Dardanella merupakan rombongan atau kelompok sandiwara yang disebut sebagai Opera Melayu (semula bernama The Malay Opera). Pembentukannya diprakarsai oleh Willy Klimanoff, anak seorang pemain sirkus terkemuka bernama A. Klimanoff kelahiran Rusia. Opera Melayu bernama The Malay Opera "Dardanela" ini dibentuk pada 21 Juni 1926 di Sidoarjo, Jawa Timur. Willy Klimanoff yang lahir di Penang semula bekerja di Komidi Stambul Constantinopel. Pada saat itulah Willy Klimanoff mengganti namanya menjadi A. Piedro.
Berdirinya Klub "Dardanella" berawal dari ketidakpuasan A. Piedro sebagai pemain berperan dalam Komoditi Stambul "Constantinopel" yang memberi kebebasan berekpresinya sebagian seniman. Dalam klub Dardanella itu A. Piedro dan Andjar Asmara (yang bergabung kemudian) banyak melakukan perombakan secara revolusioner, profesional, dan telah terkonsep, radikal tradisi komedi yang telah dilakukan para pendahulunya. Dalam Komedi Stambul pertunjukan sandiwara diselingi tarian dan lelucon, tetapi A. Pedro menghilangkan hiburan itu. Pertumbuhan Dardanela mempunyai pengaruh besar bagi perkembangan sandiwara di kemudian hari. Mereka menyuguhkan pementasannya dengan menggunakan naskah, yang pada akhirnya tumbuh menjadi seperti Teater Tanah Air.
Dardanella lahir di tengah-tengah masa kejayaan Orion (Miss Riboet's Orion, nama rombongan teater profesional). Oleh karena itu, motivasi kelahiran Dardanella adalah menyaingi kepopuleran, keberhasilan, dan kesuksesan Orion. Orion populer dan sukses berkat bintang panggung yang cantik, yaitu Miss Riboet. Untuk menyaingi Orion, Dardanella mengetengahkan seorang bintang yang sedang menanjak namanya saat itu, yaitu Tan Tjeng Bok yang khusus memerankan tokoh pahlawan yang pandai memainkan pedang. Dalam perkembangan selanjutnya, bintang-bintang seperti Dewi Dja dan Astaman bergabung ke Dardanella. Kemudian, menyusul pula Anjar Asmara dan Nyoo Cheong Seng bergabung ke Dardanella sebagai penulis naskah. Kedua penulis naskah itu berani menyajikan cerita-cerita yang agak "berat" dan "problematik" karena mereka mengetahui bahwa sebagian penonton rombongan sandiwara itu berasal dari golongan terpelajar hingga nonterpelajar. Meskipun demikian, Dardanella tidak melupakan moto yang dipakai dalam pertunjukannya, yaitu "memberi tontonan yang memuaskan publik".
Bahasa yang digunakan para pemain Dardanella ialah bahasa Melayu. Demikian pula, apabila sedang mementaskan lakon-lakon yang ditulis dalam bahasa asing, yang berasal dari luar negeri, para pemain menggunakan bahasa Melayu. Misalnya, lakon-lakon Victor Ido yang ditulis dalam bahasa Belanda, dipentaskan oleh para pemain Dardanella dalam bahasa Melayu. Pada tahun 1930-an Nyoo bergabung dengan Dardanella, kelompok sandiwara keliling terkenal di Indonesia saat itu. Fifi pun menjadi salah satu bintang panggung kelompok itu. Di masa pendudukan Jepang, Nyoo dan Fifi mendirikan kelompok sandiwara "Bintang Soerabaya", bersama Dahlia, bintang film terkenal sebelum Perang Dunia II.
Tradisi sandiwara yang dikembangkan tidak banyak berbeda dengan tradisi komedi bangsawan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, Dardanella menampilkan lakon yang sudah mengarah kepada penceritaan lakon-lakon yang realistis. Sebagai ilustrasi, lakon dalam babak pertama masih bersifat hikayat, bermain dalam angan-angan, serta menjadikan penonton terbuai oleh mimpi dan kemewahan. Selanjutnya, dalam babak kedua ditampilkan cerita-cerita realistis yang tengah terjadi di masyarakat, seperti lakon Nyai Dasima dan Si Conat. Bahkan, pada akhirnya, Dardanella sama sekali meninggalkan tradisi komedi bangsawan, lakon dimainkan sama sekali tanpa nyanyian. Tidak hanya dalam tradisi lakon, dalam tradisi pementasannya pun Dardanella mengadakan perombakan. Dalam satu pementasan penonton berkumpul di satu tempat atau gedung untuk menyaksikan pertunjukan yang digelar di atas panggung.
Boen S. Oemarjati (1971) melihat sifat teater Dardanella dari dua sudut pandang, yaitu dari lakonnya dan dari cara penyajiannya di atas panggung. Jika dilihat dari aspek lakon, Dardanella menampilkan (1) cerita-cerita yang populer masa itu yang berasal dari Inggris, antara lain The Three Musketeers, Zorro, dan Two Lovers, (2) cerita-cerita lama yang terkenal, antara lain Graaf de Monte Cristo, (3) cerita-cerita yang tergolong dalam novel, yang judulnya menggunakan bahasa Belanda, antara lain De Roos vanTjikembang, Lily van Tjikampek, dan De Roos van Serang. Jika dilihat dari cara penyajiannya di atas panggung, Dardanella mementingkan gerak, sedangkan nyanyian diperdengarkan seperlunya. Satu lakon terdiri atas 8 atau 9 babak. Pertunjukan Dardanella dipandang sebagai hiburan yang sopan, yang dipanggungkan di tempat atau gedung tertentu.
Masa kejayaan Dardanella berlangsung sekitar 10 tahun. Pada tahun 1935 Dardanella mengadakan perjalanan keliling Asia. Akan tetapi, perjalanan keliling dunia justru merupakan masa perpecahan dan bubarnya rombongan itu. Pimpinan rombongan sandiwara, A. Piedro bersama istrinya, Dewi Dja, dan tiga puluh pemain meneruskan perjalanan, sedangkan Anjar Asmara dan istrinya kembali ke Jawa, lalu membentuk rombongan sandiwara lain yang diberi nama Bolero. Nyoo Cheong Seng dan Fifi Young juga mengundurkan diri dari Dardanella kemudian mendirikan rombongan sandiwara yang baru, yaitu Fifi Young's Pagoda.
Rombongan sandiwara Dardanella telah menampilkan karakterisasi drama dan teater di Indonesia. Hal itu merupakan tahap permulaan timbul dan tumbuhnya konsep drama dan teater modern dalam sastra Indonesia. Namun yang mengecewakan para kritikus seperti Jim Lim, Saini KM, Umar Kayam, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Rendra, Afrizal Malna, Bakdi Sumanto, Hanindawan, Nursahid, Sapardi Djoko Damono, dan Goeawan Mohamad adalah bahwa kegiatan teater di Jawa Timur itu tidak punya referensi dan data tentang kegiatan dan keberadaan teater modern Indonesia. Hal itu mungkin disebabkan kualitas teater yang kurang layak atau di Jawa Timur tidak ada kritikus yang andal. Secara logika teater Indonesia maju dan terus berkembang di Jatim, tetapi kenyataannya pewarisan tradisi teater modern pertama kali tidak terletak di kota-kota Jatim, tetapi Solo, Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Pada akhirnya, pada dekade dewasa ini, kreator dan pekerja seni teater Jatim tidak profesional dalam mengelola. Mereka telah gagal mewarisi dan mempertahankan tradisi teater modern yang telah dibangun Komedi Stamboel dan Dardanella. Dalam beberapa pertunjukan terakhir teater-teater Jatim di Surabaya, pekerja teater Jatim mengesampingkan problematik perspektif kritis massa.