Asbari Nurpatria Krisna dikenal sebagai penulis novel pop yang bertepatan dengan saat membanjirnya novel-novel berbau erotik paruh kedua dasawarsa 1960. Dia lahir pada 20 Februari 1943 di Ketanggungan Barat, Brebes, Jawa Tengah. Tempat tinggalnya di Cipinang Cempedak I/10E,Polonia, Jatinegara, Jakarta Timur kemudian ia pindah ke Kompleks PWI Cipinang Muara, Jakarta Timur. Dia mengenyam di pendidikan SGA. Dia sempat kuliah di IKIP Jakarta (FKIP-UI) pada tahun 1962, yang kemudian ditinggalkannya dan masuk lagi tahun 1964 di jurusan yang sama, yaitu Sastra dan Bahasa Indonesia, tetapi tidak sampai selesai. Tahun 1968 ia kembali lagi ke IKIP Jakarta dengan tujuan mengambil Jurusan Seni Rupa, tetapi hatinya lebih cenderung untuk menjadi penulis dan wartawan. Akhirnya, Asbari Nurpatria Krisna memutuskan untuk belajar sendiri sambil menimba ilmu dari orang-orang yang berpengalaman. Selanjutnya, ia mengikuti pendidikan di Akademi Cinematografi Bidang Penyutradaraan selama tiga tahun, tetapi ia merasa bahwa film bukanlah dunianya. Dia tidak pernah merasa tua untuk belajar. Berbagai kursus untuk menambah wawasan pengetahuan terutama yang erat dengan penulisan, selalu diikutinya. Dia menguasai bahasa Inggris secara aktif dan bahasa Jerman, Prancis, dan Italia secara pasif. Dia juga bergiat dalam seni lukis dan seni patung. Bahkan, ia sempat mengadakan pameran bersama Sitor Situmorang di Gedung Kesenian, Pasar Baru, Jakarta.
Tahun 1964—1965 ia bekerja sebagai pembantu surat kabar "Warta Dunia"; tahun 1965 ia membantu RRI Jakarta dalam acara Siaran Kata; tahun 1970 sebagai pembantu di majalah musik Aktuil serta penulis dan wartawan <Sinar Harapan. Tahun 1972 ia bekerja di majalah ekonomi Progress, sebagai editor pariwisata, kegemarannya outdor life. Sekarang ia bekerja sebagai redaktur surat kabar Suara Pembaharuan.
Ayahnya, Rusliani, memegang jabatan sebagai pengawas di pabrik gula. Dunia Barat dikenalnya lewat pemimpin pabrik gula yang berkebangsaan Belanda. Dia menikah dengan Josephine Juju Mandagie (Yuyu A.N. Krisna), gadis Kawanua, yang bekerja sebagai wartawan Progress, pada Rabu 16 Agustus 1972. Pasangan ini dikaruniai tiga orang putra, tertua meninggal dunia, yang kedua Travelino Theofilus dan yang bungsu Rizal Aquino. Dunia buku atau bacaan tak dapat dipisahkan dari pengarang ini. Kedua anaknya diberi bekal dengan bacaan-bacaan yang bermanfaat sehingga masing-masing memiliki perpustakaan. Di setiap sudut rumahnya hanya tampak buku semata.
Asbari mulai menulis tahun 1962, kemudian ia mengembangkan bakatnya dengan banyak menulis cerpen, puisi, esai, novel, dan artikel umum lainnya dalam surat kabar Berita Yudha, Sinar Harapan, Kompas, Intisari, Warta Dunia, dan Berita Minggu serta majalah Tjaraka, Selecta, Lelaki, dan Aktuil. Novel-novelnya diterbitkan oleh Budajata, Bina Sastra, Jakahasta, dan lain-lain.
Ia pernah menyumbangkan karyanya untuk kegiatan pemuda GPIB dalam bentuk oratorium Paskah. Novelnya berjudul Ibu Guru Kami Cantik Sekali laris pada pertengahan tahun 1960-an dan diterbitkan di Malaysia dalam surat kabar Utusan Melayu, kemudian dibukukan. Tahun 1980 novel tersebut difilmkan dan dibintangi oleh Lenny Marlina, serta disutradarai oleh Ida Farida. Asbari bekerja sebagai wartawan yang dimulai sebagai tenaga lepas (free lance). Dia baru bekerja sebagai wartawan tetap pada surat kabar Warta Harian tahun 1971, kemudian ia mendirikan majalah ekonomi Progress dan terakhir bekerja di majalah Aktuil. Asbari adalah salah seorang Pemenang Hadiah Karya Jurnalistik Adinegoro 1982—1983.
Asbari Nurpatria Krisna dikenal sebagai penulis sastra pop erotik. Goenawan Mohamad dalam buku Seks, Sastra, Kita (1980) menyatakan bahwa masalah seks yang dimasukkan ke dalam karya sastra kontemporer merupakan satu bagian logis dari keleluasaan berbuat, satu lanjutan dari kekuasaan dan kekayaan yang tidak sah.
Karya Asbari N.K. adalah (1) Dyah Solidio, (2) Expres Bangkok Singapura, (3) Angin Kumbang, (4) Bulan Bergoyang di Atas Palka, (5) Di Sepanjang Senen Kramat Raya, (6) Ranjang Hiburan, (7) Surat Terakhir Maria, (8) 60 Gerilya Kobokan, (9) Latini, (10) Menerobos Lorong-Lorong Ibukota, (11) Sepi Hati Seorang Perempuan, (12) Ibu Guru Kami Cantik Sekali, (13) Gigolo, (14) Savitri, (15) Suster Ranata, (16) Ambulans, (17) Mama Siapakah Ayahku?, (18) Suatu Hari di Tahun 1948, (19) Lelaki Binal, (20) Bila Telepon Berdering, (21) Surat Pacaran, (22) Ibu Biati, (23) Keranda Merah di Kaki Langit, (24) Bila Saga Mulai Menghitam, (25) Rumah Jahanam di Tengah Kota, (26) Dari Ranjang ke Ranjang, (27) Walsa Tak Tersudahkan (1976), dan (28) Mutiara Hitam (1985).
Tahun 1982—1983 ia memperoleh Tropi Adinegoro untuk karya jurnalistik "Esai Perjalanan Menjelajah Kemiskinan Sesudah 37 Tahun Merdeka". Tahun 1984 ia mendapat hadiah ketiga dan tahun 1985 mendapat hadiah pertama Sayembara Penulisan Novel yang diselengarakan majalah Sarinah di Jakarta.