Sumur Tanpa Dasar merupakan drama karya Arifin C. Noer yang diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti pada tahun 1989 dengan ketebalan 168 halaman.
Drama ini menceritakan tokoh utama bernama Jumena Martawangsa, seorang pengusaha pabrik yang berhasil menimbun kekayaan dan uang menjadi hiburan satu-satu diakhir kehidupannya. Di samping berhasil menimbun harta, ia pun berhasil mempersunting gadis muda yang cantik, Euis, yang bila dilihat dari kacamata materialisme pastilah hidupnya bahagia. Namun, kenyataan menunjukkan lain. Ia mengalami kekosongan dan menyadari bahwa semua hanya untaian kesia-siaan. Tragedi kehidupan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya justru muncul ketika sukses mendekati dirinya. Kekayaannya membuatnya mengalami bentrokan dengan lingkungan dan orang-orang sekitarnya, yang mengincar kekayaannya. Bahkan istri mudanya sendiri mulai menyeleweng ketika ia ingin benar-benar mencintai dan mengharapkan cintanya. Kebahagiaan makin jauh dari angan-angannya tatkala menyadari bahwa kematian akan datang, dan ia tidak berhasil memiliki seorang anak untuk melanjutkan usaha dan mewarisi kekayaannya.
Menurut Pengantar Penerbit buku ini, "Lakon ini ditulis, disutradarai, dan dipentaskan pertama kali oleh Arifin C. Noer, pada tahun 1964, di Yogyakarta, di bawah bendera Teater Muslim. Pada tahun 1971, lakon ini kembali disutradarai dan dipentaskan oleh Arifin C. Noer, di TIM Jakarta, di bawah bendera Teater Ketjil.
Sebagai lakon yang eksperimentalistik, Sumur Tanpa Dasar "uniknya" sama sekali tidak berciri absurditas murni, seperti dalam karya-karya sastra modern Indonesia era 70-an, tetapi justru memperlihatkan upaya persenyawaan kreatif antara tradisi teater modern Barat pasca-realisme, dengan teater tradisional kita, teater rakyat, khususnya lenong Betawi dan tarling Cirebon. Hasil persenyawaan ini, melalui peralatan simbolisme, diekpresikan Arifin C. Noer ke dalam lakonnya ini, sehingga kita akan beroleh peristiwa yang bersuasana kontemplatif tentang konflik kejiwaan tokoh utamanya, Jumena Martawangsa - konflik mengenai persoalan iman dan eksistensi diri. Hidup Jumena ibarat sumur tanpa dasar, gelap dan tak berujung menggapai-gapai.
Menurut Abdul Hadi WM (1987) "Sumur Tanpa Dasar adalah sebuah judul yang simbolik, surealistik dan puitik, sesuai dengan bentuk penulisan dan kandungan lakon ini secara keseluruhan. Pengarangnya, Arifin C. Noer yang merupakan tokoh penting dari generasi 70-an, pasti telah memilih judul itu dengan penuh pertimbangan yang masak. Dalam kehidupan sehari, sumur adalah tempat mengambil air untuk memasak, mandi, mencuci dan minum. Jadi ia adalah tempat untuk mengambil sesuatu yang vital bagi kehidupan. Memperoleh jawaban, bagi persoalan-persoalan rumit yang selalu kita hadapi, juga selalu kita dambakan oleh karena jawban-jawaban itu memang vital bai kehidupan kita. Namun sumur yang dimiliki oleh tokoh utama lakon ini, sangat kelam, tidak punya dasar, tak berujung pangkal, sehingga sia-sialah ia untuk mengambil "air" jawaban dari dalamnya".
Kemudian Abdul Hadi WM mengatakan "... kekosongan dan kesia-siaan hidup inilah yang ingin disorot oleh Arifin C. Noer, dalam lakon ini. Kekosongan dan kesia-sian ini merupakan bagian utuh dari kehidupan modern, sebagai suatu sisi tragis di balik keberhasilannya dalam mengatasi masalah-masalah kebendaan dan keduniawian. Ketragisan ini semakin mencuat menakala sang tokoh menyadari bahwa ia telah kehilangan akar kerohanian dan tercerabut dari kefitriannya sebagai manusia, tak kenal lagi akan kampung halamannya, sehingga menjadi asing dari dirinya, Tuhan dan dunia sekitarnya. Ia tidak lagi merupakan makhluk historis dan spiritual yang bersilsilah pada Adam di hadapan kesia-siannya".
Lebih lanjut Abdul Hadi WM mengatakan "Sejak awal kita telah dibawa oleh Arifin kesuasana surealis dan simbolik. Sebelum tokoh utama lakon ini muncul ke tengah panggung, kita bertemu dengan lonceng raksasa yang dentang suaranya begitu menekan perasaan dan hati penuh mistri. Ia tak lain adalah perwujudan dari waktu. Dari sang lonceng muncul kabut, yang tak lain adalah mistri itu sendiri. Dari mistri muncul bayang-bayang maut. Dan sekali lagi, di akhir lakon, Sang kala muncul membawa pergi Jumena dan mengatakan bahwa tokoh tragis ini sebenarnya telah lama mati. Mungkin saja yang dimaksudkan pengarang bukan kematian jasmani semata-mata, namun malahan suatu kematian spiritual".
Jakob Sumardjo (1992) "Kesalahan yang diperbuat manusia hanyalah bahwa ia dilahirkan ke dunia. Menjadi manusia adalah sebab utama rangkaian masalah ini. Dan akhirnya Arifin menunjuk agama sebagai satu-satunya pemecahan, obat mujarab semua bentuk kemiskinan luar dalam itu. Apakah dengan kerja keras seperti dibuktikan "orang-orang Tionghoa" di Indonesia masalah kemiskinan itu tidak dapat dipecahkan? Arifin mencoba menjawab dengan cara itu dalam dramanya Sumur Tanpa Dasar. Tokoh Jumena Martawangsa telah bekerja keras seperti Tionghoa, tetapi jiwanya juta tidak tertolong oleh kekayaannya. Justru kekayaannya itu merusak jiwanya: ia menjadi pencuriga dan tidak mempercayai manusia, karena mereka bersikap baik hanya untuk menggerogoti harta benda yang dikumpulkannya dengan kerja keras ("Saya tidak pernah sakit untuk urusan uang", kata Jumena). Kembali lagi bahwa jiwa Jumena rusak secara moral akibat kekayaannya karena ia mengabaikan ajaran agama. Jumena tidak mempercayai Hari Nanti, mempercayai Tuhan, tidak mempercayai ajarannya untuk berbuat amal, untuk bahagia dengan melihat hartanya".
Selanjutnya menurut Jakob Sumardjo (1992) "Sumur Tanpa Dasar menyoroti tabiat rakus, kerja keras, takut jatuh miskin, tetapi juga pencuriga, tidak percaya kepada manusia. Semua sifat itu timbul karena sanga tokoh, Jumena, mempunyai latar belakang kemiskinan yang traumatis, karakter yang demikian itu (kehilangan kepercayaan kepada sesama manusia) hanya dapat disembuhkan oleh agama, begitu kesimpulan drama ini".