Gairah untuk Hidup dan untuk Mati sebuah novel karya Nasjah Djamin cetakan pertama tahun 1968. Pertama kali, novel itu diterbitkan sebagai cerita bersambung di dalam majalah Minggu Pagi, Yogyakarta, pada tahun 1968. Tahun 1968 itu juga novel tersebut diterbitkan sebagai sebuah buku saku ala novel picisan oleh penerbit Budayata, Jakarta. Novel itu diterbitkan dalam dua jilid. Selanjutnya pada cetakan ke-2 tahun 1976 kedua jilid buku itu disatukan menjadi satu buku dan diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya. Novel itu ditulis dengan teknik penyajian yang sangat berbeda dengan novel lain. Cerita dalam novel itu seluruhnya disajikan dalam bentuk surat dan catatan.
Gairah untuk Hidup dan untuk Mati mengisahkan tentang Shimada-sang yang membawa surat-surat lengkap dengan tanggal suratnya, kemudian surat itu diserahkan kepada Taribu-sang (Talib, tokoh aku) orang Indonesia, yang pada saat itu sedang bertugas di Jepang. Sementara penulis surat itu sendiri adalah Fuyuko-ciang (Yuko-ciang), kakak kandung Shimada. Pada saat surat itu diserahkan kepada Taribu, Fuyoko tengah berada di sanatorium karena sakit. Sementara itu, surat-surat tersebut ditulis oleh Fuyuko ketika ia berada di dalam penjara karena Fuyoko membunuh Husen kekasih yang sangat dicintainya. Oleh karena Taribu tidak bisa membaca huruf kanji, Simadalah yang membacakan surat-surat Fuyuko supaya didengarkan oleh Taribu. Untuk ketenangan jiwanya, Simada ingin membagi rahasia hidup keluarganya kepada Taribu sebagai teman baiknya.
Dari surat-surat yang ditulis Fuyoko itu diketahui bagaimana kesengsaraan hidup Fuyuko. Waktu berangkat besar Fuyuko diajak oleh ibunya yang putus asa untuk bunuh diri, tetapi tidak berhasil. Ibunya sendiri bunuh diri karena malu terhadap anaknya yang berangkat besar. Ibunya itu terpaksa menjual diri untuk menghidupi kedua anaknya. Sementara bapak Fuyuko dan Simada mati sebagai serdadu di Indonesia, harakiri sewaktu Tennoo Heika menyerah tanpa syarat pada Sekutu. Untuk adiknya, Fuyuko bekerja pada sebuah kedai kopi (Kaisateng), tetapi Simada tidak mau dibiayai oleh kakaknya. Oleh karena itu, ia pun bekerja sendiri.
Fuyuko jatuh cinta kepada Husen yang berasal dari Singapura. Husen hadir di Jepang dalam rangka mengurus perdagangan. Husen mengaku masih bujangan. Akhirnya, mereka hidup bersama sekalipun tidak disetujui oleh Shimada. Fuyuko merasa gairah hidupnya menyala-nyala.
Suatu waktu Fuyuko menemukan surat di dalam kantong celana Husen. Surat itu datang dari istri Husen yang telah sembuh. Ternyata, selama ini lelaki itu telah membohonginya. Husen sebenarnya sudah mempunyai istri dan anak. Istrinya karena sakit berobat ke Swiss dan dinyatakan telah sembuh. Istrinya akan menyusul ke Jepang. Husen ternyata bukan seorang pedagang, melainkan seorang pejabat pemerintah Singapura yang sedang bertugas di Jepang. Fuyuko merasa sakit hati, ia ingin membalas dendam kepada Husen.
Balas dendam yang dilakukan Fuyuko adalah dengan melakukan hubungan dan hidup bersama dengan orang lain, seperti Fukuda, seorang pelukis yang sudah tua, dan dengan Yunciang, seorang penyair muda. Akan tetapi, akhirnya Fuyuko kembali juga kepada Husen karena ia sangat mencintai Husen, begitupun sebaliknya. Di antara mereka sering terjadi perselisihan karena persoalan mereka tidak pernah dapat diselesaikan. Walaupun demikian akhirnya, mereka kembali. Untuk menyelesaikan persoalan itu, Fuyuko mengajak Husen bunuh diri karena hal itu bermakna dalam menjaga nama baik dan harga diri, tetapi hal itu ditentang oleh Husen. Suatu ketika, tanpa disengaja Husen tertusuk oleh pisau yang sedang dipegang oleh Fuyuko karena mereka sedang bersama-sama memasak. Fuyuko merasa bersalah dan berusaha untuk bunuh diri. Akan tetapi, jiwa Fuyuko dapat diselamatkan. Ia mendapat hukuman penjara selama tujuh tahun. Fuyuko tidak terbukti membunuh, akhirnya ia dibebaskan. Oleh karena sakit, Fuyuko dirawat di sanatorium dan tidak lama kemudian ia meninggal.
Menurut Maman S. Mahayana dkk. (1992), kehadiran tokoh Talib dalam novel Gairah untuk Hidup dan untuk Mati lebih banyak berperan di bagian awal dan akhir novel. Hal itu lebih menyerupai "pembingkai" bagi keseluruhan cerita. Jadi, strukturnya hampir sama dengan novel Atheis. Dengan struktur seperti itu cerita menjadi amat menarik karena bingkai itulah salah satu pemikatnya. Selain itu, temanya juga menarik karena mengangkat masalah kehidupan dan kematian yang dapat ditafsirkan berbeda-beda bergantung pada latar belakang sosial budaya masyarakatnya. Contohnya, masalah bunuh diri, bagi Fuyuko (orang Jepang) lebih berharga daripada hidup yang dijalani penuh dengan keterpaksaan, sedangkan bagi Husen (Singapura) bunuh diri merupakan dosa besar karena manusia wajib menjalani hidup dengan bergairah dan penuh perjuangan. Begitu pula dalam mengasihani seseorang, bagi Fuyuko mengasihani berarti merendahkan dan menghina orang yang dikasihani, sedangkan bagi Husen mengasihani berarti menolong sebagai wujud cinta kasih.
Pamusuk Eneste dalam Novel-Novel dan Cerpen-Cerpen Indonesia Tahun 1970-an (1982) berpendapat, bahwa Fuyuko merupakan korban zaman yang tidak punya pegangan hidup, kemudian ia mengutip pendapat tokoh Fuyuko, "Mungkin Jepang sudah mencapai puncak-puncak tertinggi di bidang materi, menyamai negara-negara lain sehabis perang yang lalu. Juga seni dan budayanya. Tapi hasil-hasil materi saja membawa manusia dan hidup pada kehampaan". Berkat novel inilah tahun 1970 Nasjah Djamin mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia.