Afrizal Malna adalah penyair, putra Sutan Malin Bagindo dan Nurjanah. Ia lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (tidak selesai). Dia menikah pertama kali dengan Herawati Hermanu 5 Mei 1984, kemudian dengan Siti Zar'ah dan dikaruniai seorang putra bernama Agharid.
Sejak 1983 hingga 1993, ia banyak menulis teks pertunjukan Teater Sae. Tahun 1995 ia mementaskan pertunjukan seni instalasi (Hormat dan Sampah) bersama Beeri Berhard Batschelet dan Joseph Praba di Solo. Tahun 1996 ia berkolaborasi dengan beberapa seniman dari berbagai disiplin pertunjukan seni instalasi Kesibukan Mengamati Bata-Batu yang diadakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Afrizal pernah mengunjungi beberapa kota di Swiss dan Hamburg untuk melakukan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam rangka pertunjukan Teater Sae (Mei—Juni 1993) yang mementaskan naskahnya. Dia pernah mengikuti baca puisi dan workshop puisi di Den Haag dalam forum penyair Indonesia dan Belanda (1995). Di samping itu, Afrizal juga melakukan diskusi dan baca puisi di beberapa universitas di Koln dan Hamburg (1995), dan mengikuti Poetry Reading International Rotterdam (1996).
Karyanya Abad yang Berlari (1984) mendapat penghargaan Hadiah Buku Sastra dari Dewan Kesenian Jakarta tahun 1984. Karyanya Arsitektur Hujan (1995) mendapat penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia (1996). Selain itu, Afrizal Malna juga mendapat penghargaan Kincir Perunggu untuk naskah monolog dari Radio Nederland Wereldomroep (1981), Republika Award untuk esai dalam Senimania Republika harian Republika (1994), dan esai untuk 30 tahun majalah sastra Horison (1997).
Karya-karya Afrizal selain yang disebutkan yang berupa kumpulan sajak adalah Mitos-Mitos Kecemasan (1985), Yang Berdiam di Mikrofon (1990), Kalung dari Teman (1999), Teman-Temanku dari Atap Bahasa (2008), dan Pada Bantal Berasap (2010). Sajak-sajaknya juga dimuat, antara lain, dalam (1) antologi Perdebatan Sastra Kontekstual (editor Ariel Heryanto, 1986), (2) Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern 4 (editor Linus Suryadi, 1987), (3) Cerpen-Cerpen Nusantara Mutakhir (editor Suratman Markasan, Kuala Lumpur, 1991), (4) Dinamika Budaya dan Politik (editor Fauzie Ridjal, 1991), (5) Traum der Freiheit Indonesien 50 Jahre nach der Unabhangigkeit (editor Hendra Pasuhuk dan Edith Koesoemawiria, Koln, 1995), (6) Ketika Warna Ketika Kata (editor Taufiq Ismail, 1995). Selain itu, beberapa cerpennya dimuat dalam antologi cerpen sebagai berikut (1) Pistol Perdamaian: Cerpen Pilihan Kompas 1996 (1996), (2) Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan: Cerpen Pilihan Kompas 1997 (1997), (3) Frontiers of World Literature (Iwanami Shoten, Publishers, Tokyo, 1997; dalam bahasa Jepang), (4) Poets, Friends Around the World (Mitoh-Sha, Tokyo, 1997), dan (5) Menagerie 3 (John H. Mc Glynn, 1997).
Pada tahun 2000 kumpulan esainya yang kemudian dikemas menjadi sebuah terbitan dengan judul Sesuatu Indonesia: Esai-Esai dari Pembaca Tak Bersih. Dalam buku tersebut terbaca pemikiran Afrizal tentang berbagai hal yang terkait dengan sajak tahun 1930-an hingga yang mutakhir. Selain itu, terbit pula beberapa cerpen dan cerita panjang (novellet) yang memperlihatkan keunikan Afrizal Malna.
Abdul Hadi WM (1984) menyatakan bahwa di antara penyair yang muncul akhir '70-an hingga awal '80-an Afrizal Malna tak dapat disangsikan lagi merupakan salah seorang yang terkenal. Dinyatakannya lebih lanjut bahwa studi filsafat yang diperolehnya dari STF Drijarkara rupanya tidak sia-sia karena hampir seluruh sajaknya sangat falsafati, suatu hal yang jarang kita jumpai pada penyair lain yang sebaya dengannya. Dari Freud yang diikutinya (Sutardji Calzoum Bachri). Afrizal Malna berjalan lebih jauh lagi membuka pintu persajakan baru yang khas miliknya. Dia telah menemukan bahasanya sendiri yang unik dan khas.
Dalam catatan Tuti Guntini, wartawan Sinar Harapan dinyatakan bahwa dalam pembacaan sajak Afrizal Malna "Mitos-Mitos Kecemasan" di TIM 28 Oktober 1985, H.B. Jassin geleng-geleng kepala sambil berkomentar bahwa sajak-sajak Afrizal dahsyat. Rachmat Djoko Pradopo menggolongkan Afrizal Malna sebagai penyair berjenis surealisme. Lebih lanjut dinyatakannya bahwa tanpa dikotak-kotakkan, tiap penyair sebenarnya telah pernah memasuki alam surealisme, tidak saja Zawawi Imron atau Afrizal Malna, juga Sutardji Calzoum Bachri maupun Sapardi Djoko Damono. Tapi memang, Afrizal Malna tidak saja pernah memasuki surealisme tetapi hampir semua sajaknya berbau itu.