlagak kaya atau berlagak pejuang. Ani dalam konteks cerita drama itu dengan jujur mengatakan bahwa kedudukan Karnaen hanya sebagai abang saja dan Ani tidak mencintainya. Iskandar secara jujur juga mengatakan bahwa Ani diperalat oleh keluarga Sudarma untuk melariskan rumah makan itu dengan memanfaatkan kecantikannya.
H.B. Jassin (1985) sangat berkeberatan apabila drama Boenga Rumah Makan ini digolongkan sebagai drama psikologis, khususnya yang menyangkut segi kejiwaan Ani. Mengapa Ani memilih Iskandar, pengangguran yang hidup merdeka dengan lontang-lantung dan bukan memilih Karnaen yang telah menolong dan sungguh-sungguh mencintainya walaupun, menurut Jassin, cinta memang tidak dapat dipaksakan. Ani mencintai Kapten Suherman, tetapi Kapten Suherman tidak berniat mengawininya. Menurut Jassin, tindakan Ani itu hanyalah berdasarkan faktor emosional semata dan tidak dikendalikan oleh pikirannya. Kedangkalan pikiran Ani dan kekurangtajaman pandangannya tercermin dalam sikapnya terhadap Kapten Suherman. Ani mampu jatuh cinta kepada Suherman hanya karena Suherman pandai mengatakan 'indah' ketika memandang wajah Ani dan melontarkan kata-kata rayuan kosong, sedangkan Karnaen yang telah menolong dan benar-benar ingin mengajak berumah tangga ditolak dan hanya dianggap sebagai kakak saja. Demikian pula mengenai jalan pikiran Iskandar yang dinilai Jassin tidak tepat ketika menjawab pertanyaan polisi mengapa ia tidak bekerja. Iskandar beranggapan bahwa dirinya tidak perlu bekerja karena hanya tinggal sendiri di dunia. Apa gunanya ia bekerja apabila pekerjaan itu hanyalah menipu atau mendustai orang lain. Akan tetapi, ketika Ani bersedia hidup bersamanya dan menilainya sebagai "orang jujur", semangat Iskandar muncul dan ia bekerja kembali.
Menurut Oemarjati (1971), di antara penulis-penulis muda pada masanya, Utuy Tatang Sontani dan Kirdjomuljo termasuk penulis yang berhasil menuangkan hasil pengendapan perenungan dan pemikiran ke dalam lakon yang terdiri atas satu babak. Di dalam karya-karya mereka terlihat bahwa keberanian dan kematangannya itu dicapai berkat latihan yang banyak dan ajeg, mengingat bahwa penulisnya bukanlah seorang teaterwan dan teknik penulisannya belum terlalu jauh dari teknik penulisan cerita pendek.
Dalam suatu wawancara dengan redaksi Kisah (IV/12, Desember 1956), ditanyakan kepada Utuy, "Mengapa ia menulis cerita sandiwara satu babak dan tidak beberapa babak?" Utuy menerangkan bahwa dalam drama satu babak ia dapat menitikberatkan perhatian pada persoalan manusia dalam satu waktu, persoalan manusia dalam hidupnya yang begitu panjang. Menurut Utuy, pengungkapan persoalan manusia dalam suatu waktu merupakan upaya pendekatan secara optimal kepada hidup yang sebenarnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dasar dari cerita yang dibuatnya ialah "tragedi manusia" (dalam pengertian 't menselijke') di tengah-tengah bukan manusia ('t on menselijke').
Dalam perkembangan sastra, drama ini termasuk dalam daftar buku terlarang sepanjang pemerintahan Orde Baru bersama karya kelompok Lekra lainnya.