• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 
Keroncong Motinggo   (1975)
Kategori: Karya Sastra

 
 

Keroncong Motinggo merupakan judul buku kumpulan sajak yang ketiga karya Subagio Sastrowardojo sesudah buku kumpulan sajaknya Simphoni (1957) dan Daerah Perbatasan (1970). Keroncong Motinggo pertama kali diterbitkan oleh penerbit PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1975. Gambar jilid sampul depan dibuat oleh Popo Iskandar dan dicetak oleh Fa Aries Lima, Jakarta. Buku setebal 116 halaman ini memuat dua bagian kumpulan sajak, yaitu "Keroncong Motinggo" (15 sajak) dan "Genesis" (43 sajak), serta dilengkapi dengan esai Subagio Sastrowardojo sendiri yang berjudul "Mengapa Saya Menulis Sajak". Dari 58 sajak yang terkumpul dalam buku Keroncong Motinggo itu, Subagio Sastrowardojo kemudian memilih 27 sajak untuk dimuat dalam penerbitan seratus sajak pilihannya selama kurun waktu 34 tahun menulis sajak (1957–1991), yaitu dalam bukunya Dan Kematian Makin Akrab (1995) yang diterbitkan oleh Grasindo.

Bagian pertama buku Keroncong Motinggo, bersubjudul sama dengan nama buku kumpulan sajak itu, memuat 15 sajak yang terbagi menjadi 3 subbagian tema, yaitu (1) "Keroncong Motinggo" memuat 11 sajak, (2) "Gerimis" memuat satu sajak, dan (3) "Hotel" memuat tiga sajak. Sementara itu, bagian kedua "Genesis" memuat 43 sajak yang terbagi menjadi lima subbagian tema, yaitu (1) "Genesis" memuat 14 sajak, (2) "Matahari Sudah Tua" memuat 6 sajak, (3) "Kulit Bawang" memuat 11 sajak, (4) "Wawancara" memuat satu sajak, dan (5) "Kayon" memuat 11 sajak.

Penanda angka I abjad Romawi di depan frasa "Keroncong Motinggo" dalam "Daftar Isi" (halaman 5) dan halaman 9 sebagai simbol yang menunjukkan bahwa bagian itu merupakan bab pertama lazimnya sebuah buku. Demikian pula dengan penanda angka II abjad Romawi di depan kata "Genesis" dalam "Daftar Isi" (halaman 5) dan halaman 35 juga sebagai petunjuk bahwa yang tersebut dalam tulisan itu sebagai bab atau bagian kedua sebuah buku. Bagian pertama itu berisi sajak-sajak nyanyian tanah air. Penyair berbicara tentang "Proklamasi" negeri ini yang telah lama dikumandangkan oleh sang proklamator. Kemudian juga, penyair berbicara tentang lambang negara burung "Garuda" yang menjadi kebanggaan setiap warga negara. Di negeri ini juga penuh mitos rakyat, pergantian musim yang selalu membuat perubahan cuaca serta berdiri hotel-hotel untuk penginapan para turis asing dan domestik sekadar melakukan mesum bersama pasangannya.

Pada bagian kedua buku itu penyair banyak berbicara tentang penciptaan dunia seisinya. Kata genesis merupakan padanan kata kejadian. Seperti yang diakui oleh penyairnya, meskipun ia bukan seorang Nasrani, banyak referensi dalam bagian kedua ini mengambil cerita-cerita purba dari Alkitab Perjanjian Lama, seperti dalam sajak "Genesis", "Adam", "Abil dan Kabil", "Nuh", dan "Menara" Babel. Selain itu, juga diambil pula acuan dari Al Quran dalam sajaknya "Mikraj" dan "Bintang". Itu semua dilakukan oleh Subagio Sastrowardojo sesuai dengan pernyataannya menjawab kritik H.B. Jassin dalam buku kumpulan sajak sebelumnya, yaitu "Aku bukan penganut buta suatu ajaran atau dogma agama."

Oleh karena itu, masih dalam bagian kedua subbab "Kayon" Subagio Sastrowardojo berbicara banyak tentang dunia wayang Jawa, mulai dari "Kayon" atau gunungan sebagai simbol kehidupan. "Pagelaran" wayang kulit atau wayang orang yang penuh estetis greget, banyol, nges, dan sem membuat penonton terbuai. Kemudian, tokoh-tokoh pewayangan seperti Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Rama, Sita, hingga "Dalang" atau orang yang memainkan cerita wayang itu sendiri. Dalam penjelajahannya ke berbagai dimensi kehidupan dunia wayang ini, Subagio Sastrowardojo dapat memberi petuah ajaran nenek moyangnya, yakni manusia Jawa.

Seperti yang dikemukan dalam esainya, "Mengapa Saya Menulis Sajak", pada bagian penutup buku Keroncong Motinggo ini Subagio Sastrowardojo berbicara tentang tema kesepian dan cinta jasmaniah, nasib yang tak menentu, dan juga tentang kematian atau maut. Tema yang terakhir ini berulang kali kerap mengganggu dirinya sehingga membuatnya selalu masygul. Kerisauan Subagio tentang kematian, maut, atau ajal ini telah membuat dirinya semakin akrab dengan kematian. Semakin dipikirkan semakin membuat risau sehingga semakin banyak yang ditulis tentang kematian itu. Apabila ia berhasil menuliskan sajaknya tentang kematian itu, seolah-olah dirinya mengalami semacam katarsis, pembersihan batin sehingga meredakan ketakutan akan kematian.

 
PENCARIAN TERKAIT

  • Motinggo Boesje
    Motinggo Boesje sebenarnya bukan nama asli, tetapi justru nama itulah yang lebih dikenal daripada nama aslinya, yakni Bustami Djalid. Sastrawan yang lahir di Kupangkota, Lampung ini mempunyai ...
  •  
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
     
    Keroncong Motinggo   (1975)
    Kategori: Karya Sastra

     
     

    Keroncong Motinggo merupakan judul buku kumpulan sajak yang ketiga karya Subagio Sastrowardojo sesudah buku kumpulan sajaknya Simphoni (1957) dan Daerah Perbatasan (1970). Keroncong Motinggo pertama kali diterbitkan oleh penerbit PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1975. Gambar jilid sampul depan dibuat oleh Popo Iskandar dan dicetak oleh Fa Aries Lima, Jakarta. Buku setebal 116 halaman ini memuat dua bagian kumpulan sajak, yaitu "Keroncong Motinggo" (15 sajak) dan "Genesis" (43 sajak), serta dilengkapi dengan esai Subagio Sastrowardojo sendiri yang berjudul "Mengapa Saya Menulis Sajak". Dari 58 sajak yang terkumpul dalam buku Keroncong Motinggo itu, Subagio Sastrowardojo kemudian memilih 27 sajak untuk dimuat dalam penerbitan seratus sajak pilihannya selama kurun waktu 34 tahun menulis sajak (1957–1991), yaitu dalam bukunya Dan Kematian Makin Akrab (1995) yang diterbitkan oleh Grasindo.

    Bagian pertama buku Keroncong Motinggo, bersubjudul sama dengan nama buku kumpulan sajak itu, memuat 15 sajak yang terbagi menjadi 3 subbagian tema, yaitu (1) "Keroncong Motinggo" memuat 11 sajak, (2) "Gerimis" memuat satu sajak, dan (3) "Hotel" memuat tiga sajak. Sementara itu, bagian kedua "Genesis" memuat 43 sajak yang terbagi menjadi lima subbagian tema, yaitu (1) "Genesis" memuat 14 sajak, (2) "Matahari Sudah Tua" memuat 6 sajak, (3) "Kulit Bawang" memuat 11 sajak, (4) "Wawancara" memuat satu sajak, dan (5) "Kayon" memuat 11 sajak.

    Penanda angka I abjad Romawi di depan frasa "Keroncong Motinggo" dalam "Daftar Isi" (halaman 5) dan halaman 9 sebagai simbol yang menunjukkan bahwa bagian itu merupakan bab pertama lazimnya sebuah buku. Demikian pula dengan penanda angka II abjad Romawi di depan kata "Genesis" dalam "Daftar Isi" (halaman 5) dan halaman 35 juga sebagai petunjuk bahwa yang tersebut dalam tulisan itu sebagai bab atau bagian kedua sebuah buku. Bagian pertama itu berisi sajak-sajak nyanyian tanah air. Penyair berbicara tentang "Proklamasi" negeri ini yang telah lama dikumandangkan oleh sang proklamator. Kemudian juga, penyair berbicara tentang lambang negara burung "Garuda" yang menjadi kebanggaan setiap warga negara. Di negeri ini juga penuh mitos rakyat, pergantian musim yang selalu membuat perubahan cuaca serta berdiri hotel-hotel untuk penginapan para turis asing dan domestik sekadar melakukan mesum bersama pasangannya.

    Pada bagian kedua buku itu penyair banyak berbicara tentang penciptaan dunia seisinya. Kata genesis merupakan padanan kata kejadian. Seperti yang diakui oleh penyairnya, meskipun ia bukan seorang Nasrani, banyak referensi dalam bagian kedua ini mengambil cerita-cerita purba dari Alkitab Perjanjian Lama, seperti dalam sajak "Genesis", "Adam", "Abil dan Kabil", "Nuh", dan "Menara" Babel. Selain itu, juga diambil pula acuan dari Al Quran dalam sajaknya "Mikraj" dan "Bintang". Itu semua dilakukan oleh Subagio Sastrowardojo sesuai dengan pernyataannya menjawab kritik H.B. Jassin dalam buku kumpulan sajak sebelumnya, yaitu "Aku bukan penganut buta suatu ajaran atau dogma agama."

    Oleh karena itu, masih dalam bagian kedua subbab "Kayon" Subagio Sastrowardojo berbicara banyak tentang dunia wayang Jawa, mulai dari "Kayon" atau gunungan sebagai simbol kehidupan. "Pagelaran" wayang kulit atau wayang orang yang penuh estetis greget, banyol, nges, dan sem membuat penonton terbuai. Kemudian, tokoh-tokoh pewayangan seperti Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Rama, Sita, hingga "Dalang" atau orang yang memainkan cerita wayang itu sendiri. Dalam penjelajahannya ke berbagai dimensi kehidupan dunia wayang ini, Subagio Sastrowardojo dapat memberi petuah ajaran nenek moyangnya, yakni manusia Jawa.

    Seperti yang dikemukan dalam esainya, "Mengapa Saya Menulis Sajak", pada bagian penutup buku Keroncong Motinggo ini Subagio Sastrowardojo berbicara tentang tema kesepian dan cinta jasmaniah, nasib yang tak menentu, dan juga tentang kematian atau maut. Tema yang terakhir ini berulang kali kerap mengganggu dirinya sehingga membuatnya selalu masygul. Kerisauan Subagio tentang kematian, maut, atau ajal ini telah membuat dirinya semakin akrab dengan kematian. Semakin dipikirkan semakin membuat risau sehingga semakin banyak yang ditulis tentang kematian itu. Apabila ia berhasil menuliskan sajaknya tentang kematian itu, seolah-olah dirinya mengalami semacam katarsis, pembersihan batin sehingga meredakan ketakutan akan kematian.

     
    PENCARIAN TERKAIT

  • Motinggo Boesje
    Motinggo Boesje sebenarnya bukan nama asli, tetapi justru nama itulah yang lebih dikenal daripada nama aslinya, yakni Bustami Djalid. Sastrawan yang lahir di Kupangkota, Lampung ini mempunyai ...
  • Motinggo Boesje
    Motinggo Boesje sebenarnya bukan nama asli, tetapi justru nama itulah yang lebih dikenal daripada nama aslinya, yakni Bustami Djalid. Sastrawan yang lahir di Kupangkota, Lampung ini mempunyai ...
  •  
     
     
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa