Genduk Duku merupakan novel kedua dari trilogi (di antara Roro Mendut dan Lusi Lindri) karya Y.B. Mangunwijaya yang diterbitkan oleh PT Gramedia (cetakan 1, 1987), (cetakan 2, 1994). Karya ini terbit ulang disatukan dengan Roro Mendut dan Lusi Lindri sebagai trilogy utuh oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama tahun 2008 (cetakan pertama). Berikutnya trilogi ini dicetak ulang pada tahun 2009 cetakan ke-2. Novel itu bersama dengan dua novel lainnya (trilogi Genduk Duku, Lusi Lindri, dan Roro Mendut) semula dimuat di harian Kompas sebagai cerita bersambung tahun 1982 sampai dengan 1987.
Novel Genduk Duku karya Y.B. Mangunwijaya berlatar peristiwa sejarah, yaitu pada tenggang waktu antara masa akhir pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo dan masa awal pemerintahan Sunan Amangkurat I. Novel tersebut merupakan kelanjutan dari novel Roro Mendut.
Genduk Duku adalah gadis remaja yang pernah menjadi pembantu dan teman main Roro Mendut sejak berada di Kadipaten Pati sampai mereka menjadi "tawanan" di Mataram. Pergaulannya yang cukup lama dan akrab dengan Roro Mendut menyebabkan kedua gadis remaja itu bagaikan saudara kandung. Mereka dalam persahabatannya saling membagi suka dan derita. Penderitaan Roro Mendut dirasakan sebagai penderitaan Genduk Duku juga, demikian pula sebaliknya. Memang, dapat ditemukan beberapa persamaan, baik sikap maupun tindakan, antara Genduk Duku dan Roro Mendut. Genduk Duku sebenarnya lebih banyak belajar dan menyerap pengalaman hidup yang dialami Roro Mendut. Penderitaan yang dialami Roro Mendut telah ikut mematangkan kepribadian Genduk Duku. Bekal yang berharga ini terbukti telah banyak membantu Genduk Duku dalam menjalani kehidupannya kelak.
Sesuai dengan "hukum" Mataram waktu itu, Genduk Duku dianggap layak ikut menanggung beban "dosa" Roro Mendut. Sebagai akibatnya, hampir segenap perjalanan hidup Genduk Duku berada dalam pelarian. Dari waktu ke waktu, ia menghindar dari ancaman maut yang ditebarkan Tumenggung Wiroguno. Kemarahan Tumenggung Wiroguno terhadap Roro Mendut dilampiaskan kepada Genduk Duku. Hal ini menyebabkan Genduk Duku harus bersembunyi dan berlindung dari satu tempat ke tempat yang lain. Di tempat Genduk Duku berada, di situ pasti ada telik sandi (mata-mata) Tumenggung Wiroguno. Seolah-olah tidak ada tempat yang bebas dan aman bagi Genduk Duku.
Novel itu mengungkapkan ihwal perjuangan Genduk Duku untuk memperoleh kebebasan. Ia dianggap layak menanggung dosa Roro Mendut oleh Tumenggung Wiroguno. Motif yang dominan pada novel Genduk Duku adalah motif kebebasan, motif penderitaan, dan motif kerja sama. Sebenarnya, Genduk Duku tidak terlibat dengan persoalan antara Roro Mendut dan Tumenggung Wiroguno. Akan tetapi, kedudukannya sebagai teman dan sekaligus pembantu Roro Mendut menyebabkan dirinya harus ikut menanggung beban penderitaan itu. Genduk Duku menjadi buronan Tumenggung Wiroguno. Untuk memperoleh kembali kebebasan yang pernah dimilikinya, Genduk Duku memilih "berkompromi" dengan Tumenggung Wiroguno. Ia akhirnya memperoleh kebebasannya kembali setelah berhasil menyelamatkan Tejarukmi dari usaha penculikan Amangkurat I. Ampunan "abadi" yang diperoleh Genduk Duku tidak terlepas dari jasa beberapa perempuan ningrat, seperti Bunda Pahit Madu dan Putri Arumardi, selir Tumenggung Wiroguno.
Novel Genduk Duku berkaitan dengan Roro Mendut dan Lusi Lindri sebagai trilogi novel Mangunwijaya. Kesinambungan novel itu terletak pada tema cerita, tokoh, dan latarnya. Tokoh Roro Mendut hidup pada zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo, sedangkan Genduk Duku dan Lusi Lindri hidup pada zaman Sunan Amangkurat I. Hubungan ketiga tokoh tersebut adalah hubungan antara majikan dan pelayan (Roro Mendut dan Genduk Duku) dan antara ibu dan anak (Genduk Duku dan Lusi Lindri). Tema cerita novel itu adalah perlawanan Genduk Duku terhadap kezaliman penguasa.
Penelitian terhadap novel ini telah dilakukan Saksono Prijanto (1997) dalam tesis S-2-nya di Universitas Indonesia. Saksono Prijanto meneliti novel itu bersama dua novel karya Y.B. Mangunwijaya lainnya, dengan judul "Keutuhan dan Perkembangan Tema dalam Trilogi Karya Y.B. Mangunwijaya: Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri". Hasil kajian itu menunjukkan adanya jalinan tematik yang kuat di dalam trilogi tersebut yang relevan dengan situasi zaman ketika kekuasaan berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat yang terkuasa.