Azab Dan Sengsara merupakan novel karangan Merari Siregar yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka tahun 1921 dan berikutnya mengalami beberapa kali cetak ulang. Cetak ulang ke-29 tahun 2009. Novel itu muncul pertama kali dengan judul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis. Pada edisi selanjutnya anak judul "Seorang Anak Gadis" tidak disertakan lagi. Novel itu tercatat sebagai buku kesusastraan Indonesia modern yang mula-mula terbit.
Novel ini menceritakan kesengsaraan tokoh Mariamin setelah ayahnya meninggal. Kesengsaraan itu menjadi berlarut-larut setelah Aminuddin menikah dengan wanita lain. Padahal, Aminuddin telah berkasih-kasihan dengan Mariamin sejak mereka berdua itu masih duduk di sekolah dasar. Mereka telah berjanji untuk kawin. Kesengsaraan Mariamin bertambah parah setelah ia menikah dengan Kasibun yang ternyata mengidap penyakit kotor yang dapat menular kepada Mariamin. Karena Mariamin tidak mau melakukan hubungan intim dengan Kasibun, terjadilah percekcokan dalam rumah tangga mereka. Akhirnya, Kasibun memukul dan menyiksa Mariamin. Hal itu menyebabkan mereka bercerai. Akhirnya, Mariamin meninggal karena tidak sanggup lagi menahan segala kesengsaraan itu.
Beberapa kritikus sastra berbicara mengenai novel itu, baik dalam seminar maupun dalam buku atau meia massa. Zuber Usman dalam bukunya Kesusastraan Baru Indonesia (1957) menganggap novel itu adalah novel yang mula-mula terbit. Buku-buku pada masa-masa sebelumnya adalah cerita yang diterbitkan dengan memakai bahasa Melayu rendah dan bahasa daerah, seperti bahasa Aceh, bahasa Minangkabau, bahasa Bugis, dan bahasa Batak. Pendapat itu juga dikemukakan oleh A. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia (1978) yang menyatakan bahwa Azab dan Sengsara adalah novel orisinal yang pertama. Teeuw juga menyatakan bahwa novel itu melukiskan watak-watak dalam bentuk hitam dan putih dan gaya karangan yang merayu-rayu—pengarangnya menghadapi para pembaca secara langsung untuk memberikan komentarnya atas perilaku tokoh.
Dalam bukunya yang berjudul Himpunan Seni Sastra Indonesia (1962), Asis Safioedin menyatakan bahwa novel itu berisi hal-hal dan peristiwa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat, seperti menentang kawin paksa. Karangannya sudah merupakan karangan asli walaupun masih ada bekas jejak kesusastraan lama (bahasa klise).
Pendapat Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969) hampir senada dengan pendapat kritikus yang lain. Azab dan Sengsara adalah novel pertama tentang kawin paksa yang kemudian untuk kurang lebih dua puluh tahun lamanya menjadi tema yang paling digemari dan paling banyak dikemukakan dalam novel-novel Indonesia.
Umar Junus, seorang kritikus sastra Indonesia di Malaysia, dalam bukunya Perkembangan Novel-Novel Indonesia (1974), melihat adanya persamaan motif antara novel Azab dan Sengsara dan Hikayat si Miskin dalam sastra Melayu klasik. Motif tersebut diarahkannya kepada tokoh Sutan Baringin dan Nuria, orang tua Mariamin. Motif itu adalah peristiwa dari kaya, sekaya-kayanya, menjadi miskin, semiskin-miskinnya. Umar Junus juga melihat motif tersebut dalam cerita Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, yaitu jatuh melaratnya Bagindo Sulaiman.