| |
Angin Musim merupakan novel karya H. Mahbub Djunaidi yang diterbitkan oleh Inti Idaju Press, Jakarta pada tahun 1985. Novel dengan ketebalan 176 halaman itu berkisah tentang kehidupan sosial politik manusia yang dilambangkan dengan tokoh seekor kucing. Dikisahkan, seekor kucing pasar tiba-tiba diangkut oleh seorang petugas dari sebuah kertas semen dan dilepas di sebuah bangunan bertembok tinggi. Bangunan itu merupakan sebuah penjara politik. Kucing itu bertugas membantu kucing-kucing lain yang sudah ada dalam penjara untuk menghalau tikus. Setelah menceritakan asal usul kucing itu yang ayahnya adalah kucing peliharaan wedana dan ibunya adalah kucing peliharaan pemborong, kucing itu lalu memulai ceritanya mengenai tahanan-tahanan di penjara itu. Manusia-manusia yang ditahan dalam penjara itu mempunyai berbagai profesi, antara lain mantan wartawan, mantan jenderal, mantan menteri tanpa portofolio, mantan seniman, mantan penyair, mantan pejabat tinggi perusahaan kereta api, dan juga anak-anak muda mantan mahasiswa. Mereka semua ditahan karena menyuarakan hati nuraninya sendiri secara jujur.
Setelah kucing itu melahirkan, diterima kabar bahwa penjara itu akan diubah menjadi hotel dan tahanan-tahanan itu pun bebas sedangkan sang kucing tetap menghuni tempat itu.
Novel Angin Musim ini merupakan sebuah novel yang sarat dengan kritik sosial dengan latar belakang "situasi panas" awal tahun 1980-an di Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Putu Setia dalam resensinya yang berjudul "Angin Musim" yang dimuat dalam majalah Tempo, 42/XV, 14 Desember 1985. Selain itu, Putu juga menyebutkan bahwa pada mulanya keasyikan membaca novel itu bukan disebabkan oleh protes sosial yang ada di dalamnya, melainkan disebabkan oleh kekocakannya.
Tulisan lain yang menyoroti Angin Musim ialah tulisan Budiawan yang dimuat di dalam majalah Mutiara 378, Rabu 30 Juli—12 Agustus 1986. Budiawan menyatakan bahwa gaya bahasa yang kocak, segar, dan ringan, tetapi mengena yang menjadikan pembaca tidak bosan walaupun alur ceritanya sederhana saja. Ditambahkannya bahwa novel itu memang mengajak pembaca untuk tersenyum dan bukan untuk protes ramai-ramai.
Novel itu juga ditanggapi oleh Jakob Sumardjo dalam tulisannya yang berjudul "Angin, Kucing, dan Manusia" dan dimuat di Pikiran Rakyat, Selasa 7 Februari 1986. Dalam tulisannya, Jakob membandingkan Angin Musim dengan Animal Farm karya Goerge Orwell. Menurut Jakob, Animal Farm secara konsisten menceritakan kehidupan binatang yang menyindir kehidupan manusia sementara Angin Musim tidak secara konsisten memakai teknik bercerita semacam itu. Dalam Angin Musim ini terlihat sikap mendua dari pengarangnya, yaitu memakai gaya satire, yang berarti seluruh cerita berkisar tentang dunia kucing dan dunia manusia jika dilihat dari sudut pandang kucing atau cerita sama sekali menggambarkan peristiwa secara realistis menurut pandangan seekor kucing. Jakob juga mengatakan bahwa dari segi ide, novel itu dapat menjadi novel yang bagus. Ide itu ialah bagaimana melukiskan dunia politik Indonesia sekitar tahun 1970-an, jika dilihat dari kacamata seekor kucing.
Budiarto Danujaya menilai novel itu sebagai sebuah ensiklopeia mengenai berbagai segi kehidupan di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Budiarto dalam tulisannya yang berjudul "Ensiklopeia Seekor Kucing: Melihat Indonesia Lewat Penjara" yang dimuat di Kompas, Minggu, 12 Januari 1986. Dalam tulisannya itu, Budiarto mengatakan bahwa novel tersebut memang menumpahkan banyak sorotan mengenai Indonesia. Hal serupa juga muncul dalam Serat Centini yang menampilkan ensiklopeia adat istiadat Jawa. Danujaya mencoba membandingkan Angin Musim dengan Serat Centini sebagai sebuah karya sastra yang sebenarnya hanyalah sebuah bentuk lain dari sebuah ensiklopedia.