Merantau ke Deli merupakan novel karya Hamka. Novel ini pertama kali terbit tahun 1939 sebagai cerita bersambung dalam majalah Pedoman Masyarakat. Cerita bersambung tersebut kemudian diterbitkan pertama kali dalam bentuk buku tahun 1939 di Bandung oleh Penerbit Bulan Bintang. Tahun 1941 novel itu dicetak untuk kedua kalinya oleh Penerbit Cerdas. Cetakan ketiga novel tersebut diterbitkan tahun 1959 oleh Penerbit Djaja Murni di Jakarta. Cetakan keempat diterbitkan oleh penerbit yang sama tahun 1960. Pada tahun 1982, Penerbit Pustaka Panjimas menerbitkan cetakan VIII dengan ketebalan 157 halaman.
Merantau ke Deli bertemakan persoalan adat Minang. Seorang laki-laki Minangkabau akan dipandang hina kalau menikah dengan perempuan yang bukan berasal dari Minangkabau. Novel ini menentang pandangan itu. Merantau ke Deli mengisahkan perkawinan campuran antara perempuan Jawa, Poniem, dan laki-laki Minang, Leman. Poniem bekerja sebagai kuli kontrak perkebunan di Deli. Ia yang telah menjadi istri piaraan mandor berniat meninggalkan kehidupan kuli kontrak yang berat dan hina itu. Ia ingin berumah tangga menurut aturan susila dan aturan agama. Poniem melarikan diri dari perkebunan dengan mengikuti Leman yang telah bersumpah akan sehidup semati dengannya. Mereka berdua menikah dan hidup berbahagia dengan toko-tokonya yang besar dan pembantunya yang baik. Tak berapa lama, Leman dipaksa menikah dengan Mariatun karena adat mengharuskan bahwa laki-laki Minang harus menikah dengan gadis dari kampung sendiri. Leman akhirnya bercerai dengan Poniem. Pada akhir cerita, Leman hidup melarat dengan Mariatun, sedangkan Poniem hidup bahagia dengan suaminya dan juga dengan pembantunya dulu. Ia memiliki rumah besar dan tanah luas.
Zuber Usman dalam majalah Pustaka dan Budaya Tahun II No. 7 tahun 1960 menulis "Roman di Perkebunan". Ia mengatakan bahwa Merantau ke Deli dapat dipandang sebagai hasil sastra yang telah memperlihatkan kepada kita suatu segi kehidupan masyarakat Tanah Deli yang pada suatu ketika dibanjiri oleh kuli-kuli kontrak dari Pulau Jawa, Minangkabau, Tapanuli, Banjar, Bawean, dan suku-suku lain. Sebagaimana dikatakan oleh pengarangnya, pada hakikatnya percampuran atau perpaduan itu kemudian membentuk suatu masyarakat baru, masyarakat Deli, yang dapat pula dipandang sebagai tunas masyarakat yang lebih luas, yaitu masyarakat Indonesia.
Zuber Usman (1960) mengungkapkan bahwa kedudukan Merantau ke Deli karya Hamka ini dalam perkembangan sastra agak istimewa. Keistimewaan tersebut dapat diketahui dari keaslian karangan dan bahasa Hamka. Novel tersebut berbeda dengan novel-novel Hamka lainnya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, seperti Laila Madjenun, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Di dalam Lembah Kehidupan, dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck, yang telah mengalami perubahan atau perbaikan bahasa oleh redaksi Balai Pustaka. Merantau ke Deli merupakan bahasa asli tanpa perubahan. Di samping itu, karya Hamka ini bersifat didaktis retoris. Di dalamnya dapat dirasakan gaya berpidato yang mengasyikkan pembacanya. Tidak berlebihan jika novel tersebut dikatakan sebagai novel Hamka yang enak dibaca dan banyak masalah pergaulan yang patut diresapi oleh pembacanya.
Zuber Usman selanjutnya menyatakan bahwa dalam novel Hamka ini tokoh yang malang sesungguhnya adalah Leman. Ia datang ke tanah Deli seperti kebiasaan anak muda yang keluar dari daerahnya, perantau dari Minangkabau yang mencari penghidupan di negeri orang. Mula-mula ia sudah berhasil, tetapi karena mengikuti hawa nafsunya, ia jatuh dan kembali ke keadaan semula. Leman sebenarnya orang yang jujur dan bercita-cita baik, tetapi tidak bijaksana dan mudah dipengaruhi orang lain. Oleh karena itu, ia tidak dapat mempertahankan kebahagiaan yang telah dicapainya.
Ajip Rosidi, Umar Junus, dan Sapardi Djoko Damono mengungkapkan hal senada tentang Merantau ke Deli. Ajip Rosidi (1969) menyatakan bahwa Merantau ke Deli merupakan kritik terhadap adat Minangkabau. Seorang laki-laki Minang tidak segan-segan merusak kedamaian rumah tangganya yang bahagia karena ia belum menikah secara adat, yaitu menikah dengan gadis Minangkabau. Ia bersedia menceraikan istrinya (orang Jawa) yang telah menjalani kehidupan rumah tangga dengannya. Umar Junus dalam buku Perkembangan Novel-Novel Indonesia (1974) mengungkapkan bahwa dalam Merantau ke Deli pembaca dapat melihat riwayat hidup Leman yang akhirnya hidup melarat karena pengaruh sistem Minangkabau. Jika ia tetap hidup dengan istrinya (orang Jawa) dan tidak menikah dengan gadis Minangkabau, mungkin ia akan hidup bahagia dan kaya. Sapardi Djoko Damono (1977) yang memasukkan novel Merantau ke Deli ke dalam novel sastra Indonesia sebelum Perang Dunia Kedua menyatakan bahwa hukuman pengarang terhadap tokoh Leman dapat ditafsirkan sebagai sikap pengarang yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam pelaksanaan adat di Minangkabau.
Pada tahun 1960 Merantau ke Deli diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia dengan judul Merantau ka Deli. Di Malaysia novel itu telah mengalami cetak ulang lima kali: cetakan pertama tahun 1960, cetakan kedua tahun 1962, cetakan ketiga tahun 1965, cetakan keempat tahun 1966, dan cetakan kelima tahun 1970. Kelima edisi novel Hamka itu diterbitkan di Kuala Lumpur oleh Penerbit Pustaka Antara.