• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 
Royan Revolusi   (1971)
Kategori: Karya Sastra

 
 

Royan Revolusi merupakan novel karya Ramadhan K.H. yang menggambarkan keadaan masa revolusi di Indonesia. Novel itu diterbitkan pada tahun 1971, oleh Penerbit Gunung Agung, Jakarta, dengan tebal 306 halaman. Naskah cerita Royan Revolusi ini diikutsertakan dalam sayembara penulisan roman yang diadakan oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada tahun 1968 dan dinyatakan sebagai pemenang pertama dalam sayembara penulisan roman itu. Novel itu juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dengan judul Sequelles d'une Revolution.

Royan Revolusi berceritakan tentang kehidupan seorang pemuda, Idrus, mahasiswa pertanian, yang bercita-cita menjadi pengarang. Idrus pernah ikut berjuang dalam masa revolusi fisik dan pernah tertembak. Idrus berkali-kali berhadapan dengan masalah korupsi, egoisme, ambisi palsu, dan sebagainya yang dilihatnya sebagai suatu kejahatan terhadap revolusi Indonesia. Revolusi itu berakibat amat buruk bagi rakyat, yaitu berupa krisis akhlak, seperti korupsi dan pergaulan bebas. Bahkan, Idrus meninggalkan pacarnya, Juita karena Juita telah dinodai oleh Mokhtar.

Idrus bepergian ke luar negeri. Ia bertemu dengan berbagai bangsa, seperti Belanda, Hongaria, Antilen, dan Finladia. Ia berkenalan dengan seorang gadis Finlania yang merawat Idrus ketika Idrus sakit keras. Gadis itu ditinggalkannya ketika Idrus harus pulang ke tanah air. Di Indonesia Idrus melihat berbagai ketidakberesan, korupsi, dan sebagainya tanpa ia dapat mengatasinya. Pada akhirnya, Idrus menjadi pemimpin pemberontakan terhadap lurah yang menjadi kaki tangan kapitalis Tionghoa.

H.B. Jassin dalam bukunya yang berjudul Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983) mengatakan bahwa tebalnya buku tidak kita rasakan sebagai suatu kemestian yang terlahir dari pergolakan psikologis, tetapi terlahir karena penceritaan peristiwa yang dideretkan satu demi satu. Banyak cerita sampingan yang kemudian tidak ada lanjutannya sekadar sebagai ilustrasi. Kejadian demi kejadian seolah-olah diceritakan untuk kemudian dilupakan lagi. Semakin jauh kita membaca kita pun lupa apa yang sudah diceritakan. Kita lupa kepada Ani, kita lupa kepada Rukiah sebab mereka muncul dan tenggelam lagi tanpa bekas. H.B. Jassin menambahkan bahwa plot cerita bersifat lepas hanya dihubungkan oleh tokoh Idrus yang bergerak ke sana kemari, melihat, mendengarkan, memikirkan, dan merenungkan apa yang dilihat dan dialaminya.

A. Teeuw, kritikus dari Belanda untuk Sastra Indonesia, dalam bukunya yang berjudul Sastra Indonesia Modern II (1989) yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Jaya mengatakan bahwa secara menyeluruh novel itu tidak sangat berhasil. Kurang mencekam dan klimaks pun--"pemberontakan" rakyat di kota kecil Priangan itu--tidak masuk akal dan juga tidak padu di dalam novel sebagai suatu keutuhan. Dan keberhasilan di antara tokoh-tokoh pembantu yang jumlahnya sangat banyak itu tetap sebagai boneka-boneka kabur yang bertindak menurut kehendak si pencerita semata-mata serta tidak hidup. Bahkan, sang pahlawan pun, Idrus, tidak berkembang dan menjadi tokoh yang tergambar jelas, tetapi pertama-tama dan terutama menjadi tonggak bagi sang pengarang untuk menggantungkan gagasan-gagasannya. Kendati demikian, novel itu penting karena konsepsi dan gagasannya karena keberanian pengarangnya dalam menggarap masalah demikian di dalam kerangka fiksi yang luas dan juga karena kemampuan yang diperlihatkannya dalam hal bahasa dan gaya.

Umar Junus, kritikus Malaysia untuk sastra Indonesia, dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode (1986) yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia mengatakan bahwa Idrus dalam Royan Revolusi berhenti dari wartawan karena gagal untuk menyampaikan pikirannya dan menjadi petani. Sebagai petani, ia memimpin petani lain untuk mengadakan tindakan massa melawan ketidakadilan. Perjuangannya sebagai intelektual, sebagai wartawan--biasanya juga sastrawan--adalah perjuangan yang impoten sehingga ia mengalihkannya kepada perjuangan tenaga.

Novel itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dengan judul Sequelles d'une Revolution.

 
PENCARIAN TERKAIT

  • Domba-Domba Revolusi
    Domba-Domba Revolusi semula merupakan drama karya B. Soelarto yang diterbitkan pertama kali dalam majalah Sastra No. 8 Tahun II (1962) dan dinyatakan sebagai drama yang memperoleh Hadiah Pertama ...
  •  
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
     
    Royan Revolusi   (1971)
    Kategori: Karya Sastra

     
     

    Royan Revolusi merupakan novel karya Ramadhan K.H. yang menggambarkan keadaan masa revolusi di Indonesia. Novel itu diterbitkan pada tahun 1971, oleh Penerbit Gunung Agung, Jakarta, dengan tebal 306 halaman. Naskah cerita Royan Revolusi ini diikutsertakan dalam sayembara penulisan roman yang diadakan oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada tahun 1968 dan dinyatakan sebagai pemenang pertama dalam sayembara penulisan roman itu. Novel itu juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dengan judul Sequelles d'une Revolution.

    Royan Revolusi berceritakan tentang kehidupan seorang pemuda, Idrus, mahasiswa pertanian, yang bercita-cita menjadi pengarang. Idrus pernah ikut berjuang dalam masa revolusi fisik dan pernah tertembak. Idrus berkali-kali berhadapan dengan masalah korupsi, egoisme, ambisi palsu, dan sebagainya yang dilihatnya sebagai suatu kejahatan terhadap revolusi Indonesia. Revolusi itu berakibat amat buruk bagi rakyat, yaitu berupa krisis akhlak, seperti korupsi dan pergaulan bebas. Bahkan, Idrus meninggalkan pacarnya, Juita karena Juita telah dinodai oleh Mokhtar.

    Idrus bepergian ke luar negeri. Ia bertemu dengan berbagai bangsa, seperti Belanda, Hongaria, Antilen, dan Finladia. Ia berkenalan dengan seorang gadis Finlania yang merawat Idrus ketika Idrus sakit keras. Gadis itu ditinggalkannya ketika Idrus harus pulang ke tanah air. Di Indonesia Idrus melihat berbagai ketidakberesan, korupsi, dan sebagainya tanpa ia dapat mengatasinya. Pada akhirnya, Idrus menjadi pemimpin pemberontakan terhadap lurah yang menjadi kaki tangan kapitalis Tionghoa.

    H.B. Jassin dalam bukunya yang berjudul Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983) mengatakan bahwa tebalnya buku tidak kita rasakan sebagai suatu kemestian yang terlahir dari pergolakan psikologis, tetapi terlahir karena penceritaan peristiwa yang dideretkan satu demi satu. Banyak cerita sampingan yang kemudian tidak ada lanjutannya sekadar sebagai ilustrasi. Kejadian demi kejadian seolah-olah diceritakan untuk kemudian dilupakan lagi. Semakin jauh kita membaca kita pun lupa apa yang sudah diceritakan. Kita lupa kepada Ani, kita lupa kepada Rukiah sebab mereka muncul dan tenggelam lagi tanpa bekas. H.B. Jassin menambahkan bahwa plot cerita bersifat lepas hanya dihubungkan oleh tokoh Idrus yang bergerak ke sana kemari, melihat, mendengarkan, memikirkan, dan merenungkan apa yang dilihat dan dialaminya.

    A. Teeuw, kritikus dari Belanda untuk Sastra Indonesia, dalam bukunya yang berjudul Sastra Indonesia Modern II (1989) yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Jaya mengatakan bahwa secara menyeluruh novel itu tidak sangat berhasil. Kurang mencekam dan klimaks pun--"pemberontakan" rakyat di kota kecil Priangan itu--tidak masuk akal dan juga tidak padu di dalam novel sebagai suatu keutuhan. Dan keberhasilan di antara tokoh-tokoh pembantu yang jumlahnya sangat banyak itu tetap sebagai boneka-boneka kabur yang bertindak menurut kehendak si pencerita semata-mata serta tidak hidup. Bahkan, sang pahlawan pun, Idrus, tidak berkembang dan menjadi tokoh yang tergambar jelas, tetapi pertama-tama dan terutama menjadi tonggak bagi sang pengarang untuk menggantungkan gagasan-gagasannya. Kendati demikian, novel itu penting karena konsepsi dan gagasannya karena keberanian pengarangnya dalam menggarap masalah demikian di dalam kerangka fiksi yang luas dan juga karena kemampuan yang diperlihatkannya dalam hal bahasa dan gaya.

    Umar Junus, kritikus Malaysia untuk sastra Indonesia, dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode (1986) yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia mengatakan bahwa Idrus dalam Royan Revolusi berhenti dari wartawan karena gagal untuk menyampaikan pikirannya dan menjadi petani. Sebagai petani, ia memimpin petani lain untuk mengadakan tindakan massa melawan ketidakadilan. Perjuangannya sebagai intelektual, sebagai wartawan--biasanya juga sastrawan--adalah perjuangan yang impoten sehingga ia mengalihkannya kepada perjuangan tenaga.

    Novel itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dengan judul Sequelles d'une Revolution.

     
    PENCARIAN TERKAIT

  • Domba-Domba Revolusi
    Domba-Domba Revolusi semula merupakan drama karya B. Soelarto yang diterbitkan pertama kali dalam majalah Sastra No. 8 Tahun II (1962) dan dinyatakan sebagai drama yang memperoleh Hadiah Pertama ...
  • Domba-Domba Revolusi
    Domba-Domba Revolusi semula merupakan drama karya B. Soelarto yang diterbitkan pertama kali dalam majalah Sastra No. 8 Tahun II (1962) dan dinyatakan sebagai drama yang memperoleh Hadiah Pertama ...
  •  
     
     
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa