Kejantanan Di Sumbing merupakan kumpulan cerita pendek yang ditulis oleh Subagio Sastrowardoyo. Buku kumpulan cerita ini pertama kali diterbitkan oleh PT Pembangunan Djakarta tahun 1965. Pada tahun 1968 buku cetakan pertama setebal 91 halaman diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka. Dalam buku itu terdapat tujuh cerita pendek, yaitu (1) "Perawan Tua"; (2) "Kejantanan di Sumbing"; (3) "Mengarak Jenazah"; (4) "Cuma Rangka-Rangka Besi Tua"; (5) "Wonosari"; (6) "Kota Pendudukan"; dan (7) "Cerita Sederhana tentang Sumur". Salah satu judul cerita pendek, yakni "Kejantanan di Sumbing" dijadikan judul buku.
Cerita pendek "Perawan Tua" mengisahkan Tarminah sangat sedih karena kekasihnya, Suprapto, pamit berperang melawan penjajah. Tarminah yang juga rindu akan kemerdekaan akhirnya ikut gembira dan merestui kepergian kekasihnya. Wanita itu berharap bahwa kemerdekaan berarti peperangan selesai. Suprapto kembali dan mereka akan menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia. Meskipun berjauhan, mereka sering berkomunikasi melalui surat-menyurat. Kesulitan, ketakutan, dan keputusasaan Suprapto yang dituangkan dalam suratnya menjadikan hubungan dan tali kasih mereka semakin erat. Saat Tarminah mengetahui kekasihnya telah gugur di medan perang, ia hampir tidak percaya. Bahkan, Tarminah selalu berangan bahwa kekasihnya masih hidup. Surat-surat cinta dan pasfoto yang terpampang di dinding senantiasa memberi harapan kelak kekasihnya kembali. Tarminah sangat betah berada di rumah bersama foto kekasihnya sehingga tidak pernah menyadari bahwa dirinya telah menjadi tua.
Cerita pendek "Kejantanan di Sumbing" mengisahkan seorang pria (aku) pemberani dan pejuang yang disegani. "Aku" bertindak sebagai algojo tanpa kompromi dan selalu menangkap dan membunuh musuhnya dengan menyodorkan senjatanya ke tengkuk musuhnya di dekat lubang kubur. Setelah itu, "aku" menyepaknya ke dalam lubang lalu menimbunnya dengan tanah. Semua yang diperbuatnya itu sesungguhnya karena "aku" sangat takut disergap oleh Belanda sehingga seluruh musuh dibunuhnya secara kejam. Akibatnya, "aku" merasa gelisah dan tidak pernah tenang.
Suatu ketika kekerasannya mencair karena "aku" bertemu dengan Sulinah. Wanita yang dicurigai sebagai seorang mata-mata itu mampu merayu dan membujuk pejuang kejam itu. Si aku terbuai oleh asmara sehingga timbul benih anak dalam kandungan Sulinah. Aku yang semula ingin membunuh wanita itu menjadi lemah dan urung melakukan kejahatannya karena rasa kemanusiaannya timbul seketika. Aku berusaha menyelamatkan Sulinah, tetapi Sulinah tewas terkena bom yang dijatuhkan Belanda.
Cerita pendek "Mengarak Jenazah" mengisahkan Sri menolak cinta Djono karena setia kepada kekasihnya. Setelah Djono pergi ke Jakarta, Sri putus cinta dengan kekasihnya. Ia kembali menjalin cinta dengan pria lain, tetapi tidak lama dan mereka kembali berpisah. Di sisi lain, Sri masih mengharap cinta Djono yang saat itu sudah sulit ditemuinya. Akhirnya, Sri bunuh diri untuk mengatasi kesedihan dan patah hati
Cerita pendek "Cuma Rangka-Rangka Besi Tua" mengisahkan para gerilyawan kembali ke kota untuk menjadi pejabat pemerintahan setelah peperangan berakhir dan penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah RI berlangsung. Di Yogyakarta Suwito mendapat kedudukan lumayan, tetapi Mudjono (kawannya) tidak semujur Suwito. Ia bersama istrinya hidup kesusahan. Suatu ketika, atas petunjuk Suwito, Mudjono menyelundupkan obat-obatan di apotik tempatnya bekerja. Mudjono yang semula takut akan dosa tidak lagi merasa gentar menghadapi penjara. Akibatnya, Mudjono tertangkap polisi dan dipenjara selama satu tahun. Kehidupan istri Mudjono (Siti) dan anaknya menjadi semakin sulit sehingga Suwito datang membantunya.
Suwito datang kepada Siti meminta balas jasa sehingga Siti terpaksa menyerahkan diri. Siti terpaksa melayani lelaki itu karena tidak mau hidupannya menjadi sengsara seperti dahulu kala hidup bersama suaminya. Suatu hari setelah bebas dari penjara, Mudjono datang menemui istrinya dan ternyata istrinya tengah hamil tua. Mudjono marah dan perkelahian antara Mudjono dan Suwito tidak terelakkan. Mudjono kesal pada istrinya dan beralih ke pelukan seorang pelacur.
Cerita pendek "Wonosari" mengisahkan Pak Dipo merupakan orang yang disegani penduduk di daerah Wonosari karena kekebalannya. Tubuhnya diisi air raksa sehingga peluru tidak dapat menembus tubuhnya. Ia sering didatangi para penduduk yang minta restu kepadanya. Pak Dipo hanya mengingatkan kepada mereka, bahwa setelah manusia itu berusaha memperjuangkan hidupnya, hanya Tuhanlah yang menentukan segala sesuatunya.
Usia Pak Dipo tidak panjang. Ia menderita sakit parah dan tubuhnya hancur. Air raksa yang dulu menyuburkan tubuhnya, kini berbalik menyerang dirinya. Akhirnya, orang tua itu meninggal. Masyarakat merasa sedih kehilangan orang yang dianggap sebagai pelindung. Datangnya tikus nggerayangi tumbuhan ubi sebagai bahan makanan pokok mengakibatkan mereka berpikir tentang takhayul. Saat itu, usia kematian Pak Dipo sudah seribu hari. Mereka semakin panik dilanda kelaparan dan kemiskinan sehingga mereka beramai-ramai menebang kayu jati dan menjualnya ke kota. Mereka sangat berhati-hati. Jika tertangkap, penjara yang mengerikan sudah menunggu.
Cerita pendek "Kota Pendudukan" mengisahkan suasana kota pendudukan. Sudarso datang ke sebuah desa menyamar sebagai preman. Istri dan anaknya ditinggalkan di tempat pengungsian, di rumah Hartono. Sudarso bergerilya dan ditugasi untuk menyelidiki keadaan musuh di kota M. Sorot matanya yang tajam dapat menangkap situasi di mana letak kekuatan dan di mana letak kerapuhannya. Sesampai di kota M, terlihat kota sepi Darso menghilangkan kesepiannya dengan Lastri dan bersama wanita itu muncul keberanian Darso dalam melakukan tugasnya.
Suatu hari, Darso melintasi kompleks pelacuran dan tertarik menolong seorang pelacur yang sedang mengaduh kesakitan. Ternyata pelacur itu ditendang oleh seorang serdadu Belanda yang tidak mau membayar setelah berkencan dengan pelacur itu. Sudarso segera mengejar serdadu Belanda itu bersama para penduduk dan menembak mati sebelum serdadu itu menembakkan senjatanya kepada Sudarso. Penduduk pinggir kota yang kurus dan kuyu juga bersemangat mengeroyok Nica itu karena dendam yang membara di hati mereka. Mereka sebenarnya masih merasa kabur dengan arti kata Tanah Air, tetapi hanya rasa dendam yang menggerakkan mereka ingin membunuh musuhnya. Akhirnya, Darso disekap musuh ketika ia tidak berhasil menyeberangi sungai yang sedang meluap airnya.
Cerpen "Cerita Sederhana tentang Sumur" mengisahkan Pak Karto mempunyai anak gadis cantik (Suminten) sehingga ia berjanji dalam hatinya untuk melepas anaknya menikah dengan pria terpandang dan bertanggung jawab. Suatu ketika datang dua orang tentara menginap di rumahnya. Salah seorang tentara itu tertarik dan melamar gadis itu kepada Pak Karto dengan memberi sebuah jam saku sebagai pengikatnya. Namun, Suminten terlanjur menjalin cinta dengan pemuda yatim piatu miskin yang tidak diakui saudara-saudaranya. Ayah Suminten semula menolak perkawinan itu karena Sagiman masih memiliki hubungan saudara dengan Suminten. Namun, Suminten tetap bertahan mendengar sejarah keluarga Sagiman yang dianggap anak Jepang yang haram karena ibunya tidak menikah dengan ayah Sagiman. Kedua anak itu tetap nekat saling mencintai dan mereka akhirnya menikah.
Suatu hari, ayah Suminten bingung menerima tamu tentara yang pernah melamar anaknya. Ayah yang malang itu berniat ingin membunuh Sagiman dengan memfitnah laki-laki itu sebagai pencuri arloji hadiah dari calon menantu yang dikaguminya. Sagiman yang berjalan timpang tidak dapat berlari kencang sehingga tertangkap penduduk dan dihajar seketika lalu dimasukkan ke sumur di belakang rumah mertuanya. Sebelum pergi berlari, Sagiman sempat meluapkan kemarahannya kepada ayah mertuanya dengar berteriak mengatakan ayah mertuanya gila sambil mengepalkan tangannya. Sejak saat itu sumur menjadi keramat. Siapa yang berani minum air di sumur itu pasti mati. Pak Karto terpaksa membuat sumur baru.
Ajip Rosidi (1976) dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia berpendapat, bahwa cerpen-cerpen dalam Kedjantanan di Sumbing bahasanya sangat jernih dan bersih. Lukisan-lukisan kejiwaan dalam meneliti gerak gerik batin pelaku-pelaku ceritanya, misalnya cerpen "Perawan Tua" sangat menyaran, melukiskan keadaan jiwa seorang gadis yang karena mau setia kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda lalu menghadapi hidupnya yang sepi. Cerpen itu plotnya mengingatkan kita kepada cerpen "Tujuan Hidup" karya Armijn Pane, tetapi dalam pengerjaan dan pendalaman sangat jauh berbeda. Cerpen "Perawan Tua" merupakan salah sebuah prosa terindah yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia.