Panggil Aku Sakai merupakan novel karya Ediruslan Pe Amanriza yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1980. Sebelumnya, novel tersebut memenangi Sayembara Penulisan Naskah Roman Dewan Kesenian Jakarta Tahun 1980.
Panggil Aku Sakai berisi kisah kehidupan suku Sakai di daerah pedalaman Riau. Bondang dan keluarga beserta Batin Bandaro hidup di atas rakit. Batin Bandaro sebagai kepala suku mengajak Bondang pindah ke permukiman baru. Akan tetapi, Bondang menolak karena merasa sakit hati pada Batin Bandaro yang mengatakan suku Sakai terbelakang karena rendahnya peradaban dan tidak pernah mengenal kehidupan yang layak. Bondang merasakan diri sebagai bagian masyarakat Sakai yang telah terbiasa dengan suara ombak dan badai sehingga akrab dengan alam yang memberikannya sebuah kedamaian yang lain dalam batinnya. Baginya bunyi burung, ombak, dan angin menjadi irama yang selalu menghibur hati sepanjang hidup.
Alasan kepindahan Batin Bandaro ke tempat yang lebih baik adalah untuk meninggalkan peradaban masa lampaunya yang sudah tidak layak. Hal itu ia ungkapkan pada anggota sukunya karena ia merasa sebagai kepala suku. Akan tetapi, ajakan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sebagian suku Sakai mendukung Bondang dan sebagian lagi mendukung Batin Bandaro.
Ediruslan Pe Amanriza berusaha membangun alur cerita dengan mempertentangkan dua latar berbeda, yaitu masyarakat suku Sakai yang terbiasa hidup di alam yang serba bebas, seperti pantai dan hutan dan perkembangan baru suku Sakai. Dua latar perkampungan suku Sakai dan perkampungan baru yang akan dihuni oleh suku Sakai keberadaannya sangat kontradiktif. Pada latar pertama suku Sakai merasa hidup damai karena dapat mencari ikan di laut dan sudah terbiasa sebagai nelayan tradisional. Tiba-tiba mereka harus pindah ke tempat lain yang kondisinya tidak seperti yang mereka rasakan selama ini karena tidak ada sungai dan danau sebagai tempat mereka mencari ikan.
Konflik antara Bondang dan Batin Bandaro juga menimbulkan perbedaan pandangan. Tokoh Bondang mewakili tokoh suku Sakai yang tetap mempertahankan nenek moyang karena mempunyai nilai pendidikan sangat tinggi dan berpendapat jika nilai tersebut tidak dipertahankan, adat-istiadat nenek moyang lama-kelamaan akan musnah. Tokoh Batin Bandaro mewakili masyarakat suku Sakai yang sudah berpikiran modern karena mereka telah dipengaruhi dunia luar dengan kemajuan teknologinya. Kedua tokoh itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Tema Panggil Aku Sakai adalah benturan antara tradisi, yang direpresentasikan oleh adat, dan modernitas dari luar.
Dalam dunia kesusastraan Indonesia modern, khususnya di kalangan dunia akademik, Panggil Aku Sakai memperoleh tanggapan baik dari para peminat dan pengamat sastra, seperti Mounteslena (1994), mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Riau di dalam skripsinya "Nilai Sosial dalam Novel Panggil Aku Sakai Karya Ediruslan Pe Amanriza dan Apresiasi Pengajaran", Susi Marlina (1996) di dalam skripsinya "Telaah Novel Panggil Aku Sakai karya Ediruslan Pe Amanriza, dan Siti Masiyah (1998) di dalam skripsinya yang berjudul "Analisis Aspek Pragmatik yang Terkandung dalam Novel Panggil Aku Sakai karya Ediruslan Pe Amanriza". Novel ini juga dianalisis secara struktural oleh Yulia Fitriana (2000), Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada dalam skripsinya "Analisis Tema, Fakta Cerita dan Sarana Cerita dalam Novel Panggil Aku Sakai Karya Ediruslan Pe Amanriza". Yulia Fitriana juga menulis "Mitos dalam Novel Panggil Aku Sakai Karya Ediruslan Pe Amanriza" dalam majalah Sagang yang terbit di Riau Februari 2003. Elmustian dkk. (1996) meneliti novel itu dalam "Muatan Lokal dalam Novel Pengarang Riau" dan U.U. Hamidy (1998) membicarakan novel itu dengan judul "Teks dan Pengarang Riau."