Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan kumpulan cerita pendek (cerpen) karya Haji Abdul Malik Karim Amarullah (Hamka) yang memuat sepuluh cerpen. Kumpulan cerita pendek itu pertama kali diterbitkan oleh Pedoman Masyarakat pada tahun 1939 dan diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1940. Cetakan kelima yang terbit pada tahun 1958 memuat 12 cerpen yang berjumlah 185 halaman, sedangkan cetakan ketujuh berjumlah 213 halaman. Cetakan kedelapan pada tahun 1967 dilakukan oleh penerbit yang sama dan memuat satu cerpen tambahan sehingga tebalnya menjadi 272 halaman. Pada tahun 1983, kumpulan cerpen ini diterbitkan kembali oleh Penerbit Bulan Bintang, setebal 204 halaman.
Di Dalam Lembah Kehidupan memuat cerpen berikut ini: (1) "Pasar Malam", (2) "Inyik Utih" (3) "Pendjual Es Lilin", (4) "Anak Tinggal", (5) "Bunda Kandung", (6) "Gadis Basanai", (7) "Istri Jang Tua", (8) "Anak Jang Hilang ", (9)"Malam Sekaten", (10)"Anak Dapat", (11) "Tjinta dan Darah", dan (12) "Disuruh Meminta Ampun", (13) "Didjemput Mamaknya".
Di dalam kata pengantar, Hamka menamakan kumpulan cerpennya sebagai "kumpulan air mata, kesedihan, dan rintihan yang diderita oleh segolongan manusia di atas dunia ini". Ia mengatakan, bahwa sebagian dari kita kurang memperhatikan kemelaratan orang lain, apalagi kalau kita hidup dalam kemewahan.
Pengarang tampaknya menulis penderitaan orang-orang kecil yang penuh derita itu--di dalam lembah kehidupan di dunia ini-- supaya kita peduli akan nasib mereka. Dalam cerpen "Pasar Malam" pengarang mengungkapkan hubungan aku sebagai jaksa dengan pesakitan serta rumah penjara. Dari kamar kerjanya, tokoh jaksa membayangkan penderitaan para pesakitan. Selanjutnya, cerpen "Pendjual Es Lilin" mengisahkan kemalangan yang diderita Syarif sebagai suami yang penuh angan-angan, tetapi tidak mampu mewujudkan dalam kenyataan sehingga istrinya pergi meninggalkan Syarif. Cerpen "Anak Tinggal" mengisahkan kehidupan Maryam yang setelah tiga bulan menjanda mengalami kesulitan ekonomi. Ia tidak mampu membayar uang sekolah anaknya, kemudian ia menikah lagi. Selanjutnya, dalam cerpen 'Bunda Kandung" menceritakan kesedihan seorang pemuka dalam kehidupan perjuangan dan cerpen "Inyik Utih", mengisahkan Inyik Utih yang harapan dan impiannya tidak pernah terlaksana sehingga bertingkah laku seperti orang gila. Ia mengenakan pakaian pengantin tatkala rambut sudah putih karena tua.
Beberapa cerpen yang terdapat di dalam kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan telah dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan dan keperluan bacaan yang lain, misalnya cerpen "Pendjual Es Lilin" dimuat dalam Sari Pustaka Indonesia karya R.B. Slametmulyana (1952) sebagai buku pelajaran bahasa.
Teeuw (1953) mengatakan bahwa di dalam novel Di Dalam Lembah Kehidupan buat sebahagian besarnya jelas mempunyai kesadaran tentang kemasyarakatan. Salah satu sifatnya yang baik terletak pada keringkasannya (antara lima dan tiga puluh tiga halaman), sedang bahan bagi hampir tiap-tiap cerita itu boleh dikatakan cukup untuk mengisi penuh sebuah buku, bilamana pengarangnya, suka berpanjang-panjang kalam. Semua itu merupakan skets yang mengharukan karena kesederhanaannya.