Djogja Diduduki merupakan novel realis yang bercerita tentang revolusi 1945. Novel itu ditulis oleh Muhammad Dimyati dan terbit pada tahun 1950 oleh penerbit Gapura, Jakarta. Semula naskah novel itu ditulis oleh Muhammad Dimyati dengan judul Chaos yang dikirimkan kepada H.B. Jassin, Jakarta. Muhammad Dimyati mengharapkan dan meminta agar H.B. Jassin dapat mengusahakan penerbitan naskah itu menjadi buku pada penerbit apa saja. Atas jasa H.B. Jassin novel itu dapat diterbitkan oleh Gapura. Dengan berbagai pertimbangan dan dengan memperhatikan isi cerita itu, H.B. Jassin menyarankan agar novel itu diubah judulnya menjadi Djogja Diduduki. Perubahan judul tersebut diterima oleh Muhammad Dimyati.
Kata pengantar novel itu berisi sepatah kata dari H.B. Jassin. Kata pengantar tersebut memang dibuat oleh H.B. Jassin atas permintaan Muhammad Dimyati.
Novel Djogja Diduduki merupakan novel sejarah dan di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa sejarah, seperti "Serangan 1 Maret", "Pengembalian Kota Djogja", dan " Kembalinja Soekarno dan Hatta". Di dalamnya diceritakan tentang kehidupan masyarakat Yogyakarta pada masa agresi ke-2, yaitu tanggal 19 Desember 1948 hingga kedatangan kembali Presiden Soekarno ke Yogya tanggal 6 Juli 1949 dari tempat pengasingannya. Di dalamnya dilekatkan kisah nyata peristiwa agresi itu. Perjalanan waktu dari saat ke saat dipaparkan dengan amat ketat. Pemaparan peristiwa yang berlangsung seolah-olah dari detik ke detik itu tidak kosong. Semua disertai oleh gambaran kesibukan kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Masyarakat pada waktu itu, sebelum serangan mendadak Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, hidup dalam ketenteraman dan kebahagiaan, kemudian secara tiba-tiba mereka harus mengungsi. Akan tetapi, ada juga keluarga yang tidak mau mengungsi. Selain itu, mereka harus berhenti dari pekerjaan atau harus melakukan pekerjaan yang berpihak kepada kepentingan penjajah.
Wito (Witohardjo, tokoh utama) dengan anak dan istrinya digambarkan sebagai manusia yang menyaksikan dengan jelas peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Yogyakarta.
Dengan gaya "saya", Wito memaparkan cerita secara menarik. Tokoh cerita yang bekerja di jawatan kereta api itu memilih bersikap nonkooperatif dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang pada waktu itu disebut sebagai "Pemerintah Kerajaan". Wito tetap memilih sikapnya semula, yaitu memihak kepada republiken walaupun hidupnya penuh dengan penderitaan dan ketidaktenteraman, serta berada di bawah ancaman Pemerintah Kolonial. Teman akrab Wito, Sadeli, tidak dapat bertahan hidup seperti Wito. Ia bersikap kooperatif terhadap penjajah. Sadeli melakukan kegiatan "menyeberang", artinya bekerja di pihak Belanda. Bekerja di pihak Belanda berisiko tinggi karena Belanda dapat saja menjatuhkan bermacam tuduhan terhadapnya jika sudah bosan. Akhirnya, Sadeli menyesali sikapnya itu apalagi setelah istri dan anak-anaknya dibunuh oleh kaum gerilyawan republiken.
Keteguhan hati tokoh Wito dalam mempertahankan prinsipnya sebagai orang yang menolak bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda, harus ditebus dengan beberapa korban, baik korban harta maupun korban perasaan. Korban tersebut harus ditambah lagi dengan korban anak-anaknya, Aliman gugur di medan perang dan Fatimah meninggal dunia di rumah sakit. Pada akhir cerita kesedihan atas kematian kedua anak yang disayanginya itu dapat terobati oleh kembalinya Republik Indonesia ke Yogyakarta dan dikembalikannya presiden dan wakil presiden ke tengah-tengah rakyat Indonesia, di Yogyakarta.