A. A. Navis, yang nama lengkapnya Ali Akbar Navis, lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatra Barat pada 17 November 1924 dan meninggal pada 22 Maret 2003 di Padang setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. A. A. Navis menikah dengan Aksari Yasin tahun 1957 dan dikaruniai tujuh orang anak, yaitu Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini. Julukan yang diberikan pada Navis adalah "pencemooh nomor wahid" dan "sastrawan satiris ulung". Julukan itu muncul dalam berbagai tulisan tentang Navis, antara lain sebagaimana yang muncul dalam majalah Sastra, Volume I, Edisi 3 Juli 2002. Gelar sebagai "pencemooh nomor wahid" atau "satiris ulung" itu tentu saja berkorelasi dengan gaya penulisan dan penggambaran karakter tokoh-tokoh yang kritis terhadap berbagai persoalan kehidupan dalam karya-karyanya.
Sejak cerpen pertamanya "Robohnya Surau Kami" terbit dalam majalah Kisah tahun 1955, Navis mengejutkan pembaca sastra Indonesia dengan sindiran yang amat tajam terhadap pelaksanaan kehidupan beragama, disusul dengan novelnya yang berjudul Kemarau (1967). Novel ini menggambarkan bagaimana konyolnya manusia-manusia dalam menghadapi cobaan dari Tuhan, yaitu kemarau yang panjang. Penggambaran seperti itu muncul lagi dalam cerpennya yang berjudul "Jodoh". Berbagai cemoohan terhadap tradisi, takhyul, rendahnya kedudukan perempuan, serta gaya hidup hedonis dengan menghamburkan uang untuk perhelatan sebagai "keharusan sosial" juga mewarnai karya-karyanya.
Setelah menamatkan pendidikan terakhir di Perguruan Indonesche Nederlandsche School (INS) Kayutanam tahun 1946, berbagai pengalaman dalam hal pekerjaan mengisi perjalanan hidupnya. Tahun 1944—1947, Navis menjadi pegawai pabrik porselen di Padang Panjang. Tahun 1955—1957 ia menjadi Kepala Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan Sumatra Barat di Bukittinggi. Tahun 1969 Navis diangkat sebagai Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam. Tahun 1971—1972 cerpenis ini menjabat Pemimpin Redaksi Harian Umum Semangat. Selanjutnya, pekerjaan yang ditekuninya adalah sebagai anggota DPRD Sumatra Barat periode 1971—1982. Sejak habis masa jabatannya sebagai anggota DPRD dan mengundurkan diri sebagai dosen luar biasa di Fakultas Sastra, Universitas Andalas, ia mencurahkan pikirannya untuk menulis.
Kepengarangan Navis berawal dari kegemarannya membaca sejak usia SD. Sejak SD ia sudah berkenalan dengan filsafat, sejarah Islam, dan cerita-cerita pendek. Pada waktu itu ia belum mempunyai keinginan untuk menjadi pengarang. Yang ada di benaknya adalah ia akan menjadi seorang pelukis atau pematung. Niat menulis muncul sejak ia membaca cerpen karya Hamka yang secara teratur dipublikasikan dalam Pedoman Masyarakat. Pertanyaan yang secara teratur menggodanya setelah membaca karya Hamka adalah "orang lain bisa menulis mengapa saya tidak?" Motivasi ini mendorongnya untuk menulis.
Cerpen "Robohnya Surau Kami" sejak dipublikasikan dalam majalah Kisah tahun 1955 mendapat tanggapan yang luar biasa, baik dari pembaca umum maupun kritikus sastra. Robohnya Surau Kami sudah diterjemahkan ke dalam empat bahasa (Inggris, Jerman, Perancis, dan Jepang). "Robohnya Surau Kami" kemudian dijadikan judul dalam kumpulan cerpen-cerpen Navis. Setelah Robohnya Surau Kami, karya Navis lainnya bermunculan, seperti Bianglala (kumpulan cerpen) terbit tahun 1963, Hujan Panas (kumpulan cerpen) terbit tahun 1964, Kemarau (novel) terbit tahun 1967, Saraswati, si Gadis dalam Sunyi (novel) terbit tahun 1970 dan tahun 2002 diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama, Dermaga Empat Sekoci (kumpulan sajak) terbit tahun 1975, Hujan Panas dan Kabut Musim (kumpulan cerpen) terbit tahun 1990, Beratnya Kerbau pada Sekoci (kumpulan cerpen) terbit tahun 2001, Kabut Negeri Si Dali (kumpulan cerpen) terbit tahun 2002.
Minat pokok Navis yang menjadi tema-tema karya-karyanya berkisar di seputar masalah manusia dan kemanusiaan seperti penderitaan, kegetiran, kebahagiaan, dan harapan. Warna lokal atau kedaerahan Minangkabau yang kuat merupakan sisi lain yang menarik dalam karya Navis. Melalui karya-karyanya, Navis berhasil menempatkan idiom-idiom lokal Minangkabau dengan tetap menempatkannya dalam konteks yang lebih luas, yakni persoalan bangsa dengan konsep yang universal. Misalnya, cerpen "Robohnya Surau Kami", menampilkan warna Minangkabau yang kental, tetapi persoalan yang diangkatnya adalah persoalan agama dan fungsi ulama yang kian terpinggir dalam masyarakat modern. Di samping itu, Navis juga banyak menggunakan kata dan rasa bahasa yang sangat kental oleh budaya Minangkabau.
Hal lain yang patut dikemukakan dari karya-karya Navis adalah adanya dialog-dialog yang tampil menarik, latar sosial yang digarap secara meyakinkan, dan berbagai masalah orang Minang yang merupakan suatu hal yang dianggap penting. Hal tersebut dipandang penting karena mencuatkan pergulatan hidup-mati antara struktur sosial yang umum berlaku dan tuntutan kuat akan perubahan pada kehidupan masyarakat Minang itu sendiri. Hal itu tampak sangat jelas dalam ajakannya untuk berusaha keras dalam memenuhi kebutuhan hidup, penggunaan akal dan ilmu pengetahuan dalam mengubah nasib, dan meningkatkan taraf kehidupan. Semua itu dapat dilihat dalam novelnya yang berjudul Kemarau. Kekuatan karya Navis tidak saja terletak pada gaya pengucapannya, tetapi juga tampak pada isi dan pemaknaannya.
Selain karya kreatif, Navis juga menghasilkan beberapa karya nonkreatif, antara lain Alam Terkembang Jadi Guru yang diterbitkan tahun 1985. Buku itu terkenal sebagai referensi dalam mempelajari adat dan tradisi Minangkabau. Buku lainnya yang ditulisnya berupa biografi, yaitu biografi Mohammad Syafei dengan judul Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Syafei tahun 1996 dan Biografi Hasyim Ning diterbitkan dengan judul Pasang Surut Pengusaha Pejuang terbit tahun 1986. Selain itu, A.A. Navis juga mengumpulkan sejumlah 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999).
Sebagai sastrawan, A.A. Navis telah meraih sejumlah penghargaan atas karya-karya yang dihasilkannya, antara lain (1) "Robohnya Surau Kami" dinobatkan sebagai cerpen terbaik majalah Kisah tahun 1955. (2) "Saraswati, si Gadis dalam Sunyi" ditetapkan sebagai cerpen remaja terbaik oleh Unesco/Ikapi tahun 1988, (3) Tahun 1970 Navis memperoleh penghargaan dari Radio Nederland pada acara sayembara menulis cerpen Kincir Emas atas cerpennya yang berjudul "Jodoh", (4) Tahun 1971 memperoleh penghargaan dari majalah Femina untuk cerpennya yang berjudul "Kawin", (5) Tahun 1988 mendapat anugerah Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (6) Tahun 1992 memperoleh Hadiah Sastra South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand, dan (7) Tahun 2000, A.A. Navis memperoleh Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia.
Tidak hanya itu, cerpen-cerpennya pun selalu terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas. Sejak tahun 1992 hingga tahun 2002 cerpen Navis selalu terpilih menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas, misalnya dalam kumpulan cerpen pilihan yang berjudul Kado Istimewa dan Jejak Tanah. Terakhir, cerpennya juga terpilih sebagai salah satu cerpen yang dimuat dalam kumpulan cerpen Kurma: Kumpulan Cerpen Puasa Lebaran (Kompas, 2002).
Selama 50 tahun berkarya dapat dicatat bahwa A.A. Navis telah menghasilkan sekitar 23 judul buku. Jumlah itu belum termasuk karyanya yang ditulis bersama sastrawan lain berupa antologi yang ditulis lebih dari 70 judul cerpen yang tersimpan rapi dalam perpustakaan pribadinya. Dua cerpennya "Baju di Sandaran Kursi" dan "Segumpal Malam di Pulau Musang" yang pernah dipublikasikan dalam majalah Roman tahun 1957 tidak ditemukan arsipnya. Menjelang akhir hayatnya, Navis masih tetap berkarya.