I Swasta Setahun di Bedahulu merupakan novel karya Anak Agung Nyoman Pandji Tisna yang terbit tahun 1938. Dalam cetakan pertama novel itu tertera nama pengarang I Goesti Njoman P. Tisna diterbitkan tahun 1938 oleh Balai Pustaka, Jakarta, ketebalan 183 halaman. Pada cetakan kedua tahun 1949, cetakan ketiga tahun 1955, dan cetakan keempat tahun 1966 tercantum nama pengarangnya, yaitu A. A. Pandji Tisna dengan ketebalan 251 halaman. Cetakan kelima terbit tahun 1978 dengan ketebalan 190 halaman, cetakan keenam tahun 1986 tebal 209 halaman, dan cetakan ketujuh tahun 1991 ketebalan 209 halaman. Semua cetakan tersebut diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Cerita yang dijalin dalam novel itu merupakan kisah cinta segitiga. Nogati dan Lastiya mula-mula saling mencintai karena takut kepada Arya Bera, cinta mereka dirahasiakan. Selanjutnya, muncul tokoh I Swasta alias Semarawima. Di sisi lain, baik Nogati maupun I Swasta saling jatuh cinta pula. Karena cinta Swasta kepada Nogati terbuka, terjadilah konflik dengan Arya Bera. Sementara itu, Nogati dan Lastiya tetap menjalin cinta mereka melalui surat dengan perantaraan Jasi.
I Swasta sadar akan kebodohannya setelah mengetahui adanya kontak surat antara Nogati dan Lastiya. Nasib I Swasta lebih memelas lagi karena peristiwa itu baru diketahuinya ketika I Swasta sudah ditunangkan dengan Nogati. I Swasta mengalami goncangan batin yang dahsyat sampai tidak sadar menerjunkan diri ke Sungai Petanu yang sedang banjir. Untunglah, dalam peristiwa itu pelayan yang selalu mengikuti gerak-gerik I Swasta dapat menyelamatkannya.
Tokoh utama pria dalam novel itu ialah I Swasta (Semarawima). Tokoh utama wanitanya adalah Nogati. Tokoh lainnya ialah Lastiya, Arya Bera, Lancana, Sukerti, Jadara, Mergayawati, Jasi, dan Nogata.
Tema I Swasta Setahun di Bedahulu ialah bahwa manusia harus menerima nasib yang datang dari Tuhan. H.B. Jassin dalam Tifa Penyair dan Daerahnya (1985) mengelompokkan novel itu ke dalam "novel sejarah". Dalam buku Pujangga Baru (Prosa dan Sajak) dimuat satu fragmen dari novel itu, yaitu "Bertemu dengan I Jadara" (Jassin, 1987). Novel itu pernah disadur menjadi naskah sandiwara oleh Armijn Pane.