Terang Bulan Terang Di Kali merupakan kumpulan cerpen karya S.M.Ardan. Kumpulan cerpen itu terbit pertama kali pada tahun 1955 oleh Gunung Agung, Jakarta, setelah direkomendasikan oleh H.B. Jassin. Tahun 1974 Terang Bulan Terang di Kali dicetak ulang oleh Pustaka Jaya, Jakarta, dengan ilustrasi cover dibuat oleh Sriwidodo. Pada tahun 2007, kumpulan cerpen ini diterbitkan oleh Masup Jakarta
Kumpulan cerpen S.M. Ardan ini memuat sepuluh cerpen, yaitu (1) "Awal Bermula", (2) "Pulang Pesta", (3) "Bang Senan Mau ke Mekah, (4) "Sanip Membuat Lelucon", (5) "Belum Selesai", (6) "Rekaman", (7) "Pawai di Bawah Bulan", (8) "Bulan Menyaksikan", (9) "Bulan Sabit di Langit Barat", dan (10) "Malam Terang dan Langit Cerah".
Dalam rekomendasinya, H.B. Jassin menyatakan bahwa Terang Bulan Terang di Kali bercerita tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Jakarta yang sederhana, yaitu lingkungan tukang becak, pengemis dan gembel yang tinggal di gubuk-gubuk dan di bawah langit terbuka. Meskipun nama kumpulan itu diambil dari satu pantun yang romantis, kehidupan yang dilukiskan adalah kenyataan sehari-hari yang keras, avontur manusia tak punya, yang didekati dengan pengertian yang mesra meresap dan penyerahan yang menyatu. Pemakaian dialek Jakarta dalam kumpulan cerpen itu menciptakan suasana yang wajar dan tidak terlalu mengganggu karena disertai sekadar keterangan dalam bahasa Indonesia.
Menurut S.M. Ardan dalam suatu wawancara dengan Endang K. Sobirin ("Omong-Omong dengan S.M. Ardan: Betawi Itu Campuran", Merdeka, 8 Juni 1981, h. 5), tokoh dalam Terang Bulan Terang di Kali adalah orang-orang yang hidup di daerah Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, daerah tempat tinggal S.M. Ardan. Oleh karena itu, dialog yang ada dalam kumpulan cerpen itu juga cenderung menggunakan dialek Betawi yang hidup di kawasan Jakarta Pusat, bukan dialek Betawi Jakarta pinggiran.
Pengakuan S.M. Ardan itu sesuai dengan pendapat Misbach Jussa Biran yang menyatakan bahwa Ardan sesungguhnya hanya memindahkan suasana Jakarta yang dikenalnya sejak kecil ke dalam Terang Bulan Terang di Kali. Dan, judul Terang Bulan Terang di Kali sebenarnya juga hanya untuk menghadirkan kontras antara harapan dan kenyataan, antara bulan yang indah molek dan menjadi pujaan dengan kali yang kumal kotor. Bahkan, S.M. Ardan menegaskan kepada Misbach, "Jangan lupa, kali, bukan sungai!" Misbach menambahkan bahwa rumah S.M. Ardan memang terletak di dekat Kali Ciliwung. Jadi, demikian Misbach, dengan Terang Bulan Terang di Kali sesungguhnya S.M. Ardan hendak menelanjangi kehidupan kampung di kota besar yang dikatakan orang sebagai hidup dan manusia itu. Dengan kata lain, melalui kumpulan cerpennya itu Ardan hendak memperlihatkan adanya dehumanisasi.
Terang Bulan Terang di Kali yang banyak menggunakan dialog dialek Betawi ternyata mengundang reaksi pembaca. Ada pembaca yang berpendapat bahwa kebetulan dialek Betawi masih berdekatan dengan bahasa Indonesia sehingga tidak terlalu sulit untuk memahami isi cerpen yang terhimpun dalam Terang Bulan Terang di Kali. Akan tetapi, pembaca itu menambahkan, seandainya dalam Terang Bulan Terang di Kali digunakan bahasa yang berasal dari wilayah Indonesia bagian timur tentu banyak pembaca yang akan kesulitan memahami isinya. Dan, akhirnya pembaca hanya akan membeli edisi yang menggunakan bahasa daerah yang dipahaminya saja.
Tentang dialek Betawi yang terdapat pada dialog-dialog dalam Terang Bulan Terang di Kali, Boejoeng Saleh (1955) juga mengemukakan pendapat yang lebih kurang sama. Ia berpendapat bahwa dialog-dialog yang berdialek Jakarta di dalam kumpulan cerpen S.M. Ardan ini memang terasa segar. Hanya saja, tidak terdapat keterangan sehingga pembaca yang tidak sepenuhnya memahami dialek Jakarta belum tentu bisa menikmatinya.
Tentang Terang Bulan Terang di Kali, Boejoeng Saleh berkomentar bahwa S.M. Ardan sebagai seorang penulisnya merupakan insider, yang berakar pada masyarakat Jakarta, khususnya masyarakat Kwitang tempat Ardan bertempat tinggal. Hanya sayang, demikian Boejoeng Saleh, Ardan kurang bisa mengambil jarak. Ia memotret dari jarak terlalu dekat, meskipun dengan kamera yang berlensa tajam sehingga Ardan tidak hanya menangkap yang eksotikal dan romantikal pada kehidupan rakyat Jakarta, tetapi juga realitas yang sepahit-pahitnya yang terdapat pada kehidupan itu. Hal itu sekaligus juga menunjukkan kecenderungan Ardan yang condong kepada realis. Selanjutnya, Boejoeng Saleh menganggap S.M. Ardan memiliki bakat yang baik untuk menjadi seorang pengamat, sebagaimana terbukti pada cerpen-cerpennya yang sebagian besar cenderung merupakan sketsa.
Lebih lanjut, Boejoeng Saleh mencontohkan cerpen S.M. Ardan yang berjudul "Pulang Pesta" sebagai cerpen yang memiliki kecenderungan realis itu. Dalam cerpen itu digambarkan sepasang suami istri muda yang sama-sama berjuang untuk kehudupan mereka. Jiman menarik becak dan istrinya, Iyem, berjualan kue. Mereka berdua belum mempunyai anak. Nasib Jiman sedang tidak beruntung. Ia hanya mendapatkan lima perak, yang untuk setoran pun tidak mencukupi. Akan tetapi, dengan bekal optimismenya ia menokoh Siun, kawannya dengan mengatakan habis mujur nariknya. Senda gurau dan humor adalah senjata rakyat. Di dalam realitas hidup yang penuh dengan penderitaan dan kegetiran, rakyat tidak tenggelam ke dalam pesimisme ataupun spekulasi filsafat yang bersifat absurd. Mereka tetap optimistis sekalipun tidak menemukan jalan keluar. Itulah sisi realis yang tergambar dalam salah satu cerpen S.M. Ardan yang terhimpun dalam Terang Bulan Terang di Kali, menurut Boejoeng Saleh.
Ajip Rosidi (2007) secara umum mengatakan bahwa istilah "cerita" dalam kumpulan cerpen SM Ardan ini kurang tepat karena tidak ada ceritanya sama sekali. Di dalam cerpen-cerpennya, misalnya "Pulang Pesta", "Pulang Siang", atau "Bang Senan Mau ke Mekah", tak menjalin cerita sehingga yang terasa hanya "suasana". Kalaupun ada cerpennya yang mengandung "cerita" (hanya dalam satu-dua cerpen), menurut Ajip, cerita itu tidak seru, menyehari, gampang dijumpai dalam keseharian orang-orang kecil Jakarta masa itu. Namun, justru di sinilah keistimewaan Ardan, JJ Rizal (2007) mencatat, ibarat seorang kameramen, Ardan punya lensa tajam. Ia tak hanya memotret realitas eksotik-romantik, tapi juga realistik; kenyataan yang sepahit-pahitnya.