Langit Makin Mendung merupakan cerita pendek karya Ki Panji Kusmin yang dimuat dalam majalah Sastra edisi Agustus 1968. Cerpen tersebut dimuat lagi dalam buku H.B. Jassin yang berjudul Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggungan Jawab yang diterbitkan Gunung Agung tahun 1970. Penanggung jawab majalah tersebut adalah H.B. Jassin. Langit Makin Mendung menjadi pemicu peristiwa sastra yang disebut "Heboh Sastra" yang membawa H.B. Jassin ke depan pengadilan.
Langit Makin Mendung berkisah tentang Nabi Muhammad yang mempunyai keinginan untuk melakukan mikraj ke langit sekali lagi. Bersama-sama dengan Jibril yang sudah tua, Nabi Muhammad menghadap Tuhan. Tuhan pada saat itu sedang memakai kacamata hitam di depan meja marmer. Tuhan pun mengizinkan Nabi Muhammad dan Jibril melakukan mikraj lagi dengan burak yang dulu Nabi pakai. Dalam perjalanan menuju angkasa, burak tersebut bertabrakan dengan roket Rusia. Nabi Muhammad jatuh di atas awan dan terus meluncur turun hingga sampai ke Proyek Senen, Jakarta. Dari atas atap Proyek Senen, Jibril menunjukkan kebobrokan dan kelakuan umat Muhammad yang tidak menunjukkan keislamannya. Jibril juga menunjukkan beberapa pejabat yang terlibat dalam permainan wanita tunasusila dan beberapa perbuatan dosa lainnya.
Cerita Langit Makin Mendung sebenarnya bertema kritik sosial. Di dalamnya dikemukakan bahwa di negara Indonesia yang umat Islamnya sebanyak 90% diperlihatkan perbuatan-perbuatan yang melanggar kaidah agama. Langit Makin Mendung dinyatakan sebagai cerita yang terlarang dipublikasikan. Oleh sebab itu, cerpen tersebut tidak diterbitkan sebagai cerita pendek yang dicetak massal.
Jusuf Abdullah Puar (1968) menyatakan bahwa Langit Makin Mendung jika dilihat dari sudut isi, tidak diragukan lagi, telah menghina, melecehkan, dan mencemooh Nabi Muhammad dengan penuh tendensi sinisme terhadap junjungan umat Islam. Namun, pernyataan Jusuf Abdullah Puar dibantah oleh H.B. Jassin dengan mengatakan bahwa Jusuf Abdullah Puar hanya mengambil cuplikan secara tidak utuh sehingga tidak terlihat apa yang dimaksudkan oleh pengarang sebenarnya. Bur Rasuanto (1968) menyatakan bahwa Langit Makin Mendung tidak mengandung hinaan terhadap Tuhan dan Nabi. Tulisan tersebut mengritik Indonesia dan berbagai kejadian blunder di tanah air sebagaimana semua orang mengritik berbagai hal yang dirasakan tidak wajar.
Abu Hanifah (1968) menyatakan bahwa Langit Makin Mendung tidak akan menimbulkan reaksi apapun dalam masyarakat liberal dan stabil. Reaksi timbul karena keadaan masyarakat yang sensitif dan banyak hal yang tidak memuaskan. Taufiq Ismail (1968) menyatakan bahwa Langit Makin Mendung tidak bermaksud menghina; hanya jika ditinjau dari sudut akidah, cerita tersebut merupakan hal yang tidak sesuai dengan agama. Usep Fathudin, Koordinator Pusat PMPI, dalam Diskusi Sastra bulan Oktober 1968 menyatakan bahwa dengan cerita pendek tersebut, Ki Panji Kusmin telah melakukan kesalahan, bukan melakukan penghinaan. Kesalahan tersebut disebabkan oleh tidak mendalamnya penghayatan pengarang tentang hal-hal di akhirat sebagaimana disebutkan dalam Alquran.
Sukarsono (1968) menyatakan bahwa sepatutnya Ki Panji Kusmin dimaafkan karena ia telah meminta maaf. Sesungguhnya, penulis cerita tersebut bukan saja harus diberi maaf, melainkan patut dikasihani karena Ki Panji Kusmin adalah tunas muda yang belum berpengalaman. Ia merupakan anak yang salah jalan. Sukarsono mempertanyakan apakah ia harus dibiarkan terus dan tidak diterima kembali atau dibiarkan agar patah. Ki Panji Kusmin sendiri adalah nama samaran yang hingga saat ini tidak diketahui siapa ia sebenarnya.
A.A. Navis (1968) menyatakan bahwa kebebasan pengarang untuk membicarakan agama Islam yang menyimpang dari aliran-aliran, selama ini tidak perlu menggoncangkan sentimen umat Islam. Umat Islam dewasa ini bukan lagi terdiri atas orang-orang awam semata. Mereka sudah punya ahli yang akan dapat membatalkan atau menangkis pendapat yang menyimpang tersebut. Dengan menghormati kebebasan orang mengemukakan pendapat di dalam Islam yang berbeda dengan ajaran selama ini, di situlah dakwah Islam akan dapat mencapai nilai-nilai yang tepat dan aktual. Achdiat K. Mihardja (1968) menyatakan bahwa sebaiknya cerita semacam Langit Makin Mendung dan majalah Sastra dijadikan pokok diskusi di depan televisi atau tempat terbuka lainnya, antara sastrawan, ahli agama, ahli moral, ahli ilmu jiwa, ahli pendidikan, ahli hukum, ahli kemasyarakatan, dan ahli-ahli lainnya yang perlu diketahui pendiriannya oleh masyarakat ramai. Kemudian anggota masyarakat tersebut dipersilakan menyimpulkan pendapat mereka masing-masing.
H.B. Jassin dalam pembelaannya terhadap keberadaan Langit Makin Mendung menyatakan bahwa semua keberatan orang terhadap cerita tersebut dapat dikembalikan kepada tiga hal. Pertama, orang keliru dalam menangkap isi dan maksud karangan karena orang bertolak dari prasangka yang didasari sentimen agama dan sentimen golongan. Bagian-bagian cerita dilepaskan dari konteksnya sehingga hilang fungsi yang sebenarnya dan dimunculkan fungsi lain yang sama sekali berbeda dari yang dimaksud oleh pengarang. Kedua, orang keliru dalam menganggap apa yang diimajinasikan oleh pengarang diidentikkan dengan ajaran kitab tauhid, kitab sejarah, dan malahan Alquran. Ketiga, orang tidak mengerti nuansa bahasa dalam gaya bahasa kesusastraan.
Langit Makin Mendung akhirnya ditarik dari peredaran. Sampai saat ini cerita pendek tersebut hanya ada dalam majalah Sastra yang juga dilarang terbit. Bagian yang dihebohkan tersebut adalah sebagian dari cerita yang direncanakan sebagai cerita panjang.