Halaman Beranda
Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan
Ahli Bahasa
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)
Bahasa Daerah Di Indonesia
Duta Bahasa
KBBI
Penelitian Bahasa
Registrasi Bahasa
UKBI
Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah
Indeks Kemahiran Berbahasa
Gejala Sastra
Hadiah/Sayembara Sastra
Karya Sastra
Lembaga Sastra
Media Penyebar/Penerbit Sastra
Pengarang Sastra
Penelitian Sastra
Registrasi Sastra Cetak
Registrasi Sastra Lisan
Registrasi Manuskrip
Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan
Statistik
Info
Bukan Pasar Malam dikenal sebagai novelet karya Pramoedya Ananta Toer yang terbit tahun 1950 oleh Balai Pustaka. Pada tahun 1999, Bara Budaya Yogyakarta menerbitkan ulang novelet itu. Novelet tersebut tergolong ke dalam karya awal saat Pramoedya Ananta Toer belum terlibat secara langsung dengan Lekra. Selain di Indonesia, novel ini telah diterbitkan di Malaysia (1951) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Inggris.
Novel Bukan Pasar Malam berkisah dengan menggunakan fokus penceritaan dengan cara sudut pandang orang pertama atau dengan kata ganti akuan. Dikisahkan bagaimana dengan uang pinjaman, bersama istri yang baru dikawininya, aku berkunjung ke Blora untuk menjenguk bapaknya yang sakit. Dalam novel ini dikemukakan bagaimana aku melihat keadaan rumah yang nyaris runtuh dan ayahnya sakit parah tinggal menunggu kematian. Aku merenungi hidup bapaknya yang dilanda kekecewaan karena perjuangannya dalam menegakkan negerinya tidak menuju arah yang benar. Kebiasaannya berjudi hanya pelampiasan kekecewaan akan keadaan sampai ia sakit-sakitan. Aku menemukan kenyataan betapa pahitnya hidup mempertahankan loyalitas kepada negara. Di akhir kisah setelah bapaknya berpulang, aku merenung-renung mengapa hidup tidak seperti pasar malam, datang dan pergi tidak ramai, tetapi sendiri-sendiri. Renungan inilah yang dijadikan judul novelet.
Karya Pramoedya ini merupakan kritik terhadap zamannya. Dalam novel ini Pramoedya melihat dunia di sekitarnya sebagai dunia yang hancur yang diwakili oleh kondisi bangunan rumah di desanya yang dalam keadaan bobrok dan runtuh. Hal itu dinyatakan oleh Prof. A.H. Johns (1964). A. Teeuw (1970) mengakui bahwa setiap membaca novellet ini terpesona oleh kisahnya yang begitu mengagumkan meskipun bersahaja sifatnya. Disebutkannya pula bahwa dengan cara yang bersahaja Pram dalam karyanya ini mampu menggambarkan suasana suram, suasana yang tak terdamaikan bagi orang-orang yang menjadi korban zaman yang tak berbelaskasihan. Dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, novel ini merupakan salah satu novel yang mencoba untuk merekam gambaran situasi Indonesia sesudah perang dengan segala akibatnya.