Puisi Gelap merupakan puisi yang banyak mengandung majas, kias, dan lambang yang bersifat pribadi sehingga sulit untuk dipahami maknanya. Bentuk puisi seperti itu sifatnya terlalu pribadi sehingga pembaca kesulitan menafsirkan maknanya secara jelas karena maknanya tersembunyi dan bertingkat-tingkat, serta mengandung keruwetan dan kerumitan pemikiran atau ketiadaan makna sama sekali.
Dalam Puisi Gelap, penyair sengaja menyatakan suatu maksud atau pengertian dengan menggunakan lambang-lambang, kiasan-kiasan, bentuk tipografis, dan dengan menggunakan kalimat yang tidak langsung menyatakan maksudnya. Kata-kata yang digunakannya pada umumnya adalah kata-kata yang disertai konotasi dan memakai simbol-simbol pribadi.
Bentuk puisi seperti itu disebut dengan istilah puisi hermetis atau puisi tertutup. Puisi seperti itu merupakan ekspresi perseorangan dan bersifat curahan perasaan.
KUTULIS SEDIH LAUT
Kutulis sedih laut
pada wajah gelombang
lumut gelisah
di ketiak karang
Kutulis kemarau daratan
pada putih tulang
kota-kota sangar
membakar seribu bulan
(Maman S. Taswie dalam Zaidan, 1991)
Pengarang ingin berkomunikasi dengan pembaca, tetapi pembaca tidak menangkap apa yang dikomunikasikan oleh pengarang melalui sajaknya itu. Puisi gelap dimulai dari era kepenyairan Amir Hamzah pada sekitar tahun 1930-an. Amir Hamzah banyak menggunakan majas, terutama metafora, dan lambang yang sifatnya pribadi. Orang yang pertama kali menyebut istilah puisi gelap adalah Chairil Anwar dalam esainya berjudul "Hoppla" (dimuat dalam majalah Pembangoenan Tahun I Nomor 1, 10 Desember 1945). Esai Chairil Anwar itu kemudian dimuat dalam buku H.B. Jassin Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Gunung Agung, cetakan pertama 1956, cetakan kedua 1959).
Sajak-sajak Amir Hamzah yang amat terkenal dalam kumpulan sajak Nyanyi Sunyi banyak mengungkapkan majas-majas yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, Chairil Anwar menyebutnya sebagai "puisi gelap" (duistere poezie). Penjelasan Chairil tentang puisi gelap tersebut sebagai berikut.
"Puisi Amir Hamzah dalam Nyanyi Sunyi ialah yang dinamakan "puisi gelap" (duistere poezie). Maksudnya: kita tidak akan bisa mengerti Amir Hamzah jika membaca Nyanyi Sunyi sonder pengetahuan tentang sejarah dan agama karena kalimat-kalimat Amir di sini mengenai misal-misal serta perbandingan-perbandingan dari sejarah dan agama (ke-Islam-an) (Jassin, 1959).
Sebagai contoh adalah sajak "Padamu Jua" yang di dalamnya terdapat ungkapan-ungkapan sebagai berikut seperti: "kandil kemerlap", "pelita jendela di malam gelap", "rindu rupa rindu rasa", "kata merangkai hati", "Engkau cemburu, engkau ganas, mangsa aku dalam cakarmu, bertukar tangkap dengan lepas", "Engkau pelik penarik angin bagai dara di balik tirai". Ungkapan seperti itu merupakan lambang dan majas yang sifatnya pribadi, bukan umum. Hanya penyairnya yang dapat mengerti makna ungkapan tersebut.
Pada tahun 1980-an banyak ditemukan puisi-puisi gelap seperti yang ditulis Afrizal Malna dan Kriapur. Abdul Hadi W.M. (1988) menyebutkan bahwa sajak-sajak Kriapur bukan menggunakan kata-kata klise, tapi tampak aneh dan gila. Ungkapan seperti "bulan pecah berantakan" dan "kupahat mayatku di dasar air" adalah majas dan lambang yang bersifat pribadi sehingga gelap maknanya.
Iwan Fridolin dengan tulisannya yang berjudul "Impian dan Luka Sejarah" berpendapat bahwa secara umum puisi gelap dapat dikatakan sebagai sebuah puisi yang maknanya tersembunyi, sukar, atau tidak ada kemungkinan untuk dipahami. Ia mungkin menyajikan makna yang bertingkat-tingkat, keruwetan dan kerumitan pemikiran atau ketiadaan makna sama sekali. Hal ini biasanya ditandai oleh penggunaan gaya eliptik, metafor, alusi dan referensi yang muskil, bentuk tipografis, bahasa arkhaik atau berbunga-bunga, serta citraan atau simbol pribadi.