Taufan Di Atas Asia: dan Tiga Buah Sandiwara Lain (Intelek Istimewa, Dewi Reni, Insan Kamil)adalah drama karya El Hakim (Prof. Dr. Abu Anifah M.D.) yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta pada tahun 1949 dengan ketebalan 222 halaman. Buku itu berisi empat buah drama (1) "Taufan di Atas Asia" (4 babak), (2) "Intelek Istimewa" (3 babak), (3) "Dewi Reni" (3 babak), dan (4) "Insan Kamil" (3 babak). Pelaku utama (1) "Taufan di Atas Asia" (Drs. Abd. Azas dan Inderawati), (2) Intelek Istimewa" (Dokter Taha Kamil), (3) "Dewi Reni" (Dewi Reni), dan (4) "Insan Kamil" (Insan Kamil).
"Taufan di Atas Asia" (halaman 11--63) sandiwara 4 bagian yang menggambarkan suasana benua Asia (termasuk Indonesia) menjelang kedatangan Jepang. Isinya menceritakan kehidupan seorang laki-laki bangsa Indonesia bernama Drs. Abdul Azas yang memimpin sebuah Kantor Dagang di Singapura. Karena suasana politik di Asia menjadi panas, istrinya, Inderawati yang sedang hamil, dipulangkan ke rumah orang tuanya di Jakarta, sedangkan ia sendiri hendak menyelesaikan urusannya lebih dahulu sebelum ikut pulang ke Jakarta.
Pada waktu Drs. Abdul Azas pulang ke Jakarta dengan menumpang sebuah kapal Belanda yang dikawal oleh kapal perang, tiba-tiba kapal yang ditumpanginya diserang oleh pesawat terbang Jepang sehingga kapalnya pecah. Akibatnya, ia bersama beberapa orang kelasi kapal itu terapung-apung dua hari dua malam di atas sebuah rakit bambu. Dalam suatu percekcokan, Drs. Abdul Azas dipukul oleh seorang kelasi yang menyebabkan ia menderita luka-luka pada bahu dan kepalanya. Antara hidup dan mati ia didapati oleh sebuah pesawat terbang Angkatan Laut dan diangkut ke Jakarta dan kemudian dibawa oleh ayah mentuanya ke rumah istrinya dalam keadaan berubah ingatan.
Menurut Boen Sri Oemarjati (1971) "Babak pertama tonil I dan II memaparkan suasana Pasifik yang menggenting, melalui perbincangan Abdul Azaz dan sahabatnya Cheong Fung. Seakrab persahabatan antara keduanya, demikian pula Inderawati, istri Abdul Azaz, bersahabat dengan Lee Moy, tunangan Cheong Fung. Menghadapi kegawatan yang bakal mendatang. Abdul Azaz menasihatkan istrinya untuk pulang ke Jakarta, demi ketenteraman hatinya, demi ketenteraman tumbuhnya kandungan Inderawati.
Babak kedua mengetengahkan suasana di Indonesia sendiri, khususnya Jakarta. Melalui pembicaraan Mohamad Saman, Mr. Adikusuma, kakak Inderawati, Mr. Taha dan Dr. Kamil pemuka-pemuka pergerakan Indonesia, dan K.H. Mualim pemuka pergerakan Islam, dilukiskan betapa organisasi-organisasi dan partai-partai Indonesia menggalang persatuan, bahkan juga bahu-membahu dengan pergerakan Islam. Diperkuatnya pertahanan Singapura menghadapkan bangsa Indonesia dengan suatu tantangan: Hanya dengan persatuan bangsa bisa diatasi jumlah Sekutu yang banyak, tapi pada hakekatnya tidak merupakan kesatuan.
Demikian pula tonil I babak ketiga, menjelaskan mengpa Singapura diperkuat. Sebagai lambang kekuatan Inggris, selayaknyalah Singapura dijadikan benteng yang megah, diperkuat pula oleh kapal-kapal perang "Prince of Wales" dan Repulse", untuk menahan dan menangkis serangan Nippon yang bisa datang sewaktu-waktu. Dalam kota internasional Singapura inilah, Adikusuma memperoleh keterangan lebih jauh dan lebih jelas tentang suasana hangat yang meliputi lautan Pasifik, dari Sardar Khan, seorang pemimpin pergerakan India, juga dari Cheong Fung.
Berlainan dengan tonil I, tonil II melukiskan keharuan saat perpisahan Abdul Azaz dengan istrinya, yang harus berangkat ke Jakarta bersama kakaknya, Mr. Adikusuma.
Babak keempat tonil I dan II melukiskan keadaan Inderawati yang telah berada diantara keluarganya kembali. Sementara itu Hayati, anak Moh. Saman, telah menerima cincin pertunangan Mr. Adikusuma, tepat disaat ia ditangkap dan dimasukkan penjara. Penderitaan Inderawati yang dipikulnya dengan ketabahan dan kekuatan iman, menjadi teladan Hayati pula. Pada penutup tonil II terjadilah ketegangan: Jakarta diserang pesawat-pesawat Nippon, dan bersamaan saat datang pula K.H. Mualim mengabarkan bahwa Abdul Azaz telah tiba di Tanjung Priok dalam keadaan yang menyedihkan: Ia melarikan diri dari Singapura, dan ditengah laut kapalnya ditenggelamkan serangan Nippon. Dalam keadaan terapung-apung diatas rakit, Lee Moy terjatuh kelaut dalam mempertahankan kehormatannya.
Sekalipun demikian, Abdul Azaz dan Inderawati tetap tawakal pada Tuhan, mengucap syukur atas keselamatan mereka, dan menantikan menyingsingnya fajar baru".
Lebih lanjut Boen Sri Oemarjati (1971) mengatakan "Dipandang dari sudut struktur dalam hubungannya dengan pembicaraan di atas nyaralah bahwa Taufan Diatas Asia tidak bisa dikatakan berhasil sebagai lakon. Pemaparan diberikan terlalu bertele-tele, walau dapat selingan disana-sini dengan munculnya Lee Moy-Cheong Fung, Adikusuma-Hayati, dengan dialog-dialog yang nadanya romantis malu-malu kucing. Pun romantik hubungan Abdul Azaz-Inderawati sebagai suami istri, terlalu dicengengkan oleh tonil-tonil yang dikhususkan buat adegan-adegan itu (Babak I tonil I; Babak III tonil III bagian akhir)".
"Dewi Reni" menyajikan kehidupan seorang perempuan bernama Dewi Reni. "Dewi Reni" melambangkan Ibu Pertiwi Indonesia yang sangat dicintai oleh para pemuda sedangkan orang-orang yang ada di sekelilingnya ialah orang-orang yang berasal dari berbagai golongan yang mencintainya pada masa pendudukan Jepang. Lakon Dewi Reni melukiskan seorang gadis rupawan yang sadar. Bahkan, ia terlalu sadar akan kehadiran orang-orang sekelilingnya yang berusaha saling mengungguli satu terhadap lainnya. Walaupun demikian, satu sifat istimewa Dewi Reni yang menyelamatkannya dari tendens keangkuhan adalah sifat rendah hati dan waspada. Pada akhir lakon diketahui bahwa ternyata bukan Dr. Abdullah saja yang menggunakan sikap lahiriahnya sebagai perisai cinta kasihnya pada Dewi Reni, melainkan Dewi Reni pun menggunakan keramahannya kepada setiap tamunya sebagai perisai untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya terhadap pilihannya sejak lama.
Dari sekian banyak pemuda yang mencintainya, hanya seorang dokter muda bernama Abdullah Hasyim sajalah yang dapat diterima oleh Dewi Reni menjadi suaminya. Dokter Abdullah Hasyim adalah seorang dokter rakyat yang rajin dan tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi mau berkorban untuk kepentingan orang lain.
Simbol-simbol itu tampak pula pada beberapa tokoh. Ukar Sumodikromo merupakan simbol pedagang Indonesia, Harlono yang merupakan seniman, Dr. Abdullah, seorang intelek, Chalid Walid, seorang angkatan muda, Mr, Nasar Tohir, seorang pemimpin gerakan, dan Ki Alwali. Merupakan orang tua bijaksana yang mengarahkan segala usahanya untuk kebaikan Indonesia. Dialah yang memberikan isi keagamaan dan ketuhanan. Berlomba-lomba tiap golongan berusaha menjadi pelindung Dewi Reni. Semua ingin menjadi jantannya tanah air, yang menaungi dan menuntunnya ke tangga kemuliaan dan kebahagiaan.
Menurut Boen Sri Oemarjati (1971), "Dewi Reni" lebih terolah, karena simbolik yang dikandungnya. Hal itu terlihat dari tokoh Dewi Reni yang merupakan adalah simbol tanah air dan orang-orang sekelilingnya adalah berbagai golongan yang mencintai masa itu. Oemarjati juga mengatakan bahwa tokoh-tokoh lainnya mewakili tipe sesuai dengan fungsinya dalam masyarakat. Kebijaksanaan generasi lalu untuk membimbing dan menyertai langkah semangat angkatan baru terlukis dalam tokoh R.A. Prangningrat, ibu Dewi Reni, dan Ki Alwali.