Sang Guru merupakan novel karya Gerson Poyk yang diterbitkan pada tahun 1973 oleh Pustaka Jaya di Jakarta. Novel setebal 180 halaman itu mengajak para guru agar tidak memutlakkan profesinya sehingga meremehkan kerja kasar, seperti kerja sebagai buruh atau kuli. Sikap feodalistis semacam itu justru harus diperangi oleh guru sebagai intelektual yang sadar akan kebenaran dan keadilan. Guru harus bersedia menjalankan pekerjaan apa saja karena "guru adalah warga negara kelas kambing. Namun guru adalah kambing yang pintar dan karena itu ia bisa menjadi apa saja" (halaman 174). Novel yang bertemakan kesalahpahaman ini berusaha memerangi sikap antikerja kasar pada para guru yang merupakan feodalisme.
Cerita bermula dengan perjalanan Ben, seorang guru SMP, dengan kapal laut menuju Ternate, tempat tugasnya yang baru. Sang Guru disertai ibunya dan seorang guru SKP, Sofie namanya, yang juga akan bertugas di Ternate. Di belakang hari, guru SKP ini menjadi istri Ben. Novel itu selanjutnya mengisahkan kesengsaraan Ben pada masa permulaan tugasnya di kota Ternate. Buat beli nasi saja tidak ada duitnya, terpaksa ia berutang kepada pesuruh sekolah (Pak Ismail namanya). Namun hal itu tidak menyebabkan semangat Ben menurun karena ia yakin "di mana-mana seseorang tidak akan terlalu mendapat kesulitan jika di sana ada sesama manusia" (halaman 19). Apalagi, Ben sudah terbiasa bertualang sehingga sebagai guru wawasannya luas. Ia pernah menjadi buruh kasar pengantar hewan yang diekspor ke Singapura dan Hongkong. Oleh sebab itu, Ben juga mampu mengajarkan vak apa saja di sekolah. Ilmu Alam boleh, Bahasa Inggris oke. Bahkan ia mampu mengajar di sekolah yang sederajat dengan pendidikannya. Sebaliknya, pada masa sulit pun Ben mampu menjadi tentara dan tidak segan untuk menjadi kuli pemarut kelapa. Sikap Ben itu berbeda dengan sikap guru yang pada umumnya fanatik dengan profesinya yang halus sehingga pantang bekerja kasar.
Ben dapat selalu bersikap optimistis dalam menghadapi kehidupannya. Dengan kepandaiannya ia mau dan mampu beralih pekerjaan dari halus sampai kasar jika situasi menuntut. Bahwa semua pekerjaan adalah baik telah dibuktikan oleh Ben dengan menjadi buruh, guru SMP dan SMA, tentara, dan pemarut kelapa. Oleh sebab itu, guru hendaknya bersedia melakukan pekerjaan apa saja dan kapan saja tanpa dibelenggu oleh status dan gengsi.
Sikap Ben yang realistis ini semula memang didorong oleh tuntutan hidup, tetapi akhirnya menjadi kebiasaan. Sebagai ekses dari sikapnya itu, Ben memang gagal mempertahankan nilai moral yang diyakininya. Hubungannya dengan Sofie berakhir dengan kejatuhannya di dalam dosa. Ben juga tidak mengembalikan uang titipan ibunya untuk pembayar utang ibunya kepada Sofie. Bahkan ia pun mau menerima mutiara hasil rampasan sebanyak setengah botol bir. Ekses tersebut tentu saja harus dapat dihindari oleh para guru, tetapi hendaknya para guru juga tidak terlalu idealistis sehingga menolak kerja kasar sebagai pekerjaan yang hina.
Jakob Sumardjo (1982) dalam bukunya yang berjudul Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik mengatakan bahwa dalan novel Sang Guru ini Gerson menunjukkan kemampuannya untuk menulis dengan nafas panjang, meskipun seperti beberapa cerpennya hanya sampai pada sketsa kehidupan. Ada kesan bahwa ceritanya selalu belum selesai, kecuali cerpennya yang terkenal "Mutiara di Tengah Sawah" yang selesai sebegai sebuah bentuk.