| |
Madah Kelana merupakan kumpulan sajak karya Sanoesi Pane yang diterbitkan tahun 1931 oleh Balai Pustaka, Jakarta, dengan ketebalan 59 halaman. Dalam kumpulan sajak tersebut terhimpun 49 judul sajak, yaitu (1) "Teratai", (2) "Taj Mahal", (3) "Kepada Krisyna", (4) "Wijaya Kusuma", (5) "Arjuna", (6) "Kembang Melati", (7) "Angin", (8) "Rindu", (9) "Melati", (10) "Dibawa Gelombang", (11) "Keluh", (12) "Tanah Bahagia", (13) "Kemuning", (14) "Bercinta", (15) "Betapa Kami Tidakkan Suka", (16) "Kasih", (17) "Di Tepi Jamuna", (18) "O' Dengar!", (19) "Ke Dwarawati", (20) "Kecapi", (21) "Pujangga", (22) "Lautan Waktu", (23) "Doa", (24) "Gadis Lembah", (25) "Bagi Kekasih", (26) "Biarkan Daku", (27) "Kecewa", (28) "Kenangan", (29) "Arca", (30) "Rindu Dendam", (31) "Majapahit", (32) "Syiwa Nataraja", (33) "Candra", (34) "Candi Mendut", (35) "Bahagia", (36) "Mencari", (37) "Tempat Bahagia", (38) "Awan", (39) "Penyanyi", (40) "Bayang-Bayang", (41) "Kesadaran", (42) "Panggilan", (43) "Terima Salamku", (44) "Bimbang", (45) "Pagi", (46) "Cinta", (47) "Sajak", (48) "Damai", dan (49) "Bersila."
Madah Kelana bercerita tentang kesadaran kebangsaan yang menggugah kesadaran berbuat dan berkewajiban, sedangkan ia merasa "Tidak ada yang sudah tercapai" hatinya kosong serta tangannya hampa. Oleh karena itu, sebagai "Arjuna" yang merasa mempunyai beban kewajiban yang berat setelah mendengar petuah Krisyna di padang Kuru dalam Bhagavad Gita, ia meminta agar dirinya dibebaskan dari kesadaran itu. Kehidupan tak tahu apa, lupa, tenggelam dalam kegelapan, yang diinginkannya karena dalam keadaan seperti itu tidak ada kesadaran. Dan, karena itu tidak ada pula panggilan hati untuk menunaikan kewajiban. Hal itu dapat dilihat dalam sajak "Kepada Krisyna", tetapi hal itu mustahil karena meskipun "hanya sedikit yang tahu jalan" dan lebih sedikit lagi "yang dapat mencapai gerbang taman," seruling Krisyna "memanggil engkau dengan sih trisna." Sekali kesadaran tergugah, maka ia tidak bisa dilenyapkan: "Engkau dipanggil senantiasa." "Widjaja Kesuma." Tidak bisa tidak. Ia termasuk orang yang sedikit itu. Maka sekali lagi ia merasa dirinya sebagai "Arjuna" yang mendapat petuah Krisyna.
Sekali itu, bahkan kesadaran itu demikian kerasnya sehingga ia rindu ke padang Kuru (tempat Pandawa dan Korawa berperang), merasakan "kedewaan bernyala dalam hati." Dan ia yakin benar bahwa "tidak ada yang dapat melintang" menghalangi "Jalan menuju maksudku: Menang berjuang bagi Ratuku." Akan tetapi, keraguan bukan hal yang tidak pernah dialaminya pula. Keyakinan saja belum membuat apa-apa dan belum menerangkan apa yang akan dan harus dibuat, maka kadang-kadang ia menyalahkan dirinya yang lalai. Hal itu dapat dilihat dalam sajak "Kembang Melati".
Dan selagi berjalan di tepi sungai Jamuna, tatkala ia mengembara di India, ia bertanya-tanya, "Bergunakah mimpi dan cita-citaku?" karena ia merasa "hari datang dan pergi dan aku tinggal berangan-angan" belaka. Hal tersebut terlihat dalam sajak "Di tepi Jamuna". Apabila berjalan-jalan di bekas peninggalan keraton Majapahit yang konon dahulu jaya, ia pun bertanya kepada Dewata, "Apabila gerangan akan kembali kemegahan dan keindahan tanah airku?". Dalam "Majapahit" ia agaknya sudah yakin akan hal itu. Yang masih menjadi pertanyaan hanyalah kapankah gerangan waktu yang diharapkan dan dicita-citakannya itu akan tiba. Dalam melihat bekas-bekas kerajaan Majapahit, ia "terkenang dulu, dan teringat waktu sekarang." Suasana masa hidupnya menimbulkan kebimbangan hati sehingga ia ragu untuk "membunyikan lagu pada kecapi." Ia termenung karena "tanah air mengeluarkan lagu yang tidak menyambung waktu silam" dan ia merasa "hati (ku) lemah mendengar suara yang tidak sepadan dengan kehijauan tanah air (ku)." Akan tetapi, dalam sajak "Pujangga" ia menyadarkan tugas pujangga supaya lagu nyanyiannya "beralun-alun sampai ke darat kebakaan" dan menjadikan "cerlang cemerlang dalam kegelapan tanah airmu" bagaikan "matahari emas, yang terjadi dengan kekuasaan kesaktianmu." Sebagai pujangga, ia harus melagukan sulingnya hingga "terdengar di tengah suara hewan kegelapan" sehingga terlayangkan "sayap harapan kepada mereka, yang tiada dipenjara perasaan beku." Untuk itu, jangan sesuatu pun menjadi rintangan, tetapi sebagai kenangan meskipun tak mungkin dicapai dengan tangan, ia mencapai keabadian. Ia akan selalu hidup dan membawa ingatan penyair kepadanya apabila melihat hal-hal yang bersangkutan dengan dia. Misalnya, apabila penyair melihat batang kemuning, terkenang ia akan "waktu dahulu" karena "di bawah daunmu," "adinda mendapatkan daku". "Kami membisikkan cinta berganti-ganti," "Kemuning", begitu pula pada pagi-pagi pergi ke pancuran terbayang pula olehnya adinda tercinta "menyandang perian, mengerling memandang daku dan tersenyum sedikit." Dan itu semua sudah yang "waktu bercinta pergi" dan ia merasa "tidak pernah lagi angin berahi bertiup di tanah karang hatiku." Hal itu terlihat dalam sajak "Kenangan."
Sajak yang berjudul "Kecewa" memberi penerangan sedikit tentang cinta yang gagal itu. Ketika pulang ke kampungnya hendak menjemput kekasihnya, penyair kecewa karena "adinda kulihat di sisi orang yang lain." Kekecewaan itu menyebabkan "pergi ke luar kampung, meratap, memetik mutiara, yang kujelujur jadi rantai untuk tunanganku, perlahan-lahan dengan jari yang gemetar, pada tiap kumpul berhenti, karena tiap mutiara menceritakan waktu melarat di negeri orang." Dengan putus asa, ia pun "berangkat ke dalam kegelapan malam."
Pengalamannya yang pahit (dalam percintaan) dan kekecewaan yang memenuhi kalbunya, menyebabkan penyair tidak jemu-jemunya mencari tempat bahagia, kedamaian dan ketenangan dalam hidup itu. Di depan "Taj Mahal" yang indah mulia itu, ia merasa dirinya seorang yang berduka nestapa bagaikan seorang peminta di depan gapura cinta.
Cinta, sayang, bahagia dan ketenangan adalah yang selalu dirindukan penyair. Ia hendak melepaskan pikirannya, agar terbang ke langit yang hening-tenang supaya hatinya mendapat cinta dan sayang. Hal itu tertuang dalam sajak "Keluh." Dan, ia pun mengharap dirinya akan tiba "ke negara sana" yakni "tempat bahagia," yang tanahnya subur serta "dipanasi kasih cinta" dan "tasik kesucian memerak silau." Sementara hatinya sendiri dilamun duka, "dibelah sengsara setiap hari" tak henti-hentinya berkeluh-kesah maka "tanah bahagia, bersinar emas permata, dalam duka cita engkau mematahari." "Tanah Bahagia." Dan ia sadar bahwa yang berhak seperti ia itu, tak hanya seorang. Dipetiknya suling agar didengar juga oleh "orang yang berjuang yang rindu kepada kedamaian dan keteduhtenangan" dan dalam malam duka nestapa kadang-kadang menyanyikan juga "Kecapi." Ia melihat dirinya bagai tempurung yang diempas-empaskan badai dan gelombang setinggi gunung dalam lautan waktu. Ia berhenti berenang dan membiarkan dirinya dipermainkan gelombang. Akan tetapi, ia tidak menyerah "Tangan kukembangkan dan mulai lagi mengarungi laut, sebatang kara dalam 'alam tidak berbatas" "Lautan Waktu." Ia pun merindukan ketenangan dan kedamaian di sisi kekasih yang diharapkannya akan menurunkan cinta dan rahmat yang telah bertahun-tahun ia cari. Ia berdoa agar dirinya bisa bersanding dengan kekasih "melayang sebagai garuda menuju kebiruan langit nilakandi," hal itu terlihat dalam "doa".
Tentang semuanya itu belum juga menyampaikannya ke tempat bahagia yang sesungguhnya. Ia baru mendoakan kekasihnya untuk mencapai kedamaian dan ketenangan jiwa. Dan, ia masih meminta tenaga untuk bisa bersama terbang bagaikan garuda. Ketenangan dan kedamaian itu sendiri belum lagi diperolehnya. Maka, tempat bahagia juga belum tampak olehnya. Tatkala bersua dengan seorang "gadis lembah", ia berharap agar gadis lembah itu bisa menunjukkan tempat yang sedang dicarinya itu.
Tidak. Orang tidak ada yang sanggup menunjukkan tempat yang dicarinya itu kepadanya. Bahkan, gadis lembah pun tidak meskipun dengan penuh pengertian telah menerimanya dan mengheraninya karena "tidak berumah, tidak berkawan. Tiap hari hanya mengembara." Ya, jangankan gadis lembah, perpustakaan dunia yang segala bukunya telah ia baca, memberinya petunjuk "Mencari." Akan tetapi, akhirnya si pencari menemukan apa yang ia cari. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan falsafi yang selalu mengganggu, menggelisahkan, serta mengharu-biru kalbunya tentang kedamaian, tempat bahagia dan ketenangan itu akhirnya didapatnya juga. Tidak, bukan karena orang lain menunjukkannya kepadanya. Namun, jawaban itu didapatnya dalam pengalamannya yang mistis.
Dalam mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengguncang jiwanya itu, ia sampai di tanah India—mungkin tanah sesungguhnya yang dirindukannya dalam "Tanah Bahagia." Sepeti terbukti dari buah tangannya, tanah suci agama Hindu dan Budha itu telah memberikan dorongan kepada Sanusi Pane buat menciptakan sajak-sajak dan drama. Penuh kagum dan haru penyair itu menjelajah tanah yang sebelumnya telah ia kenal dan mimpikan melalui bacaan. Tanah yang telah ia kenal melalui Ramayana, Mahabharata, Bhagavad Gita, kitab-kitab suci agama Hindu dan Budha serta kitab-kitab sejarah dan sejarah kebudayaan itu bagaikan hidup kembali baginya. Dan, tatkala ia berjalan dari satu tempat bersejarah ke tempat bersejarah yang lain, seolah-olah terdengar ada yang berbisik ke dalam telinganya: "tempat bahagia dalam hatimu sendiri."
Pengalaman secara jasmaniah dan mistis itu ditulisnya dalam sebuah sajak yang merupakan salah satu sajak besar dalam bahasa Indonesia yang berjudul "Syiwa Nataraja." Sebagai seorang kelana yang tak bosan-bosannya mengembara, ia telah "memandang hampir segala yang indah yang belum punah". Namun, apa yang disaksikannya tatkala "memandang naiknya Surya Dewa ke cakrawala" baginya merupakan pengalaman yang paling utama karena telah menyadarkannya akan jawaban terhadap pertanyaan hati yang selalu mencari tempat bahagia. Tatkala itulah, ia terkenang akan Nataraja, Syiwa sebagai penari. Kenangan itulah yang menyebabkan ia sadar akan hakekat kehidupan: hidupnya sendiri dan seluruh kehidupan umat manusia.
Selanjutnya, sampailah ia di tempat yang selama itu dicarinya. Pertanyaan falsafi yang selama itu menggelisahkannya, telah terjawab, tetapi mengetahui belum berarti mengalami, antara ilmu dan amal masih terbentang jarak. Dan jarak itulah yang sebagai mistikus hendak dihilangkannya. Tatkala ia berada di "Candi Mendut," menghadapi "Berhala Budha di atas takhta" dengan "Wajahnya damai dan tenang tenang." Ia telah merasakan kedamaian suasana dan tempat itu. Waktu bagaikan telah berhenti di situ dan segala yang dualistis telah menyatudiri. Dan, ia tahu sekarang, bahwa "bahagia" tidaklah berbentuk manusia-dewi atau cahaya yang memancar dari kekasih. Akan tetapi, tatkala telah mendapat cinta, ia pun tahu bahwa cinta badani bukanlah "bahagia yang dinanti-nanti" dan ia kembali "berdiri miskin dan hina" "menanti bahagia tiba."
Pengalamannya mencari bahagia itu, berkali-kali ia lukiskan dalam sajak-sajaknya yang berikutnya. Dalam "Mencari" ia menceritakan betapa sia-sia ia telah mencarinya di India, Yunani, Roma, dan filsafat Barat beserta buku-bukunya, sedangkan bahagia telah lama menantinya dalam taman hatinya sendiri. Hal yang sama diulanginya pula dalam sajak "Tempat Bahagia." Sajak "Awan" melukiskan, bagaimana ia telah menyatukan ilmu dengan amal. Ia telah mampu melenyapkan diri beserta jiwanya dalam kehidupan yang teduh tenang. Dan manusia pujangga sekarang bukan lagi "penyanyi" lagu duka yang murung, melainkan seorang yang sudah arif, yaitu "Penyanyi Lagu Mulia" yang akan bersila dengan jiwa tersenyum "kalau dunia gundah gulana" sebab telah "merasa kegemataran nyawa dunia."
Apabila untuk diri sendiri telah jelas pegangan, ia pun mengarahkan pandang kepada orang lain. Dan kepada orang yang masih juga mencintai alam jasmani serta dunia "yang tidak tetap, tidak tentu yang selalu berganti," ia menganjurkan agar melihat "kepada asal semua," karena "di sana tuan akan bersua, dengan kebenaran yang tidak berganti. Dengan kehidupan yang tidak akan mati, hal itu terlihat dalam sajak "Bayang-Bayang." Kepada kekasihnya yang ia anggap belum mencapai kesadaran seperti dia, ia mengajak agar jangan ragu "Terbang ke sana, dengan melalui hati sendiri". Hal itu terlihat dalam sajak "Kesadaran." Dan kepada orang yang menderita, ia menyerukan panggilan agar sudi masuk "Ke dalam taman bahagia raya" yaitu "taman jantung hatiku."
Dan dalam sajaknya berikut yang berjudul "Terima Salamku" diulanginya lagi seruan kepada orang "yang mengeluh di bawah beban penderitaan" serta "di rawan percintaan" karena "Tidak ada badai yang tidak akhirnya teduh." Dan pada "pagi" yang cerah tatkala "Alam bersuka raya, gelak tersenyum, Berseri-seri, dipeluk si raja siang" serta "Duka Nestapa sudah diganti riang sebab sinar bahagia datang mencium," ia berseru kepada jiwa yang senantiasa meratap, lantaran "Apa guna menangisi waktu yang silam?" Bahagia telah datang pagi hari, tersenyum bagai kencana dan harum bagai cendara bersama cinta yang bersinar bagai matahari "Cinta". Maka, kehidupan melayang sebagai bayang-bayang melintas jiwa "Damai."
Sajak terakhir dalam kumpulan itu "Bersila" melukiskan manusia yang sudah bebas merdeka. Alam cintanya tidak berwatas karena tidak dihalangi lagi tembok perasaan maka sukma pun melayang dengan tenteram. Waktu hanya mendesik, tetapi tidak lagi mengganggu. Waktu bukan lagi lautan yang gelombangnya mengempas-empas bagaikan mempermainkan tempurung "Lautan Waktu." Bahkan hidup dan mati yang datang dan lalu pun tidak menjadi soal lagi. Ia tetap tenang bersila.
Ajip Rosidi dalam Membicarakan Sajak Indonesia Jilid I (1975) menguraikan bahwa Madah Kelana adalah kumpulan sajak Sanusi Pane yang ketiga dan dianggap telah menjawab pertanyaan-pertanyaan falsafi sehingga ia merasa telah menemukan dasar hidupnya. A. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia Jilid 1 (1980) menguraikan bahwa Madah Kelana adalah buku pertama yang patut dicatat setelah tahun 1928 (1931). Dari segi sajak, buku tersebut memperlihatkan kemajuan yang lebih jelas jika dibandingan dengan karya-karya Sanusi Pane yang terdahulu. Lebih lanjut A. Teeuw (1980) menguraikan bahwa dalam Madah Kelana keyakinan teosofi pengarangnya lebih terlihat jelas. Pada bagian pertama kumpulan sajak tersebut terdapat kerinduan terhadap kelupaan dan pembebasan dari segala cita-cita. Kebahagiaan duniawi maupun rohani masih terus menerus menjadi suatu cita-cita yang tidak kunjung tercapai.
H.B. Jassin dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I (1985) menguraikan bahwa Madah Kelana adalah kumpulan 50 sajak dan prosa berirama. 12 di antaranya berbentuk soneta. Sebagian sajak dikarang dalam perjalanannya ke Inia dan sebagian lagi dikarang di Jawa tahun 1929—1930. Dalam Madah Kelana terlihat suatu kekaguman pada jiwa Inia yang dipandangnya "gilang-gemilang" dan dirasanya "mahamulia" (Syiwa-Nataraja). Bagian yang menarik dalam Madah Kelana ialah banyaknya nama, kata-kata, istilah, dan perbandingan yang diambil dari kesusastraan India, seperti "Teratai" (bunga suci orang India), "Kepada Krisjna", "Arjuna", dan "Syiwa-Nataraja". Akan tetapi, pengambilan nama, kata-kata, istilah, dan perbandingan tersebut tidak berarti bahwa tidak ada keaslian dan keharuan rasa dalam pernyataan. Dalam "Kepada Krisjna", salah satu contoh sajak berbentuk soneta, terlihat isi yang terpengaruh Inia dan bentuk yang terpengaruh Belanda. Pola sudah menyimpang dari yang asli karena sudah melalui Belanda. Pola asli adalah a-b-b-a, a-b-b-a, c-d-c, d-c-d, sedangkan pada "Kepada Krisjna" pola adalah a-b-a-b, a-c-a-c, d-e-e, d-a-a.