• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 
Roro Mendut   (1983)
Kategori: Karya Sastra

 
 

Roro Mendut merupakan novel karya Y.B. Mangunwijaya yang diterbitkan oleh PT Gramedia dan telah mengalami cetak ulang, yaitu cetakan I, tahun 1983, cetakan II, tahun 1988, dan cetakan III, tahun 1994, cetakan berikutnya terbit tahun 2008.

Selain novel Roro Mendut, karya Y.B. Mangunwijaya yang lain adalah novel Genduk Duku dan novel Lusi Lindri. Ketiga novel tersebut merupakan sebuah trilogi. Buku ini merupakan novelisasi dari cerita bersambung yang dimuat di harian Kompas dari tahun 1982–1987. Kesinambungan novel itu terletak pada tema, tokoh, dan latar cerita. Tokoh Roro Mendut hidup pada zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo, sedangkan Genduk Duku dan Lusi Lindri hidup pada zaman Sunan Amangkurat I dan Sunan Amangkurat II. Hubungan ketiga tokoh tersebut merupakan hubungan antara majikan dan pelayan (Roro Mendut dan Genduk Duku) dan antara ibu dan anak (Genduk Duku dan Lusi Lindri). Tema cerita ketiga novel itu adalah perlawanan Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri terhadap kezaliman penguasa Mataram.

Novel Roro Mendut berlatar pemerintahan zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo, Mataram. Pokok permasalahan yang dikemukakan dalam novel tersebut adalah perseteruan antara Roro Mendut dan Tumenggung Wiroguno. Perseteruan di antara kedua orang itu terjadi karena Roro Mendut menolak keinginan Tumenggung Wiroguno untuk menjadikannya sebagai salah seorang selirnya. Akibat penolakan tersebut, Roro Mendut mengalami nasib sangat tragis. Ia dan kekasihnya, Pronocitro, tewas di ujung keris Tumenggung Wiroguno.

Dalam novel Roro Mendut, tokoh Roro Mendut digambarkan sebagai gadis remaja yang cantik. Ia dijadikan sebagai anak angkat oleh Kakek Siwo, seorang nelayan yang berasal dari desa pesisir Telukcikal, Pati. Dalam perjalanan hidupnya, Roro Mendut pernah dua kali akan dijadikan sebagai selir bangsawan, yang pertama sebagai selir Adipati Pragolo dan yang kedua sebagai selir Tumenggung Wiroguno. Dari daerah Telukcikal Roro Mendut dijemput dan diboyong oleh serombongan punggawa utusan Adipati Pati karena hendak dijadikan selir Adipati Pragolo. Sebagai calon selir Adipati Pragolo, Roro Mendut secara cepat dan pasti harus mengubah kebiasaan hidupnya sehari-hari, dari gadis pantai menjadi wanita ningrat. Ia harus mengerti tata cara kehidupan kaum priyayi di istana. Karena masih mempersiapkan diri melawan Mataram, Adipati Pragolo menangguhkan niatnya memperselir Roro Mendut dan akan menikahinya setelah berhasil dalam perjuangannya. Roro Mendut diserahkan Adipati Pragolo kepada Ni Semongko untuk dididik mengenai tata cara kehidupan keraton. Dalam peperangan itu, Adipati Pragolo mengalami kekalahan dan gugur di medan perang sehingga niatnya memperselir Roro Mendut gagal. Sebagai calon selir yang berasal dari daerah taklukkan, Roro Mendut termasuk salah seorang putri yang diboyong ke Mataram.

Sesampainya di Mataram, Roro Mendut secara tidak sengaja menarik perhatian Tumenggung Wiroguno. Keberanian Roro Mendut menghadapi beberapa orang prajurit khusus pengawal keputrian, yakni prajurit yang sudah dikebiri, mengundang decak kagum Tumenggung Wiroguno. Sebagai wanita yang berasal dari daerah taklukan, Roro Mendut secara otomatis menjadi hak milik penuh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Namun, Sultan Mataram menghadiahkan Roro Mendut kepada Tumenggung Wiroguno. Keinginan Tumenggung Wiroguno untuk menyunting Roro Mendut tidak dapat terwujud. Roro Mendut menolak pinangannya. Karena penolakan itu, Roro Mendut mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan. Tumenggung Wiroguno merencanakan strategi untuk memojokkan Roro Mendut dalam keadaan yang sulit. Ia memaksa Roro Mendut membayar pajak kepada Panglima Besar Mataram dalam wujud uang real dengan jumlah tertentu setiap hari. Penderitaan akibat perlakuan sewenang-wenang Tumenggung Wiroguno menyebabkan Roro Mendut memutuskan lari dari puri Wirogunan bersama Pronocitro. Pelarian tersebut berakhir dengan kematian Roro Mendut dan Pronocitro di tangan Tumenggung Wiroguno.

Persoalan pokok yang diangkat dalam novel itu adalah perjuangan seorang wanita rendahan dalam memperoleh kebebasan. Aspirasi Roro Mendut terhadap kebebasan dilakukan demi kehormatan dan kegagahan yang dimilikinya. Latar budaya masyarakat pesisir, tempat Roro Mendut dilahirkan dan dibesarkan, secara tidak langsung telah membentuk kepribadian Roro Mendut menjadi seorang wanita yang kokoh, tegar, dan terhormat. Kekokohan dan ketegaran Roro Mendut dibuktikan dari sikapnya sewaktu ia mendapat tekanan dari Tumenggung Wiroguno. Untuk membayar pajak kepada Panglima Mataram, Roro Mendut menjual puntung rokok. Lelaki dari berbagai lapisan sosial berduyun-duyun berebut membeli puntung rokok yang sudah dihisap Roro Mendut. Karena sangat diminati pembeli, Roro Mendut sesuka hatinya dapat memasang tarif puntung rokok yang dijualnya itu. Memang, penderitaan yang dialami Roro Mendut akibat tekanan Tumenggung Wiroguno sangat berat. Gadis cantik itu hampir putus asa. Akan tetapi, dukungan moril dari beberapa wanita di kalangan istana, seperti Ni Semongko dan Putri Arumardi, serta citra kehormatan yang melekat dalam diri Roro Mendut mampu menjadi filter sehingga ia mampu mempertahankan kekokohan dan ketegaran tersebut. Motif dominan yang terdapat dalam novel Roro Mendut adalah motif kegagahan, kehormatan, dan kebebasan. Ketiga motif tersebut saling berkaitan satu sama lain. Karena memiliki kegagahan dan kehormatan, Roro Mendut mempertahankan kebebasannya yang direnggut Tumenggung Wiroguno. Roro Mendut berhasil memperoleh kembali kebebasan yang pernah dimilikinya meskipun harus ditebus dengan nyawanya.

Beberapa peneliti yang telah membahas novel Roro Mendut,antara lain Keith Foulcher (1980), dengan judul penelitian "Pembahasan Mengenai Tiga Versi Cerita Roro Mendut; Versi Ajip Rosidi, Versi Y.B. Mangunwijaya, dan Skenario film Ami Priyono"dan Saksono Prijanto dengan judul penelitian "Keutuhan dan Perkembangan Tema dalam Trilogi Karya Y.B. Mangunwijaya: Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri" (tesis S 2, 1997, Universitas Indonesia).

 
PENCARIAN TERKAIT
 
© 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
 
Roro Mendut   (1983)
Kategori: Karya Sastra

 
 

Roro Mendut merupakan novel karya Y.B. Mangunwijaya yang diterbitkan oleh PT Gramedia dan telah mengalami cetak ulang, yaitu cetakan I, tahun 1983, cetakan II, tahun 1988, dan cetakan III, tahun 1994, cetakan berikutnya terbit tahun 2008.

Selain novel Roro Mendut, karya Y.B. Mangunwijaya yang lain adalah novel Genduk Duku dan novel Lusi Lindri. Ketiga novel tersebut merupakan sebuah trilogi. Buku ini merupakan novelisasi dari cerita bersambung yang dimuat di harian Kompas dari tahun 1982–1987. Kesinambungan novel itu terletak pada tema, tokoh, dan latar cerita. Tokoh Roro Mendut hidup pada zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo, sedangkan Genduk Duku dan Lusi Lindri hidup pada zaman Sunan Amangkurat I dan Sunan Amangkurat II. Hubungan ketiga tokoh tersebut merupakan hubungan antara majikan dan pelayan (Roro Mendut dan Genduk Duku) dan antara ibu dan anak (Genduk Duku dan Lusi Lindri). Tema cerita ketiga novel itu adalah perlawanan Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri terhadap kezaliman penguasa Mataram.

Novel Roro Mendut berlatar pemerintahan zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo, Mataram. Pokok permasalahan yang dikemukakan dalam novel tersebut adalah perseteruan antara Roro Mendut dan Tumenggung Wiroguno. Perseteruan di antara kedua orang itu terjadi karena Roro Mendut menolak keinginan Tumenggung Wiroguno untuk menjadikannya sebagai salah seorang selirnya. Akibat penolakan tersebut, Roro Mendut mengalami nasib sangat tragis. Ia dan kekasihnya, Pronocitro, tewas di ujung keris Tumenggung Wiroguno.

Dalam novel Roro Mendut, tokoh Roro Mendut digambarkan sebagai gadis remaja yang cantik. Ia dijadikan sebagai anak angkat oleh Kakek Siwo, seorang nelayan yang berasal dari desa pesisir Telukcikal, Pati. Dalam perjalanan hidupnya, Roro Mendut pernah dua kali akan dijadikan sebagai selir bangsawan, yang pertama sebagai selir Adipati Pragolo dan yang kedua sebagai selir Tumenggung Wiroguno. Dari daerah Telukcikal Roro Mendut dijemput dan diboyong oleh serombongan punggawa utusan Adipati Pati karena hendak dijadikan selir Adipati Pragolo. Sebagai calon selir Adipati Pragolo, Roro Mendut secara cepat dan pasti harus mengubah kebiasaan hidupnya sehari-hari, dari gadis pantai menjadi wanita ningrat. Ia harus mengerti tata cara kehidupan kaum priyayi di istana. Karena masih mempersiapkan diri melawan Mataram, Adipati Pragolo menangguhkan niatnya memperselir Roro Mendut dan akan menikahinya setelah berhasil dalam perjuangannya. Roro Mendut diserahkan Adipati Pragolo kepada Ni Semongko untuk dididik mengenai tata cara kehidupan keraton. Dalam peperangan itu, Adipati Pragolo mengalami kekalahan dan gugur di medan perang sehingga niatnya memperselir Roro Mendut gagal. Sebagai calon selir yang berasal dari daerah taklukkan, Roro Mendut termasuk salah seorang putri yang diboyong ke Mataram.

Sesampainya di Mataram, Roro Mendut secara tidak sengaja menarik perhatian Tumenggung Wiroguno. Keberanian Roro Mendut menghadapi beberapa orang prajurit khusus pengawal keputrian, yakni prajurit yang sudah dikebiri, mengundang decak kagum Tumenggung Wiroguno. Sebagai wanita yang berasal dari daerah taklukan, Roro Mendut secara otomatis menjadi hak milik penuh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Namun, Sultan Mataram menghadiahkan Roro Mendut kepada Tumenggung Wiroguno. Keinginan Tumenggung Wiroguno untuk menyunting Roro Mendut tidak dapat terwujud. Roro Mendut menolak pinangannya. Karena penolakan itu, Roro Mendut mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan. Tumenggung Wiroguno merencanakan strategi untuk memojokkan Roro Mendut dalam keadaan yang sulit. Ia memaksa Roro Mendut membayar pajak kepada Panglima Besar Mataram dalam wujud uang real dengan jumlah tertentu setiap hari. Penderitaan akibat perlakuan sewenang-wenang Tumenggung Wiroguno menyebabkan Roro Mendut memutuskan lari dari puri Wirogunan bersama Pronocitro. Pelarian tersebut berakhir dengan kematian Roro Mendut dan Pronocitro di tangan Tumenggung Wiroguno.

Persoalan pokok yang diangkat dalam novel itu adalah perjuangan seorang wanita rendahan dalam memperoleh kebebasan. Aspirasi Roro Mendut terhadap kebebasan dilakukan demi kehormatan dan kegagahan yang dimilikinya. Latar budaya masyarakat pesisir, tempat Roro Mendut dilahirkan dan dibesarkan, secara tidak langsung telah membentuk kepribadian Roro Mendut menjadi seorang wanita yang kokoh, tegar, dan terhormat. Kekokohan dan ketegaran Roro Mendut dibuktikan dari sikapnya sewaktu ia mendapat tekanan dari Tumenggung Wiroguno. Untuk membayar pajak kepada Panglima Mataram, Roro Mendut menjual puntung rokok. Lelaki dari berbagai lapisan sosial berduyun-duyun berebut membeli puntung rokok yang sudah dihisap Roro Mendut. Karena sangat diminati pembeli, Roro Mendut sesuka hatinya dapat memasang tarif puntung rokok yang dijualnya itu. Memang, penderitaan yang dialami Roro Mendut akibat tekanan Tumenggung Wiroguno sangat berat. Gadis cantik itu hampir putus asa. Akan tetapi, dukungan moril dari beberapa wanita di kalangan istana, seperti Ni Semongko dan Putri Arumardi, serta citra kehormatan yang melekat dalam diri Roro Mendut mampu menjadi filter sehingga ia mampu mempertahankan kekokohan dan ketegaran tersebut. Motif dominan yang terdapat dalam novel Roro Mendut adalah motif kegagahan, kehormatan, dan kebebasan. Ketiga motif tersebut saling berkaitan satu sama lain. Karena memiliki kegagahan dan kehormatan, Roro Mendut mempertahankan kebebasannya yang direnggut Tumenggung Wiroguno. Roro Mendut berhasil memperoleh kembali kebebasan yang pernah dimilikinya meskipun harus ditebus dengan nyawanya.

Beberapa peneliti yang telah membahas novel Roro Mendut,antara lain Keith Foulcher (1980), dengan judul penelitian "Pembahasan Mengenai Tiga Versi Cerita Roro Mendut; Versi Ajip Rosidi, Versi Y.B. Mangunwijaya, dan Skenario film Ami Priyono"dan Saksono Prijanto dengan judul penelitian "Keutuhan dan Perkembangan Tema dalam Trilogi Karya Y.B. Mangunwijaya: Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri" (tesis S 2, 1997, Universitas Indonesia).

 
PENCARIAN TERKAIT
 
 
 
© 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa