Kooong merupakan novel terakhir karya Iwan Simatupang yang diterbitkan tahun 1975 oleh Pustaka Jaya dengan ketebalan 93 halaman. Kulitnya terdiri atas beberapa warna dan judulnya ditulis dengan warna merah di atas warna putih. Ilustrasi yang menghiasi sampul buku itu berupa gambar seekor perkutut yang sedang bertengger di atas sarangnya. Cetakan kedua novel ini diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 2013.
Penerbitan novel itu merupakan anjuran dari Ajip Rosidi karena Ajip diminta mencoba mengusahakan beberapa naskah cerita hasil Sayembara Mengarang Roman Bacaan Remaja yang diselenggarakan oleh IKAPI. Ketika menemukan sebuah naskah yang berjudul Kooong, Ajip Rosidi merasa bahwa gaya berceritanya adalah gaya Iwan Simatupang. Akan tetapi, nama pengarangnya adalah Kebo Kenangan (nama samaran). Ajip Rosidi mengatakan sebagai berikut. "Gaya penulisan naskah tersebut segera mengingatkan saya kepada gaya Iwan Simatupang. Akan tetapi, saya sama sekali tidak mempunyai dugaan bahwa orang seperti Iwan Simatupang mau mengikuti Sayembara Mengarang Roman untuk Bacaan Remaja. Saya memang tahu bahwa dalam Sayembara Mengarang Roman yang diselenggarakan oleh IKAPI atas anjuran UNESCO pada tahun sebelumnya yang saat itu saya menjadi salah seorang anggota jurinya, turut pula naskah roman Iwan Simatupang, berjudul Ziarah, tetapi saya mendengar kabar bahwa yang memasukkan naskah tersebut bukanlah pengarangnya, melainkan penerbitnya".
Novel terakhir karya Iwan Simatupang itu melukiskan keadaan masyarakat petani dalam lingkup pedesaan yang mendapat imbas pengaruh dari teknologi perkotaan. Isi novel terbagi atas sembilan bab masing-masing berupa bilangan seperti SATU, DUA, atau TIGA. Setiap bab terdiri atas beberapa bagian sendiri yang ditandai oleh tanda bintang.
Novel Kooong bercerita tentang seorang tua gemuk yang menjadi orang terkemuka di desanya, Pak Sastro, dengan seekor perkutut yang tidak dapat berbunyi (tidak memiliki Koong). Karena perkutut itu hilang, Pak Sastro meninggalkan desa untuk mencari perkutut itu. Kepergian Pak Sastro membuat masalah lain, yaitu penggarapan sawah dan kebunnya yang tidak teratur lagi. Masyarakat desa kembali menjadi masyarakat modern yang penuh dengan kebisingan oleh radio transistor dan skuter. Kisah masyarakat yang asing yang berubah menjadi masyarakat tradisional merupakan penekanan dalam novel itu. Akan tetapi, tema novel itu ialah bahwa dalam memasuki daerah kebebasan, kita justru terikat sehingga berada dalam ketidakbebasan itu. Novel ini menonjolkan tokoh yang tidak bernama, kecuali Pak Sastro dan Keprawi. Selanjutnya, tokoh-tokoh disebut atau dipanggil dari ciri jasmani, jabatan, atau sifatnya, seperti Si Jangkung, Si Kerempeng, Pak Lurah, Pak Carita, dan Anak Kolong.
Kedudukan novel Kooong membawa misi baru dalam persoalan yang dikemukakan Iwan. Pada salah satu surat Iwan Simatupang kepada H.B. Jassin sebelum Iwan Simatupang meninggal dunia ada berita yang berbunyi, "Profil mencari pasti kutemukan dalam novel, itu pasti menyusul." Novel yang muncul lama setelah kesulitan itu diucapkan oleh Iwan adalah novel Kooong. Dengan ditemukannya naskah "Koong" dalam sayembara itu dapat diduga bahwa novel yang berprofil seperti apa yang digambarkan oleh Iwan Simatupang itu adalah novel Kooong.
Jakob Sumardjo (1980) menyatakan bahwa novel Khotbah di atas Bukit dan Kooong terlalu asyik dengan persoalan metafisik. Dalam hal ini kegagalan juga sama. Keduanya terlalu menonjolkan masalahnya. Mereka tidak bercerita tentang manusia untuk membuktikan pandangan pengarang, tetapi mengemukakan pandangannya lewat "cerita" yang baru kemudian disesuaikan dengan pandangannya itu.
Dami N. Toda (1994) menyatakan bahwa dari novel Kooong sebagaimana karya Iwan Simatupang lainnya didapatkan kesan makna kebebasan manusia itu apa, dan semuanya yang Nampak hanya irasionalisme-irasionalisme belaka.