Sastrawan Malioboro merupakan sebutan yang diberikan oleh Farida Soemargono dalam disertasinya (2004) terhadap komunitas sastrawan (dan seniman) yang mangkal di sepanjang Jalan Malioboro, Yogyakarta, pada tahun 1960-an. Identitas sebagai komunitas sastrawan Malioboro dilekatkan pada mereka karena di tempat itulah mereka berdiskusi dan menggali ide-ide cemerlang yang kemudian dituangkan ke dalam karya sastranya.
Dalam kaitannya dengan Yogyakarta sebagai salah satu lahan subur tempat semai, tumbuh, dan berkembangnya sastra Indonesia menjadi alternatif lain dari Jakarta sebagai pusat kesusastraan Indonesia, memunculkan komunitas sastrawan Yogyakarta, yang menurut istilah Soemargono (2004) disebut sebagai "sastrawan Malioboro".
Pada kasus sastrawan Malioboro, pembentukan komunitas tersebut sesungguhnya tidak berupaya untuk mengkontraskan diri mereka dengan kelompok di luar mereka, baik komunitas Jakarta maupun komunitas lain yang mungkin berada di Yogyakarta. Pembentukan komunitas tersebut hanya sebagai wadah bagi berkumpulnya sastrawan-sastrawan, dan juga seniman lain—seperti pelukis, pematung, pemusik, drawawan atau teaterawan, dan penari—yang berada di Yogyakarta yang datang dari berbagai daerah di Indonesia, atau lebih khususnya seniman-seniman yang mangkal di Malioboro. Karena itu pula, hasil karya mereka cukup kental dengan budaya Jawa, setidak-tidaknya karya mereka memberikan warna lokal Jawa.
Apabila dikaitkan dengan sastra sebagai konstruksi sosial yang menawarkan perspektif yang berbeda dan memberikan representasi diri yang berbeda dari stereotipe lainnya, identitas budaya oleh sastrawan-sastrawan Malioboro tersebut muncul tidak sekadar sebagai "warna lokal", tetapi sebagai suatu ekspresi budaya yang menggugat atau menawarkan alternatif terhadap citraan yang beredar di masyarakat.
Identitas budaya seperti itulah yang ditawarkan dan dicoba untuk dikukuhkan oleh para sastrawan Malioboro. Meskipun para sastrawan Malioboro sebagian besar berasal dari beragam etnis, misalnya Nasjah Djamin, Motinggo Busye, A. Bastari Asnin, dan Idrus Ismail, seperti telah disinggung di depan, mereka ternyata cukup fasih mengungkap kultur Jawa, terutama kehidupan sosial budaya yang terjadi di sekitar Malioboro—yang merupakan jantung kehidupan kota Yogyakarta. Dengan demikian, komunitas sastrawan Malioboro mencoba untuk menciptakan sebuah kantung sastra Indonesia dan sebagai alternatif lain yang berpusat di Jakarta (Jakarta sentris) yang pada masa itu menunjukkan dominasinya.
Iklim pergaulan kepengarangan di Yogyakarta yang kondusif, kompetitif, dan kental serta tradisi kejawaan yang masih hidup dengan subur dan menjadi pola hidup masyarakat Yogyakarta membuat Yogyakarta menjadi salah satu pusat sastra. Warung-warung kecil di pinggir jalan (angkringan), kehidupan di sepanjang jalan Malioboro, dan sikap hidup masyarakatnya yang nrima 'menerima hidup apa adanya', misalnya, merupakan "lahan riset" yang tiada habis untuk digali dan diungkapkan ke dalam sebuah karya sastra. Di tempat itu pula para sastrawan (dan calon sastrawan) dari luar daerah menemukan suasana yang lain dari suasana di daerah asal masing-masing. Dalam kaitan ini, Farida-Soemargono (2004) yang membicarakan para pengarang dari Sumatra mengatakan bahwa para pengarang yang sering bertentangan dengan lingkungan mereka justru diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa (Yogyakarta) yang sebenarnya asing bagi mereka. Itulah sebabnya, lanjut Farida-Soemargono, yang membuat sastrawan dari luar Jawa, seperti Nasjah Djamin, akhirnya membaur dalam lingkungan Jawa dan menemukan keseimbangan baru yang tidak didapatkannya di tanah kelahirannya. Seperti dikemukakan oleh Habeyb (1967), pada periode akhir 1950-an atau awal 1960-an, sebagaimana halnya dengan sastrawan-sastrawan muda Jakarta menggem-bleng dan menempa diri menceburi kehidupan di warung-warung kopi Senen, sastrawan muda di Yogyakarta pada waktu yang bersamaan juga terjun dalam kehidupan rakyat jelata di emper-emper toko dan warung-warung sepanjang Malioboro. Berkat "turun ke bawah" atau turba ini (yang sebetulnya bukan turba karena pada dasarnya mereka memang adalah oknum-oknum "rakyat bawahan" juga), sebagian besar sastrawan-sastrawan muda pada era 1960-an tidak menjadi "sastrawan salon" atau sastrawan di menara gading yang hanya mengenal buku-buku falsafah asing dan menjadi sastrawan yang ber-texbook thinking. Sastrawan-sastrawan muda tersebut mengenal dirinya, jiwa dan manusia, yang ditimba dari sumur asli kehidupan itu sendiri. Beberapa di antara sastrawan muda tersebut terdapat nama Kirdjomuljo, Idrus Ismail, Adjib Hamzah, Hadjid Hamzah, Nasjah Djamin, A. Bastari Asnin, dan Motinggo Busje yang dikenal sebagai kelompok sastrawan Malioboro. Kisah-kisah yang berkaitan dengan hal tersebut tampak jelas dalam dua kumpulan cerita pendek karya Nasjah Djamin, yakni Di Bawah Kaki Pak Dirman dan Lenganglah Hati di Malioboro, keduanya diterbitkan oleh Dian (Yogyakarta) pada tahun 1967.