Sekelumit Nyanyian Sunda merupakan kumpulan cerpen karya Nasjah Djamin. Ada empat buah cerpen di dalamnya, yaitu "Sekelumit Nyanyian Sunda"; "Peristiwa di Pantai Utara"; "Nasi dan Lukisan"; dan "Garuda Enam-Enam". Tiga buah cerpen mengisahkan kehidupan pelukis, satu buah cerpen yaitu "Sekelumit Nyanyian Sunda" mengisahkan pergulatan batin manusia dalam sebuah peperangan. "Sekelumit Nyanyian Sunda" dimuat pertama kali di majalah Budaya No.5, Mei 1954 untuk selanjutnya digubah menjadi drama dua babak yang memenangkan hadiah ketiga "Pengumpulan Naskah-Naskah Asli Drama Indonesia Modern" yang diselenggarakan Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Departemen P.D. & K, Jogyakarta tahun 1958 dan kemudian dimuat di majalah Budaya No 3/4/5, Maret/April/Mei 1959. Dalam tulisan "Bukittinggi di Peta Sastra" yang ditulis oleh Adek Alwi pada Kamis, 9 Maret 2006 dimuat dalam http://www.suarakarya-online.com dinyatakan bahwa kumpulan cerpen ini dicetak dua kali oleh NV Nusantara, salah satu penerbit yang memiliki peran besar di kota Bukittinggi.
Dalam "Sekelumit Nyanyian Sunda" akan dijumpai rasa kemanusiaan yang dapat melanggar garis batas sebuah permusuhan. Penggalian yang mendalam hakekat hidup kemanusiaan yang dilakukan oleh Nasjah Djamin dalam cerpennya ini telah berhasil mengingatkan pembaca tentang sebuah pertanyaan yang mendasar dalam peradaban manusia di saat di medan peperangan, yaitu berhakkah seorang manusia membunuh manusia lainnya kendati demi tanah air? Nasjah Djamin dalam cerpennya ini mencoba untuk mengingatkan bahwa kepahlawanan dan keberanian dalam sebuah pertempuran hanyalah disebabkan oleh ketakutan menghadapi maut. Latar peperangan dan persoalan mengenai peperangan memang kental di dalam cerpen ini.
Imran, tokoh utama, dalam cerpen "Sekelumit Nyanyian Sunda" sengaja menembak dengan tidak membahayakan musuhnya, tetapi temannya Enda yang ada di dekatnya saat itu, menembak korbannya sehingga kemungkinan musuh itu hidup menjadi kecil. Percakapan Imran dengan Enda mengenai penembakan itu sangat menarik untuk disimak karena mempersoalkan kehidupan dalam sebuah pertempuran. Enda berpendapat dalam sebuah pertempuran yang ada hanyalah dibunuh atau membunuh. Namun, kemudian Imran harus berhadapan dengan seorang serdadu Nica yang terluka parah. Apakah ia harus menembak mati sang serdadu yang tidak berdaya?
Serdadu itu dirawat oleh seorang gadis gunung yang lugu yang tidak membedakan mana lawan mana kawan. Ia menolong sang serdadu karena ia terluka, ia menolong Imran karena sakit malaria. Gadis gunung yang lugu itu hanya ingin menyelamatkan jiwa manusia yang juga berwarna kulit sama, se tanah air, hanya sang serdadu menyewakan tenaganya kepada bangsa asing yang hendak menjajah negerinya. "Kau tak kenal aku, aku tak tahu siapa kau. Yang masuk pikiran hanya ini: kau prajurit TNI, aku serdadu nika. Peribadimu tidak ikut bicara, peribadiku juga tak berlaku disini. Hanya tembak musuh yang kelihatan!". Perbincangan itu menarik karena melalui cerpen ini terlihat bahwa kemanusiaan tidak ada lagi harganya di sebuah medan pertempuran.
Tiga cerpen lainnya, yaitu "Peristiwa di Pantai Utara"; "Nasi dan Lukisan"; dan "Garuda Enam-Enam" mengisahkan kehidupan pelukis, sebuah dunia yang memang dekat dengan pengarangnya. Tiga cerpen ini menjadi corong pengarang untuk menyatakan sikapnya terhadap seni. Dalam cerpen "Nasi dan Lukisan" digambarkan bagaimana kalau seni harus mengabdi kepada perut. Pada cerpen ini Nasjah seolah meminta perhatian dari pemerintah dan masyarakat akan nasib para seniman "Hidup seniman adalah hidup yang paling celaka tapi toh bila hasilnya menggemparkan dunia lain manusia dan tanah asalnya ikut jadi besar". Seniman akan membawa nama harum bagi masyarakatnya, tetapi hidup seniman sendiri amat menyedihkan. Melalui karyanya ini Nasjah seolah-olah meminta kepada masyarakat dan pemerintah untuk lebih memperhatikan kehidupan seniman.
Cerpen "Garuda Enam-Enam" mengisahkan pertentangan yang terjadi antara seorang kakak—yang materialistis—dan adiknya—seorang pelukis. Kedua orang kakak beradik ini sebelumnya sama-sama bergelut dalam dunia seni. Sang Kakak mengalami kegagalan dalam dunia seni karena harus bertanggung jawab kepada keluarganya. Sang Kakak ini kemudian mencemooh sang adik yang masih tetap berada di dunia seninya. Ia mencibir bahwa dunia sang adik adalah dunia yang egoistis. "Dan kalian pelukis-pelukis yang macam kau ini apa jadinya? Persis macam orang gila yang hanya mengerti dialah orang yang besar dan benar. Untuk siapa kalian melukis. Untuk diri sendiri?".
Ketiga cerpen yang ada dalam kumpulan Sekelumit Nyanyian Sunda ini memang ditujukan untuk mempersoalkan dunia pelukis sebagaimana dinyatakan oleh CH Kitting dalam artikelnya "Sekelumit Nyanyian Sunda: Kumpulan Cerpen Nasjah Djamin" dimuat dalam Mimbar Indonesia, No.11/XVI, Nopember 1962. Hal tersebut dimungkinkan karena memang Nasjah Djamin terjun ke dunia seni untuk pertama kalinya sebagai seorang pelukis. Wajarlah apabila pengarang mengisahkan dunia yang dekat dengan dirinya.
Kritikus lain yang membicarakan kumpulan cerpen ini adalah Ajip Rosidi dalam tulisannya yang berjudul "Sekelumit Nyanyian Sunda" dimuat di Pustaka dan Budaya No.13/IV, Maret 1983. Senada dengan CH Kitting, Ajip Rosidi juga menyatakan bahwa melalui karyanya ini pengarang hendak membela diri dan Korrie Layun Rampan dalam tulisannya berjudul "Nasjah Djamin: Sekelumit Nyanyian Sunda" dimuat di Pelita No. 2311/VIII, Selasa, 15 Desember 1981.menyatakan kepada dunia mengapa ia memilih hidup sebagai seorang pelukis karena tiga dari empat cerpen yang ada dalam kumpulan ini mengambil tokoh seniman dan permasalahan kesenian modern sebagai tema. Bahkan Ajip menduga bahwa tokoh Imran dalam cerpen "Sekelumit Nyanyian Sunda" adalah juga seorang seniman.
Satu lagi tulisan mengenai kumpulan cerpen ini dilakukan oleh Korrie Layun Rampan dalam tulisannya berjudul "Nasjah Djamin: Sekelumit Nyanyian Sunda" dimuat di Pelita No. 2311/VIII, Selasa, 15 Desember 1981. Korrie menyatakan bahwa Nasjah Djamin dalam karyanya ini menggunakan bahasa yang liris; bahasa yang memukau dalam intensitas pengucapan yang padu dan lembut. Korrie juga menyatakan bahwa cerpen "Sekelumit Nyanyian Sunda" berbicara tentang hati nurani manusia, tentang kemanusiaan. Manusia boleh saling bunuh membunuh, tetapi kemanusiaan tetap tak pernah terbunuh. Diakhir ulasannya Korrie menyatakan bahwa Nasjah dalam karyanya ini matang dalam pengolahan bahasa, matang dalam penyusunan konflik dan perwatakan, dan ia kampiun pula dalam melukiskan alam serta jiwa para tokohnya; ia tidak mengajak kita berpikir, tetapi mengajak kita untuk merasa.