Malam Djahanam merupakan salah satu lakon (drama) terbaik Indonesia pada dekade tahun 50-an. Lakon yang ditulis oleh Motinggo Boesje tersebut memenangkan hadiah pertama Sayembara Penulisan Naskah Drama yang diselenggarakan oleh Bagian Kesenian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1958. Oleh majalah Budaja, Malam Djahanam pernah dimuat dalam edisi khusus tahun VIII, Nomor 3/4/5, Maret/April/Mei 1959. Lakon ini pertama kali diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1961 dan diterbitkan kembali oleh Pustaka Jaya pada tahun 1995 dengan ketebalan 77 halaman.
Lakon sebabak (panjangnya hanya 17 halaman) tersebut didukung oleh enam pelaku, Mat Kontan, Paidjah, Soleman, Utai, Tukang Pijit, dan si Kontan Kecil. Naskah Malam Djahanam masih tersimpan dengan baik di Perpustakaan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Sebagai salah satu lakon terbaik, Malam Djahanam tidak hanya sering dipentaskan, tetapi juga pernah difilmkan. Hamsad Rangkuti, ketika masih duduk di bangku SMP, pernah mementaskan lakon tersebut bersama teman-temannya di kota kecil Kisaran, Medan. Tahun 1970 perusahaan film Pitrajaya Purnama telah memfilmkannya.
Menurut pengakuan Motinggo Boesje, Malam Djahanam (dan beberapa karyanya yang lain) ditulis berdasarkan "model" yang telah ada. "Aku mengarang harus pakai 'model'. Dalam hal film dan drama, harus kelihatan tokohnya dahulu," demikian akunya. "Sebagaimana dramaku, Malam Djahanam, model Mat Kontannya adalah temanku M. Nizar. Nanti ia pulalah yang berperan sebagai Mat Kontan," lanjutnya. Dan memang benar, dalam beberapa kali pementasan Malam Djahanam, M. Nazir yang seorang pengarang, pelukis, dan sahabat dekat Motinggo Boesje selalu menjadi tokoh Mat Kontan.
Lakon yang ditulis ketika Motinggo Boesje berada di Yogyakarta (kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada) tersebut menampilkan konflik emosi secara dramatik serta menggarap unsur ketegangan dan kejutan dengan pas dalam alur. Hubungan cinta segitiga antara Mat Kontan, Paidjah (istri Mat Kontan yang cantik dan menggairahkan) dan Soleman (tetangga Mat Kontan yang penuh simpatik) menjadi inti Malam Djahanam. Mat Kontan, seorang nelayan kaya, selalu membangga-banggakan barang miliknya berupa kekayaan, perkutut-perkutut, beo, dan kecantikan istrinya. Hanya satu hal yang tidak dapat dibanggakan Mat Kontan, kejantanannya. Ia mandul sehingga tidak dapat menghamili istrinya yang cantik dan menggairahkan. Untuk menutupi "ketidakmampuan" tersebut, Mat Kontan menjadi penjudi, pemabuk, dan sok jagoan. Ia jarang sekali berada di rumah sehingga Paidjah merasa kesepian dan menerima "kehadiran" Soleman, tetangganya. Sebagai akibatnya, Paidjah hamil dan melahirkan si Kontan Kecil.
Dialog antarpelaku dalam Malam Djahanam digarap dengan cermat sehingga mencerminkan gejolak emosi dan perubahan posisi mereka dalam menyikapi ketegangan-ketegangan yang muncul, seperti saat menghadapi si Kontan Kecil yang sakit dan saat menghadapi misteri kematian burung beo kesayangan Mat Kontan. Posisi yang berubah-ubah secara tak terduga serta akhir cerita yang tragis mencekam, seperti pengejaran Mat Kontan terhadap Soleman, laporan kematian anak buah Mat Kontan (Utai, si dungu), dan jeritan Paidjah yang menangisi kematian si Kontan Kecil, menjadikan drama sebabak tersebut sebagai lakon yang padat dan intens. Intensitas dialog menunjukkan "perang emosi". Perubahan posisi dan perasaan para pelaku tersebut mengingatkan pada lakon-lakon Anton Chekov. Secara eksplisit, Budianta (1999) menyebutkan bahwa permainan latar, simbolisme, dan tema Malam Djahanam mengingatkan pada lakon Eugene O'Neill berjudul Desire Under the Elms.