Eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang menganut paham bahwa tiap orang harus menciptakan makna di alam semesta yang tak jelas, kacau, dan tampak hampa ini. Eksistensialisme berasal dari kata "eksistensi" dengan akar kata eks "keluar" dansistensi "berdiri", menempatkan (diturunkan dari kata kerja sisto). Oleh karena itu, kata "eksistensi" diartikan: manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada.
Yang dianggap sebagai pelopor atau bapak eksistensialisme adalah Soren Aabye Kierkegaard (1813—1855). Namun juga tidak dapat diingkari adanya pengaruh filsafat lain terhadap eksistensialisme, yaitu fenomenologi dari Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844—1900), Edmund Husserl (1859—1941), Nicolas Alexandrovitch Berdyaev (1874—1948), Karl Jaspers (1883—1969), Jean-Paul Sartre (1905--1980), dan metafisika modern.
Pokok-pokok filsafat eksistensialisme adalah
-
menganggap bahwa hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi merupakan cara khas manusia mengada. Perhatian utama diarahkan pada manusia dan oleh karena itu, filsafat ini bersifat humanistis,
-
bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Pengertian bereksistensi berarti bahwa manusia menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi dan merencanakan,
-
manusia ditinjau sebagai "sesuatu" yang terbuka dan manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk, dan
-
filsafat ini memberi tekanan pada pengalaman yang konkret yang berbeda-beda. Martin Heidegger (1889—1976) memberi tekanan pada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu. Dikatakan oleh Heidgger bahwa di dalam kesibukan dan kecintaan untuk memelihara manusia merasa cemas akan ketiadaan karena ketiadaan ini mengancam ada. Kematian ini adalah akhir yang selalu hadir, maka eksistensi manusia adalah eksistensi yang menuju ke kematian. Gabriel Marcel (1889 –1973) memberi tekanan pada pengalaman keagamaan dan hal yang transendental. Ini ditunjukkan melalui ajarannya mengenai adanya "Engkau yang tertinggi", yang tidak dapat dijadikan obyek oleh manusia. Karl Jaspers (1883—1969) memberi tekanan pada pengalaman saling pertentangan dalam eksistensi yang sulit didamaikan. Eksistensi masih mengandung di dalamnya hal-hal yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah. Sifat-sifat hakiki eksistensi ini lebih-lebih dialami dalam situasi perbatasan yang tidak dapat dihindari yaitu kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan. Jean Paul Sartre (1905—1980) memberi tekanan pada kebebasan manusia. Manusia tidak lain daripada bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. "Man is nothing else but what he makes of himself". Maka manusia itu bebas dalam arti yang sebenarnya, ia menciptakan masa depannya dan karena itu ia bertanggung jawab bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Tanggung jawab ini tidak dapat dibebankan kepada orang lain ataupun Tuhan.
Gerakan pemikiran eksistensialisme ini dipandang sebagai reaksi balik terhadap kecenderungan idealisme dan kecenderungan sistem dan penghancuran manusia yang mewarnai Eropa awal abad XX. Dalam karya sastra di Indonesia, Iwan Simatupang dengan novelnya Ziarah yang absurd menampilkan warna eksistensialisme. Masalah ini disajikan dengan cara yang mengagumkan. Pemikiran dan sikap eksistensialisme terungkap juga dalam puisi Chairil Anwar dan dalam beberapa puisi Sitor Situmorang, seperti "Catedral des Chartes". Dick Hartoko pernah mengulas pikiran eksistensialisme Chairil Anwar. Selain itu, Mangunwijaja pernah mengulas karya Kuntowijoyo Khotbah di Atas Bukit dan karya Putu Wijaya Telegram dalam Sastra dan Religiusitas yang menyimpulkan bahwa kedua karya pengarang itu memperlihatkan ciri eksistensialisme dalam sastra.
Dick Hartoko dalam Tonggak Perjalanan Budaya mengatakan "… filsafat eksistensialistis tidak merupakan satu aliran filsafat yang bulat, yang tunggal dan monolistis, seperti kita dapat berbicara tentang filsafat Aristoteles, Plato atau Hegel. Di bawah judul eksistensialisme bernaunglah macam-macam aliran dan macam-macam tokoh, yang kadang-kadang saling berlawanan yang sering dalam pergaulan sehari-hari disebut pandangan eksistensialistis adalah filsafat Jean Paul Sartre, salah satu dari filsuf-filsuf eksistensialistis. Bahkan Sartre bukanlah tokoh utama aliran ini, apalagi tokoh yang paling representatif (1986)".
Lebih lanjut Dick mengatakan "pada umumnya filsafat dan pandangan eksistensialis di sini baru mulai diketahui di Indonesia sesudah Perang Dunia II, tegasnya sesudah perjuangan kemerdekaan kita selesai, jadi sesudah tahun 1949. Namun, sekalipun pengaruh dari luar tak dapat ditunjukkan, faktumnya ada, bahwa dalam karya Chairil (Chairil Anwar) kita dengar nada-nada yang membuat kita teringat akan pandangan eksistensialis (1986)".