Sebuah Perkawinan merupakan kumpulan cerpen Nasjah Djamin yang terbit pertama kalinya pada tahun 1974 oleh Pustaka Jaya, Jakarta.
Nasjah Djamin pernah tinggal selama tujuh bulan di Tokyo, Jepang pada tahun 1961—1964 untuk mempelajari kabuki (teater Jepang). Pengalamannya di negeri Sakura inilah tampaknya menjadi dasar bagi penulisan keempat cerpen dalam kumpulan ini. Cerpennya yang pertama, "Lepas Akar", mengungkapkan konflik batin gadis Jepang, Misako, yang sebenarnya juga konflik batin generasi muda Jepang, yang merasakan terlepas dari akar budayanya. Cerita ini mengisahkan pertemuan tokoh aku dengan Misako, seorang gadis pelukis yang keranjingan dengan lagu-lagu Indonesia. Gadis ini kecewa dengan modernisasi dan keraksasaan Jepang yang menjadikan manusia-manusia Jepang hanya sebagai sekrup-sekrup bagi sebuah industri besar, menjadi binatang ekonomi saja.
Cerpen kedua, Natsuko-Chang, tidak jauh berbeda dengan cerpen pertama, mengisahkan pertemuan tokoh laki-laki Indonesia dengan seorang selir, seorang gadis dari desa yang ingin hidup mewah. Natsuko dapat menikmati kemewahan dengan menjadi seorang selir, tetapi kemerdekaannya terbelenggu. Natsuko hampir sama dengan Misako, sama-sama mendapat api hidup setelah melepaskan milik badaniah dengan lelaki yang bukan suami mereka sebagai simbol kebebasan. Cerpen berikutnya, "Orang Masa Lalu", mengisahkan seorang tua invalid, bekas serdadu Jepang. Cerpen ini menampilkan konflik antara generasi tua dan generasi muda. Sebagai wakil generasi tua, sang bekas serdadu ini merasa dipinggirkan oleh generasi muda. Sang serdadu merasa tidak lagi diakui kehadirannya oleh generasi muda. Namun, ada hal yang esensial dari serdadu tua yang ingin diungkapkan pengarang lewat karyanya, yaitu penyesalan serdadu tua itu mengapa ia tidak menyadari untuk siapakah ia berjuang. "Bila kelak harus berperang dan berkorban, berilah dengan kesadaran untuk siapa dan untuk apa, jangan untuk kepentingan satu golongan kelas kapitalis atau industrialis atau kasta." Ia merasa menyesal karena jasanya tidak diakui lagi oleh industrialisasi yang melanda Jepang saat itu.
Seperti cerpen pertama, cerpen ketiga ini juga merupakan kritik terhadap industrialisasi yang sedang melanda Jepang. Apabila pada cerpen pertama yang melakukan protes adalah generasi muda-Misako-seorang gadis muda usia, pada cerpen "Orang Masa Lalu" yang memprotes adalah wakil dari generasi tua, yang merasa dipinggirkan karena tidak dipedulikan lagi dalam dunia industrialisasi dan kapitalisme yang gemerlap.
Cerpen terakhir dalam kumpulan ini, "Sebuah Perkawinan", mengisahkan perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki Indonesia, Situmorang, dan gadis Jepang, Tomoko. Perkawinan ini ditentang oleh keluarga Tomoko. Namun, karena kekerasan hati sang gadis perkawinan itu pun dapat berlangsung. Seperti dalam cerita-cerita Umar Kayam yang berlatar di negeri Jepang, dalam cerita-cerita yang berlatar Jepang ini digunakan point of view orang pertama laki-laki Indonesia, yang memunculkan efek keterlibatan pembaca pada cerita. Pembaca seolah diajak oleh tokoh aku untuk berhubungan dengan orang-orang Jepang itu.
Jakob Sumardjo (1975) mengatakan bahwa yang ada di dalam kumpulan cerita pendek ini adalah cerita sebab ceritanya cukup panjang, bukan hanya dalam arti memakan berpuluh halaman tetapi juga karena banyaknya kejadian yang direkamnya. Tebal buku ini 112 halaman, yang terbagi dalam empat cerpen. Cerpen-cerpen yang ada dalam kumpulan ini dinilai oleh Jakob Sumardjo sebagai cerita-cerita yang matang karena intelektualitas, pengalaman dan pandangan hidup pengarangnya yang luas. Nasjah Djamin berhasil membangun watak dan suasana cerita. Ia punya pengertian yang dalam terhadap persoalan manusia lain. Nampak sekali bahwa pengarang yang telah cukup usia ini tidak mengejar maksud-maksud lain dalam menulis ceritanya, selain usaha memahami persoalan manusia lain lebih jelas.
Sementara itu, Korrie Layun Rampan menilai bahwa cerpen-cerpen Nasjah Djamin menyajikan manusia-manusia masa kini yang serba individualistis. Yang menonjol dari cerpen-cerpen Nasjah ini adalah unsur watak dan moral. Semua tokohnya tampil dengan watak yang jelas. Dua orang perempuan, Misako dan Natsuko, adalah perempuan-perempuan yang memiliki watak kukuh. Keduanya memperjuangkan haknya untuk memperoleh kebebasan.
Laki-laki bekas serdadu sebagai manusia masa lalu mencoba terus bersikukuh dengan kondisinya. Ia sama sekali tidak frustasi, tetapi dengan cara dan gaya hidup yang dipilihnya ia menjalankan upaya-upaya terakhirnya untuk tetap menjunjung harga dirinya sebagai seorang pahlawan. Lebih jauh lagi, Korrie memuji Nasjah sebagai seorang pengarang yang juga seorang penulis naskah drama telah berhasil menampilkan watak-watak tokohnya secara jelas dengan didukung oleh dialog sehingga membangun suasana cerita yang mempesona. Gaya Nasjah Djamin ini memang khas miliknya yang dipakainya dalam novelnya Gairah untuk Hidup dan Gairah untuk Mati serta kumpulan cerpennya Sekelumit Nyanyian Sunda.