Pengakuan Pariyem merupakan buku karya Linus Suryadi Agustinus yang berbentuk prosa liris. Buku itu menjadi istimewa karena lahir tahun 70-an, yaitu tahun kebangkitan kebudayaan daerah. Buku itu muncul sebagai deskripsi budaya tradisi. Linus adalah penyair Indonesia pertama yang menulis sebuah sajak panjang setebal 180 halaman. Pengakuan Pariyem diterbitkan Sinar Harapan, Jakarta, dan dicetak oleh PT Harapan Jakarta tahun 1981 dan tebal 244 halaman. Setelah halaman judul, terdapat halaman yang menyatakan prosa lirik untuk Umar Kayam. Buku ini pernah diterbitkan Pustaka Pelajar (1980—1999), Yogyakarta, dan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta (cetakan I, Juni 2009).
Riwayat penerbitan buku ini tidak ditemukan sehingga jumlah oplah/tirasnya pun tidak diketahui. Namun, sebelum diterbitkan, naskah Pengakuan Pariyem ini telah diperbanyak sejumlah 200 eksemplar. Di halaman judul naskah itu tertulis Pengakuan Pariyem, Prosa Lirik 78 79 80. Pada sampul terdapat gambar seorang perempuan cantik memakai kemben dengan latar wayang Dewi Shinta yang dibuat oleh Sukasman. Naskah Pengakuan Pariyem dipublikasikan oleh Sanggar Bambu dengan teknik sheet oleh Sunardian Wirodono. Di dalam halaman judul terdapat ucapan terima kasih kepada Romo Dick Hartoko, Ny. E. Th. Simadibrata, dan Drs. Ashadi Siregar. Naskah itu dibacakan di Auditorium Karta Pusaka, Pusat Kebudayaan Indonesia—Belanda, di Jalan Jenderal Sudirman 46, Yogyakarta pada hari Sabtu, tanggal 6 September 1980, pukul 20.00 oleh Linus Suryadi AG dengan pendamping Nuning Efendi, Ninik Sumiati, Ami Simatupang, Deni Sutoyo, dan Nining Sulasdhi. Pembacaan ini didahului mocopotan oleh Ninik Sumiani.
Menurut Linus, naskah Pengakuan Pariyem ditulis dari tahun 1978 sampai 24 Agustus 1980. Naskah itu pertama kali dibacakan di Cemara Tujuh, halaman gedung induk Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tanggal 21 Oktober 1976. Pada saat itu, naskahnya setebal 20-an halaman. Kemudian pada tanggal 20 Juni 1980 dibacakan di Universitas Airlangga, Surabaya. Pada saat itu, naskahnya setebal 17 halaman dan terakhir tanggal 6 September 1980 dibacakan di Karta Pustaka, Yogyakarta sudah bertambah jumlah halamannya menjadi 137 dan sudah berbentuk stensilan. Pengakuan Pariyem ini telah dibacakan di beberapa kota di Pulau Jawa: tiga kali di Yogyakarta, yaitu tanggat 6 Mei 1981, tanggal 30 Maret 1985, dan tanggal 13 Juli 1985 di Gedung Serba Guna, Beran, Sleman. Pengakuan Pariyem juga dipertunjukkan di kota Solo pada tanggal 7 Mei 1981 pukul 19.30, di Semarang tanggal 9 Mei 1981 pukul 20.00, dan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tanggal 26 Juni 1981. Pendengarnya ialah mahasiswa di kalangan Pusat Studi dan Pengkajian Kebudayaan Indonesia, di tempat Umar Kayam bekerja saat itu, serta di masyarakat sampai ke kampung-kampung. Fragmen-fragmen prosa liris Linus Suryadi AG yang ditujukan kepada Umar Kayam ini pernah dimuat beberapa kali di harian Sinar Harapan serta di koran-koran lokal Yogya.
Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG ini telah dipanggungkan dengan judul "Pengkuan Pariyem" oleh Teater Jeprik pada tanggal 30 Maret 1985 dengan sutradara Naor WA di Purna Budaya Yogyakarta. Pertunjukan itu cukup membuat tempat tersebut sumpek karena melubernya pengunjung sehingga banyak penonton yang merasa puas berdiri sampai pertunjukan usai di lantai atas gedung itu.
Menurut Subagio Sastrowardojo (1989), Pengkuan Pariyem ini merupakan karya sastra yang paling bagus selama lima tahun terakhir (1975—1981) karena bentuk prosa liris yang ringkas dan gaya penuturannya yang bervariasi. Karya ini telah berhasil mencakup ruang lingkup kehidupan yang luas. Dengan menjamah segi jasmani, sambil mengajak masuk ke dalam relung jagat manusia Jawa. Angan-angan, gagasan serta realisme kehidupan jalin-menjalin dengan manisnya dalam cerita ini.
Jakob Sumardjo (1982) berpendapat bahwa Linus Suryadi merupakan penyair pertama di Indonesia yang menulis sebuah sajak setebal 180 halaman dan dianggap mengkristalkan kebudayaan yang hampir lenyap. Nirwanto Ki S. Hendrowinoto menyatakan kesederhanaan dialog yang ditimbulkan membuat pembaca seakan-akan menangkap dialog keluguan, kesederhanaan bercerita, alur yang memadai, dan kedalaman penghayatan yang kuat. Selain itu, penokohan tidak banyak melibatkan manusia-manusia figuran. Ia cukup mempunyai kekuatan pada tokoh utama.
Menurut Faruk H.T. (2000) menyatakan Pengakuan Pariyem yang mendapat penghargaan istimewa dari Dewan Kesenian Yogyakarta strukturnya menggambarkan kebudayaan khas Jawa karena karena di dalamnya secara berlapis-lapis terdapat penyatuan dua unsur yang bertentangan. Misalnya, Pariyem adalah pencerita dan sekaligus yang diceritakan, babu dan menantu, diakui sebagai bagian keluarga priyayi dan tidak dinikah secara resmi, menikmati hubungan seks bebas dan setia, serta hidup dalam zaman modern dan menganut pandangan hidup tradisional.
Menurut Darmanto Yt., mencari hal-hal fakta untuk digunakan sebagai patokan nilai karya sastra ini adalah sama halnya dengan kesukaan kaum Marxis. Menurut Virga Belan menyatakan Pengakuan Pariyem filosofi tradisonal Jawa dihijaukan kembali oleh Linus Suryadi lewat naluri modern orang Yogyakarta yang disanggah oleh persepsi anak muda dari angkatan sosial yang merasa aneh, was was, tetapi pandai bergurau secara kenes dan mampu mengungkapkan rasa humor sebagai manusia yang berpribadi, sadar, dan tidak mengenal putus asa. K. Kasdi W.A. mengatakan bahwa pengarang Pengakuan Pariyem ini memberikan isyarat kepada pembacanya melalui Pariyem, tentang kehidupan, hidup, dan penghidupan seorang wanita. Tampaknya kekuatan prosa lirik itu seolah-olah sebagai kisah nyata dari seorang yang bernama Pariyem.