Senandung Hidup merupakan kumpulan sajak karya Samadi tahun 1918 sampai dengan 1958. Buku kumpulan sajak ini pertama kali terbit tahun 1941 di Medan oleh Penerbit Boekoe Tjerdas. Setelah 17 tahun kematian Samadi, buku tersebut diterbitkan kembali atas prakarsa Ajip Rosidi oleh Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 1975.
Dalam buku Senandung Hidup dimuat 48 sajak sebagai berikut. (1) "Kepada Ibuku", (2) "Kepada Rang Lalu", (3) "Angkatan Baru", (4) "Berharap", (5) "Mujur", (6) "Sadar", (7) "Cinta", (8) "Keluh", (9) "Tetap', (10) "O, Bulan", (11) "Dagang", (12) "Sansai", (13) "Ah, Diri", (14) "Hati Siapa Tidakkan Rawan", (15) "Nikmat Batin Berjuang", (16) "Tanah Bahagia", (17) "Sesap", (18) "Tahu Kau"", (19) "O, Hati", (20) "Dengar", (21) "Aku Tahu ... Ah, Aku Tahu", (22) "Lihatlah Alam", (23) "Ba' Mana Aku 'Kan Diam", (24) "Ratapan", (25) "Adakah Tuan Ketahui", (26) "Berkabung di Hari Raya", (27) "Sedia", (28) "Jangan Dikenang", (29) "Di Tepi Danau", (30) "Tempatku Lahir", (31) "Sebab Samadi Berbilang Masa", (32) "Menerawang", (33) "Kepada Rang Jauh", (34) "Aku Kembali, Kekasih", (35) "Menangis", (36) "Betapa Gerang akan Jadinya', (37) "Hidup", (38) "Tidaklah Iman akan Mendalam", (39) "Ia yang Tahu", (40) "Asal Tak Hina di Sisi Tuhan", (41) "Pada Junjungan", (42) "Niat Hati", (43) "Hanya Nak Tahu bahwa Tak Tahu", (44) "Musafir Mendaki Gunung", (45) "Seteguk Air", (46) "Kepada Kekasih", (47) "Mengapa Gelak Sering Itu", dan (48) "Ujian".
Sajak-sajak Samadi yang dimuat dalam buku Senandung Hidup pada umumnya berbentuk sajak baru, tidak ada pantun atau syair. Sajak yang dimuat dalam Senandung Hidup> sebagian besar berbentuk sajak bebas, dari yang paling pendek (4 larik) sampai yang paling panjang (68 larik). Ada beberapa sajak yang ditulis dalam bentuk soneta dan kuatrin (empat seuntai, ada yang satu bait, dua bait, dan tiga bait) sebagai bentuk sajak terikat. Hampir semua sajak dalam Senandung Hidup berbentuk lirik atau curahan perasaan dan pikiran penyairnya.
Sajak-sajak tersebut pada umumnya berupa lukisan alam, nyanyian kesunyian, kepahitan hidup, dan pujaan kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Kedudukannya dalam sastra Indonesia, buku Senandung Hidup ini tidak terlalu menonjol. Namun, sajak-sajak ini banyak dikutip para penulis buku.
Beberapa sajak dalam Senandung Hidup dimuat dalam buku Perkembangan Sajak Indonesia Tahun 20-an hingga Tahun 40-an karya J.S. Badudu, dkk. 1984, halaman 778—814, yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sepuluh sajak tersebut terdapat juga dalam Tonggak I susunan Linus Suryadi A.G., 1987, halaman 243--251, yang diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, yaitu: (1) "Kepada Ibuku", (2) "Hidup", (3) "Angkatan Baru", (4) "Cinta", (5) "Di Tepi Danau Maninjau", (6) "Hanya Nak Tahu Bahwa Tak Tahu", (7) "Niat Hati", (8) "Asal Tak Hina di Sisi Tuhan", (9) "Musafir Mendaki Gunung", dan (10) "Kepada Rang Lalu".
Kritikus yang pernah membicarakan sajak yang dimuat dalam buku Senandung Hidup antara lain H.B. Jassin (1955) dalam buku Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai II pada bab "Beberapa Pengarang dan Penyair Islam". Jassin memberikan aplus kepada sajak-sajak Senandung Hidup sebagai alternatif dari sajak-sajak Pujangga Baru. Sriyanto (1994) "Biografi Pengarang Samadi dan Karyanya" dan (1995) "Samadi Penyair yang Terlupakan" lebih menekankan kepada peran kepenyairan Samadi yang terlupakan karena tidak pernah dikenal melalui buku pelajaran apresiasi sastra di sekolah.