"Banjir Roman" merupakan judul artikel, atau sekurang-kurangnya bagian artikel yang mengungkapkan keprihatinan atas munculnya roman yang mengusung selera rendah dalam jumlah yang besar. Banjir roman menjadi suatu peristiwa yang merujuk pada sebuah kondisi penerbitan roman-roman di Medan sekitar tahun 1930-an─1940-an. Saat itu di kota Medan dan sekitarnya terbit roman-roman yang berisi kisah-kisah yang kemudian dikenal sebagai roman picisan. Sebenarnya, gejala penerbitan semacam itu telah ada sejak kita menggunakan aksara Latin, terutama dilakukan oleh kalangan peranakan Tionghoa. Namun, tampaknya baru menjadi persoalan penting ketika karangan jenis itu ditulis oleh pengarang-pengarang pribumi dan diterbitkan oleh penerbit partikelir dan dinyatakan oleh beberapa kritikus sastra bahwa jumlah roman-roman tersebut banyak sekali. Bukti bahwa telah terjadi "banjir roman" juga muncul dalam tulisan yang berjudul Volksbibliothek yang mengatakan bahwa "sebagai salah seorang langganan dari Openbare bibliotheek, kita coba berkali-kali membolak-balik katalogus bibliotheek tersebut, akan tetapi akhirnya kita mendapat indruk bahwa 90% dari buku-buku yang tersedia di situ hanya buku-buku roman belaka dan cuma 10%, bahkan barangkali tidak cukup, yang bersangkutan dengan 'ilmu pengetahuan, sejarah, literatur, dan lain-lain."
Pada artikel "Memperkatakan Roman" yang ditulis oleh Riphat S dan dimuat di majalah Pedoman Masjarakat, Nomor 3/VI, 17 Januari 1940 disebutkan bahwa "Benar sekali bahwa di kota Medan sedang hidup dengan suburnya majalah-majalah roman, sehingga ada yang sampai mempunyai oplaag 5.000 eksemplar sekali terbit sedang terbitan tiga kali sebulan jadi 1.500 eksemplar per bulan dan ada pula yang mempunyai oplaag 4.000 dan terbit dua kali sebulan, jadi 8.000 eksemplar sebulan dan ada pula yang lain-lain bahwa yang bakal menerbitkan masih ada tiga lagi". Hal serupa juga muncul pada tulisan berjudul "Di Sekeliling Soal Banjir Roman" yang dimuat dalam majalah Pandji Islam, Nomor 6, 12 Februari 1940. Perdebatan mengenai "banjir roman" sendiri ada dalam beberapa majalah serta surat kabar yang terbit pada masa itu, antara lain Adil di Solo, Mutiara di Yogya, Al Lisan di Bandung, Pandji Poestaka di Betawi, S.K.I.S di Padang Panjang (Minangkabau), dan Pesat di Semarang. Selain itu, persoalan "banjir roman" ini memunculkan sebuah konferensi roman yang dihadiri oleh sebagian besar pengarang roman pada masa itu.
Permasalahan yang menjadi perdebatan utama dalam majalah-majalah tersebut berkisar pada persoalan apakah banyaknya roman yang terbit pada masa itu menandai adanya kemajuan di bidang kesusastraan. Selain itu, yang diperdebatkan berkisar pada pantas dan tidaknya seorang ulama Islam atau pengarang yang berasal dari kalangan Islam menulis sebuah roman yang berisi adegan asyik masyuk. Perdebatan tersebut menghasilkan dua kubu yang berbeda. Kubu pertama merasa bangga akan kehadiran roman-roman tersebut karena menandai bahwa bangsa Indonesia sudah dapat mengungguli bangsa Tionghoa dalam bidang penerbitan roman. Kubu kedua memperingatkan bahwa roman-roman yang ditulis oleh pengarang-pengarang pribumi itu masih jelek mutunya dan cenderung hanya mementingkan nilai komersial.
Kubu kedua juga mengkritik bahwa pengarang-pengarang Islam, apalagi ulamanya tidak pantas mengarang roman karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal tersebut ditentang oleh kubu pertama yang menyatakan bahwa pengusung tema-tema keislaman adalah pengarang-pengarang roman dari kalangan "pujangga surau". Hanya saja kubu pertama mengingatkan juga bahwa pengarang-pengarang Islam itu harus memahami batasan penulisan sebuah roman sebagaimana terdapat dalam tulisan yang berjudul "Di Sekeliling Soal: Banjir Roman di Medan" berikut. "Bukan mereka tidak setuju kepada roman, tetapi tiap-tiap penulis roman haruslah mengingat akan batas-batas kesopanan Timur dan Islam dalam menciptakan bisikan sukmanya dan kesenian bahasanya. Bukan mereka tidak mengakui bahwa tiap-tiap bahasa yang maju mesti melahirkan bahasa yang indah yang satu dari jalannya ialah dengan roman yang banyak pula cabang dan caranya itu, tetapi mereka mengharap supaya kiranya tiap-tiap penulis mesti mengingat: baru di mana tingkatan bangsanya yang akan membaca buku-buku itu, dan harus berusaha supaya tiap-tiap karangannya itu dapat memberi pendirian yang baik kepada bangsanya."