• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 
Lembaga Kebudayaan Nasional   (1959)
Kategori: Lembaga Sastra

 

Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) merupakan organisasi kebudayaan yang berada langsung di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI). Dengan kata lain, LKN merupakan "Onderbouw" PNI. Lembaga ini dibentuk tahun 1959 di Jakarta, diketuai oleh Sitor Situmorang (1959—1965). Kelahiran LKN tidak dapat dilepaskan dari Sitor Situmorang. Penyair yang mendirikan dan sekaligus menjadi ketua umumnya.

Sekembali dari Eropa (tahun 1950-an) kegiatan Sitor terpusat pada lapangan sastra dan seni. Akan tetapi, setelah pertengahan tahun 1950-an kegiatannya sudah mulai bergeser ke arah yang berbeda, yaitu dunia kewartawanan. Saat itu ia memublikasikan serangkaian tulisan yang menunjukkan bidang perhatiannya yang meluas, artinya perhatian itu tidak hanya pada soal sastra atau kebudayaan, tetapi mulai merambah dunia politik terutama kehidupan politik praktis. Sitor mengaitkan hubungan antara kehidupan kebudayaan dan kehidupan politik. Ketika tahun 1958 Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional sebagai realisasi dari konsepsi Presiden yang diumumkan setahun sebelumnya, Sitor tercatat sebagai anggota dewan dengan kapasitas sebagai wakil golongan seniman. Setahun setelah itu, tepatnya tahun 1959 ia mendirikan LKN dan menjadi ketuanya. Menurut keterangan Sitor yang disampaikan kepada teman-teman dekatnya di kalangan seniman, pembentukan LKN dimaksudkan sebagai usaha untuk mengimbangi kegiatan-kegiatan di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan anak organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sitor juga mengatakan bahwa saat itu kegiatan para seniman yang berpaham kiri harus diimbangi dengan kegiatan-kegiatan para seniman yang berpaham lain.

Dasar pembentukan LKN sebagaimana dinyatakan oleh Sitor itu ternyata tidak sejalan dengan pelaksanaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan LKN khususnya Sitor sendiri bukannya mengimbangi kegiatan Lekra dengan menunjukkan warna dan falsafah yang berbeda dengan Lekra, tetapi mengimbangi Lekra dalam arti menjadi kawan dalam mewujudkan cita-cita revolosi yang berorientasi ke kiri.

LKN yang digerakkan oleh Sitor merasa leluasa menjalankan misi-misinya, terutama dalam bidang kebudayaan, misalnya yang tampak mencuat adalah memperlihatkan sikap untuk menjadi yang paling depan dan paling dulu dalam melayani Pemimpin Besar Revolusi. Bahkan, kadang-kadang ia lebih "maju" dan lebih "berani" dari Lekra dalam menghantam "musuh-musuh Revolusi" di bidang kebudayaan.

Sebagai panglima LKN, Sitor membabat satu demi sau paham-paham kesenian yang tidak sejalan dengan paham revolusioner. Ketika Pemimpin Besar Revolusi menyatakan tidak setuju terhadap lukisan abstrak dan musik rock yang disebutnya sebagai musik ngak-ngik-ngok, Sitor pun menentang paham seni seperti itu sebagai kesenian dekaden dunia Barat. Bahkan, seniman-seniman yang dianggapnya menganut paham-paham yang kontrarevolusioner juga diserang habis-habisan. Melalui pernyataan-pernyataan yang selalu dimuat dalam halaman muka surat kabar, Sitor menuduh seniman-seniman yang selama ini menjadi kawan dekatnya sebagai antimanipol. LKN dan Lekra kemudian membentuk gerakan menolak film Amerika dan menyerang tokoh-tokoh film nasional yang tidak mengikuti langkah organisasi itu. H. Usmar Ismail pun menjadi salah seorang korban gerakan LKN dan Lekra. Ketika muncul Manifes Kebudayaan yang kemudian dilarang Presiden Soekarno, Sitor muncul menjadi salah seorang yang paling keras mengecam dan mengutuk para seniman dan budayawan yang menandatangani manifes sebagai musuh revolusi.

Paparan di atas dapat dilihat dalam kutipan sebagaiberikut. Rosidi (1991:108) mengatakan "Menjelang akhir tahun lima puluhan, tampak perubahan pada Sitor dan buah tangannya. Ia aktif dalam dunia politik praktis dan arena kehidupan politik pada masa itu hanya boleh membebek saja kepada Soekarno, maka segera Sitor pun menjadi juru bicara Soekarno dengan Manipol dan Nasakomnya dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Ia aktif dalam P.N.I. dan pada tahun 1959 mendirikan dan menjadi Ketua Umum yang pertama dari Lembaga Kebudayaan Nasional (L.K.N.) yang berinduk kepada P.N.I. Hal itu sangat berpengaruh pula pada buah tangannya. Kelincahan dan kemerduan yang tadinya terdapat dalam sajak-sajaknya diganti dengan bahasa bombastis dan slogan-slogan murah. Hal mana tampak sekali dalam sajak-sajaknya yang termuat dalam kumpulan yang berjudul Zaman Baru (1962)."

Lebih lanjut Rosidi (1988:104) mengatakan "Ketika pada tahun 1958, Presiden Sukarno membentuk Dewan Nasional sebagai realisasi dari Konsepsi Presiden yang diumumkan setahun sebelumnya, Sitor menjadi anggota dewan tersebut, kalau tak salah dengan predikat sebagai wakil golongan seniman. Dan setahun kemudian, tahun 1959, ia menjadi Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang merupakan anak organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI).

Kepada kawan-kawan dekatnya di kalangan seniman ia sebelum mendirikan LKN dan menjadi Ketua Umumnya pernah mengatakan bahwa pembentukan organisasi tersebut dimaksudkan sebagai usaha untuk mengimbangi kegiatan-kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan anak organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut dia ketika itu, kegiatan para seniman berpaham kiri itu harus diimbangi dengan kegiatan seniman yang berpaham lain.

Namun, dalam perkembangan sejarah selanjutnya, ternyata kegiatan LKN, terutama Sitor sendiri, bukannya mengimbangi kegiatan Lekra dalam arti menunjukkan kegiatan yang lain warna dan akar falsafahnya; melainkan mengimbangi Lekra dalam memenuhi keinginan Pembesar Revolusi untuk menyingkirkan kubu kontrarevolosi.

 
PENCARIAN TERKAIT

  • Hadiah Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
    Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) ini sebelumnya bernama Lembaga Kebudayaan Indonesia. Badan ini memberikan hadiah untuk seni tari, foto, poster, ilustrasi, lukisan, dan patung, serta ...
  • Teater Nasional Medan
    Teater Nasional Medan merupakan organisasi informal yang berdiri pada tanggal 28 oktober 1963. Organisasi ini digagas oleh Sori Siregar, Burhan Piliang, Mazwad Azham, Iskaq. S., dan Rusli Maha. ...
  • Penyimpangan Bahasa Indonesia Guru PLB Peserta Lomba Mengarang Tingkat Nasional 2003 di Surabaya
    Peneliti : Yani Paryono Tanggal Penelitian : 01-01-2004 Abstrak :Penelitian ini bertujuan memaparkan kesalahan pemakaian bahasa Indonesia guru peserta lomba mengarang tingkat nasional tahun 2003 di ...
  • Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya Nilai Ujian Nasional Bahasa Indonesia Tingkat SMA, MA, dan SMK di Jawa Timur : Studi Kasus di Kota Surabaya dan Malang
    Peneliti : Tri Winiasih dan Awaludin Rusiandi Tanggal Penelitian : 01-01-2011 Abstrak :Penelitian yang berjudul “ Faktor- Faktor yang Memengaruhi Rendahnya Nilai UN Bahasa Indonesia  ...
  • Keterbacaan Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Ujian Akhir Nasional untuk Siswa SMP di Surabay
    Peneliti : M. Oktavia Vidiyanti, dkk. Tanggal Penelitian : 01-01-2013 Abstrak :Data akurat menunjukkan menurunnya nilai UN bahasa Indonesia belum dikaji secara mendalam, namun perlu disikapi, yaitu ...
  •  
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
     
    Lembaga Kebudayaan Nasional   (1959)
    Kategori: Lembaga Sastra

     

    Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) merupakan organisasi kebudayaan yang berada langsung di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI). Dengan kata lain, LKN merupakan "Onderbouw" PNI. Lembaga ini dibentuk tahun 1959 di Jakarta, diketuai oleh Sitor Situmorang (1959—1965). Kelahiran LKN tidak dapat dilepaskan dari Sitor Situmorang. Penyair yang mendirikan dan sekaligus menjadi ketua umumnya.

    Sekembali dari Eropa (tahun 1950-an) kegiatan Sitor terpusat pada lapangan sastra dan seni. Akan tetapi, setelah pertengahan tahun 1950-an kegiatannya sudah mulai bergeser ke arah yang berbeda, yaitu dunia kewartawanan. Saat itu ia memublikasikan serangkaian tulisan yang menunjukkan bidang perhatiannya yang meluas, artinya perhatian itu tidak hanya pada soal sastra atau kebudayaan, tetapi mulai merambah dunia politik terutama kehidupan politik praktis. Sitor mengaitkan hubungan antara kehidupan kebudayaan dan kehidupan politik. Ketika tahun 1958 Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional sebagai realisasi dari konsepsi Presiden yang diumumkan setahun sebelumnya, Sitor tercatat sebagai anggota dewan dengan kapasitas sebagai wakil golongan seniman. Setahun setelah itu, tepatnya tahun 1959 ia mendirikan LKN dan menjadi ketuanya. Menurut keterangan Sitor yang disampaikan kepada teman-teman dekatnya di kalangan seniman, pembentukan LKN dimaksudkan sebagai usaha untuk mengimbangi kegiatan-kegiatan di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan anak organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sitor juga mengatakan bahwa saat itu kegiatan para seniman yang berpaham kiri harus diimbangi dengan kegiatan-kegiatan para seniman yang berpaham lain.

    Dasar pembentukan LKN sebagaimana dinyatakan oleh Sitor itu ternyata tidak sejalan dengan pelaksanaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan LKN khususnya Sitor sendiri bukannya mengimbangi kegiatan Lekra dengan menunjukkan warna dan falsafah yang berbeda dengan Lekra, tetapi mengimbangi Lekra dalam arti menjadi kawan dalam mewujudkan cita-cita revolosi yang berorientasi ke kiri.

    LKN yang digerakkan oleh Sitor merasa leluasa menjalankan misi-misinya, terutama dalam bidang kebudayaan, misalnya yang tampak mencuat adalah memperlihatkan sikap untuk menjadi yang paling depan dan paling dulu dalam melayani Pemimpin Besar Revolusi. Bahkan, kadang-kadang ia lebih "maju" dan lebih "berani" dari Lekra dalam menghantam "musuh-musuh Revolusi" di bidang kebudayaan.

    Sebagai panglima LKN, Sitor membabat satu demi sau paham-paham kesenian yang tidak sejalan dengan paham revolusioner. Ketika Pemimpin Besar Revolusi menyatakan tidak setuju terhadap lukisan abstrak dan musik rock yang disebutnya sebagai musik ngak-ngik-ngok, Sitor pun menentang paham seni seperti itu sebagai kesenian dekaden dunia Barat. Bahkan, seniman-seniman yang dianggapnya menganut paham-paham yang kontrarevolusioner juga diserang habis-habisan. Melalui pernyataan-pernyataan yang selalu dimuat dalam halaman muka surat kabar, Sitor menuduh seniman-seniman yang selama ini menjadi kawan dekatnya sebagai antimanipol. LKN dan Lekra kemudian membentuk gerakan menolak film Amerika dan menyerang tokoh-tokoh film nasional yang tidak mengikuti langkah organisasi itu. H. Usmar Ismail pun menjadi salah seorang korban gerakan LKN dan Lekra. Ketika muncul Manifes Kebudayaan yang kemudian dilarang Presiden Soekarno, Sitor muncul menjadi salah seorang yang paling keras mengecam dan mengutuk para seniman dan budayawan yang menandatangani manifes sebagai musuh revolusi.

    Paparan di atas dapat dilihat dalam kutipan sebagaiberikut. Rosidi (1991:108) mengatakan "Menjelang akhir tahun lima puluhan, tampak perubahan pada Sitor dan buah tangannya. Ia aktif dalam dunia politik praktis dan arena kehidupan politik pada masa itu hanya boleh membebek saja kepada Soekarno, maka segera Sitor pun menjadi juru bicara Soekarno dengan Manipol dan Nasakomnya dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Ia aktif dalam P.N.I. dan pada tahun 1959 mendirikan dan menjadi Ketua Umum yang pertama dari Lembaga Kebudayaan Nasional (L.K.N.) yang berinduk kepada P.N.I. Hal itu sangat berpengaruh pula pada buah tangannya. Kelincahan dan kemerduan yang tadinya terdapat dalam sajak-sajaknya diganti dengan bahasa bombastis dan slogan-slogan murah. Hal mana tampak sekali dalam sajak-sajaknya yang termuat dalam kumpulan yang berjudul Zaman Baru (1962)."

    Lebih lanjut Rosidi (1988:104) mengatakan "Ketika pada tahun 1958, Presiden Sukarno membentuk Dewan Nasional sebagai realisasi dari Konsepsi Presiden yang diumumkan setahun sebelumnya, Sitor menjadi anggota dewan tersebut, kalau tak salah dengan predikat sebagai wakil golongan seniman. Dan setahun kemudian, tahun 1959, ia menjadi Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang merupakan anak organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI).

    Kepada kawan-kawan dekatnya di kalangan seniman ia sebelum mendirikan LKN dan menjadi Ketua Umumnya pernah mengatakan bahwa pembentukan organisasi tersebut dimaksudkan sebagai usaha untuk mengimbangi kegiatan-kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan anak organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut dia ketika itu, kegiatan para seniman berpaham kiri itu harus diimbangi dengan kegiatan seniman yang berpaham lain.

    Namun, dalam perkembangan sejarah selanjutnya, ternyata kegiatan LKN, terutama Sitor sendiri, bukannya mengimbangi kegiatan Lekra dalam arti menunjukkan kegiatan yang lain warna dan akar falsafahnya; melainkan mengimbangi Lekra dalam memenuhi keinginan Pembesar Revolusi untuk menyingkirkan kubu kontrarevolosi.

     
    PENCARIAN TERKAIT

  • Hadiah Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
    Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) ini sebelumnya bernama Lembaga Kebudayaan Indonesia. Badan ini memberikan hadiah untuk seni tari, foto, poster, ilustrasi, lukisan, dan patung, serta ...
  • Teater Nasional Medan
    Teater Nasional Medan merupakan organisasi informal yang berdiri pada tanggal 28 oktober 1963. Organisasi ini digagas oleh Sori Siregar, Burhan Piliang, Mazwad Azham, Iskaq. S., dan Rusli Maha. ...
  • Penyimpangan Bahasa Indonesia Guru PLB Peserta Lomba Mengarang Tingkat Nasional 2003 di Surabaya
    Peneliti : Yani Paryono Tanggal Penelitian : 01-01-2004 Abstrak :Penelitian ini bertujuan memaparkan kesalahan pemakaian bahasa Indonesia guru peserta lomba mengarang tingkat nasional tahun 2003 di ...
  • Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya Nilai Ujian Nasional Bahasa Indonesia Tingkat SMA, MA, dan SMK di Jawa Timur : Studi Kasus di Kota Surabaya dan Malang
    Peneliti : Tri Winiasih dan Awaludin Rusiandi Tanggal Penelitian : 01-01-2011 Abstrak :Penelitian yang berjudul “ Faktor- Faktor yang Memengaruhi Rendahnya Nilai UN Bahasa Indonesia  ...
  • Keterbacaan Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Ujian Akhir Nasional untuk Siswa SMP di Surabay
    Peneliti : M. Oktavia Vidiyanti, dkk. Tanggal Penelitian : 01-01-2013 Abstrak :Data akurat menunjukkan menurunnya nilai UN bahasa Indonesia belum dikaji secara mendalam, namun perlu disikapi, yaitu ...
  • Hadiah Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
    Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) ini sebelumnya bernama Lembaga Kebudayaan Indonesia. Badan ini memberikan hadiah untuk seni tari, foto, poster, ilustrasi, lukisan, dan patung, serta ...
  • Teater Nasional Medan
    Teater Nasional Medan merupakan organisasi informal yang berdiri pada tanggal 28 oktober 1963. Organisasi ini digagas oleh Sori Siregar, Burhan Piliang, Mazwad Azham, Iskaq. S., dan Rusli Maha. ...
  • Penyimpangan Bahasa Indonesia Guru PLB Peserta Lomba Mengarang Tingkat Nasional 2003 di Surabaya
    Peneliti : Yani Paryono Tanggal Penelitian : 01-01-2004 Abstrak :Penelitian ini bertujuan memaparkan kesalahan pemakaian bahasa Indonesia guru peserta lomba mengarang tingkat nasional tahun 2003 di ...
  • Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya Nilai Ujian Nasional Bahasa Indonesia Tingkat SMA, MA, dan SMK di Jawa Timur : Studi Kasus di Kota Surabaya dan Malang
    Peneliti : Tri Winiasih dan Awaludin Rusiandi Tanggal Penelitian : 01-01-2011 Abstrak :Penelitian yang berjudul “ Faktor- Faktor yang Memengaruhi Rendahnya Nilai UN Bahasa Indonesia  ...
  • Keterbacaan Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Ujian Akhir Nasional untuk Siswa SMP di Surabay
    Peneliti : M. Oktavia Vidiyanti, dkk. Tanggal Penelitian : 01-01-2013 Abstrak :Data akurat menunjukkan menurunnya nilai UN bahasa Indonesia belum dikaji secara mendalam, namun perlu disikapi, yaitu ...
  •  
     
     
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa