Gedung Kesenian Jakarta berlokasi di Jalan Segara, kawasan Pasar Baru (Passer Baroe), Jakarta Pusat. Gedung tersebut diresmikan pada tanggal 7 Desember 1821 dengan nama Schouwburg Weltevreden atau Comidiegebouw yang masih berdiri megah hingga sekarang. Pembangunan gedung bergaya Romawi yang menghabiskan biaya sekitar 60.000 gulden itu diprakarsai oleh para anggota perkumpulan tonil Ut Desint yang tahun 1820 mencapai puncak ketenaran. Hanya dalam waktu setahun gedung tersebut telah diselesaikan. Pada malam perdana peresmiannya Ut Desint mementaskan tonil "Othelo" dan "Penabuh Genderang" karya Williem Shakespeare.
Sebelum Schouwburg Weltevreden dibangun, di lahan itu berdiri gedung Teater Militer Weltevreden yang dibangun oleh Gubernur Jendral Belanda, Daendels, kemudian direalisasikan oleh Gubernur Jendral Inggris , Thomas Stamford Raffles bersama sekelompok tentara Inggris pada tahun 1814. Gedung itu pada mulanya bernama Municipel Theatre, Schouwburg, atau dengan lebih populer disebut "Gedung Komidi". Di zaman Jepang disebut dengan Kiritsu Gehitrzyoo, lalu berubah menjadi bioskop Dana dan City Theatre.
Masa jaya teater Inggris dengan Gedung Teater Militernya hanya berlangsung sampai tahun 1816. Karena mengalami kekalahan dari Belanda, tentara Inggris harus meninggalkan Batavia sehingga "Bamboe Teater" itu beralih ke tangan para seniman panggung bangsa Belanda. Dalam bangunan Bamboe Teater itulah tanggal 21 April 1817 terbentuk perkumpulan teater Ut Desint. Empat tahun kemudian para anggota perkumpulan itu membongkar bangunan tersebut dan mendirikan sebuah gedung kesenian yang ideal dan permanen. Keberadaan gedung itu selain mengangkat gengsi kota Batavia juga dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni pertunjukan. Beraneka ragam acara seperti pertunjukan, opera, musik klasik, tari dan nyanyi, serta sirkus dan sulap, yang sebagian besar diselenggarakan oleh grup orang kulit putih, berlangsung hingga akhir Pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1906 rombongan sandiwara pimpinan Louis Bouwmeester, aktor terkenal di seluruh Eropa, mengadakan pergelaran di gedung ini. Selain itu, beberapa grup terkenal pimpinan Von de Wall atau Victor Ido, Jan Fabricius, dan Louis Couperus sering tampil di gedung ini.
Bangunan yang mampu menampung 250 orang itu tidak pantas disebut "gedung" karena dindingnya terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan beratap alang-alang. Oleh karena itu, orang Belanda menyebutnya "Bamboe Theater". Di gubuk itulah tentara Inggris dapat menyaksikan pementasan tonil karya Shakespeare, yang dimainkan oleh para pemain amatir, yang membentuk perkumpulan sandiwara pada tahun 1812.
Pada masa penjajahan Jepang gedung itu bernama Kiritsu Gehitzzyoo kemudian berubah menjadi Bioskoup Dana dan City Theatre. Gedung ini tetap berfungsi sebagai tempat pementasan tonil dan berbagai acara hiburan lainnya, tetapi juga dipakai sebagai markas tentara Jepang. Dengan halus Jepang melakukan propaganda lewat kesenian. Pembentukan Sendenbu (Barisan Propaganda) dan Keimin Bunka Shidosho (Badan Urusan Kebudayaan) dimaksudkan agar orang Indonesia bergabung dengan perkumpulan sandiwara bentukan Jepang itu. Istilah tonil yang berasal dari bahasa Belanda tooneel diganti dengan sandiwara, Schouwburg Weltevreden diganti dengan Gedung Komidi Pasar Baru (Passer Baroe). Dalam waktu singkat bermunculanlah grup sandiwara dan bintang panggung yang secara bergiliran diberi kesempatan beraksi di gedung pertunjukan yang paling ideal pada zaman itu.
Setelah Indonesia merdeka, gedung itu berubah fungsi menjadi ruang kuliah mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia dan gedung bioskop. Dalam perkembangannya, nama Gedung Komidi diganti dengan Gedung Kesenian dan digunakan secara aktif walaupun kondisinya sudah agak rusak. Pada awal tahun 1970-an Gedung Kesenian sudah jarang digunakan karena telah ada tempat pertunjukan baru di kompleks Taman Ismail Marzuki. Pada tahun 1987 Gedung Kesenian dipugar secara besar-besaran. Pada peringatan ulang tahunnya yang ke-6 setelah pemugaran, yaitu tahun 1993, Study Club Teater Bandung mementaskan tonil "Karina Adinda" karangan Victor Ido. Sampai sekarang Gedung Kesenian Jakarta masih digunakan untuk mementaskan beragam bentuk kesenian, baik kesenian modern maupun tradisonal.
Selanjutnya, kegiatan untuk menyambut Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) menghadirkan Jakarta Anniversary Festival IV—2006 yang berlangsung dan tanggal 9—26 Juni 2006, diawali dengan program Pra Festival: Teater Boneka dari Perancis, Preworld Choir dari Bandung dan Jakarta. Mengenang 250 tahun Mozart bersama Yayasan Pendidikan Musik (YPM) dan Tari Kontemporer "Allegoria Stanza" dari Perancis.
Gedung Kesenian Jakarta, pada tanggal 9—26 Juni 2006 mengadakan Jakarta Anniversary Festival (JAF) adalah sebuah forum pesta seni pertunjukan untuk kesenian urban yang berlangsung setiap tahun dalam rangka memperingati ulang tahun kota Jakarta. Kegiatan ini merupakan program khusus GKJ yang menampilkan keragaman kesenian terpilih dari dalam hingga luar negeri yang berbasis pada seni urban. Selain kegiatan pesta seni, forum ini diharapkan menjadi wahana dialog budaya yang dapat membangun keakraban antarbangsa.
Gedung Kesenian Jakarta pada hari Jumat—Sabtu, 16—17 Juni 2006, pukul 20.00 Wib. Diselenggarakan acara Sandiwara SMAS, "Short Marriage Simple" (Kawin Yuuk…!); Saduran naskah "Perkawinan" karya Nikolai Gogol; dan sutradara: Ucok Siregar.
Pada hari Selasa, 20 Juni 2006, pukul 20.00 Wib. STSI Bandung menampilkan teater wayang Sunda dengan lakon MORHER "Kunti", direktur artistik. Arthur S. Nalam S.Sen, M.Hum, dan tim kreatif, Sis Triadji S. Sen, Joko Kurnaen, Cahaya Hedy S. Sen, M. Hum, Suhendi Afriyanto S. Kar, MM, Didin Rasidin S. Sen, M. Hum (Kunti sebagai ibu para ksatria, dihadapkan pada dilema batin yang dahsyat. Dua anaknya Arjuna dan Karna minta diri didoakan untuk Jaya Perang. Kunti berdoa untuk keduanya.
Pada hari Minggu, 25 Juni 2006, pukul 16.00 Wib. Teater Tanah Air menampilkan "WOW", sebuah tontonan teater visual. Skenario tontonan ini disusun oleh Putu Wijaya, dengan sutradara: Jose Rizal Manua. Pemain sandiwara tersebut, antara lain, adalah Nuansa Ayu Jawadwipa, Achmad Fadillah, Patnayanadi Paramita, Nusa Kalimasada, Nurria Animbung Ganes, Niken Flora Rinjani, dan Ita Jayanti Puspitasari; Pimpinan Prosensi: Alika Chandra. "Wow" merupakan tontonan penuh musik, gerak, tari, tata cahaya, dan berbagai situasi serta dinamika kreativitas seni layar.